Ziana tersenyum manis saat pesawat yang ia tumpangi mendarat di bandara tanah air. Ia sangat bahagia ketika membayangkan, beberapa jam lagi, dia akan bertemu dengan suami yang sangat ia cintai, setelah satu bulan ia tinggalkan karena urusan bisnis ke luar negeri.
Sebelumnya, Zia sudah menghubungi Rama suaminya. Ia mengatakan pada Rama, kalau dirinya akan pulang ke tanah air satu minggu lagi. Namun nyatanya, dia pulang lebih awal.
Zia sengaja tidak memberitahukan pada Rama
soal kepulangannya ini. Ia ingin memberi kejutan pada Rama. Ia ingin melihat ekspresi bahagia Rama saat melihat ia kepulangannya.
"Aku udah gak sabar lagi ingin bertemu mas Rama. Ia pasti sangat kaget saat melihat aku pulang lebih cepat dari waktu yang aku katakan," kata Zia sambil menaiki taksi online yang ia pesat beberapa menit yang lalu.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, Zia terus saja tersenyum. Bayangan Rama yang bahagia melihat kepulangannya, terus saja bermain-main di benak Zia. Membuat hati Zia semakin tidak sabaran untuk segera sampai ke rumah.
"Bisa lebih cepat sedikit lagi gak pak? Soalnya, saya buru-buru," kata Zia pada sopir tersebut.
"Sabar, mbak. Saya harus menjaga keselamatan kita berdua. Keselamatan itu hal yang paling utama dalam berkendaraan," ucap pak sopir menasehati Zia.
"Ya pak, saya tahu. Cuma saya sedang buru-buru nih."
"Sabar mbak. Sebentar lagi kita sampai," kata sopir itu seakan mengerti apa yang Zia rasakan.
Baru saja mereka ingin mencapai pintu gerbang rumah Zia, mobil hitam milik Rama keluar. Zia meminta sopir itu berhenti saat melihat Rama meninggalkan rumah mereka.
"Berhenti sebentar, pak!"
"Mau ke mana mas Rama?" tanya Zia pada dirinya sendiri.
"Ada apa, mbak? Kenapa kita harus berhenti?" tanya sopir itu heran.
"Saya melihat mobil suami saya meninggalkan rumah. Bisakah bapak mengikuti mobil yang berada di depan kita itu?" tanya Zia sambil menunjuk ke arah depan.
"Baik, mbak."
Tanpa membuang banyak waktu lagi, sopir itu langsung menjalankan mobil untuk mengikuti mobil Rama yang telah berjalan beberapa meter di depan mereka.
"Ikuti terus, pak. Jangan sampai kita kehilangan mobil suami saya itu," kata Zia terus melihat ke depan.
"Ya, mbak."
Mereka terus mengikuti mobil Rama hingga mobil itu memasuki sebuah perkomplekan, dan, mobil itu berhenti di depan sebuah rumah yang letaknya paling ujung dalam kompleks tersebut.
"Rumah siapa yang ingin mas Rama kunjungi? Aku tidak pernah ia ajak ke sini sebelumnya," kata Zia sambil terus memperhatikan mobil suaminya.
Rama memarkirkan mobilnya di garasi samping rumah tersebut. Lalu, ia keluar dari mobil sambil membawakan dua kantong plastik di tangannya.
Seorang perempuan menyambut Rama di depan pintu sambil tersenyum. Perempuan itu menyalami dan mencium punggung tangan Rama dengan sopan, layaknya seorang istri pada suami.
Rama tersenyum, ia menyerahkan kantong plastik yang ia bawa pada wanita itu. Lalu, yang sangat tidak bisa Zia terima adalah, Rama merangkul bahu wanita itu dengan sangat mesra.
Melihat semua itu, ada rasa sakit dalam hati Zia. Rasa sakit yang terlalu perih. Bagaikan tertusuk seribu duri tajam, yang merobek hancur hati Zia.
Zia berusaha tetap tegar. Ia tidak ingin berburuk sangka terlebih dahulu pada suaminya. Walaupun apa yang ia lihat barusan, sudah jelas kalau ada sesuatu yang tidak beres pada suaminya dan wanita barusan. Dia tidak punya bukti jelas, jika ingin mengatakan kalau suaminya sedang berselingkuh dengan wanita itu.
Untuk membuktikan apa yang sebenarnya terjadi. Zia mencoba menghubungi nomor suaminya. Namun sayang, Rama tidak menjawab panggilan dari Zia. Zia mengulangi beberapa kali, namun tetap saja. Rama tidak mengangkatnya.
Seorang ibuk-ibuk lewat tak jauh dari mobil yang Zia tumpangi. Karena rasa penasaran yang terlalu kuat, Zia memberhentikan ibuk-ibuk tersebut.
"Buk-buk, tunggu sebentar."
"Ya, mbak. Ada apa?" tanya ibu-ibu itu.
"Boleh nanya sesuatu nggak?"
"Boleh mbak. Mau nanya apa?"
"Ibu tahu gak, siapa yang tinggal di rumah yang paling pojok itu?" tanya Zia sambil mengarahkan telunjuknya ke arah rumah tersebut.
"Oh, iya mbak saya tahu. Mereka penghuni baru di kompleks ini. Pak Rama sama istrinya."
"Is--istri?" tanya Zia gelagapan karena menahan sakit.
Istri. Kata yang sangat menyakitkan buat hati Zia, sampai-sampai, dia lupa kalau saat ini dia sedang tidak sendirian. Ada orang lain di depannya. Zia menitikkan air mata sambil menutup mulutnya, membuat ibu-ibu yang berada di depan menjadi kaget.
"Mbak kenapa, mbak? Apa yang terjadi?" tanya ibu-ibu itu sambil menyentuh bahu Ziana.
"Ti--tidak ada. Terima kasih banyak, buk, sudah menjawab pertanyaan saya." ucap Zia sambil menyeka air matanya.
"Sama-sama," kata ibu-ibu itu dengan wajah aneh menatap Zia.
Zia tidak menghiraukan tatapan aneh tersebut. Yang ada dalam hatinya saat ini adalah rasa sakit yang teramat sangat. Sehingga ia lupa segalanya.
"Jalan, pak!" kata Zia pada sopir taksi online tersebut.
"Baik, mbak." Sopir itu menjalankan perintah tanpa banyak bertanya. Mereka meninggalkan perkomplekskan segera.
Ziana terus saja menangis membayangkan apa yang baru saja ia lihat. Dua tahun usia pernikahan mereka, Rama selalu membawakan rasa nyaman juga ketenangan dalam hatinya. Keluarga mereka bisa dikatakan keluarga harmonis selama dua tahun ini.
Selama ini, Ziana mempercayai semua yang suaminya katakan. Tidak terbesit sedikitpun rasa curiga dalam hati Zia. Apalagi terbesit kalau Rama akan menduakan cinta sucinya seperti saat ini. Hal itu lebih tidak terlintas sedikitpun dalam hati Zia.
Tidak ada sedikitpun masalah yang menjamah keluarga mereka selama usia dua tahun pernikahan. Soal mereka yang belum memiliki anak, itu bukan karena Zia tidak bisa hamil. Tapi karena Rama yang masih belum bersedia untuk memiliki anak. Alasannya, karena mereka sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Rama kasihan pada Zia yang selalu sibuk dengan urusan kantor, sama seperti dirinya. Mereka berdua punya jabatan masing-masing. Ziana adalah pemimpin perusahaan. Dia seorang CEO yang handal dalam memimpin perusahaannya. Sedangkan Rama, dia juga seorang pemimpin di perusahaan keluarganya.
Dulu, mereka bertemu di sebuah perusahaan dalam rangka memperebutkan sebuah kontrak kerja sama dari satu perusahaan. Tentu saja Ziana yang mendapatkan kontrak penting tersebut.
Meskipun merasa kesal, tapi Rama tidak menyimpan dendam. Saat ia melihat Ziana berada dalam kesulitan, ia dengan senang hati menolong gadis itu.
Saat ingin kembali ke perusahaannya, mobil Zia mogok. Entah apa sebabnya, sehingga mobil itu tidak bisa ia nyalakan. Karena Rama hobi dalam bidang otomotif, tapi tidak mendapatkan dukungan dari orang tua, jadi dia mengerti sedikit tentang masalah mobil.
Rama berbesar hati menawarkan bantuan pada Zia. Yang awalnya, bantuan itu ditolak mentah-mentah oleh Zia. Tapi pada akhirnya, ia menerima juga bantuan dari Rama tersebut.
Kejadian itulah yang menyebabkan mereka bersatu, hingga ke pelaminan. Saling berjanji sehidup semati, dalam suka maupun duka. Saling berusaha melengkapi setiap kekurangan. Dan, semua itu berhasil berjalan dengan sempurna, hingga dua tahun usia pernikahan. Sampai, hari ini datang.
"Kita mau ke mana, mbak?" tanya sopir taksi tersebut, menyadarkan Ziana dari lamunan tentang semua kehidupan yang telah ia lalui bersama Rama suaminya.
Zia menghapus air mata yang jatuh di pipinya sebelum iya menjawab pertanyaan sopir taksi tersebut. Ia berusaha mengumpulkan kesadarannya yang hampir hilang akibat rasa sakit yang menyerang hatinya saat ini.
"Kita ke jalan nanas sekarang, pak!"
"Baik, mbak."
Zia membatalkan niatnya untuk pulang ke rumah. Ia memilih pulang ke apartemennya sekarang. Rencana kejutan yang ia siapkan untuk Rama, ia batalkan begitu saja.
Zia juga tidak akan menuduh Rama secara langsung meskipun dia sudah tahu apa yang telah Rama lakukan di belakangnya. Ia akan membuat Rama mengakui sendiri apa yang telah Rama lakukan. Zia ingin Rama merasa bersalah, juga menyesali semua perbuatannya yang telah mengkhianati janji suci pernikahan mereka.
Ini bukan karena ia lemah dan tunduk pada Rama atas nama cinta. Tapi ia ingin memberikan efek jera yang sangat membekas buat Rama. Biar Rama mengerti, seperti apa dirinya yang sesungguhnya.
Taksi yang ia tumpangi berhenti tepat di depan apartemen. Kebetulan, apartemen itu letaknya di depan jalan nanas. Apartemen ini adalah apartemen milik keluarga Ziana. Dulu, ketika ia sekolah, ia tinggal di sini. Alasannya karena dia ingin jadi anak yang mandiri. Makanya, ia sudah memisahkan diri saat masih remaja.
"Terima kasih, pak," ucap Ziana sambil membuka pintu mobil tersebut.
Setelah mengeluarkan barang-barang yang ia bawa. Zia berjalan menuju apartemennya. Baru saja ia ingin membuka pintu apartemen itu, ponselnya berdering, menandakan ada sebuah panggilan masuk yang harus ia jawab.
Zia mengeluarkan ponsel tersebut dari tasnya. Di sana tertera nama suamiku yang sedang memanggil. Zia terdiam menatap layar ponsel tersebut. Rasa sakit itu terlalu besar, sehingga ia tidak sanggup untuk berbicara dengan Rama untuk saat ini.
Setelah panggilan pertama tidak mendapat jawaban, Rama melakukan panggilan kedua. Ia mencoba menghubungi Zia sampai beberapa kali. Namun Zia tetap tidak mengangkatnya.
Merasa tidak dapat jawaban. Rama segera mengirim pesan singkat pada Ziana.
*Sayang, kamu di mana? Lagi sibuk ya sekarang? Nanti, kalo udah gak sibuk, hubungi aku ya. Aku tunggu. I love you, sayang.*
Begitulah isi pesan singkat yang Rama kirimkan pada Zia. Ia bersikap semanis mungkin sehingga Zia merasa semakin sakit saat pesan singkat itu datang. Entah apa yang ada dalam benak Zia saat ini, ia tiba-tiba saja memilih menghubungi Rama.
"Halo sayang," ucap Rama di seberang sana.
"Ha--halo, mas. Kamu lagi apa?" tanya Zia sambil menahan rasa sakit yang ada dalam hatinya.
"Aku lagi duduk-duduk aja, sayang. Kalo kamu, sayang?"
"Sama." Zia menjawab singkat.
"Sayang, kamu baik-baik aja, kan?" Rama bertanya dengan nada cemas. Soalnya, Zia tidak pernah bicara dengan nada cuek dan singkat seperti itu.
"Aku, baik-baik saja." Zia mengigit bibirnya agar isak tangisan tidak terdengar oleh Rama.
"Mas, tadi kamu ke mana? Kok gak jawab panggilan aku?"
"Oh, itu, aku lagi ke rumah mama, sayang. Mama sedang tidak enak badan. Jadinya, aku bawa mama ke rumah sakit. Aku lupa bawa ponsel ku tadi. Maaf ya."
'Apa kamu bilang, kamu ke rumah mamamu? Heh, yang benar saja, mas Rama. Jadi, selama ini, seperti inilah kamu membohongi aku, mas?' tanya Zia dalam hati. Kini, hatinya semakin hancur saja rasanya.
"Sayang." Rama memanggil Zia karena setelah jawaban itu, ia tidak mendengarkan suara Ziana lagi.
"Sayang, kamu baik-baik aja bukan? Ada apa sih sayang? Jangan buat aku cemas, dong?"
"Aku baik-baik saja, mas. Oh ya, sudah dulu. Aku banyak urusan yang harus aku selesaikan."
"Ya sudah. Jangan lupa makan dan juga jangan lupa istirahat, ya sayang. Satu lagi, jangan lupakan, mas di sini. Mas kangen banget sama kamu. Cepat pulang ya," kata Rama bicara dengan nada semanis mungkin. Seolah-olah, ia memang suami terbaik yang sangat merindukan istrinya.
"Ya." Zia menjawab singkat, lalu mematikan sambungan ponselnya.
"Sayang, kamu lupa .... "
"Yah, kamu lupa kiss nya, sayang," kata Rama sambil melihat layar ponselnya.
Rama merasa ada yang aneh dengan Ziana hari ini. Selama ia mengenali Zia, Zia istrinya tidak pernah seperti ini. Walau sesibuk apapun Zia, ia tidak pernah mengabaikan Rama. Ia selalu punya waktu dan cara untuk membuat Rama bahagia.
Sementara itu, Zia menangis di sudut apartemennya. Dengan memeluk kedua lutut, Ziana menyalurkan semua kesedihan melalui air mata yang mengalir deras.
"Kamu jahat mas Rama. Kamu sangat jahat!" ucap Ziana sambil memeluk erat lututnya.
Hampir tiga puluh menit lamanya, Zia berdiam diri dengan menyembunyikan wajah pada kedua lututnya. Sebuah panggilan masuk, menyadarkan Zia akan apa yang ia lakukan.
Ziana dengan sangat malas bangun, lalu mengambil ponselnya yang ia lempar di atas kasur tadi. Di sana tertera nama Restu, sekretaris sekaligus tangan kanan yang sangat Zia percayai. Ia tangan kanan yang bisa Zia andalkan selama ini. Tugas yang Zia berikan, selalu bisa ia selesaikan dengan baik.
Ziana mengangkat panggilan itu dengan cepat. Terdengarlah suara seorang laki-laki yang sedang berada di seberang sana.
"Halo, mbak Zia. Mbak di mana sekarang?" tanya Restu di seberang sana.
"Aku .... "
"Mbak, ada apa? Mbak Zia kenapa?" tanya Restu cemas.
"Aku baik-baik saja, kok Restu." Zia menarik napas panjang.
"Bisa kamu datang ke sini? Ke apartemenku di jalan Nanas. Aku di apartemen sekarang."
"Ba--baiklah, mbak. Aku akan ke sana sekarang."
Meskipun merasa penasaran dengan apa yang telah terjadi pada Ziana, tapi Restu memilih tidak mengulangi pertanyaannya pada Zia. Setelah sambungan telepon terputus, ia bergegas meninggalkan rumahnya menuju alamat yang Zia katakan.
Sementara itu, Rama masih terduduk bingung memikirkan apa yang baru saja terjadi. Perubahan Zia barusan, membuat hatinya merasa tidak tenang. Ia merasa, ada sesuatu yang tidak beres terjadi pada Zia saat ini. Zia sepertinya sedang menyembunyikan sesuatu darinya.
Dalam kebingungan itu, Sinta datang. Sinta adalah mama Rama. Saat ia melihat anaknya tidak menyambut kedatangannya, ia merasa ada heran. Ia menghampiri Rama yang sedang duduk di atas sofa ruang keluarga.
"Ram." Sinta memanggil Rama sambil menyentuh pundaknya.
"Eh, mama. Kapan mama datang?" tanya Rama agak kaget dengan kehadiran sang mama.
"Baru aja. Mama panggil-panggil kamu, tapi kamu nya gak muncul-muncul juga. Untung ada bik Imah yang bukain pintu, kalo nggak, mungkin mama bisa jamuran nungguin kamu di luar," kata Sinta sambil duduk di samping Rama.
"Maaf, Ma. Aku gak dengar."
"Ya iyalah kamu gak dengar Ram, orang kamu melamun di sini. Mana mungkin mendengarkan panggilan mama."
Rama tidak menanggapi apa yang mamanya katakan. Ia malahan melanjutkan lamunannya yang sempat terhenti akibat kedatangan mamanya.
Merasa diabaikan, Sinta melihat Rama dengan tatapan penuh pertanyaan. Ia mencari sesuatu yang tidak beres dari anaknya ini. Namun, ia tidak menemukan apa yang ia cari.
"Rama, kamu kenapa sih? Ada masalah apa sampai kamu mengabaikan mama?"
"Maaf, Ma. Aku tidak mengabaikan mama kok. Aku hanya sedang memikirkan tingkah Zia yang rasanya agak aneh hari ini."
"Aneh, aneh kenapa?"
"Ziana agak cuek saat bicara dengan ku barusan, Ma. Aku merasa, ada sesuatu yang ia sembunyikan dari aku."
"Aduh, gak usah kamu pikirkan sikap istri pertama kamu itu, Rama. Mungkin, sekarang kamu baru sadar kalau istri pertama kamu itu memang rada aneh."
"Maksud mama apa sih, Ma? Ziana gak aneh, Ma. Cuma aku saja yang mungkin terlalu merindukan dirinya, makanya aku merasa ada yang lain dari Zia."
"Cih, merindukan kamu bilang. Ngapain juga kamu merindukan seorang istri yang tidak bisa memberikan keturunan buat rumah tangga kamu. Mendingan kamu pikirkan Laila, istri kedua kamu itu. Bukankah saat ia dia sedang hamil muda? Dia itu butuh banyak perhatian dari kamu, Ram."
Rama terdiam. Ia memikirkan Ziana saat ini, bukan Laila. Setelah pernikahannya dengan Laila tiga bulan yang lalu, ia dihantui oleh rasa bersalah yang teramat besar pada Ziana. Setiap malam sebelum tidur, ia selalu dihantui rasa takut. Takut jika Zia mengetahui pengkhianatan yang telah ia lakukan.
Sebenarnya, ia sangat menyesali apa yang telah ia lakukan tiga bulan yang lalu. Saat ia menerima tawaran mamanya untuk menikah dengan Laila, gadis desa yang telah menyelamatkan nyawa mamanya dari kecelakaan.
Sejujurnya, ia tidak terlalu mencintai Laila, istri keduanya. Lebih tepat, istri siri yang ia nikahi tanpa persetujuan Ziana sebagai istri pertama. Pernikahan itu terjadi hanya karena mamanya yang memaksa Rama untuk menikah dengan Laila.
Sinta terus memaksa Rama untuk menikah dengan Laila, dengan alasan, ia ingin Rama membalaskan hutang nyawanya pada Laila. Juga, karena ia ingin seorang cucu dari Rama. Sementara, Ziana sebagai istri sah, tidak bisa melahirkan anak buat melengkapi keutuhan keluarga.
Mau tidak mau, pada akhirnya, Rama setuju juga. Tapi dengan syarat, Sinta tidak boleh mengungkit masalah cucu pada Zia. Ia tidak ingin Ziana merasa sedih karena tidak bisa melahirkan anak untuk keutuhan keluarga mereka.
Selama ini, Rama sudah berusaha keras membuat Zia merasa menjadi bahagia dengan mengatakan kalau dirinya tidak ingin punya anak dulu dari pernikahan mereka. Dengan dalih, mereka saat ini masih sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Padahal, jauh dari lubuk hati Rama yang paling dalam, ia sangat menginginkan seorang buah hati sebagai pelengkap cinta mereka.
Tapi mau bagaimana lagi, saat ia melihat sebuah surat yang terdapat dalam laci kamar mereka, Rama hancur, sehancur-hancurnya. Namun, ia berusaha tetap kuat dengan berbohong pada Zia. Ia sangat mencintai perempuan itu, sampai dia tidak ingin melihat Ziana bersedih karena tidak bisa memberikan ia seorang anak.
Melihat Rama yang terus terhanyut dalam lamunannya, Sinta menepuk pipi Rama dengan lembut. Sambil memanggil nama Rama dengan nada agak keras.
"Rama!"
"Apa, ma?" tanya Rama tersentak kaget.
"Kamu ini kenapa sih? Melamun lagi, melamun lagi. Gak ada kerjaan lain apa selain melamun?" tanya Sinta kesal.
"Aku sangat mencemaskan Zia, Ma. Aku takut."
"Takut apa sih, Ram? Gak ada yang perlu kamu takutkan," kata Sinta sambil membelai lembut pundak anaknya.
"Aku takut Zia tahu apa yang telah aku lakukan, Ma," kata Rama sambil menatap lurus ke depan.
"Ngapain kamu harus takut sih, Rama. Jika Zia tahu, ya udah, biarkan saja. Orang kamu itu pemimpinnya. Banyak kok di luar sana, perempuan yang berbagi suami dengan perempuan lain. Mereka bisa hidup bahagia bersama-sama. Kamu gak usah banyak mikir soal ketakutan mu itu," ucap Sinta dengan santai.
"Mama enak ngomongnya. Bagaimana jika Zia tidak bisa terima kalau dirinya telah aku khianati? Bagaimana kalau dirinya tidak bisa terima kalau aku poligami, Ma?"
"Ya sudah, tinggal kamu ceraikan saja dia. Gampang kan?"
"Mama ngomong apa sih, Ma! Bukankah mama tahu aku sangat mencintai Zia. Aku menuruti permintaan mama juga karena Zia. Jika bukan karena Ziana, aku tidak akan pernah mau menikah dengan Laila. Mama mengerti!" kata Rama bicara dengan nada tinggi.
Setelah bicara seperti itu, Rama langsung meninggalkan Sinta sendirian. Ia tidak ingin mendengarkan apapun lagi yang Sinta katakan. Baginya, semakin hari, mamanya bukan semakin menenangkan, malahan, semakin membuat perasaannya bertambah kacau saja.
"Rama!"
"Rama, kamu kok gitu sih sama mama!"
"Rama."
"Ih, dasar anak gak tau sopan santun kamu, Rama. Masa ninggalin orang tua saat ngomong begitu saja," kata Sinta sangat kesal melihat Rama mengabaikan dirinya begitu saja.
"Ih, kesal banget rasanya. Ini semua karena Zia. Zia lagi, Zia lagi. Rama berani mengabaikan aku hanya karena membela Ziana itu. Ah, ternyata benar apa yang orang katakan, buah gak akan jatuh jauh dari pohonnya. Ibu sama anak, sama-sama saja. Sama-sama menyebalkan dan membuat sakit hatiku," kata Sinta sambil memukul bantal sofa berkali-kali.
Di sisi lain, Zia sedang bicara dengan Restu di cafe tak jauh dari apartemennya. Karena merasa tidak enak untuk menerima Restu masuk ke dalam apartemen. Zia memilih membawa Restu ngobrol di salah satu cafe yang ada di sekitar apartemennya.
Meskipun matanya terlihat bengkak akibat menangis, Zia tidak peduli. Ia tetap keluar dari apartemennya. Dengan penampilan sedikit berantakan ia mengajak Restu duduk di salah satu kursi yang ada di cafe tersebut.
"Mbak, apakah mbak baik-baik saja?" tanya Restu merasa cemas.
"Aku baik-baik saja. Seperti yang kamu lihat saat ini."
"Aku tidak melihat mbak Zia sedang baik-baik saja sekarang, Mbak. Aku malahan melihat mbak Zia sebaliknya. Katakan mbak, ada masalah apa," kata Restu penuh perhatian.
"Tidak ada apa-apa, Restu. Aku hanya sedang kecapean saja. Kamu kan tahu aku baru saja kembali dari luar negeri. Jadi wajar kalau aku terlihat seperti ini."
"Mbak, aku tahu siapa mbak Zia. Mbak itu bukan sekali berangkat keluar negerinya, mbak. Sudah berkali-kali mbak."
Ziana terdiam. Niatnya bertemu Restu di sini memang untuk meminta bantuan dari Restu untuk menyelidiki suaminya. Tapi, ia tidak mungkin bicara pada Restu soal rumah tangga dan pengkhianatan sang suami pada orang lain.
"Restu, mbak tidak apa-apa. Jika pun ada masalah, ini mengenai kehidupan pribadi mbak. Maaf, mbak gak bisa cerita sama kamu."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!