Situasi yang tak pernah terbayangkan. Kutukan akan dosa para leluhur, menjadi teror mematikan.
Mahluk yang dipercaya telah lenyap, akhirnya muncul kembali.
Ketika bocah yang ditumbalkan bangkit lagi dari kuburnya, membalaskan dendam mereka.
Tanpa ampun...
Tanpa pandang bulu...
Tanpa peringatan...
Desa Air Keruh yang terletak di perbatasan Sumatra Selatan dan Bengkulu.
Terletak di antara gunung dan lautan. Dua budaya yang bercampur, melahirkan sebuah tragedi berdarah.
Tragedi yang dimulai dari jaman Belanda itu ternyata tak kunjung berhenti. Tumbal dan korban balas dendam para roh semakin banyak berjatuhan.
Orang-orang Jawa sebagai pendatang yang mencoba bertahan dari kekuasaan. Mereka menyebar Teluh dan banyak iblis untuk melindungi wilayah mereka dari Suku asli yang terkenal buas dan suka membunuh.
Para iblis yang semakin kuat, meminta tumbal-tumbal manusia yang tak berdosa.
Hingga sebuah teagedi berdarah HUJAN TELUH menjadi kutukan teror yang amat mematikan bagi warga Desa Air Keruh.
Sebuah pembunuhan pada sebuah keluarga terjadi di Desa Air Keruh. Dari ke enam angota keluarga itu, hanya satu yang selamat. Arinda seorang ibu rumah tangga yang kewarasannya terganggu.
Polisi, warga desa dan semua lapisan masyarakat tak bisa memecahkan misteri itu. Yang mereka bisa tebak adalah, kejadian itu adalah kutukan di masa lampau.
Sebuah kutukan dipercaya sebagai penyebab kematian para warga. Kematian mereka yang tak wajar serta bertepatan di hari yang sama yaitu Malam Jumat Kliwon.
Malam paling keramat, malam paling berhantu, menurut mitos kejawen.
Melinda dan Lastri, mereka adalah sepasang ibu dan anak. Mereka berdua nekat ke Desa yang sedang di landa bencana Mistis itu untuk menghilangkan kutukan di diri Melinda.
Melinda adalah salah satu anak dari sepasang anak yang harus ditumbalkan. Menurut kepercayaan orang tua mendiang suami Lastri.
Suami Lastri bahkan meninggal saat dia sedang mencoba mencari cara untuk menyelamatkan anaknya itu.
Hujan Teluh terjadi saat jiwa-jiwa yang menjadi tumbal telah siap untuk ditumbalkan.
Para Iblis sedang meminta hak mereka, sepasang kekasih yang saling mencintai. Sepasang kekasih yang akan meneruskan eksistensi mereka untuk menjaga Desa.
Arinda dan Jacson, pasangan yang dipercaya gagal ditumbalkan. Karena sebelum hari penumbalan mereka, Arinda diperkosa dan dikurung oleh tiga lelaki.
Kagagalan penumbalan itu menewaskan tiga keluarga besar. Keluarga Arinda, keluarga Jacson dan juga keluarga pemimpin di Desa itu 20 tahun yang lalu.
Dan kali ini, yang akan menjadi tumbal adalah Jendral, siswa kelas tiga SMU dan Melinda yang masih duduk di kelas dua SMU.
Akankah penumbalan kali ini akan berhasil, atau Jendral dan Melinda bisa menghindar dari penumbalan itu.
Seperti pilihan Arinda dan Jacson, mereka lebih memilih mengorbankan nyawa orang lain dari pada nyawa mereka sendiri. Melanjutkan hidup mereka yang hampa, dan tanpa warna.
Siapa yang bisa memprediksi datangnya cinta. Tidak ada.
Mungkin manusia bisa memprediksi tentang petaka dan bencana.
Tapi mereka tak bisa memilih, akan jatuh cinta pada siapa, kapan dan bagaimana.
Hal itu masih menjadi rahasia sampai saat ini.
Jika aku bisa memilih, aku akan memilih orang lain.
Jika aku bisa memihak aku tak akan memihakmu.
Kau tau betapa sakitnya aku, karena dirimu.
Aku akan mencoba bertahan karena aku tau aku punya kamu yang akan selalu di sisiku.
Hal yang paling menyakitkan adalah, saat seseorang yang paling kau cintai ternyata telah melupakanmu.
Melupakanmu sampai dia tak bisa melihat kehadiranmu lagi.
Wokeeee
Udah pada siap bunuh-bunuhan lagi 😅😅😅
Serial Horor kali ini semoga nakutin beneran 😁😁😁
Gue kagak akan ngasih komedi seicrit pun....semua Misteri Horor dan Romansa Kelam yang menyakitkan.
Hadehhh udah mimpi dikejar-kejar hantu aja autornya...padahal baru buat prolog.
Selamat menikmati.
Komen, Like, Vote, kasih hadiah juga yaaa. Beramal--lah pada penulis, Niscaya anda akan masuk Syurga.😁😁😁
Tik...Tik...Tik...Tik...Tik
Cairan merah kental menetes lambat membasahi tanah pekarangan yang telah memerah.
Cairan itu terus menetes, dentuman lirihnya tak bisa membangunkan siapa pun. Selain hari ini masih gelap, tapi juga hari ini bertepatan dengan hari Jumat Kliwon.
Artinya, di malam ini para warga Desa tak ada yang berani keluar dari rumah mereka.
Cairan kental berwarna merah berbau amis itu menetes dari atas sebuah dipan. Dipan panjang, dipan di teras sebuah rumah. Dipan yang biasanya untuk duduk-duduk santai sang pemilik rumah, telah berubah menjadi meja jagal.
Di atasnya tergeletak lima kepala manusia yang sudah terpisah dari tubuhnya.
Seperti di urutkan atau memang tak di sengaja, kepala-kepala yang terpenggal itu di tata sedemikian rupa.
Dari yang paling kiri sampai paling kanan, di urutkan berdasarkan usia sang pemilik kepala.
.
.
Pagi masih buta, lampu-lampu jalan masih membantu penerangan di sepanjang jalan Desa Air Keruh. Tak akan lama lagi Adzan Subuh akan berkumandang.
Sayup-sayup keriuhan terdengar ke seluk sanubari. Ada kata-kata kutukan, kata-kata kasihan, kata-kata makian dan banyak jenis kata lain. Bersahutan mengitari bangunan rumah sederhana milik sebuah keluarga.
Tak ada yang berani masuk ke dalam rumah itu, para warga hanya berkumpul di sekitar rumah yang kini terlihat begitu suram dan mengenaskan. Karena noda darah mengotori setiap sudutnya.
"Ada apa ini?" tanya seorang lelaki paruh baya yang baru saja sampai.
Dia langsung turun dari kendaraan bermotornya dan tak perlu menerobos kerumunan. Para kerumunan langsung membelah diri, memperlihatkan sebuah pemandangan yang langsung membuat lelaki gagah itu mutah-mutah.
"Pak Kades!" seorang warga berjenis kelamin lelaki mendekati pria gagah itu.
Dia mengelus punggung lelaki yang tengah menunduk dengan suara geruh karena mual diperutnya tak kunjung berhenti.
Meski perut dan kepalanya jadi sakit, pria yang dipanggil Pak Kades itu berbalik ke arah lain. Dia tak mau melihat pemandangan memgerikan di atas dipan depan rumah, yang berisi jajaran kepala manusia yang baru saja dipenggal.
"Hallo, kantor Polisi. Pak saya Kades Desa Air Keruh.
"Sepertinya terjadi sebuah pembunuhan di Desa kami, Pak!
"Saya belum tau berapa korbannya yang pasti lebih dari satu Pak!
"Kami tak berani mendekati TKP, karena ini sangat mengerikan!" jelas Pak Kades.
"..."
"Iya Pak trimakasih!" ujar Pak Kades lagi.
Meski sudah menghubungi polisi, dia tak bisa bernapas lega. Kenapa harus ada pembunuhan sadis di Desa ini. Padahal dia baru menjabat dua tahun di sini.
"Tidakkkkkkkkkk!!!
"Akkkkkkkkkkkk!!!
Tiba-tiba terdengar suara jeritan, dari dalam rumah.
"Ada yang masih hidup?" tanya Pak Kades.
"Sepertinya iya Pak!" jawab salah satu warga di sana.
"Suamiiiiii kuuuuuuuuuu!!!
"Nehaaaaaaaaa!!!
"Lauraaa! Alexx! Daniiiiiiii!" teriakan itu seperti suara wanita dengan tangisan merintih.
"Bagaimana jika kita mencoba masuk?" tanya Pak Kades.
"Jangan Pak, nanti kena sial!" kata salah satu warga di sana.
"Tapi kita tak mungkin membiarkan orang yang masih hidup berada di dalam sana.
"Bagaimana jika pembunuhnya masih di dalam, dan berusaha membunuh wanita itu!" Pak Kades membentak dengan emosi.
Tanpa peduli dengan omongan para warga Kades yang hitungannya masih muda itu, segera menerobos masuk ke dalam pekarangan.
Pak Kades dan terus berjalan masuk tanpa peduli dengan kepala-kepala di atas dipan. Yang seperti memandanginya dengan mata melotot.
Saat berdiri di depan pintu. Pak Kades hanya terdiam dan merasa dirinya berada di danau penuh dengan darah.
Pandangannya lalu tersita oleh sosok wanita kurus dengan rambut digelung berantakan, wajahnya sudah pucat.
Wanita itu duduk bersimpuh di atas ranjangnya, saat mata mereka bertemu pandang. Wanita itu langsung pingsan.
"Arinda!?" gumam Pak Kades.
Mata tegasnya masih menyingsing, memandang tubuh kurus yang sudah tak berdaya di atas ranjang sempit itu.
Alinda 40 tahun usianya hampir sebaya dengan Pak Kades.
Pria itu tak mempedulikan ongokkan mayat dan genangan darah yang membanjiri rumah sederhana itu.
Dia hanya peduli dengan tubuh kurus, pucat yang tergeletak di atas ranjang sempit. Pojokan ruangan di bawah jendela kecil, tubuh lemas Arinda tergeletak di sana.
Pak Kades tambah sedih saat melihat rantai yang membelengu salah satu kaki wanita yang amat dia kenal itu.
"Arinda, bangun!
"Aku mohon Arinda!" kata Pak Kades.
Belum juga Pak Kades berhasil mendekat ke arah tubuh Arinda yang lemah. Suara sirine Polisi terdengar lantang dan menyadarkan otak Pak Kades.
Arinda yang berada di hadapannya bukanlah Arinda yang dia kenal dulu.
Karena kejadian saat remaja itu membuat Arinda kehilangan akal dan menjadi sedikit gila.
"Mari Pak, sebaiknya anda keluar!" kata seorang petugas polisi yang sudah merangkul bahu Pak Kades.
Mau tak mau Pak Kades segera keluar dari dalam rumah yang sudah penuh dengan darah segar, yang menggenang bagaikan laut berwarna merah.
~¤~¤~¤~¤~¤~
6 BULAN KEMUDIAN
~¤ ~¤~¤~¤~¤~
Kepala pertama adalah milik suamimya, Jatmiko 45 tahun. Putri pertamanya Neha 18 tahun, Laura putri ke duanya 15 tahun dan Alex putra ke tiganya 10 tahun. Lalu Dani putra ke empat mereka yang masih berusia 7 tahun.
Arinda dinyatakan tak bersalah atas semua khasus pembunuhan keluarganya. Karena alasan gila dan tubuhnya terbelenggu pada saat evakuasi berlangsung.
Tapi semua orang di Desa menuduhnya, telah membunuh semua angota keluarganya sendiri. Sejak kecil Arinda dihina karena dibilang sebagai pembawa sial.
Orang tuanya meninggal saat Arinda masih kecil dalam sebuah kecelakaan. Dan setelah itu dia dirawat oleh neneknya, neneknya akhirnya meninggal dunia saat Arinda masih duduk di bangku kelas dua SMU.
Meski sebatang kara, Arinda adalah sosok gadis cantik di masa mudanya. Dia adalah kembang Desa di Desa Air Keruh ini.
Saking cantiknya Arinda sampai menjadi korban pemerkosaan oleh beberapa pemuda saat itu. Hingga dia berakhir dinikahi oleh Jatmiko.
Jatmiko adalah salah satu pemuda yang memerkosanya. Karena dari tiga tersangka lainnya, hanya Jatmiko yang masih lajang. Mau tak mau Jatmiko harus menikahi Arinda yang jadi gila dan tengah hamil.
Gadis cantik itu hamil setelah di perkosa oleh tiga lelaki selama seminggu berturut-turut.
22 tahun sudah kejadian naas itu berlalu. Arinda sempat membaik setelah anak hasil perkosaannya tak bisa dipertahankan di dalam kandungannya.
Arinda membaik dan kembali waras, dia hidup dan merawat keluarganya seperti wanita pada umumya. Dia bahkan jarang cekcok dengan suaminya Jatmiko, yang terkenal buas dan kasar itu.
Tapi Arinda kembali gila setelah melahirkan Dani. Jatmiko dan keluarga memutuskan untuk merantai Arinda di rumah.
Karena Arinda sering memgamuk di tempat tetangga dan membuat keributan jika dia keluar rumah.
Sampai hari Jumat berdarah itu terjadi untuk pertama kalinya.
Tak ada petunjuk apa pun dengan khasus pembunuhan yang menimpa keluarga Arinda.
Wanita itu sekarang sudah pulang dalam kondisi masih agak gila tapi dengan tubuh yang lebih sehat. Kelihatannya selama di rumah sakit jiwa, dia mendapat pertolongan yang memadahi.
Meski sedikit gila, Arinda dapat menghidupi dirinya sendiri. Dia bertani di kebun keluarganya dan menjualnya ke pasar.
Hanya saja Arinda mudah termenung dan kadang berbicara sendiri. Kadang wanita paruh baya itu ngamuk-ngamuk sendiri. Dan mengungkit kejadian pembunuhan itu.
"Saya tidak tau Pakkk!!!
"Saya tidur!
"Saya tak tauuuuu!" teriak Arinda tiba-tiba.
Wanita paruh baya itu sedang di pasar. Dia berniat menyetor hasil panen kacang panjangnya hari ini ke tempat pedagang.
Tapi dia langsung menurunkan karung putih yang beisi hasil penenya hari ini di tengah jalan. Untung ada orang baik yang mengamankan hasil jerih payah Arinda hari itu.
___________BERSAMBUNG_____________
JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, DAN LIKE ❤❤❤
Berkali-kali wanita paruh baya itu berkata hal yang sama, sampai dia terduduk dan menangis.
Kini giliran mendiang anak dan suaminya yang dia panggil-panggil dalam isaknya.
"Masssss Jatmiko, kenapa kau tinggalkan aku masssss!
"Massssa, kau ajak anak-anak kita kemana???
"Cepat pulang massssa, aku kangen kalian semua!!!" rintihan Arinda sudah hampir setengah jam.
Hasil panennya sudah diambil oleh salah satu kariawan pengepulnya. Karena hal biasa, jika Arinda kumat dan menggila begitu.
Tak ada yang mendekati Arinda, meski wanita itu menggangu ketertiban umum. Tak ada yang berani memgeluh di depan wanita gila itu, secara terang-terangan.
Karena setiap malam Jumat Kliwon, di Desa Air Keruh selalu ada hal yang aneh.
Semenjak kematian seluruh keluarga Arinda, Desa Air Keruh ini sepertinya sedang ditimpa kemalangan.
Ada saja hewan ternak yang mati saat malam jumat klowon. Yang lebih mengerikan lagi, malam jumat kliwon yang lalu seseorang mati.
Orang itu adalah Mbah Bagio. Dia adalah salah satu pelaku pemerkosaan Arinda saat kembang desa itu masih muda.
Mayat lelaki tua itu penuh dengan luka sayatan dan berakhir digantung di pohon rambutan belakang rumah Mbah Bagio sendiri.
Semua warga gelisah ini adalah malam jumat kliwon berikutnya.
.
.
.
.
Thok...Thok...Thok...Thok
Bergema suara kenthongan di salah satu pos ronda di Desa Air Keruh. Suara kenthongan tanda hari menjelang malam, diiringi oleh suara kicauan burung hantu yang amat membuat bulu kuduk merinding.
Kuk...Kukkk...Kuk....Kukkkkkkk
Jam 09:00 malam, biasanya para warga masih beraktifitas. Berjualan atau sekedar ngobrol ria dengan tetangga, tapi setelah kematian Mbah Bagio. Semua warga tampak takut untuk beraktifitas malam-malam lagi.
Suasana Desa Air Keruh langsung menjadi sunyi, bahkan para warga tak ada yang menyalakan TVnya di malam khusus ini.
Karena malam ini diyakini, akan ada kematian lagi.
Di dalam rumahnya Arinda sedang memandang langit malam melalui jendela rumahnya. Dia tampak tersenyum kecil saat melihat kerlip-kerlip bintang di langit.
Tapi entah kenapa air matanya menetes, bahkan saat dia tersenyum. Wanita setengah gila itu sepertinya tak sadar dengan lelehan cairan hangat yang membasahi pipinya itu.
Dengan wajah bahagia yang penuh senyum itu Arinda terus memandangi langit, sampai langit menjadi abu-abu. Dan petir dan gemuruh mulai menyambar.
Wanita setengah gila itu masih berekspresi sama. Saat kilatan petir itu menerpa netranya, dia bahkan tak berkedip sedikit pun.
.
.
.
.
"Sepertinya akan hujan nih Pak Kades!" kata Pak Suprat, salah satu peserta ronda malam ini.
"Iya, langit sudah gelap dan gemuruhnya tak mau berhenti!" kata Pak Kades, raga pria nomor satu di Desa Air Keruh itu memang di pos ronda bersama para warga, tapi hatinya ada di tempat lain.
Renung hati paling dalam Jacson ada di tempat Arinda.
Empat tahun lelaki tampan dan masih lajang itu kembali ke Desa ini. Tapi baru waktu kejadian pembunuhan keluarga Arinda itu, dia melihat cinta pertamanya itu lagi.
Sekarang ia tau kenapa tak seorang pun yang boleh masuk ke dalam rumah itu, ternyata Jatmiko memasung istrinya sendiri. Kondisi kejiwaan yang tak normal menjadi alasan Jatmiko saat itu.
Namun Jatmiko tak sadar, jika apa yang dia lakukan pada istrinya. Mungkin adalah pemicu petaka yang menimpa keluarganya.
Tak ada yang tau, bahkan penyidik tak dapat menangkap pelaku pembunuhan keji sekeluarga itu. Mereka hanya menebak bahwa yang melakukan pembunuhan adalah orang Desa Air Keruh ini sendiri.
Jatmiko yang berprofesi sebagai tuan tanah di Desa Air Keruh memang cukup terkenal. Tapi tempramennya yang cepat marah dan selalu kasar pada penyewa tanahnya, juga lebih terkenal. Hal itu bisa menjadi sebab kematian naasnya.
Jika pembunuh itu hanya dendam pada Jatmiko lalu kenapa anak-anaknya ikut menjadi korban. Kenapa harus ada yang dia sisakan, yaitu Arinda. Lalu kenapa pembunuhan terjadi lagi.
Atau ini adalah kutukan itu. JIKA ADA GADIS PERAWAN YANG BERASAL DARI DESA AIR KERUH MENIKAH DENGAN PEJAKA DARI DESA INI JUGA, MAKA HUJAN TELUH ITU AKAN DATANG KEMBALI.
Tapi kutukan itu sudah ada semenjak jaman penjajahan, apa iya masih berlaku.
Tapi akhir-akhir ini tak ada pernikahan pemuda dan pemudi yang seperti itu di Desa ini.
"Jadi gimana ini, Pak? Kita harus tetap keliling ?!" tanya salah seorang dari robongan di pos ronda itu.
"Kita tunggu saja sampai hujan mulai reda, baru kita keliling.
"Saya mau ke rumah Arinda dan Mbah Jumiem, untuk memeriksa mereka. Mereka--kan tinggal sendiri, kasian!
"Ada yang mau ikut?" tanya Pak Kades.
"Ndral, kamu sono. Ikut Pak Kades. Nengokin para janda-janda!" tunjuk Mas Paino.
Jendral adalah siswa kelas tiga SMA dia ikut ronda karena ayahnya merantau di kota.
"Ayoookkk, Jendral!" ajak Pak Kades.
"Baik, Pak!" lelaki muda belia itu mengambil payung Mas Paijo dan membukanya.
Jendral segera mengikuti langkah kaki Pak Kades yang sudah berjalan lebih dulu.
Jendral adalah anak yang begitu pendiam, dia tak banyak bicara dan tak suka bergaul dengan siapa pun.
Meski bocah belia itu tak menonjol di bidang mata pelajaran apa pun di sekolahnya. Dia punya karakteristik seperti itu, tak ada yang tau alasannya. Bahkan kedua orang tuanya juga bingung dengan sikap dan perilaku yang dimiliki putranya tersebut.
"Kita ke rumah Mbah Jumiem dulu ya!" kata Pak Kades.
Jendral hanya menganggu pelan, tanpa bersuara.
Mereka mengetuk pintu rumah di berdinding papan itu, tak lama seorang wanita renta membuka pintu rumah sederhana itu.
"Gimana Mbah sehat?" tanya Pak Kades.
Apa yang dilakukan Pak Kades bukanlah hal yang mengagetkan bagi Mbah Jumiem. Hampir setiap hari Pak Kades yang berusia 40 tahunan itu selalu datang untuk melihat kondisi janda tua itu.
"Sehat Pak, mari masuk!" ajak Mbah Jumiem.
"Kami langsung balik aja Mbah!
"Ohhhh iya Mbah jangan lupa jendela sama pintu dikunci semua ya Mbah!" pesan Pak Kades.
"Baik, Pak!" jawab Mbah Jumiem sambil tersenyum sopan.
"Saya undur diri dulu Mbah, mau ke rumah Arinda dulu!" kata Pak Kades.
"Hari ini jangan ke sana, Pak!" ucap Mbah Jumiem.
"Kenapa Mbah?" Pak Kades bingung.
Wanita gila itu pasti tak menutup pintu rumahnya lagi. Dan Pak Kades khawatir jika pelaku pembunuhan minggu kemarin, datang ke rumah Arinda dan membunuh wanita yang pernah dia cintai semasa dia masih muda.
"Ini malem jumat kliwon, Pak!" kata Mbah Jumiem.
"Iya Mbah saya tau!" kata Pak Kades.
"Nanti bapak sial kalau ke sana!" ujar Mbah Jumiem.
"Enggak lah Mbah, saya cuma akan lihat dari jalan saja. Dan menyuruhnya menutup pintu rumahnya!" ucap Pak Kades.
"Ati-ati Pak, dibilangin ngeyel. Pokoknya saya udah bilangin lho yaaa!"
"Iya Mbah makasih sebelumnya, sudah dinasehatin!" kata Pak Kades.
Pak Kades dan Jendral pun segera pergi dari rumah berdinding papan sederhana milik Mbah Jumiem. Hujan masih turun dengan derasnya, tapi hal itu tak menyurutkan semangat Pak Kades untuk menjalankan tugasnya sebagai pemimpin di Desa Air Keruh ini.
Sesampainya di depan rumah Arinda, Pak Kades dan Jendral bisa bernafas lega, karena semua pintu dan jendela rumah Arinda telah terkunci rapat.
"Sepertinya Arinda sudah tidur, kita balik sekarang, Nak Jendral!" ajak Pak Kades.
Jendral pun mengikuti ajakan Pak Kades untuk pergi dari rumah Arinda.
Sepeninggalan mereka pintu depan rumah Arinda terbuka, dan sebuah langkah kaki kurus keluar dari dalam pintu kayu yang membingkai rumah tersebut.
___________BERSAMBUNG_____________
JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, DAN LIKE ❤❤❤
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!