Cast:
Ayumi Giselle (Giselle)
Aiden Lorenza Fernando (Aiden)
Seorang wanita berpakaian formal, tengah membereskan meja kerjanya yang mulai berserakan. Dia adalah Giselle. Wanita yang dahulunya bukan siapa-siapa, kini menjadi seorang sekretaris di sebuah perusahaan terkenal.
Wanita itu terlihat membereskan kumpulan berkas, membuang sampah plastik dari sisa makanan ringan yang sudah tidak digunakan, sampah kertas dan lain sebagainya.
Setelah pekerjaannya sebagai seorang sekertaris selesai, Giselle terlihat mengemasi beberapa barang yang akan dibawa pulang, seperti laptop dan tas kecil yang berisikan alat make-up yang selalu ia bawa kemana-mana.
Oh. Jangan lupakan tas elegan cantik yang ia tenteng dengan harga yang terbilang cukup fantastis. Tidak. Giselle tidak mampu membeli tas mahal itu. Tas mahal tersebut adalah hadiah dari bossnya, Aiden. Hadiah atas keberhasilan wanita itu menjadi sekretarisnya selama tiga bulan.
Sungguh baik, bukan?
"Hm... Apa lagi, ya?" Giselle terlihat berpikir keras, sembari terus menatap lekat kearah meja kerjanya yang terlihat rapi.
"Oh, iya. Hp gue, mana?" Giselle terlihat membulatkan mata, kemudian mengobrak-abrik tasnya, lalu lanjut ke laci di meja, namun tak mendapatkan apa-apa.
"Ck. Sial. Hp gue dimana? Masa iya, hilang?" gerutu Giselle sembari berkacak pinggang di hadapan meja kerja.
"Nyari apaan, Selle?" sebuah sahutan berat, mampu mengalihkan perhatian Giselle.
Giselle yang semula posisinya acak-acakan, kini berubah menjadi formal kembali. Wajah nya menunduk hormat.
"Gak usah hormat-hormat! Bersikap biasa saja, bisa?"
Mendengar sahutan dari pria yang tak lain adalah Aiden, bosnya sendiri, sontak membuat Giselle mengangguk perlahan kemudian merubah posisinya menjadi lebih santai.
"Kamu nyari apaan?" ulang Aiden.
"Ponsel saya hilang, Pak! Bapak lihat ponsel saya, tidak?"
Menghela napas, kemudian Aiden terlihat berpikir.
"Oh. Yang warna putih itu, ya?" tebak Aiden, ketika sebuah ingatan kecil melintasi otaknya.
"Nah! Dimana? Bapak yang naruh, ya?" Giselle nampak bersemangat menjawab. Namun, raut wajah Aiden malah terlihat tertawa. Apa-apaan?
"Emangnya... Di dalem ponsel kamu ada apaan?" bukannya menjawab apa yang ditanyakan sang sekertaris padanya, sang boss malah terlihat kepo. Seolah ingin tahu, apa isi dari ponsel sekretarisnya.
Tersenyum paksa, Giselle lalu mendengus panjang. Ia berusaha untuk sabar menghadapi sikap kepo Aiden yang selalu berlaku pada dirinya.
"Hm... Gak ada yang penting, kok. Cuman... Saya sangat butuh ponsel itu. Kalau saya tidak memegang ponsel, nanti saya tidak bisa menghubungi seseorang."
Aiden terlihat berdiri sembari melipat kedua tangan di depan dada. Dahinya nampak berkerut. Dengan kedua mata yang sengaja disipitkan.
"Seseorang nya itu siapa?"
Yeelah!
Mulai lagi sifat kepo nya!
Ah, bisa gak si, gua punya boss jangan yang kepoan kek gini???- batin Giselle memohon.
Kembali mengembuskan napas, Giselle lalu tersenyum paksa dihadapan sang boss.
"Bukan siapa-siapa. Hanya orangtua saja dan... Beberapa teman."
Aiden terlihat mengangguk-anggukan kepalanya. Seolah paham dengan apa yang dimaksud oleh Giselle.
"Tapi, saya gak tahu dimana ponsel kamu!"
Senyuman paksa yang ditampilkan Giselle, langsung menghilang seketika. Jawaban dari bosnya yang satu ini sungguh membuat dirinya naik darah.
Lha, kalo gak tahu, ngapain sok-sok an nanya? Dasar boss tukang php!
"Tapi kalo kamu cek di ruangan saya, mungkin ada." lalu pria itu melenggang memasuki ruangannya kembali setelah mengucapkan kalimatnya.
Disisi lain, Giselle terdiam memaku. Namun tak lama kemudian, Giselle mulai menyadarkan dirinya dan memasuki ruang kerja bosnya.
"Cepat cari! Saya beri waktu sepuluh menit untuk kamu mencari hp kamu! Saya sudah ingin pulang!" perintah dari Aiden langsung saja Giselle beraksi mencari dimana ponselnya.
Di sudut ruangan, tidak ada. Di sofa, tidak ada. Di meja bosnya, masih tidak ada. Seketika, Giselle kesal dibuatnya. Dimana lagi ia harus mencari ponselnya?
"Kenapa gak cari di kamar saya aja?" itu suara Aiden. Lagi-lagi pria itu berujar pada Giselle.
"Kamar Bapak?" ulang Giselle. Tidak paham maksud dari perkataan Aiden.
Ponselnya kan hilang saat di kantor. Kenapa Giselle harus mencarinya di kamar bosnya yang bahkan rumah bosnya saja Giselle tak pernah ia kunjungi. Bagaimana ponselnya bisa berada—
"Maksud saya kamar yang di ruangan ini. Jangan mikir kejauhan." sela Aiden, seolah tahu isi otak sekertarisnya.
Giselle mengangguk paham, lalu detik berikutnya, wanita itu mulai memasuki kamar yang dikatakan Aiden tadi.
Hal pertama yang Giselle lakukan adalah menyingkap selimut, namun tidak ada. Lalu mencari-cari di bawah bantal, masih tidak ada. Di laci nakas, dan masih tidak ada.
Giselle pusing dibuatnya. Hanya karena sebuah benda tipis persegi panjang, ia terlihat frustasi.
Yah, bagaimana tidak frustasi? Ponsel dengan harga selangit dengan logo apel gigit di belakangnya, hilang entah kemana.
"Kenapa gak telepon aja pake ponsel saya?"
Sebuah usulan dari bosnya yang entah sejak kapan, orang itu sudah berada tepat di belakang tubuhnya. Sangat dekat, hingga Giselle pun merasa sedikit sulit untuk bernapas.
Giselle ingin membalikan tubuhnya ke belakang, namun ia takut tubuhnya dengan dada bidang bosnya bertabrakan. Ia sudah tahu akan jadi seperti apa nantinya jika—
"Lha? Ponsel kamu ada di ruang kerja saya kayaknya," suara Aiden menghentikan pemikiran Giselle tentang mereka.
Dengan gerakan cepat, Giselle berlari keluar dari kamar itu tanpa menghiraukan bosnya dari belakang.
"Lha, tadi gak ada disini?" gerutu Giselle kesal. Ternyata ponselnya berada diatas meja dekat sofa.
Sial. Sumpah demi apapun, Giselle tadi sudah memeriksanya disana. Tapi kenapa tidal ada? Dan sekarang? Mendadak ada disana!?
Giselle mulai curiga terhadap bosnya. Jangan-jangan, Aiden yang menyembunyikan ponselnya?
Ditatapnya penuh intimidasi kearah Aiden yang terlihat santai mengunci kamar yang tadi mereka masuki, lalu memakai kembali jas formal berwarna navy itu di tubuhnya.
Dasi yang semula menggantung ketat di kerah lehernya, kini dilonggarkan sedikit, membuat pemandangan yang tidak pernah Giselle lihat sebelumnya, kini ia menyaksikannya dengan jelas.
Giselle yang awalnya akan mengintimidasi Aiden dengan tatapan mematikannya yang seolah tahu letak kebohongan seseorang, kini wanita itu mulai mengalihkan tatapan intimidasi itu dengan tatapan kagum dan—
"Ngapain kamu mandang-mandang saya?"
Jederr
Seketika itu juga, Giselle ketahuan sedang menatap bosnya dengan tatapan memuja.
Astaga!
Apa gue udah gila?
Mandangin bos sendiri yang notabennya sexy pake banget, aeh, malah ditatap! Udah tahu ganteng plus sexy! Eh, astagfirullah. Dimana harga diri lo, Selle? Giselle mengutuk dirinya sendiri dalam hati.
Hampir saja ia terpesona dengan— lupakan.
"Ma-maaf, Pak. Sepertinya saya akan pulang duluan, permisi." Giselle yang terburu-buru ingin pergi, langsung keluar dari ruang Aiden dengan langkah cepat lalu menyambar barang-barang yang akan ia bawa pulang.
Disisi lain, Aiden tengah tergelak menertawakan sekertarisnya yang terpesona akan tubuhnya yang kelewat sexy.
"Heh, lihat saja nanti, Selle. Saya akan buat kamu bertekuk lutut di hadapan saya,"
To be continue...
Mau lanjut kah? Satu episode dulu aakh... Biar bikini penasaran:* mau di up berapa eps!?😂
Btw, jan lupa tinggalin jejaknya dungs. Like, comments and vote, thank you:*
bantu vote cover nya yuk!
kira2 lebih cocokan yg mna nih!?
komen pke nomor yaa...
1.ini yg aku pke skrng
2.ini yg bikin bingung nih
3.yg ini sama yg atas picture ny sma, cmn beda bentuk text nya doang
4.atau yg ini ya?
komen yaaa... komenan kalian itu membantu bgt!!! okey, see you next time:*
Pagi harinya, tepat pukul enam pagi, seorang wanita dengan pakaian formal yang terlihat rapi, tengah memeriksa benda-benda penting di dalam tas kerjanya.
Wanita itu saat ini tengah berada di salah satu kamar di apartemen luas milik bosnya yang tak lain adalah Aiden.
Dan, ya. Wanita itu adalah Giselle yang kemarin sempat pergi begitu saja setelah ketahuan menatap Aiden dengan tatapan memuja.
By the way, bagaimana bisa wanita itu menginap di apartemen bosnya, jawabannya tentu saja karena kemarin malam ketika dirinya sedang menunggu taksi, tiba-tiba saja Aiden datang menghampirinya dengan sebuah mobil mewah hitam, berdiri di hadapan Giselle dan mengajak wanita itu untuk pulang bersama.
Giselle langsung ikut begitu saja? Tentu saja tidak. Wanita itu malah kukuh ingin pergi naik taksi saja atau tidak, dia bisa naik ojol.
Namun, dengan jahilnya, Aiden menakut-nakuti sekretarisnya tentang makhluk tak kasat mata yang sering berlalu lalang disekitaran kantor jika di malam hari.
Oh, bukan hanya menakuti tentang itu saja. Aiden juga menakut-nakuti wanita itu bahwa disekitaran gedung kantor itu sering ada penculikan, pencopetan, penodongan, dan pembunuhan.
Merasa takut? Tentu saja!
Dengan kaki dan tubuh yang gemetar, akhirnya kemarin wanita itu memasuki mobil Aiden tanpa bicara sepatah kata pun.
Lalu, kenapa Aiden tidak memulangkan saja wanita itu langsung ke apartemennya? Kenapa malah membawanya pulang ke apartemen pribadi pria itu?
Dan jawabannya adalah,
"Kamu menginap di apartemen saya untuk malam ini. Saya lelah jika harus mengantar kamu ke apartemen kamu yang tempatnya berlawanan arah dengan jalan pulang saya,"
Itulah jawabannya!
Kesal? Iyalah!
Tadi saja sebelum Giselle setuju untuk ikut pulang dengannya, terus ditawari sampai ditakut-takuti. Tapi sekarang, giliran Giselle terpaksa ikut, Aiden malah dengan entengnya mengatakan lelah.
Lha? Kalo gitu ngapain ngajak? Kenapa gak ngomong to the point aja, kalo sebenarnya dia cuman mau Giselle menginap di apartemen mewahnya! Ngomong gitu aja susah! Malah berbelit-belit.
Back to topic, Giselle menghela napas panjang setelah mengecek bahwa di dalam tasnya sudah tidak ada lagi barang yang tertinggal.
Tok tok tok
Sebuah suara ketukan pintu kamar mengalihkan perhatian Giselle. Diliriknya, pintu kamarnya yang sudah lama terbuka dengan seorang pria tampan nan tinggi berotot, tengah menatapnya dari sana.
"Eh? Pak Aiden?" pekik Giselle. Lalu tak lama kemudian, Aiden berjalan memasuki kamar yang ditempati sekretarisnya dengan penampilan yang terbilang belum rapi sama sekali. Padahal, pukul tujuh pagi nanti ada rapat penting. Tapi pria itu malah belum bersiap sama sekali.
Terlihat dari pakaian yang ia pakai hanya kemeja putih polos dengan dua kancing teratasnya yang terbuka. Dasinya berada di tangannya, belum dipasang sama sekali. Dan jasnya, tengah ia tenteng dengan lengannya sendiri.
Giselle berdecak sebal pada Aiden. Dengan langkah cepat, wanita itu mendekat pada bosnya hingga jarak keduanya begitu berdekatan.
Dengan cekatan, Giselle memasangkan dua kancing kemeja Aiden yang terbuka. Lalu merapikan kerah kemeja. Kemudian, tangannya mengambil alih dasi yang dipegang Aiden, lalu memasangkan pada kerah kemeja bosnya. Setelahnya, Giselle mengambil alih jas hitam pekat yang ditenteng Aiden di lengan kiri pria itu. Lalu hendak memasangkan, namun terhenti saat melihat kancing bagian pergelangan tangannya yang belum terpasang sama sekali.
Giselle mendengus pelan, lalu menyampirkan jas tersebut pada sebelah bahunya yang kiri, kemudian mengambil alih satu-persatu tangan Aiden untuk mengancingkan pergelangan tangan kemeja bosnya. Setelah selesai memasang kancing, Giselle beralih untuk memasangkan jas di tubuh Aiden dengan gerakan cepat, namun hasilnya terlihat begitu rapi.
Disisi lain, Aiden tengah tersenyum puas dengan sikap Giselle yang selalu sigap dan peka dengan dirinya. Seperti saat ini, Aiden tidak perlu repot-repot mencari alasan, mengapa dirinya belum siap dengan setelan kerjanya.
Buktinya, wanita itu langsung menghampirinya tanpa bicara sepatah kata pun, lalu memasangkan beberapa kancing di kemeja yang ia pakai, memasangkan dasi, dan memakaikan jas ditubuhnya.
Ehm. Sebenarnya, Aiden tadi sudah memasangkan semua setelannya dengan rapi. Namun entah pikiran dari mana, dia ingin Giselle yang memakaikan pakaiannya selayaknya seorang istri pada suami.
Hem, memikirkannya saja membuat Aiden terkikik geli. Bagaimana ya, jadinya, jika Giselle tiba-tiba menjadi istrinya?
"Pak? Bapak gak pa-pa?" sebuah sahutan nyaring dibarengi dengan lambaian tangan di wajahnya, membuat Aiden tersadar dari apa yang baru saja ia lamunkan.
Setelah cukup tersadar, Aiden menatap Giselle dengan tatapan terkejut, namun segera dihilangkan perasaan itu.
"Bapak kenapa? Kok natap saya kayak gitu? Bapak barusan ngelamun, ya?" tanya Giselle beruntun. Tanpa berniat menjauhkan diri dari hadapan Aiden yang kini berjarak hanya beberapa senti saja.
Ya, Aiden memberikan sorot mata terkejut karena ini. Karena dirinya dan juga sang sekretaris saat ini tengah berdiri begitu dekat.
"Ehm." Aiden berdeham, berusaha menyadarkan sekaligus menjauhkan diri dari Giselle.
Tersadar akan apa yang baru saja terjadi, wajah Giselle tiba-tiba saja memerah panas. Jantungnya juga berdetak kencang. Ia malu. Bisa-biasanya ia berdiri dengan begitu dekat di hadapan bosnya.
Tak ingin panjang memikirkan apa yang baru saja terjadi, Giselle memilih meraih tas kerja yang sempat ia taruh sebentar untuk memasangkan kancing, jas dan dasi pada bosnya.
"Pak! Ki-kita harus segera berangkat ke kantor. Sebentar lagi ada rapat penting tentang peluncuran handphone model baru," sahut Giselle. Aiden yang tengah terdiam sedari tadi pun menoleh.
"Tidak mau sarapan dulu?" tanya Aiden.
"Saya tidak usah. Kalau Bapak ingin, saya akan menunggu," jawab Giselle. Aiden nampak menganggukan kepalanya perlahan.
"Ya sudah, kita sarapan di luar saja," ujar Aiden, lalu melenggang keluar dari kamar yang diikuti oleh wanita itu di belakang.
"Jangan lupakan berkas-berkas penting yang harus kamu bawa nanti ke acara rapat." ucap Aiden disela berjalan keluar kamar yang ditempati Giselle.
****
Sesampainya Aiden dan Giselle, sang sekretaris di depan gedung besar nan tinggi, kedatangannya disambut hangat oleh para pegawai yang berlalu lalang di lantai lobi.
Aiden tidak membalas sambutan—bungkukan hormat— mereka. Dia hanya memasang wajah tembok, lalu melenggang memasuki lift eksekutif yang diikuti Giselle, sang sekretaris di belakangnya.
Ketika mereka berdua memasuki lift tersebut dan pintu lift-nya tertutup, Giselle dengan cekatan menekan tombol teratas lantai gedung lalu menunggu beberapa saat.
Ting!
Lift pun akhirnya terbuka. Giselle lalu mempersilakan bosnya, Aiden untuk keluar lebih dahulu setelah itu, baru dirinya.
"Jangan lupa berkas yang saya suruh tadi, kamu gak lupa bawa, 'kan?" sahut Aiden tiba-tiba memberhentikan langkah kakinya di depan meja kerja kebesaran Giselle.
"Saya tidak lupa, Pak. Saya membawanya," ujar Giselle sembari mengeluarkan isi beberapa berkas penting dari dalam tas.
Aiden memerhatikan dengan teliti isi dari berkas itu, lalu mengangguk beberapa kali disela kegiatan yang dilakukannya.
"Oke. Saya keruangan saya dulu," lalu Aiden kembali meletakan berkas itu diatas meja kerja Giselle. Kemudian melenggang memasuki ruang kerja dengan bertuliskan CEO tepat didepan pintu tersebut.
****
Saat rapat,
"Untuk peluncuran model terbaru handphone yang dirancang khusus di perusahaan kami yang di luar negeri, kami memberikan beberapa keunggulan khusus dan kelebihan-kelebihan dari merek kami yang tidak dimiliki merek handphone lain. Khususnya... Bla bla bla bla..."
"...Jadi kami berharap, bulan depan model terbaru dari merek kami dapat di luncurkan segera..."
Aiden terus memerhatikan Giselle yang berdiri di hadapan para eksekutif yang berdiam diri di tempat sembari memerhatikan dan membaca ulang berkas yang diterima mereka dari wanita yang tengah menjelaskan secara rinci mengenai produk alat komunikasi yang nama dan harganya yang tengah melambung tinggi di dunia. Salah satunya Indonesia.
Mereka terus memerhatikan, sesekali mereka mengangguk merasa hal yang disampaikan wanita itu di depan sana begitu memuaskan.
"Ada yang ditanyakan?" tanya Giselle, setelah sesi menjelaskannya pada beberapa eksekutif selesai.
Giselle menatap satu-persatu eksekutif. Dirasa tidak ada pertanyaan yang ingin mereka tanyakan, Giselle pun melanjutkan ucapannya,
"Jika tidak ada yang ditanyakan, mungkin dicukupkan sekian penjelasan hari ini. Saya pamit undur diri." ujarnya sembari menunduk hormat.
Kini beralih pada Aiden yang siap mengeluarkan ucapannya. Bukan pendapat, melainkan dia akan membubarkan rapat hari ini dicukupkan sampai disini.
"Ya, rapat kita selesai sampai disini." ucap Aiden, lalu melenggang meninggalkan ruang rapat diikuti Giselle di belakangnya.
****
"Bagaimana?" tanya Aiden ketika melihat ekspresi wajah Giselle yang terlihat masih tegang setelah rapat berakhir.
Fyi, Aiden dan Giselle tengah berada di ruang CEO, dengan Aiden yang terduduk santai di kursi putarnya dan sang sekretaris yang berdiri tegap dihadapan meja kerjanya.
"Saya masih tidak percaya, ternyata saya berhasil menyampaikan hal itu dengan lancar. Padahal, saya sangat gugup tadi," aku Giselle yang mendapat kekehan kecil dari Aiden.
"Padahal ini bukan yang pertama," cetus Aiden. Giselle tampak beralih menatapnya.
"Tetap saja, menurut saya itu bukan hal yang mudah, Pak! Apalagi, saya 'kan jadi sekretaris Bapak baru tiga bulan."
"Iya-iya. Terserah kamu, Selle. Oh iya, mau sarapan bareng?" tanya Aiden mengalihkan pembicaraan. Giselle terlihat menimbang isi pikirannya, lalu tatapannya beralih menatap Aiden.
"Bapak ngajak saya?"
"Bukan, tapi ngajakin sekretaris saya yang hampir pingsan gara-gara gugup setengah hidup." ucap Aiden yang langsung mendapat cebikan bibir dari Giselle.
"Ah, kelamaan kamu mikirnya," Aiden yang geram karena Giselle yang belum mengiyakan ajakannya, langsung saja berdiri dari kursi putar lalu menarik pergelangan tangan Giselle dan membawanya untuk segera pergi mencari sarapan.
"Pak? Kita mau makan dimana?" tanya Giselle, disela ia berjalan dibelakang Aiden yang masih menggenggam tangannya.
"Dimana aja. Yang penting makannya cuman kita berdua aja," jawab Aiden yang sontak membuat Giselle mematung di tempat, tapi masih melangkahkan kakinya mengikuti Aiden.
To be continue...
Maaf ya, baru up!
Sbnrnya, kmren mau di up, tapi gegara naskah yg blum selesai tiba2 hilang gk tahu kmna, (ditambah kuotanya bari diisi) jdinya aku ngetik lgi dari awal, huhuu... Untungnya blum banyak, tpi ttp aja benci akutuhhh... Lgi di draf, tiba2 aja hilang. Ngeness serius dah! Btw, mau di up lagi kah? Jan lupa tinggalin jejak yee... Thank youhh so muchhh:*
"Gimana? Enak, gak?" sahut Aiden, ketika dirinya dan juga sang sekretaris tengah melakukan acara sarapan disebuah restaurant.
Oh, mungkin sekarang sudah bukan pagi lagi, tidak cocok disebut sarapan. Anggap saja, makan siang pengganti sarapan.
"Ehm... Enak banget, Pak! Saya baru tahu kalo di deket gedung kantor ada restaurant yang makanannya enak banget kayak gini," ujar Giselle sembari mengunyah makanannya hingga kuah dan bumbu dari makanan itu tertinggal sebagian diujung bibir wanita itu.
Aiden yang melihatnya hanya tertawa kecil. Sekretarisnya ini memang memiliki sisi unik yang tidak dimiliki wanita mana pun.
Wanita lain yang biasanya akan memesan makanan yang mahal dan mewah, dengan gaya makannya yang tentu terbilang elegan, tapi itu tidak berlaku bagi Giselle.
Saat Aiden tadi menyuruhnya memesan apapun yang dia mau, Aiden berpikir, pasti wanita itu akan memesan makanan mahal yang kelihatannya unik. Tapi dalam hati, Aiden tidak masalah. Keluar uang segitu mah, bukan apa-apa! Tapi yang membuatnya kagum sekaligus terkejut, wanita itu memesan kuah soto dengan di dalamnya terlihat seperti tulang hewan.
Hei! Kenapa Aiden baru tahu, kalau di restaurant mewah ini juga ada sajian kuah soto!?
Dan, yah. Aiden semakin terkejut saat melihat betapa lahapnya wanita itu melahap kuah soto yang disatukan dengan nasi putih. Giselle tidak terlihat jaim, malah wanita itu terlihat masa bodo dengan lingkungan sekitarnya yang melihat betapa lahapnya dia makan.
"Pelan-pelan makannya," Aiden lalu menyodorkan es teh pesanannya kearah Giselle yang terlihat menjeda dahulu acara mengunyahnya.
"Hm, kok makanannya belum di makan, Pak?" tanya Giselle, setelah membersihkan mulut dan bibirnya dengan tisu yang tersedia disana.
"Ini juga mau di makan. Cuman, saya tadi lagi asyik merhatiin kamu yang makannya lahap banget," Aiden lalu menyunggingkan senyuman manisnya yang selalu dia tampilkan hanya pada orang tertentu saja. Khususnya ya, Giselle.
Giselle membeku mendapat jawaban jujur sekaligus senyuman manis dari bosnya. Jawaban yang sungguh membuat jantungnya berpacu dua kalu lipat dari biasanya.
Tak sadar, pikirannya berasumsi, apa si bos suka sama gue?
"Eh!" tiba-tiba Giselle tersadar akan apa yang baru saja ia pikirkan dalam otaknya.
Mana mungkin dia suka sama lo, Selle. Palingan cuman becanda doang, batinnya mulai menjauhkan pikiran aneh tentang bosnya.
Setelah cukup lama bergelut dengan pikirannya, Giselle kembali melanjutkan sesi makannya tanpa suara.
****
"Oh iya, Selle!" panggilan dari Aiden ketika dia dan juga sang sekretaris tengah berada di dalam mobil, hendak menuju gedung kantor setelah menyelesaikan acara makan mereka di restaurant tadi.
"Iya, Pak?" jawab Giselle yang berada duduk di samping Aiden.
"Kabar mama gimana?"
"Mama saya?" tanya Giselle memastikan, Aiden hanya mengangguk sembari terus fokus pada jalanan di depannya.
"Baik. Tapi, masih perlu di rawat di rumah sakit. Kata dokter, masih perlu perawatan lebih," ujarnya yang mendapat anggukan dari Aiden.
"Kapan kamu mau jengukin mama?" tanya Aiden lagi. Giselle terlihat berpikir sejenak, lalu melirik sekilas kearah bosnya yang tengah sibuk memerhatikan jalanan di depan.
"Hm, besok pagi, mungkin." jawab Giselle. Sontak Aiden mengerutkan dahinya sembari melirik sekilas kearah Giselle.
"Mungkin?!" beonya. Giselle terlihat tersenyum ragu sembari menunduk menatap kedua tangannya yang ia taruh diatas pangkuannya.
"Iya, Pak. Takutnya ada pekerjaan mendadak yang mengharuskan saya membantu Bapak. Jadi.., tergantung kondisi." Aiden tampak manggut-manggut di tempat seraya terus fokus menyetir.
"Ajak saya juga, ya," ucap Aiden tiba-tiba.
"Ma-maksudnya?"
"Iya. Ajakin saya juga pas jengukin mamanya," 'kan dia calon mama mertua saya, tambah Aiden dalam hati.
Ingin pria itu berkata kalimat itu langsung, tapi ia sadar. Pasti sekretarisnya akan menganggap perkataannya adalah lelucon. Mengingat, selera humor Aiden selalu tinggi jika berdua saja dengan Giselle.
"Hm... Boleh. Itu pun, kalau Bapak gak keberatan," jawab Giselle seraya memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi.
Aiden melihat itu. Wajah berseri-seri dari sekretarisnya yang selalu mampu menghipnotis Aiden dimanapun dan kapanpun. Giselle memang selalu cantik, batin Aiden.
"Saya gak akan keberatan. Toh, saya yang mau," balas Aiden. Lalu setelahnya, suasana di dalam mobil menjadi sunyi.
****
Sorenya, pukul 17:00
Ting!
Bunyi notif dari sebuah ponsel berwarna putih dengan logo apel gigit di belakangnya, membuat seorang wanita yang sibuk dengan layar komputer di hadapannya, menoleh sejenak kearah benda pipih persegi panjang itu.
Chelsea? Batin sang wanita sedikit terkejut. Wanita yang tak lain adalah Giselle itupun langsung meraih handphone-nya untuk membuka pesan dari Chelsea, yang tak lain adalah sahabatnya semenjak SMA sampai saat ini.
Chelsea
Seseeeeellll...
Giselle tertawa kecil membaca chat WhatsApp dari Chelsea. Ia tidak berniat membalasnya. Hem, biarkan ibu dua anak itu yang terus menghubunginya. Pikir Giselle.
Chelsea
Ih, kok di read doang sih?
Chelsea
Bales, elaah...
Giselle
Yooy! Apaan Bu?
Giselle terkikik geli menatap balasan yang baru saja ia kirim pada ibu dua anak itu. Karena belum mendapat balasan apapun, Giselle menaruh kembali handphone-nya di tempat semula.
Ting!
Sebuah notif WhatsApp kembali terdengar. Giselle menghela napasnya sebelum wanita itu membuka pesan chat itu.
Chelsea
Nnti malem ada wktu gk?
Giselle
Jam berpa?
Chelsea
Jam 7 malem!?
Giselle
Hem, keknya enggk. Knpa?
Chelsea
Mkan malem di rumah gue yuk! Skalian, ajak bos lo itcuu...
Giselle menahan tawanya ketika membaca balasan terakhir yang dikirimkan Chelsea padanya. Ia ingin tertawa terbahak-bahak, namun ia masih ingat, dimana ia sekarang.
"Udah punya dua anak, masih aja sok gaul ngomongnya. Pake lo-gue lagi," dumel Giselle, sembari mencebikkan bibirnya. Lalu ia pun kembali membalas pesan chat itu.
Giselle
Ada acara apa nih😃
Tmben lo ngajakin gue?
Chelsea
Ada deng!😋
Pokoknya lo hrus dteng!
Titikkk
"Idih! Pake bales emot, lagi." gumam Giselle.
Tanpa terasa, Giselle dan Chelsea saling membalas chattingan sampai setengah jam lamanya. Dan tanpa sadar juga, Giselle sudah melupakan beberapa tugasnya yang harus segera di kumpulkan besok pagi-pagi sekali.
Dan tanpa sepengetahuannya, sedari sepuluh menit yang lalu, seseorang tengah berdiri diambang pintu bertuliskan CEO dengan pakaian yang hanya mengenakan kemeja putih polos dengan bagian lengan yang di gulung hingga sampai siku. Dan jangan lupa, kedua lengannya yang dilipat di depan dada, sembari menyandarkan punggungnya ke tembok. Oh, jangan lupakan juga sebuah kacamata oval yang sengaja dipakai sedikit melorot yang bertengger di tulang hidungnya. Kedua matanya sedari tadi tak henti-hentinya menatap lekat gerak-gerik sang sekretaris yang terlihat asyik dengan layar handphone-nya yang terus menyala.
"Sudah selesai?" sahut Aiden tiba-tiba.
Giselle yang tengah sibuk dengan dunianya sendiri pun terkejut mendengat sahutan itu. Sampai-sampai, handphone ditangannya terlepas begitu saja dari genggaman.
"E-eh? Pak?" pekik Giselle gugup. Mendapati sang bos alias CEO-nya a.k.a Aiden, tengah berada di hadapan, berdiri sembari menyandarkan punggungnya di tembok dengan kedua lengan yang sepertinya sengaja di lipat di depan dada.
"Dokumen yang saya suruh kamu kerjakan, sudah selesai?" tanya Aiden datar. Tidak seperti biasanya.
Duh... Pasti si bos marah ini! ****** gue mampuuusss!!! Giselle membatin.
"Se-sedikit lagi, Pak!" jawab Giselle sembari menegakkan cara berdirinya dan menundukan kepala.
Aiden pun manggut-manggut di tempat, lalu merubah posisi santai dengan berdiri sembari membetulkan kacamata ovalnya.
"Dibiarkan dulu juga tidak apa-apa. Meating-nya diundur jadi tiga hari ke depan. Kamu masih punya waktu," ujar Aiden. Lalu menyunggingkan senyuman manis pada Giselle. Seolah, bahwa raut wajah dinginnya yang tadi adalah sebiah lelucon yang hanya ingin mengerjai sang sekretaris dengan tampang dinginnya.
"Ini sudah sore. Kamu gak pulang?" sahut Aiden, ketika wanita di hadapannya ini tidak mengeluarkan kata-kata setelah apa yang ia katakan sebelumnya.
"H-hah? E-eh, pulang?" ulang Giselle yang mendapat anggukan kepala dari Aiden.
"Jadwal kerja saya sudah tidak ada lagi, kamu bisa pulang hari ini. Jangan lupa mandi terus bersiap setelah dari kantor. Jam setengah tujuh malam saya jemput," ucap Aiden sembari tersenyum, lalu melenggang memasuki ruangan CEO. Meninggalkan Giselle yang terdiam melongo di tempat. Wanita itu belum paham dengan apa yang diucapkan bosnya barusan.
"Dijemput?" beonya. Lalu ia segera menggelengkan kepala untuk mengenyahkan lebih lanjut tentang ucapan bosnya barusan.
Mkan malem di rumah gue yuk! Skalian, ajak bos lo itcuu...
Seketika, bayangan salah satu pesan chat dari Chelsea tiba-tiba saja terputar otomatis di otaknya. Giselle lalu membulatkan kedua matanya, seakan baru tersadar bahwa ucapan dari Aiden, berhubungan dengan isi pesan chat dari Chelsea.
Apa jangan-jangan... Si bos mau ngajakin gue pergi bareng ke rumah Chelsea?
"Masa sih!" gumam Giselle dengan nada suara yang cukup keras.
Tak lama, wanita itu tersadar lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru lorong kantor.
Tidak ada siapa-siapa!
Selamat...
Gak ada yang menyaksikan tingkah aneh dirinya.
Epilog:
"Sayang?" panggil Kenan pada sang istri yang tengah sibuk menyusui Kenzo di kamar keduanya.
"Hm?" jawab Chelsea sembari melirik sekilas kearah suaminya. Kenan.
"Kamu jadi mau ajakin temen kamu itu, buat makan malem bareng kita?,"
"Iya, emang kenapa? Gak pa-pa, 'kan? Kamu juga sekalian suruh temen kamu yang dari Swiss itu, siapa sih, namanya," ujar Chelsea sedikit tak ingat dengan nama sahabat dari Kenan yang sempat datang menjenguknya ketika di rumah sakit tiga bulan yang lalu.
"Aiden? Tenang aja, udah aku ajak kok sayang," kata Kenan. Lalu tiba-tiba saja ia memeluk erat tubuh istrinya.
Chelsea sedikit kaget. Diliriknya Kenzo sang anak, sudah terlelap digendongannya.
"Jangan peluk tiba-tiba gitu dong, sayang. Gimana kalo Kenzo bangun? Udah tahu anaknya yang bungsu ini manja banget kayak kamu," cetus Chelsea. Lalu beranjak dari tempat tidur, hendak menidurkan sang anak di dalam boks bayi yang berisikan Kanza yang masih setia terlelap.
"Kamu mah manjain Kenzo mulu. Manjain akunya kapan," ucap Kenan sok sedih sembari memanyunkan bibirnya.
"Kapan-kapan," balas Chelsea jutek. Lalu kembali kearah tempat tidur, hendak merebahkan dirinya sejenak, karena dilihatnya jam masih sore. Masih ada waktu untuk istirahat satu jam.
Kenan yang melihat istrinya sudah menyelimuti diri, ikut masuk ke dalam selimut lalu memeluk tubuh istrinya yang berbaring membelakanginya.
"Kalo mau tidur tuh, ngajak-ngajak dong, sayang. Jangan main sendiri aja, gak seru." bisik Kenan. Tepat di depan telinga Chelsea.
To be continue...
Nihh... Siapa yg kangeun Kenan Chelsea???? Aku sih kangen pke bgttt!!! Hehee, jdi aku msukin part Chelsea Kenan ny kesini. Cmn beberapa kata kok. Gk banyakk!!
Jan lupa tinggalin jejakkk!!!
Aiden
Giselle
Chelsea
Kenan
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!