Mentari merasakan debaran jantungnya yang berdetak begitu kencang berkali lipat dari biasanya. Karena hari ini adalah hari pernikahan, untuk kedua kali dalam hidupnya. Setelah pernikahan pertamanya harus berakhir dengan perceraian.
Mentari yang sudah beberapa kali menolak permintaan Zahra untuk menikah dengan Fatih, yang merupakan suami sahabatnya itu. Apalagi Fatih adalah cucu dari mantan kakak iparnya. Bisa dibilang Fatih itu cucu dari mantan suaminya, Willian Green. Karena Kakeknya Fatih, kakak beradik dengan William.
*****
"Bismillahirrahmanirrahim,"
"Saya nikah dan kawinkan engkau Al Fatih Green Hakim bin Khalid Maulana Hakim dengan putri saya Mentari Khairannisa Mochtar dengan mas kawin kebun kelapa sawit seluas tiga puluh hektar, dibayar tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya Mentari Khairannisa Mochtar binti Ja'far Abdul Mochtar dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
"SAH!"
"SAH!"
"Alhamdulillah,"
Fatih meneteskan air matanya, karena kini ada dua orang wanita yang ada dalam tanggung jawab dan perlindungan, juga bimbingannya. Serta kelak, nanti dia harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah.
Fatih tahu betapa berat tanggung jawabnya sebagai suami terhadap istrinya. Kini beban itu makin bertambah, karena ada dua istri yang harus di nafkahi secara adil lahir dan batin. Tanpa menyakiti hati kedua istrinya.
*****
Satu bulan yang lalu,
Zahra duduk berhadapan dengan Fatih di sofa yang berada di dalam kamar mereka. Keduanya sedang terlibat dengan pembicaraan yang serius.
"Aku mohon Mas," rayu Zahra kepada Fatih dengan wajahnya yang memelas agar keinginannya dituruti oleh suaminya itu.
"Aku tidak mau, Zahra!" tolak Fatih dengan tegas, entah untuk ke berapa kalinya.
"Mas, aku mohon menikahlah lagi. Demi kebahagiaanmu," pinta Zahra masih dengan mode merayunya sambil memegang kedua tangan suaminya itu.
"Saat ini, Mas sudah bahagia bisa hidup berdua denganmu!" ungkap Fatih tentang perasaan dalam hidupnya saat ini.
"Mas, juga inginkan punya anak 'kan?" tanya Zahra sambil melihat mata hazel milik suaminya itu.
"Tentang anak itu, kita sudah membicarakannya tahun lalu. Seandainya Zahra ingin punya anak, kita bisa mengadopsinya di panti asuhan. Kita rawat dan besarkan anak yatim piatu juga bisa," jawab Fatih tentang masalah anak.
"Tentu saja beda, Mas. Masa tidak ingin punya anak dari benih sendiri. Bukannya dulu pernah ingin punya banyak anak yang wajahnya mirip denganmu, Mas."
Fatih melepaskan tangannya dari genggaman Zahra. Dia berdiri dan berjalan ke arah jendela kamarnya. Mungkin dengan melihat pemandangan di halaman depan rumahnya, perasaanya jadi lebih baik.
Setelah divonis mandul dua tahun lalu, Zahra menjadi orang yang kalem dan pendiam. Tidak ada lagi Zahra yang manja dan ceria dalam hari-harinya Fatih. Ditambah sekitar sepuluh bulan yang lalu, dirinya divonis penyakit Leukemia. Hidup Zahra menjadi terasa tak berguna untuk Fatih. Dia sudah meminta Fatih untuk menikah lagi sekitar enam bulan yang lalu. Tentu saja Fatih menolak keinginan Zahra.
Zahra ingin saat dirinya meninggal nanti, Fatih sudah punya pengganti dirinya. Sehingga dia merasa tenang bila suaminya itu sudah bisa menemukan kebahagiaan yang tidak bisa diberikan olehnya.
Zahra berjalan mendekati Fatih yang kini berada di balkon. Dipeluk erat tubuh suaminya itu dari belakang. Zahra menangis terisak di punggung Fatih.
Tahu istrinya menangis seperti Itu, membuat hati Fatih terasa teriris. Namun dirinya tidak mau kalau harus menikah lagi. Karena akan ada hati yang tersakiti nantinya.
"Zahra … Mas mohon jangan seperti ini," pinta Fatih dengan suaranya yang lembut, dan mengelus lengan Zahra yang melingkar di perutnya.
"Zahra mohon ini demi kebaikanku dan juga dirimu, Mas," balas Zahra sambil menggerakan kepalanya yang bersandar di punggung Fatih.
"Memangnya kamu akan sanggup kalau dimadu. Waktu Mas pasti akan terbagi dengan istri yang lainnya. Perhatian dan kasih sayang juga pasti akan terbagi. Kamu tidak akan bisa memonopoli lagi diri Mas," jelas Fatih kepada Zahra akibat bila dirinya berpoligami.
"Zahra siap! Karena sudah memikirkannya jauh-jauh hari, sebelum aku memintanya kepadamu, Mas."
Fatih sangat terkejut dengan apa yang diucapkan oleh Zahra barusan. Ternyata Zahra sudah sejak lama memikirkan keinginannya ini. Fatih sendiri tidak punya kepikiran untuk melakukan poligami, saat tahu Zahra tidak bisa memberikan keturunan untuknya.
"Terus kamu ingin, Mas menikah sama siapa?" tanya Fatih sambil menengadahkan kepalanya melihat langit berwarna biru cerah tanpa ada awan yang berarak di sana.
"Mentari."
Fatih merasa dirinya tersambar petir saat Zahra menyebutkan sebuah nama yang tidak asing dalam hidupnya. Wanita yang pernah menjadi belahan jiwanya, Si Kakek Willi. Wanita yang pernah ditolongnya saat berjalan di tengah jalan, karena pikirannya yang sedang kalut. Wanita yang membuat dirinya dan Kakek Willi berkelahi sampai babak belur.
"Apa Mentari yang kamu maksud adalah Mentari yang aku kenal?" tanya Fatih dengan ragu-ragu, mungkin saja Zahra punya teman yang bernama Mentari lainnya lagi.
"Ya, Mentari mantan istrinya Kakek Willi!" Zahra masih membenamkan wajahnya di punggung Fatih, dan semakin mengeratkan pelukannya.
"Apa kamu sadar, dengan ucapan yang kamu katakan?" tanya Fatih sambil membalikkan badannya, sehingga kini mereka berdua saling berhadapan.
Zahra menganggukan kepalanya, dengan matanya menatap kepada suaminya. Fatih pun menatap wajah Zahra, dan dilihatnya netra hitam milik istrinya itu.
"Iya, Mas. Menikahlah dengan Mentari, karena hanya dia yang aku percaya bisa mendampingiku," jawab Zahra sambil tersenyum.
"Apa alasan yang membuatmu percaya kalau Mentari adalah wanita yang pantas menjadi madu kamu?" tanya Fatih kembali kepada Zahra, sambil menuntunnya untuk duduk di kursi yang ada di balkon. Tempat favoritnya saat menghabiskan waktu berduaan dengan Zahra.
"Karena Mentari adalah seorang wanita baik-baik, dan mampu menjadi ibu bagi anak-anakmu kelak. Mentari juga wanita yang cerdas dan mandiri. Mas bisa berbagi cerita dengannya baik dalam urusan pekerjaan atau urusan rumah tangga. Mentari yang pernah merasakan kehilangan semangat hidupnya, kelak yang akan memahami keadaanmu Mas."
"Memangnya kamu sudah siap jika Mas membagi cinta ini untuk istri kedua. Karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya!" balas Fatih sambil mencubit pipi Zahara.
"Aduh … Mas!" pekik Zahra karena merasa kesakitan.
"Maaf … mana yang sakit?" Fatih malah menjadi panik saat melihat Zahra mengaduh kesakitan karena ulahnya.
*****
Mentari dan Zahra duduk berdua di cafe milik Cantika. Keduanya asik menikmati makanan ringan yang disajikan disana ditemani dengan jus jambu biji merah.
"Mentari apa kamu ada keinginan untuk menikah lagi?" tanya Zahra saat dilihatnya makanan milik Mentari akan habis.
"Entahlah, aku tidak pernah kepikiran untuk menikah saat ini," jawab Mentari disela-sela minum jus jambunya.
"Seandainya ada laki-laki Sholeh, tampan, mapan, ingin menjadikan kamu sebagai istrinya. Apa kamu mau?" tanya Zahra sambil menatap Mentari secara lekat.
"Oh, laki-laki tipe ideal banget yang seperti itu!" Kata Mentari sambil mengacungkan kedua jempolnya.
"Apa kamu mau menjadi istrinya? Karena dia ingin sekali punya anak," Zahra ingin tahu reaksi Mentari seperti apa.
"Apa dia seorang duda?" tanya Mentari sambil mengerlingkan matanya menatap Zahra secara menggoda.
"Bukan, tapi seorang suami yang memiliki seorang istri yang mandul?" jawab Zahra dengan nada serius.
"Hah!" Mentari tidak menyangka dengan apa yang didengarnya barusan.
"Siapa?" tanya Mentari penasaran, siapa laki-laki itu.
"Al Fatih Green Hakim," jawab Zahra menyebutkan nama suaminya.
"Apa!" Mentari sungguh terkejut dengan nama apa yang disebutkan oleh Zahra.
"Mentari … menikahlah dengan Mas Fatih!" pinta Zahra kepada temannya itu.
"Tidak mau! Kenapa aku harus menikah dengannya?" tolak Mentari atas tawaran Zahra.
"Kumohon Mentari! Menikahlah dengannya. Aku yakin kalau kalian akan bisa hidup bahagia," Zahra memohon untuk kesediaan temannya itu untuk menjadi madunya.
" Tidak! Di luar sana masih banyak laki-laki yang belum punya pasangan," tolak Mentari.
*******
JANGAN LUPA KLIK LIKE, FAV, HADIAH, DAN VOTE NYA JUGA YA.
DUKUNG AKU TERUS DENGAN MEMBERIKAN JEMPOL YANG BANYAK.
TERIMA KASIH.
Mentari sedang mengerjakan pekerjaannya yang sudah menumpuk sebagai direktur pemasaran di perusahaan Mochtar Group, milik keluarga besarnya. Sudah setahun lebih dia kembali ke dunia kerja yang dulu dilakoninya di perusahaan ini, sebelum menikah dengan William.
Dalam kerja kerasnya setahun ini, Mentari dapat memajukan hasil produksi dari perkebunan-perkebunan milik keluarganya. Ditambah dia punya ilmu bisnis yang didapatnya dari Christhopher dan William, membuatnya menjadi orang yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam menjalankan pekerjaannya.
Suara dering telepon membuat buyar konsentrasinya dalam bekerja. Kemudian dia melihat layar handphone-nya dan ada nama yang memanggilnya. Senyum di wajahnya tersungging keatas sedikit.
"Ini orang belum menyerah juga," gumam Mentari saat akan mengangkat teleponnya.
"Assalamu'alaikum, Zahra," salam Mentari.
"Wa'alaikumsalam, Mentari," balas Zahra.
"Bagaimana, kamu sudah ada jawabannya kan?" tanya Zahra tidak sabaran.
Mendengar pertanyaan dari sahabatnya itu, membuat Mentari menarik napasnya. Dia menyandarkan badannya ke kursi kerjanya. Dipejamkan matanya, berusaha konsentrasi dengan apa yang akan dia bicarakan dengan sahabatnya itu.
"Maaf Zahra, aku tidak mau dicap sebagai wanita perebut suami orang. Kalau kamu ingin punya madu cari saja orang lain. Aku nggak mau nantinya kita musuhan karena cemburu," jawab Mentari dengan suaranya yang tegas.
"Nggak akan terjadi hal yang kamu takutkan itu!" balas Zahra dengan cepat, "Aku akan hadir di acara pernikahan kalian. Kalau perlu sebelum acara ijab qobul, aku memberi pengumuman dahulu kalau aku lah yang menginginkan pernikahan kalian."
"Soal cemburu, kayaknya tidak akan. Soalnya kita sudah saling tahu sifat dan karakter kita berdua?!" lanjut Zahra dengan tawanya yang terkekeh.
"Kamu ini aneh. Dimana-mana wanita itu tidak mau kalau suaminya menikah lagi, tapi kamu malah mencari wanita lain untuk dijadikan istri kedua buat suami kamu," kata Mentari sambil berjalan ke arah kaca kantornya untuk melihat pemandangan di luar gedung kantornya.
"Biar saja aku di bilang aneh sama kamu, yang penting kamu mau menjadi istri kedua buat Mas Fatih!" balas Zahra tanpa ragu-ragu.
Mentari menarik napas dan mengeluarkannya perlahan lewat mulutnya. Sudah tiga hari ini, Zahra meneleponnya setiap hari, hanya untuk menanyakan kesiapannya buat jadi madu baginya.
"Aku mau tanya, memangnya kak Fatih juga menginginkan pernikahan ini?" tanyaku penasaran.
"Ya, Mas Fatih juga menginginkannya!" jawab Zahra dengan cepat.
"Kamu pasti bohong. Aku tidak percaya kalau kak Fatih menginginkan pernikahan ini, yang ada kamu memaksanya untuk menikah denganku," Mentari tertawa saat membicarakannya.
"Kalau kamu tidak percaya akan aku suruh dia melamarmu hari ini juga!" Zahra berkata dengan sungguh-sungguh.
"Sebenarnya ada apa sich, yang telah terjadi dengan kalian?" tanya Mentari dengan suara lirihnya.
"Itu karena … aku … tidak bisa memberinya anak," suara isak Zahra terdengar oleh Mentari.
"A--apa maksud … kamu?!" tanya Mentari terbata, karena sangat terkejut dengan kabar yang baru saja di dengarnya itu.
"Iya … aku tidak akan pernah punya anak seumur hidupku, Mentari … a--aku tidak bisa … punya anak!" tangis Zahra yang menyayat hati terdengar begitu jelas di telinga Mentari, dan itu membuat Mentari juga menitikkan air mata di pipinya tanpa dia sadari.
"Maaf, Zahra. Aku … tidak … bermaksud … membuka lukamu … itu. Aku tidak … " Mentari tidak bisa lagi melanjutkan kata-katanya. Hanya tangisnya yang bisa menjelaskan ada yang sedang dia rasakan.
Bagi seorang wanita, akan merasa telah sempurna bila dia bisa memberikan keturunan untuk suaminya. Sebaliknya, jika dia tidak bisa memberikan keturunan untuk suaminya, dia akan merasa tidak bisa menjadi wanita yang sempurna seutuhnya.
Mentari begitu sedih saat tahu bahwa Zahra tidak bisa hamil. Dia tidak berani bertanya lebih jauh lagi, kecuali Zahra sendiri yang mulai bercerita kepadanya. Sebab kehamilan bisa menjadi hal yang sensitif bagi sebagian wanita. Apalagi ketika dia tahu sudah tidak akan bisa hamil. Berbeda dengan wanita subur yang mudah mendapatkan kehamilan untuknya. Maka mereka akan membicarakan kehamilan dengannya bisa membuatnya senang.
"Aku ... tidak apa-apa, Mentari … oleh karena itu … aku minta kamu … menggantikan aku untuk memberikan Mas Fatih anak yang selalu diharapkannya … " Zahra menangis terisak disela pembicaraannya.
Kini kedua wanita yang telah berteman baik sejak lama itu terdengar menangis di teleponnya. Baik Mentari maupun Zahra tidak ada yang bicara. Hanya tangisan mereka yang menggambarkan perasaannya saat ini.
*****
Fatih dan Zahra mendatangi kediaman Khalid di pagi hari, karena hari ini kebetulan lagi tanggal merah. Aurora dan Khalid menyambut kedatangan anak dan menantunya itu. Kini mereka telah selesai menikmati sarapannya.
"Pah, sebenarnya ada yang mau Fatih dan Zahra bicarakan?!" kata Fatih menatap Khalid dengan tatapannya yang serius.
"Ada apa nih, kayaknya penting sekali?!" tanya Khalid ketika melihat tatapan mata Fatih.
"Zahra meminta Fatih untuk menikah lagi," jawab Fatih dengan suaranya yang rendah.
"Apa maksud kamu, Fatih!" suara Aurora menggelegar memenuhi seluruh ruang makan di kediaman Khalid.
"Mah, Zahra yang memintanya!" Zahra cepat-cepat mengklarifikasi membenarkan perkataan suaminya itu, agar mama mertuanya tidak salah paham.
"Apa maksudnya Zahra, katakan apa yang sebenarnya telah terjadi?!" Aurora masih tak percaya dengan apa yang telah dikatakan oleh anak dan menantunya itu.
"Sebenarnya dua tahun yang lalu Zahra mengidap kanker rahim," kata Zahra sambil menundukkan kepalanya.
"Kepergian kita ke Australia dua tahun lalu juga adalah untuk melakukan operasi pengangkatan rahim, karena kankernya … sudah mulai menyebar. Itu ... adalah satu-satunya cara … agar Zahra bisa ... sembuh," tangisan Zahra yang tertahan mulai terdengar.
"Zahra sudah ... tidak … akan bisa … memberikan keturunan … untuk Mas Fatih … " Zahra sudah tidak bisa lagi menahan tangisnya.
"Fatih, kamu ingin menikah lagi karena Zahra tidak bisa memberimu keturunan!" Khalid menatap tajam kepada putra sulungnya itu.
"Tidak Pah, Fatih menolak keinginan Zahra ini. Soal anak sejak awal Fatih tidak mempermasalahkannya," bantah Fatih terhadap papanya itu.
"Zahra, kamu tidak perlu bersedih. Fatih tidak masalah bila kamu tidak punya anak," kata Aurora mencoba menenangkan menantunya itu.
"Zahra ingin … Mas Fatih bisa menemukan kebahagiaannya ... sebelum kepergian Zahra … " kata Zahra di sela isak tangisnya.
"A--Apa maksud kamu … Zahra?!" tanya Khalid dan Aurora bersamaan.
"Zahra … mengidap penyakit Leukemia stadium tiga … " jawab Zahra dengan air mata yang makin deras membasahi pipinya.
Fatih memeluk Zahra dan mengusap punggungnya. Sementara Khalid dan Aurora tercengang karena sangat terkejut dengan perkataan Zahra barusan.
******
Fatih mendatangi Mentari di kantor perusahaannya. Tadi pagi dia menelepon Mentari untuk makan siang bersamanya dan membicarakan kelanjutan dari teleponnya semalam.
Setelah Zahra membicarakan semuanya kepada Khalid dan Aurora. Mereka juga mendukung keinginan Zahra itu. Setelahnya saat sore hari, dia dan Zahra mendatangi pesantren untuk membicarakan masalah ini dengan kedua mertuanya itu.
Awalnya ibunya Zahra menolak keinginan anaknya itu, tapi setelah ayah mertuanya menjelaskan akhirnya dia mau mengerti dan menerima keputusan yang direncanakan oleh Zahra.
"Mentari, apa kamu belum selesai kerjanya?" tanya Fatih saat membuka pintu ruangan Mentari.
Mentari yang baru saja akan mematikan laptopnya, mendongakan kepalanya dan melihat ke arah Fatih. Kemudian tersenyum ramah begitu melihat sosok pria tampan kini sedang berdiri di depan pintu ruang kerjanya.
"Kak Fatih sudah datang!" kata Mentari sambil berdiri dan mengambil tas miliknya.
"Apa jadi kita makan siang di rumahmu?!" tanya Fatih sambil menunggu Mentari berjalan ke arahnya.
"Ya, tentu saja. Kedua orang tuaku terkejut saat Papa Khalid menelepon kemarin siang," kata Mentari berjalan berdampingan dengan Fatih dan masuk ke dalam lift.
"Apa Kak Fatih tahu, aku yang baru saja tidur siang langsung di bangunkan dan diinterogasi mengenai masalah ini?!" lanjut Mentari dan Fatih hanya tertawa terkekeh.
"Orang yang baru saja tidur, dan nyawanya belum terkumpul langsung diinterogasi, karena mereka tidak mau, aku menjadi orang ketiga dari rumah tangga orang lain." Mentari menceritakan kejadian yang dialaminya kemarin dengan memasang mimik wajah yang lucu, dan itu membuat Fatih tertawa terkekeh tak bisa berhenti.
******
Keluarga Fatih, keluarga Zahra, dan keluarga Mentari kini makan siang bersama di rumah Ja'far. Mereka membicarakan tentang keinginan Zahra untuk menikahkan Fatih dan Mentari. Keluarga Mentari tidak tahu mengenai penyakit Leukemia yang sedang diderita oleh Zahra, yang mereka tahu adalah Zahra tidak bisa punya anak, dan meminta Mentari menjadi istri kedua Fatih agar bisa memberinya keturunan.
Pembicaraan tiga keluarga itu mengalir dengan harmonis, karena sebelumnya mereka sudah pada mengenal. Apalagi ketiga keluarga itu terikat persaudaraan karena adanya tali pernikahan. Sebab Mentari dulunya adalah istri dari William Green, yang merupakan Kakeknya Fatih.
"Jadi bagaimana Mentari apa kamu bersedia menjadi istrinya Fatih?" tanya Khalid sambil melihat ke arah Mentari.
"Bisa kasih waktu Mentari untuk melakukan istikharah?" pinta Mentari dengan tubuhnya yang tegang, karena tidak ada pikiran saat ini untuk menikah lagi.
"Ya, aku izinkan," jawab Fatih dan meminta yang lain menyetujuinya juga.
*****
JANGAN LUPA KLIK LIKE, FAV, HADIAH, DAN VOTE NYA JUGA YA.
MUMPUNG LAGI HARI SENIN, KASIH AKU VOTE KALIAN.
DUKUNG AKU TERUS DENGAN MEMBERIKAN JEMPOL YANG BANYAK.
TERIMA KASIH.
Setelah selesai pembicaraan itu, Mentari pergi ke halaman belakang dimana ada beberapa kolam ikan di sana. Dia ingin menenangkan pikirannya, sambil memberi makan ikan. Ada suatu kesenangan tersendiri saat di melemparkan pakannya, kemudian ikan-ikan itu mengerubutinya.
Saat Mentari asik melihat ikan-ikan itu saling berebut pakan. Ada seseorang yang tiba-tiba berdiri di sampingnya. Dialihkannya pandangan dia, kepada orang yang batu datang itu.
"Kak Fatih, ada apa?" tanya Mentari sambil melihat kepada laki-laki campuran bule Indonesia-Amerika itu.
"Ada yang ingin Kakak bicara sesuatu denganmu, ini yang penting!" kata Fatih sambil melihat ke arah Mentari.
"Apa itu Kak?" tanya Mentari penasaran.
"Kakak kira kamu belum tahu kondisi Zahra saat ini?" suara lembut Fatih yang menjadi ciri khas dia mengalun lembut di telinga Mentari, dan dia sangat suka itu.
"Memangnya ada apa dengan kondisi Zahra saat ini?!" tanya Mentari dengan nada sangat terkejut.
"Zahra saat ini sedang mengidap penyakit Leukemia stadium tiga," jawab Fatih ada nada terluka dan kesedihan dari ucapannya itu.
Mentari sangat terkejut sampai-sampai kakinya langsung lemas. Jika tidak di tahan oleh Fatih mungkin sudah terjatuh ke tanah atau bahkan ke kolam ikan, karena posisinya sedang berdiri di samping kolam ikan.
"Mentari! Kamu tidak apa-apa?!" Fatih menjadi panik saat melihat wajah Mentari langsung pucat pasi dan tubuhnya lemas tak bertenaga.
Fatih langsung membopong Mentari dan mendudukkannya, di kursi yang tak jauh dari kolam ikan itu. Sepertinya berita yang dibawa oleh Fatih membuat Mentari sangat shock.
"Benarkah, yang Kakak ... katakan barusan itu?" tanya Mentari dengan nada suara yang tercekat dan matanya yang berkaca-kaca.
"Iya, itu benar Mentari. Jadi Zahra ingin kita menikah sebelum ajal menjemputnya," jawab Fatih dengan suaranya yang lembut dan tertahan karena menahan sakit di hatinya. Bila mengingat kalau orang yang dicintainya itu, selalu diintai oleh kematian tiap waktunya.
"Jadi ini alasan Zahra ingin aku menikah denganmu, Kak?!" Mentari hatinya terasa di sayat-sayat saat ini.
"Iya, dia ingin kamu menjadi madunya," jawab Fatih sambil memalingkan wajahnya menahan sesak di dadanya dan juga tiba-tiba air matanya jatuh. Fatih tidak mau Mentari melihat itu.
Fatih berdiri memunggungi Mentari sambil menengadahkan wajahnya ke atas. Dia lebih memilih melihat langit biru yang dihiasi oleh awan yang berarak. Daripada melihat wajah Mentari yang saat ini terkejut dan tidak bisa bicara apa-apa lagi.
"Kakak juga akan melakukan istikharah sama seperti kamu," lanjut Fatih yang masih betah melihat pemandangan di atas sana.
"Jadi kita akan bertemu kembali Minggu depan. Saat itu berikanlah jawaban kamu, yang tidak akan kamu sesali kedepannya," kata Fatih yang kini menundukkan kepalanya.
"Hanya ini yang Kakak mau bicarakan," jelas Fatih sambil membalikkan badannya. Kini dia berhadapan-hadapan dengan Mentari yang entah sejak kapan sudah berdiri.
Mentari menatap netra berwarna hazel yang biasanya teduh itu, kini berair karena air mata kesedihan sang pemiliknya. Pandangan mereka berdua saling mengunci, dan seolah saling mengutarakan apa yang ada di hatinya saat ini.
Kemudian Fatih izin pergi masuk ke dalam rumah lagi bergabung bersama keluarganya. Sedangkan Mentari kembali duduk di kursi tadi.
"Ya Allah apa yang harus aku lakukan?" Mentari bermonolog sambil menengadahkan wajahnya ke atas.
Berita tentang penyakit yang diderita oleh Zahra, sungguh sangat membuatnya terpukul. Bagaimanapun juga dia adalah sahabatnya yang selalu ada, saat dia terpuruk dulu, akibat kegagalan rumah tangganya.
Kini sahabatnya yang sedang terkena musibah. Dia juga ingin berbuat sesuatu yang terbaik untuknya. Memberikan kebahagiaan di sisa hidupnya, yang entah sampai kapan.
Mentari menangis tersedu-sedu meluapkan perasaannya saat ini. Dia juga berpikir kalau Zahra bisa bahagia melihat pernikahannya dengan Fatih, maka akan dia lakukan. Meski dia tahu, tidak akan bisa masuk ke dalam hati laki-laki itu. Tidak ada tempat di hatinya untuk wanita manapun, karena semua hati dia sudah dipenuhi oleh Zahra.
Bila Mentari menerima pernikahan ini, dia harus siap untuk mengorbankan perasaan dirinya, demi kebahagiaan Zahra dan Fatih. Cinta Mentari untuk makhluk laki-laki, entah masih ada atau sudah hilang? Dia sendiri juga tidak tahu. Dulu cintanya kepada Willian terlalu sangat menggebu.
*****
Satu Minggu telah berlalu dan malam ini keluarga Khalid datang kembali mengunjungi rumah Ja'far. Kedua keluarga itu berbincang di ruang tamu, dan menunggu Mentari turun dari kamarnya, untuk mengetahui jawaban yang akan diberikan olehnya.
"Bunda apa Mentari masih lama bersiap-siapnya? Kok belum turun-turun?" bisik Ja'far kepada Sinar yang duduk di sampingnya.
"Sudah, barusan Mentari izin dulu ingin ke kamar mandi sebentar," jawab Sinar.
Fatih dan Zahra duduk berdampingan di sofa yang berada di sisi kiri, sedangkan Khalid dan Aurora duduk berhadapan dengan Ja'far dan Sinar. Tak lama kemudian Mentari turun menggunakan gamis berwarna jingga yang senada dengan hijabnya. Dia sungguh anggun malam ini.
Mentari duduk di sofa yang berhadapan dengan Fatih dan Zahra.
"Mentari apa kamu sudah punya jawaban atas lamaran Fatih Minggu lalu?" tanya Ja'far kepada putrinya itu.
"Iya, Ayah," jawab Mentari yang masih menundukan kepalanya itu. Setelah selama seminggu ini dia melakukan shalat istikharah, hatinya sudah mantap akan pilihannya. Baik buruknya kehidupan yang akan dijalaninya nanti, dia sudah ridho dengan takdirnya.
"Mentari bersedia menikah dengan Kak Fatih," lanjut Mentari dengan jantungnya yang berdetak sangat kencang saat ini.
"Alhamdulillah," ucap mereka semua.
"Selamat, Mas. Akhirnya Mentari mau juga menikah denganmu!" kata Zahra sangat antusias dan senyumnya yang sangat lebar.
"Apa kamu bahagia?" bisik Fatih.
"Ya, Mas. Aku sangat … sangat … bahagia sekali," Zahra tersenyum cerah ada sinar kebahagiaan di sorot matanya, yang sudah lama menghilang itu.
Fatih yang melihat Zahra begitu bahagia, dia juga akhirnya senang. Apapun akan dia lakukan, asal istrinya itu bahagia.
" Jadi kapan kalian akan melangsungkan pernikahannya?" tanya Sinar kepada Fatih.
"Mungkin sekitar tiga---" Fatih belum menyelesaikan ucapannya.
"Dua Minggu lagi!" potong Zahra, " mereka akan menikah dua Minggu lagi!"
"Dua Minggu?!" semua orang yang ada di sana terkejut dengan ucapan Zahra barusan.
"Baiklah dua Minggu lagi, Mentari dan Fatih akan menikah," kata Ja'far.
"Siapa yang akan menikah?!" Tiba-tiba ada suara dari arah pintu.
"Bibi Ratih? Kesini sama siapa?" tanya Ja'far dan menyambut istri pamannya itu.
"Assalamu'alaikum," terdengar salam dari beberapa orang di belakang Ratih yang masuk kedalam rumah Ja'far.
"Wa'alaikumsalam," jawab semua orang yang ada di dalam.
"Bibi kesini mau menjodohkan Mentari dengan cucu adik Bibi. Dia seorang guru yang sedang mencari seorang wanita untuk dijadikan istrinya. Bibi rasa Mentari akan cocok dengannya!" kata Ratih yang berjalan menuju sofa dan diikuti beberapa orang.
Mentari langsung berdiri dan mempersilahkan tamunya untuk duduk. Ada lima orang tamu yang barusan masuk ke ruang tamu.
"Maaf Nenek Ratih, Mentari sudah punya calon suami pilihan sendiri," tolak Mentari langsung tanpa basa-basi, karena dia tahu seperti apa Ratih dan keluarganya itu.
"Siapa calon suami kamu itu Mentari?!" Ratih tidak suka saat mendengar kalau Mentari sudah punya calon suami.
"Saya, Fatih calon suami Mentari," kata Fatih dan itu sukses membuat Nenek Ratih jantungan.
"Aduh … jantungku. Ja'far apa-apa kamu ini! bukannya dia sudah punya istri!" tunjuk Ratih kepada Fatih dan Zahra.
"Mentari akan menjadi istri kedua Kak Fatih," jawab Mentari tanpa ragu-ragu.
"Gila kamu Mentari! mau-maunya di jadikan istri kedua! Seperti tidak ada laki-laki lain saja. Nih Nenek kenalkan Arman dia masih perjaka, guru yang gajinya sangat besar, dan baik orangnya," kata Ratih dengan suaranya masih tinggi meski sudah uzur usianya.
"Terserah Nenek Ratih mau bilang apa, yang jelas Mentari sudah di pinang oleh Kak Fatih dan akan menikah dua Minggu lagi," balas Mentari kepada Ratih yang suka menjelek-jelekkan dan ikut campur urusan orang lain. Selain itu keluarganya juga gila harta dan kedudukan.
*****
Dua minggu kemudian …
"Saya terima nikah dan kawinnya Mentari Khairannisa Mochtar binti Ja'far Abdul Mochtar dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
"SAH!"
"SAH!"
Zahra menitikan air matanya, karena kini dia harus berbagi suami dengan sahabatnya itu. Dia berusaha tidak menyesali pernikahan suaminya, karena ini adalah permintaannya.
"Teh kamu itu, mau-maunya anak kamu di madu!" kata salah seorang keluarga Ustadz Ahmad kepada ibunya Zahra.
"Tidak apa-apa ini atas kemauan Zahra," jawab Mirna, ibunya Zahra.
"Itu karena Zahra mandul. Jadi mau nggak mau dia harus rela suaminya nikah lagi," kata Widuri, adik iparnya Mirna.
"Oh Zahra mandul? pantas saja sudah lama menikah belum juga punya anak," kata ibu-ibu lainya lagi yang menyaksikan acara pernikahan Mentari dan Fatih.
"Kamu itu Teh, punya anak dua perempuan nggak bener semua! Aisah hamil diluar nikah, sekarang Zahra harus rela dimadu karena mandul! kasihan sekali hidup kamu," kata Widuri lagi.
Mirna dan Zahra merasa sesak di dadanya ketika ada yang menghina keluarga mereka. Aisah itu hamil karena diperkosa, dia hamil bukan karena keinginannya. Begitu juga Zahra dia tidak menginginkan dirinya mandul.
Zahra yang kelelahan dua Minggu ini ikut Aurora dan Mentari mengurus pernikahan ini. Serta omongan-omongan keluarganya yang bikin sakit hatinya membuat Zahra drop dan pingsan.
"Ya Allah, Zahra!" teriak semua orang yang berada di dekat Zahra yang pingsan.
*****
JANGAN LUPA KLIK LIKE, FAV, HADIAH DAN VOTE NYA JUGA YA.
DUKUNG AKU TERUS DENGAN MEMBERIKAN JEMPOL YANG BANYAK.
TERIMA KASIH.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!