NovelToon NovelToon

Pendekar Seruling Bambu

Chapter 1. Kejayaan

Alkisah di sebuah wilayah yang luas lagi subur, berdiri sebuah kerajaan yang besar nan gagah. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja yang baik dan adil. Kebaikan sang raja membuat rakyat hidup dengan makmur. Kehidupan petani-petani di desa sangat cerah, setiap musim panen datang tawa canda menghiasi hampir di seluruh wilayah kerajaan.

Kerajaan itu bernama Matraman Jaya. Kerajaan besar yang menguasai hampir sepertiga daratan. Kerajaan ini juga menaungi belasan kerajaan kecil, yang berhasil mereka taklukan untuk dijadikan wilayah persemakmuran.

Dengan kepemimpinan Maha Raja Kesuma Jaya, wilayah yang dikuasainya berlangsung aman dan tentram. Semua rakyat berharap kerajaan ini akan selamanya meraih kejayaan.

Maha Raja Kesuma Jaya memiliki postur yang cukup tinggi, badannya tegap, dan masih kelihatan sisa-sisa ketampanan di masa muda.

Kelebihan dari Maha Raja ini bukanlah terletak pada kemampuan bela diri, tetapi lebih kepada kemampuan negosiasi. Beberapa kerajaan kecil yang dijadikan persemakmuran bahkan mampu ditaklukkan tanpa harus melakukan peperangan.

Cara memimpin Maha Raja Kesuma Jaya juga tergolong unik dan sangat sederhana, sehingga banyak rakyat yang menyukai raja mereka.

Tidak jarang pula Maha Raja Kesuma Jaya sering berkeliling ke setiap wilayah kerajaan, menengok kerajaan-kerajaan kecil yang mendukungnya atau sekedar bertatap muka dengan rakyat di setiap desa.

Cara berkeliling nya Maha Raja Kesuma Jaya pun sederhana, Maha Raja tidak pernah menggunakan atribut kerajaan. Di setiap agenda perjalanannya Maha Raja ditemani oleh seseorang yang menjadi tangan kanannya. Keduanya melakukan perjalanan hanya memakai pakaian biasa layaknya pakaian orang-orang kecil, singgah dari satu desa ke desa lainnya.

"Hidup Yang Mulia Maha Raja.... "

"Hidup Yang Mulia Maha Raja.... " terdengar pekik suara rakyat meneriakkan nama raja mereka dengan penuh ketulusan. Sang Raja yang mendengar pekikan itu menyambutnya dengan senyuman dan lambaian tangan. Tidak jarang juga Maha Raja membagikan koin perak atau pun perunggu kepada mereka.

Begitulah keseharian dari Maha Raja Kesuma Jaya, dirinya tidak begitu betah ketika hanya duduk di kursi singgasana nya.

Namun, sepertinya kejayaan kerajaan itu akan segera sirna seiring dengan kabar sakitnya Sang Raja, Maha Raja Kesuma Jaya. Sudah banyak tabib yang didatangkan dari berbagai wilayah namun tidak satu pun ada yang mampu menyembuhkan Sang Raja.

Rakyat yang mendengar kabar ini pun merasa khawatir, ada rasa takut kehilangan terlukis di wajah rakyatnya. Mereka belum siap jika harus kehilangan raja yang sangat mereka hormati.

Di lingkungan istana pun terjadi kekhawatiran, bukan karena sakitnya yang dikhawatirkan, namun lebih kepada perebutan kekuasaan para putra raja itu sendiri.

***

Di sebuah kamar yang cukup besar, terlihat banyak orang sedang berkumpul. Ada seseorang yang sedang terbaring lemah di pembaringan. Ya, yang terbaring itu ialah Maha Raja Kesuma Jaya.

Di samping pembaringan ada empat orang wanita yang menemani Maha Raja, wanita tua yang masih cukup cantik. Keempatnya merupakan permaisuri Maha Raja, sekilas dari tatapan mereka menggambarkan penuh kesedihan. Ya, sekilas, karena ada di antara mereka yang mengharapkan Maha Raja cepat mangkat agar putranya bisa mengambil alih tahta kerajaan.

Ada juga empat orang pemuda berparas tampan. Yang pertama bernama Pangeran Angga, tubuhnya tinggi tegap, hidung mancung, dan berambut hitam pendek.

Yang kedua bernama Pangeran Putra, pangeran ini adalah yang paling tampan dari ketiganya. Rambutnya hitam panjang terurai, hidungnya mancung dan ada lekukan di kedua pipi ketika tersenyum.

Yang ketiga bernama Pangeran Reksa, tubuhnya tidak terlalu tinggi, agak gemuk dan bisa dibilang cukup tampan.

Dan yang terakhir adalah Pangeran Sukanda, perawakannya tinggi semampai. Pangeran ini jarang tersenyum hingga banyak orang merasa segan ketika bertemu dengannya.

Selain itu masih ada beberapa orang tabib yang kelihatan sedih ketika tidak mampu berbuat banyak untuk kesembuhan Yang Mulia Raja.

"Kanda, bertahanlah, Kanda pasti sembuh." suara Permaisuri pertama terdengar meratap di samping tubuh suaminya, ya, Maha Raja Kesuma Jaya.

"Din.... nda, Kanda sudah tidak kuat lagi,

se.... sepertinya waktu kanda sudah tidak lama." Maha Raja menjawab dengan suara yang terputus-putus.

"Tidak Kanda, jangan tinggalkan Dinda." ucap permaisuri itu sedih, tidak terasa air mata menetes membasahi pipinya.

Sang Raja berusaha untuk tersenyum, mencoba membelai kepala permaisurinya kemudian menoleh kepada empat pemuda yang tak lain adalah anak-anaknya.

"Angga, kemari lah...." Maha Raja memanggil putra sulungnya.

"Baik Ayah." yang dipanggil kemudian mendekat dan duduk di dekat pembaringan Maha Raja.

Maha Raja memiliki empat orang putra dari empat permaisurinya, artinya masing-masing permaisuri memiliki seorang putra dan Angga Jaya Kesuma adalah yang paling tua, dewasa, dan bertanggung jawab.

Alasan Maha Raja memanggil putra sulungnya adalah tidak lain untuk menjadikan Pangeran Angga menjadi Putra Mahkota. Sepeninggal dirinya, Maha Raja berharap Pangeran Angga akan menggantikan dirinya menjadi raja berikutnya.

Selain Maha Raja Kesuma Jaya, Pangeran Angga adalah orang kedua yang sangat dihormati oleh rakyat Kerajaan Matraman.

Tidak jarang Pangeran Angga pergi berkeliling untuk senantiasa melihat kehidupan rakyatnya.

Namun, tanpa disadari keputusan menunjuk Pangeran Angga menjadi Putra Mahkota ternyata membawa dampak yang begitu besar di masa depan.

"Baiklah Ayah, jika keinginan Ayah sudah bulat, aku akan menerimanya." Pangeran Angga menjawab dengan lembut.

Terlihat jelas keraguan di wajah Pangeran Angga, bukan karena dirinya tidak mampu memimpin pemerintahan, namun dirinya memikirkan perasaan saudara-saudaranya. Dari ke empat pangeran, hanya Pangeran Angga yang tidak berambisi menjadi raja. Dia hanya ingin hidup bebas, menjadi orang biasa yang hidup damai tanpa terlibat urusan politik apapun.

"Setelah ini aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan saudara-saudara ku." batin Pangeran Angga.

Dirinya cukup yakin, ketiga saudaranya tidak ada yang senang dengan keputusan Ayahanda mereka. Ketiga pangeran menatap Pangeran Angga dengan tatapan sinis dan penuh amarah.

***

Selang sehari setelah penunjukan Pangeran Angga menjadi Putra Mahkota, Yang Mulia Maha Raja dipanggil menghadap Sang Hyang Widhi.

Suara tangis menggema di seluruh wilayah Kerajaan Matraman, tidak hanya di lingkungan istana namun hampir di setiap wilayah kekuasaan kerajaan.

Mulai hari ini tidak ada lagi sosok raja yang rajin menemui rakyatnya, tidak ada lagi sosok raja yang membantu rakyat yang kesusahan secara diam-diam.

Hampir seminggu penuh Kerajaan Matraman berduka, isak tangis mulai mereda ketika Pangeran Angga berupaya mengambil alih pemerintahan.

***

Genap seminggu pengangkatan Pangeran Angga menjadi Putra Mahkota, genap seminggu pula Kerajaan Matraman berdiri tanpa tanpa raja. Seyogyanya Pangeran Angga akan diangkat menjadi raja, namun keputusan itu ditentang oleh seluruh saudaranya.

Ketiga saudara Pangeran Angga merasa berhak atas tahta kerajaan, hal ini membuat hubungan ke empatnya menjadi panas.

Begitu juga dengan pejabat pemerintahan, mulai dari senopati dan pejabat lainnya masing-masing memihak pangeran yang didukungnya.

Pada akhirnya, Kerajaan Matraman Jaya berjalan bagai tubuh tanpa kepala.

Note:

Hallo kakak-kakak, selamat malam. Kenalin nih novel pertama ku Pendekar Seruling Bambu.

Mohon doa, kritik, dan sarannya ya, semoga aku bisa menyelesaikan novel ini dengan baik.

Jangan lupa like dan Komen yaaa, ditunggu...

Chapter 2. Mulai Bergerak

Di sebuah ruangan pertemuan yang cukup besar, telah berkumpul beberapa orang yang memakai pakaian kerajaan. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja bundar yang di atasnya tersaji beberapa makanan dan minuman. Jika dilihat lebih dekat, di antara mereka ada yang memakai pakaian berbahan paling bagus dan mewah. Dialah putra ke dua Maha Raja, Pangeran Putra Jaya Kesuma.

Tubuh Pangeran Putra terlihat tegap, gagah, dan berparas rupawan. Kelebihannya selain ilmu bela diri yang cukup tinggi, pangeran ini juga pandai merayu wanita. Tidak heran jika banyak gadis-gadis yang jatuh hati kepadanya. Namun, dari sekian gadis yang ia rayu, tidak satupun yang benar-benar ia cintai. Dirinya melakukan itu semata-mata demi kesenangannya.

Setelah semua orang yang ditunggu telah hadir, maka pertemuan ini pun segera dimulai.

"Paman Argadana, aku ingin kita secepatnya harus bertindak, sebelum saudara ku Pangeran Angga diangkat menjadi raja. Kita tidak bisa terlalu lama diam paman." suara Pangeran Putra memulai pembicaraan. Pangeran ini sudah tidak sabar untuk merebut tahta kerajaan dari Pangeran Angga dan segera duduk di singgasana.

Duduk di sebelah kanannya adalah Senopati Argadana, senopati yang berhasil Pangeran Putra bujuk agar mau membantu mendapatkan tahta kerajaan. Perawakannya yang tinggi besar membuat ia semakin gagah. Tidak lupa sebilah pedang tersarung rapi menggantung di pinggang senopati.

"Sabar pangeran, kita harus menunggu pergerakan Pangeran Reksa dan Pangeran Sukanda. Mata-mata kita telah melaporkan tentang pergerakan mereka, sebentar lagi pasukan mereka akan segera bergerak. Kita harus mengambil keuntungan dari kesalahan yang mereka lakukan." senopati itu menjawab dengan meyakinkan.

Memang, selain memiliki ilmu kanuragan yang tinggi Senopati Argadana juga terkenal memiliki otak yang cerdas dan pemikiran yang sulit ditebak. Beberapa kerajaan kecil yang berhasil ditaklukkan adalah buah dari kecerdasan strateginya.

"Jadi menurut paman, kita harus menunggu hasil dari pergerakan saudara-saudara bodoh ku itu?" Pangeran Putra bertanya untuk memastikan.

"Benar demikian Pangeran." jawab Senopati Argadana.

"Baiklah paman, aku percayakan rencana ini kepadamu." Pangeran Putra mengangguk setuju.

"Lalu bagaimana dengan persiapan pasukan kita paman, apakah mereka telah siap bertempur?" tanya Pangeran Putra lagi.

"Saat ini persiapan telah mencapai 80% Pangeran, paman juga telah mengundang beberapa pendekar-pendekar dari rimba persilatan untuk membantu memastikan keberhasilan rencana kita." jawab Senopati Argadana.

"Bagus.. bagus, aku suka dengan hasil kerja mu paman." ucap Pangeran Putra seraya menarik salah satu sudut bibirnya ke atas.

"Terimakasih Pangeran." jawab Senopati Argadana seraya membungkuk hormat.

Tidak lama setelah diskusi singkat itu, Pangeran Putra sedikit berbasa-basi kepada tamu lainnya, kemudian ia melangkah pergi meninggalkan ruangan pertemuan.

Tidak lama setelah kepergian Pangeran Putra, Senopati Argadana mengajak yang lainnya pergi untuk menjalankan rencana mereka.

***

Suara gemericik air yang mengalir jatuh dari pancuran bambu mengisi keheningan kolam di sebuah taman. Beberapa ikan air tawar saling kejar-kejaran membuat air kolam sedikit keruh. Bunga Teratai yang berada di tengah-tengah kolam pun menari-nari sebagai akibat kelincahan beberapa ikan. Tidak jarang juga terdengar suara burung bernyanyi bersahutan.

Tidak jauh dari kolam itu, nampak seorang pemuda yang sedang berfikir keras, terlihat beberapa guratan urat yang menonjol di wajahnya. Pemuda ini seperti sedang menanggung beban yang sangat berat.

Ya, pemuda ini adalah Pangeran Angga sang Putra Mahkota. Pangeran ini sedang memikirkan masa depan kerajaannya.

Di depan pemuda itu, nampak seorang laki-laki paruh baya, ia memandangi wajah pemuda di depannya. Ada perasaan kebingungan yang sedang melanda pria paruh baya itu.

"Apa yang harus aku lakukan paman? Aku rasa ini bukan ide yang baik, tapi hanya ini pilihan yang paling mungkin untuk menghindari perang saudara" suara pemuda itu memecah keheningan.

"Apakah Ananda Pangeran tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan?" tanya pria paruh baya itu.

"Tidak paman, aku rasa ini pilihan yang terbaik." jawab pemuda itu tetap mempertahankan keputusan yang telah ia ambil.

Sebelumnya Pangeran Angga telah mendapat informasi dari orang kepercayaan nya bahwa ketiga saudara-saudara nya tengah menyiapkan pasukan, hal ini adalah buntut dari penunjukan Pangeran Angga menjadi Putra Mahkota.

Pangeran Angga tengah memikirkan solusi terbaik agar tidak terjadi perang saudara di kerajaan ini.

"Baiklah Ananda Pangeran, paman hanya bisa mendoakan yang terbaik." sesal pria paruh baya itu yang tak bisa mengubah keputusan Pangeran Angga yang ada di depannya.

"Aku harus menemui mereka bertiga secepatnya." gumam pemuda itu seraya beranjak pergi meninggalkan taman kolam. Langkahnya pelan tapi pasti, baru sebentar saja bayangannya telah jauh menghilang.

Pria paruh baya itu hanya menggeleng, kenyataannya ia ditinggal sendirian di tepi kolam, "Sungguh malang nasib mu Pangeran... " gumamnya.

"Andaikan Eyang Resi masih ada di sini, pasti tidak ada satu pun yang berani mengusik ketenangan kerajaan." gumamnya.

Setelah selesai memandangi kepergian Pangeran Angga, pria paruh baya itu pun berlalu pergi.

***

Jatiraga adalah sebuah desa yang paling dekat dengan ibukota Kerajaan Matraman. Desa ini cukup besar, mungkin hampir mirip dengan kota kecil. Letaknya yang strategis membuat desa ini selalu ramai dikunjungi pedagang maupun pendekar-pendekar rimba persilatan yang sekedar lewat.

Di desa ini tersedia juga beberapa penginapan dan tentu juga beberapa rumah makan. Hampir setiap hari kedua tempat ini selalu ramai oleh pengunjung.

Di pojok rumah makan itu ada dua orang lelaki tua sedang menikmati makan siang. Di hadapan mereka ada satu buah bakul nasi dan beberapa lauk pauk.

"Ki Alam, aku dengar bahwa kondisi kerajaan saat ini tengah panas." suara Ki Suta membuka pembicaraan, tangannya tak lepas dari makanan yang ada di meja lalu memasukkannya ke dalam mulut.

Ki Alam yang diajak bicara hanya menggelengkan kepala, "Ki Suta.. Ki Suta.. Mbok yo makan dulu baru bicara. Jika kau tersedak makanan, nanti aku yang repot." ucap Ki Alam menasehati sahabat nya.

Lalu Ki Alam meneruskan menanggapi pernyataan Ki Suta, "Aku juga sudah mendengar, kabar nya ada beberapa pendekar rimba persilatan yang akan datang ke ibukota."

"Ahh.. yang benar Ki?" tanya Ki Suta.

"Benar, aku tidak bohong." jawab Ki Alam meyakinkan.

Belum selesai mereka melanjutkan pembicaraan, dari arah pintu masuk terlihat ada dua orang yang memasuki rumah makan. Keduanya mengambil tempat duduk agak jauh dari meja Ki Alam dan Ki Suta, lalu mereka memesan beberapa makanan.

"Tuh Ki Suta, lihatlah, sepertinya mereka dari kalangan rimba persilatan." ucap Ki Alam seraya memonyongkan mulutnya ke arah kedua tamu itu.

"Sepertinya begitu Ki, jika dilihat dari tampilannya." jawab Ki Suta membenarkan perkataan Ki Alam.

Sesekali dari dua tamu itu melirik tajam ke arah Ki Alam dan Ki Suta, sepertinya mereka tau bahwa sedang dibicarakan.

Dengan segera Ki Alam dan Ki Suta menunduk, menghabiskan makanan lalu buru-buru pergi meninggalkan rumah makan.

Chapter 3. Keputusan yang Disetujui

"Apa kau sudah memikirkan secara matang, anak ku?" tanya seorang wanita tua yang bernama Suriasih kepada anaknya yang tak lain adalah Pangeran Angga.

Wanita itu merasa bahwa keputusan Pangeran Angga terkesan buru-buru, dan ia mencoba untuk menasihati anaknya itu.

"Aku tau Ibunda tidak akan setuju, mungkin begitu pun dengan mendiang Ayahanda. Tetapi hanya ini yang bisa aku lakukan untuk saudara-saudara ku, aku tidak siap jika harus beradu senjata dengan mereka...." jawab Pangeran Angga dengan lirih, kemudian Pangeran Angga beranjak tidur di kaki Ibundanya.

"Baiklah anak ku, jika itu yang telah menjadi keputusan mu, Ibunda akan mendukung mu." jawab Ibunda Suriasih dengan tersenyum, tangannya tidak henti-hentinya membelai kepala anaknya.

"Tapi kau harus selalu jaga diri, jangan lupa untuk selalu minta pendapat dari Senopati Kemuning, hanya dia yang bisa kau andalkan saat ini." ucap Ibunda Suriasih melanjutkan.

Pangeran Angga hanya mengangguk kemudian tidur terlelap di pangkuan Ibundanya.

***

Keesokan hari nya di dalam sebuah aula kerajaan, telah nampak ketiga Pangeran Kerajaan Matraman duduk di tempatnya masing-masing. Kedatangan ketiga pangeran ini diikuti oleh masing-masing senopati yang mendukungnya.

Ketiga pangeran itu adalah Pangeran Putra, Pangeran Reksa, dan Pangeran Sukanda. Mereka saling berbisik, kira-kira apa tujuan mereka dikumpulkan. Padahal, masing-masing dari mereka saling bersaing demi ambisi yang sama.

"Wah wah wah, ternyata kalian juga diundang kemari ya.." ucap Pangeran Angga kepada dua saudaranya.

"Aku pun tak menyangka kita bertiga bisa berkumpul di sini." jawab Pangeran Reksa.

"Sepertinya kita harus mengucapkan terimakasih kepada Pangeran Putra." Pangeran Sukanda melanjutkan.

"Hahaha.. Kau benar Sukanda." ketiga nya lalu tertawa bersama.

Tawa ketiga pangeran seketika terhenti ketika telah muncul Pangeran Angga bersama dengan Senopati Kemuning, lalu keduanya segera mengambil tempat duduk.

Hanya Senopati Kemuning yang mengharapkan Pangeran Angga bisa menjadi Raja Matraman berikutnya. Namun ia sadar, akan ada banyak bahaya yang menghadang. Salah satu yang sudah pasti adalah dari saudara-saudaranya sendiri.

"Baiklah, terimakasih atas kesediaan saudara-saudara Pangeran untuk hadir pada kesempatan ini. Ada beberapa hal penting yang akan aku sampaikan." suara Pangeran Angga memulai pembicaraan.

Ketiga pangeran kompak menatap Pangeran Angga seraya menebak hal apakah yang akan ia disampaikan.

Setelah mereka bertiga tidak berhasil menebak ke arah mana pembicaraan Pangeran Angga, lalu ketiga nya segera meminta Pangeran Angga untuk melanjutkan pembicaraan.

"Aku tau, masing-masing dari kalian menginginkan tahta kerajaan dan kalian telah memulai persiapan untuk itu. Akan tetapi Ayahanda menghendaki aku sebagai Raja Matraman berikutnya.

Demi menjaga tali persaudaraan di antara kita, aku bermaksud memberi penawaran untuk kalian." ucap Pangeran Angga.

"Penawaran seperti apa yang akan kau tawarkan wahai Raka Angga?" tanya Pangeran Putra penuh selidik.

"Aku bermaksud membagi Kerajaan Matraman menjadi empat wilayah mata angin. Masing-masing dari kita akan menjadi raja di wilayahnya.

Untuk wilayah bagian utara akan menjadi milik Pangeran Putra dan wilayah itu akan dikenal sebagai Kerajaan Matraman Utara. Wilayah timur atau Kerajaan Matraman Timur menjadi milik Pangeran Reksa. Wilayah selatan atau Kerajaan Matraman Selatan milik Pangeran Sukanda. Dan Kerajaan Matraman Barat akan menjadi bagian ku."

"Bagaimana menurut kalian?" tanya Pangeran Angga.

Pangeran Angga menghirup udara sekitar dengan nafas berat menunggu respon jawaban dari saudara-saudaranya, ia sadar, keputusan nya ini tidak akan disukai oleh mendiang Ayahnya. Sembari menatap wajah saudara-saudaranya, Pangeran Angga berharap keputusan ini akan langsung disetujui oleh mereka.

"Apakah kau serius dengan ucapan mu Raka Angga? " ucap Pangeran Putra, dirinya masih belum percaya dengan apa yang ia dengar. Jujur, ia sangat senang, dirinya akan menjadi raja tanpa melakukan upaya kudeta dan pemberontakan.

Begitupun dengan Pangeran Reksa dan Pangeran Sukanda, keduanya teramat senang namun tidak ingin menunjukkannya di ruangan itu. Keduanya menatap Pangeran Angga dengan keheranan dan penuh rasa tak percaya.

"Aku serius dengan itu Pangeran Putra. Aku harap kalian mau menerimanya." jawab Pangeran Angga.

Pangeran Putra tidak segera menjawab, terlihat ia menengok ke belakang,

"Bagaimana menurut mu paman Argadana?" tanya Pangeran Putra berbisik pelan kepada Senopati nya.

"Menurut ku, saat ini kita lebih baik menerima tawaran dari Pangeran Angga. Kita bisa mendirikan kerajaan sendiri dan bisa membangun kekuatan yang lebih besar, Pangeran. Toh, setiap wilayah Kerajaan Matraman semuanya berjalan baik, tidak ada bedanya Pangeran." jawab Senopati Argadana juga dengan berbisik.

"Hmm.. Baiklah, aku terima saran mu

paman." jawab Pangeran Putra.

Tidak hanya Pangeran Putra yang berbisik meminta pendapat dengan senopati nya, terlihat juga Pangeran Reksa dan Pangeran Sukanda tengah berbisik dengan para senopati nya.

Tidak lama setelah itu, ketiga pangeran saling tatap, kemudian mengangguk bersamaan, "Baiklah Raka, untuk menghormati keputusan mu kami akan menerimanya dengan senang hati." jawab Pangeran Putra mewakili kedua saudaranya.

"Ah.. Aku senang mendengarnya." jawab Pangeran Angga lega.

"Tentu, aku pun senang Raka, dengan begini kita tidak perlu saling mengadu senjata." jawab Pangeran Putra seraya membuat senyum kemenangan.

"Hahaha.." terdengar ketiga pangeran tertawa bahagia.

Pangeran Angga hanya tersenyum menanggapi saudara-saudaranya itu, tentu ia telah maklum dengan tabiat mereka.

Dengan demikian, berakhir sudah pertemuan singkat itu. Ketiga pangeran telah kembali ke ruangannya masing-masing. Mereka segera menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan untuk membangun kerajaan mereka yang baru.

Di ruangan itu hanya tersisa Pangeran Angga dan Senopati Kemuning.

"Aku harap ini keputusan yang terbaik paman. Hanya ini yang bisa aku lakukan demi mencegah perang saudara." suara Pangeran Angga terdengar pelan.

"Paman juga berharap demikian Ananda Pangeran, semoga dengan pembagian wilayah ini bisa menghilangkan nafsu serakah dari saudara-saudara Pangeran." jawab Senopati Kemuning.

"Aku pun berharap begitu paman." keduanya kemudian berlalu pergi dari ruangan tersebut.

Tanpa mereka berdua sadari, keputusan itu berakibat buruk di masa depan. Tidak ada yang tau tentang hati manusia dan sifat serakahnya.

***

Selang setahun setelah pembagian wilayah kerajaan oleh Pangeran Angga, di tiga penjuru mata angin sedang melakukan pesta besar-besaran karena telah berhasil membangun singgasana kerajaannya masing-masing.

Namun yang paling meriah tentunya di bagian utara, ya, kerajaan yang baru berdiri yaitu Kerajaan Matraman Utara.

Mereka berpesta minum-minum arak sembari ditemani wanita-wanita cantik.

"Ayo.. ayo minum yang banyak. Kita rayakan kemenangan awal kita." seru Raja Putra kepada seluruh punggawa nya.

"Hahaha.. mari Yang Mulia." terdengar jawaban kompak dari Senopati dan petinggi Kerajaan Matraman Utara.

"Bersulang.. " seru mereka serempak.

Mereka melanjutkan pesta hingga pagi tiba, setelah marasa lelah lalu mereka kembali ke ruangan masing-masing untuk beristirahat.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!