NovelToon NovelToon

Berbagi Cinta: Suamiku Menikah Tanpa Izinku

1. Sebuah Pesan Bergambar

"Mas, tumben sekali kamu ke luar kota lama?" tanyaku sambil merapikan beberapa potong baju Mas Hilman, suamiku, ke dalam koper.

"Iya. Proyek di Bandung sedang bermasalah dan sebagai orang yang ditunjuk untuk bertanggung jawab, aku harus menyelesaikan semuanya secepatnya. Mudah-mudahan cepat selesai dan aku cepat pulang," ujar Mas Hilman seraya menyisir rambutnya ke belakang. Matanya fokus pada cermin, tangannya terus bergerak menyisir rambut hingga rapi.

"Kamu gak apa aku tinggal kan? Kalau di rumah sepi kamu nginap aja di rumah ibu. Atau aku anterin kamu sekalian ke sana sekarang?" tanya Mas Hilman, kini dia sedang memakai dasi. Aku bangkit dan membantunya memakaikan dasi berwarna maroon, hadiah ulang tahunku untuknya beberapa bulan yang lalu.

Mas Hilman melingkarkan tangannya di pinggangku, sementara aku melilitkan dasi itu di lehernya. Tubuhku yang sebatas pundaknya membuat Mas Hilman sedikit membungkuk, dengan leluasa aku menyimpulkan dasi itu di depan lehernya.

Wajah Mas Hilman begitu berseri-seri menatapku saat ini. Kedua sudut bibirnya tertarik ke samping membuat matanya sedikit menyipit. Aku sangat suka dengan senyumnya yang seperti ini. Wajahnya yang tampan semakin tampan dan membuatku semakin jatuh cinta saja padanya setiap hari. Oh ... bahkan setiap detik.

Mas Hilman sosok lelaki yang pengertian. Sosok lelaki yang bisa membuatku lupa akan segalanya. Sosok dewasa yang membimbingku menjadi wanita yang dewasa pula. Selalu menyayangiku. Selalu menyatakan cinta padaku di setiap paginya. Bagaimana aku tidak akan jatuh cinta dengan pria romantis seperti dia?

Tujuh tahun pernikahan kami. Dia tidak pernah mengeluh padaku, tidak pernah menuntutku atau menyalahkan ku karena kami belum di karuniai keturunan. Kalian tahu apa yang dia bilang?

"Anak itu hanya titipan. Mungkin Tuhan masih belum percaya dengan kita. Jika saatnya tiba, tentu kita juga akan mendapatkan apa yang sudah seharusnya kita dapatkan. Biarkan saja kita seperti ini dulu. 'Kan jadinya seperti pacaran!"

Mas Hilman terkekeh setelah mengatakannya. Aku terharu saat itu. Mas Hilman selalu bisa mengenyahkan segala rasa gundah dan juga kesedihan yang melanda hati ini karena belum sempurnanya diriku menjadi seorang istri untuknya.

Dasi sudah terpasang rapi. Aku mengecek kembali semua yang terpasang di tubuhnya. Jas warna abu-abu yang dia pakai membuatnya terlihat gagah. Dengan gerakan pelan aku mengusap dadanya, dada yang bidang yang selalu saja membuat aku betah bersandar di sana kala hati ini gundah.

"Hei ... Mau aku antarkan tidak?" tanya Mas Hilman sekali lagi. Gara-gara mengaguminya aku jadi lupa kalau dia tadi bertanya.

"Gak usah. Aku mau beberes dulu. Palingan nanti sore aku ke rumah ibu sendiri pakai motor."

"Oh, ya sudah." Mas Hilman kini mendekatkan kepalanya dan mencium keningku, mata, hidung, lalu ke bibir. Tangannya semakin erat merengkuh pinggangku hingga tubuh kami saling menempel bak perangko.

Deru nafas hangatnya, rasa manis bibirnya, lidahnya yang kini bermain di dalam mulutku membuat aku terbuai dengan perlakuan manisnya. Sungguh ini adalah suntikan semangat di pagi ini. Ciuman yang tidak akan aku dapatkan selama seminggu ke depan.

Tangan Mas Hilman kini mulai bergerak ke atas, menekan tengkuk leherku dan memperdalam ciuman kami. Semakin panas dan semakin panas lagi saat lidah kami saling membelit dan menyulitkanku untuk bernafas. Hampir saja Mas Hilman membuka bajuku, tangannya sudah membuka dua kancing bajuku. Jika saja tidak terdengar suara hpnya yang berbunyi nyaring mungkin sebentar lagi kami akan ....

Ah, mengganggu saja!

Mas Hilman sudah menarik dirinya, tapi tangannya masih saja berada di salah satu bagian atas tubuhku.

"Mas ih! Nakal!" Aku menepis tangannya yang masih betah di dadaku. Suamiku itu hanya terkekeh melihat pelototan mataku. Dada ini masih saja berdebar dengan kencang. Sudah berharap adegan selanjutnya ... eh malah zonk. Hehe ....

"Hp kamu bunyi." Aku menarik diriku menjauh mundur selangkah darinya. Mas Hilman mengeluarkan hpnya, menekan layar lalu kembali memasukkannya ke dalam saku celana.

"Kok gak diangkat?" tanyaku. Aku kembali maju untuk merapikan dasinya yang miring akibat ulah kami tadi, memasukkannya ke dalam jas dan mengusap bajunya yang sedikit kusut.

"Ini dari Deon. Mungkin dia sudah sampai di kantor. Aku berangkat dulu, ya. Kamu hati-hati di rumah. setelah sampai nanti aku akan telepon kamu.'' Satu ciuman hangat mendarat di keningku lalu berlanjut pada hidung, kedua pipi, dan berhenti di depan bibirku.

"Aku akan lewatkan yang ini. Nanti malah gak mau lepas lagi." Mas Hilman terkekeh sambil mengedipkan satu matanya dengan nakal padaku. Ih, dasar mesum!

"Aku berangkat ya," pamitnya. Aku mengangguk.

"Aku antar ke depan ya," tawarku. Mas Hilman menggandeng pinggangku sedangkan satu tangan yang lain menyeret koper.

Selalu seperti ini setiap kali Mas Hilman akan berangkat bekerja. Jujur saja aku tidak bisa jauh dari dia. Semenjak dia menjadi suamiku, dia adalah tumpuan hidupku, kebahagiaanku, dan juga segalanya untukku, setelah ibu tentu saja.

"Kamu mau pakai mobil? Kalau kamu mau, aku akan berangkat pakai taksi. Sayang juga kalau di kantor mobil cuma nganggur di basement," ujar Mas Hilman saat kami sudah ada di teras.

"Enggak, ah. Pakai mobil gak bisa nyalip-nyalip. Masih enakan pakai motor," ucapku. Mas Hilman menatapku dengan tatapan tak suka. Satu tangannya terangkat ke atas dengan telunjuk kini tepat menunjuk di depan hidungku.

"Jangan ngebut-ngebut!" peringatnya.

"Aku gak mau kalau kamu sampai nabrak atau jatuh karena main kebut-kebutan. Kulit kamu juga bisa hitam kalau pakai motor gak pakai jaket." Wajahnya dibuat marah, tapi aku tahu dia tidak pernah bisa marah denganku. Aku hanya menjulurkan lidahku padanya. Mas Hilman tertawa melihat kelakuanku yang tidak peduli dengan ucapan peringatan darinya

"Ya sudah, jaga diri baik-baik ya. Aku berangkat. Kalau ada apa-apa kamu telepon aku, ya. Ingat jangan makan mie instan dan kopi banyak-banyak," ucapnya sambil mengacak pelan rambutku setelah itu dia mengusap pipiku dengan lembut.

"Sampai jumpa minggu depan. Love You." Mas Hilman mengangkat kedua tangannya ke atas kepala dan membuat bentuk hati yang sangat besar. Aku tertawa dengan tingkahnya ini. Usia kami sudah bukan anak remaja, tapi kami tidak peduli, kami melakukan hal itu. Stttt ....

"Love you juga!" Aku melakukan hal yang sama.

Lagi. Mas Hilman mengecup keningku sebelum dia beranjak untuk masuk ke dalam mobil.

Mobil sudah berada di luar pagar, mas Hilman tersenyum dari balik kemudi, melambaikan tangannya ke arahku. Aku balas melambaikan tanganku padanya

"Hai-hati, Mas!" teriakku. Dia hanya mengangguk setelah itu menaikkan kaca mobilnya. Mobil pun pergi meninggalkan aku yang masih menatapnya hingga menjauh. Udara yang semakin panas membuat aku tidak tahan dan mendorong pagar besi sampai tertutup sempurna.

Aku menatap rumah sederhana yang kami beli tiga tahun yang lalu. Perjuangan membeli rumah ini sangat terasa sekali, dan aku bersyukur dengan ini mekipun kami tinggal di rumah yang sederhana, tapi ini adalah milik kami. Tidak perlu membayar lagi.

Aku mengambil selang air yang ada di depan rumah. Tanaman yang hampir layu ku sirami hingga terlihat segar kembali, bau tanah kering tercium sedikit membuat hidungku geli. Dua kali bersin membuat hidung ini rasanya lega sekali.

Selesai dengan taman dan menyapu di luar rumah, lanjut aku membersikan bagian dalam rumah. Tidak perlu di jelaskan detailnya apa yang aku kerjakan sekarang, pekerjaan rumah memang tidak pernah ada habisnya. Melelahkan.

Tiga jam menggerakkan tubuh ini, peluh mengucur dari mulai wajah, leher, hingga ke dalam bajuku. Ini memang olahraga yang cocok untukku yang malas berolahraga di luar.

"Aahh ... sakit juga pinggang ini." Aku mengeluh sendirian. Jika saja ada Mas Hilman di sampingku dia pasti akan membantu menyelesaikan pekerjaan rumah dan setelah itu memijat pinggangku, dan setelah memijat pinggang lalu kami ....

Aih ... pikiranku nakal! Hehe ... membayangkan hal itu wajah sampai telingaku jadi panas.

Tubuh ini sudah lengket, gegas aku pergi ke dalam kamar untuk mengambil handuk, lalu kembali ke luar untuk ke kamar mandi.

Rumah ini hanya rumah sederhana dengan tiga kamar tidur, ruang tamu dapur, dan juga ruang makan, satu kamar mandi berdekatan dengan dapur. Di belakang rumah ada satu ruangan tambahan, cukup besar ukurannya, kami pakai sebagai ruang cuci sekaligus ruang setrika. Masih ada lahan sempit kami gunakan untuk menjemur pakaian.

Tak lama aku mandi, setengah jam saja untuk memanjakan diri ini setelah lelahnya beraktifitas. Ku ambil laptop dari dalam kamar dan aku simpan di atas meja makan. Dengan segelas es kopi di samping, aku memulai masa-masa terindahku. Sangat segar rasanya di siang yang panas ini.

Satu aplikasi berwarna biru kini menghiasi hari-hariku. Setelah aku resign dari kantor karena permintaan Mas Hilman aku menjadi bosan hanya diam saja di rumah, dan akhirnya aku hanya menghabiskan waktuku dengan membaca novel online. Menjadi pengangguran membuatku stress dan jadilah aku iseng membuat sebuah cerita.

Tidak banyak yang aku buat, aku hanya mengetik saat mendapatkan ide, dan itu pun aku lakukan di belakang Mas Hilman. Aku takut dia akan marah jika aku bilang telah menjadi seorang penulis sebuah platform online.

'Itu sama saja dengan kerja!' Mungkin saja Mas Hilman akan mengatakan itu, dan bagaimana kalau dia memintaku untuk berhenti lagi?

Hasil yang aku dapatkan dari sana juga tidak banyak, tapi aku cukup senang saat melihatnya bertambah setiap bulan. Soal hasil aku tidak ambil pusing dengan berapa yang aku dapatkan, ini aku lakukan hanya untuk mengisi waktu kosongku saja.

Tring ....

Satu notif pesan terdengar di hpku. aku yang sedang tanggung dengan ketikanku tidak lantas membuka pesan itu. Jika ini dihentikan aku tidak yakin akan ingat apa yang sudah aku pikirkan tadi.

Hp aku buka setelah aku menyelesaikan satu paragraf terakhir. Ada beberapa notif di sana, salah satunya pesan dari Mas Hilman.

[Aku udah di jalan, ini lagi berhenti dulu di rest area.]

Pesan satu jam yang lalu. Aku tersenyum. Mas Hilman memang tidak pernah lupa untuk memberi kabar di setiap perjalanan bisnisnya.

Pesan lain aku buka. Dari ibu, dari Diana sahabatku, dan beberapa orang temanku, hingga saat aku membuka satu pesan lain ... aku terdiam.

Dada ini berdebar dengan tak karuan, bergemuruh bagai ombak besar yang menabrak karang. Mataku memanas tidak mau teralihkan dari pesan gambar yang baru saja aku buka.

Pipiku menghangat karena satu cairan yang baru saja keluar dari mata, tak peduli kini semakin banyak dan membasahi paha.

"Tidak mungkin." Aku berkata dengan lirih. Gegas ku perbesar gambar yang dikirim seseorang itu padaku.

Tidak mungkin! Ini bukan Mas Hilman!

Akan tetapi, semua yang aku lihat itu memnag bukan khayalanku. Bukan aku salah melihat, saat aku memperbesar tampilan gambar itu ... itu memang Mas Hilman, sedang duduk berdua bersama seorang wanita muda di sampingnya dengan kerudung putih yang terpasang di atas kepala keduanya. Tangan pria itu sedang menjabat tangan seorang pria lain yang memakai jas hitam di depannya.

Ini sebuah pernikahan! Bahkan, keluarga Mas Hilman pun ada di sana!

Kenapa ini terjadi? Kenapa dia mengkhianatiku?

2. Anggap Dia Adikmu!

Dadaku terasa panas dan juga sakit melihat gambar itu. Gegas aku menelepon seseorang yang mengirimkan gambar ini kepadaku. Hati ini masih saja tidak percaya dengan apa yang aku lihat disini.

"Halo, Ta. Kamu yakin kalau itu memang dia?" tanyaku setelah terdengar suara dari sana. Suaraku tercekat dan terasa bergetar.

"Kamu sudah yakin kalau ini memang Mas Hilman? Jangan bercanda kamu, Ta!" tanyaku lagi. Rasanya berharap kalau ini hanya lelucon Tata saja. Tata adalah salah satu temanku.

"Benar, Yu. Itu status whatapp-nya Ardian. Maaf, Yu. Aku juga kaget saat tadi melihat statusnya dia. Untung aja sempat aku SS, gak lama setelah itu status itu sudah gak ada lagi, Yu." Nada suara Tata terdengar penuh dengan kesungguhan. Tata menyebut nama Ardian, dia adalah sepupu Mas Hilman. Tata berteman lewat aplikasi hijau itu dengan Ardian karena ternyata mereka pernah dekat di masa lalu.

Ingin tidak percaya tapi hati ini terlanjur sakit, apalagi mendengar nama Ardian disebutkan. Memang dia adalah sepupu Mas Hilman yang paling dekat.

"Yu! Ayu?!" Suara Tata terdengar melemah karena aku menjauhkan hpku dari telinga. Air mata ini terus saja mengalir mendengar dan juga melihat kenyataan pahit ini.

Panggilan Tata tidak aku hiraukan lagi, segera aku mematikan panggilan itu tanpa pamit. Dengan tangan yang bergetar, ku cari status WA dari Ardian, atau dari keluarga Mas Hilman yang lainnya. Tidak ada! Tidak ada foto yang semacam itu.

Ku cari nomor Mas Hilman dan segera aku hubungi dia. Tidak ada jawaban. Nomor Mas Hilman aktif sekitar satu jam yang lalu, itu tidak lama setelah dia mengirimkan pesan padaku. Bodohnya aku. Kenapa aku tidak langsung telepon padanya tadi.

Aku juga menghubungi nomor Ardian, kebetulan nomor itu sedang aktif. Berkali-kali mendengar nada tunggu, sampai hati ini rasanya tidak sabar. Ardian juga tidak mengindahkan panggilanku, bahkan setelah itu nomornya tidak aktif lagi.

Nomor yang lain juga sama, tidak ada yang menjawab. Namun, pada saat aku melakukan panggilan pada ibu mertuaku, akhirnya panggilan itu dijawab.

"Kamu ngomong apa sih, Yu. Jangan ngada-ngada kamu!" Ibu membentak saat aku bertanya tentang kebenaran foto itu.

"Tadi Ayu dapat kiriman foto saat Mas Hilman dengan wanita, Bu. Apa benar Mas Hilman menikah lagi?" Aku berseru. Aku yakin tidak salah melihat dengan gambar itu.

"Halaah, kamu ini Yu. Sudah. Ibu sedang sibuk disini!"

Tuut ...

Panggilan terputus. Aku terduduk lemas menyandarkan punggung ku di kursi. Rasa di dalam dada begitu membuncah karena marah dan juga sangat sakit. Ku padangi foto yang ada di layar hp. Meski aku ingin menolak jika itu bukan Mas Hilman tapi tulisan yang ada di layar atas hpku jelas tertulis dengan nama Ardian, dan juga dari ucapan Ibu tadi, Ibu bilang sedang sibuk. Apa yang ibu lakukan sampai Ibu bilang sedang sibuk seperti itu? Ibu bukan orang yang suka menyibukkan diri dengan pekerjaan.

Sambil menyeka air mata di wajahku, aku bergegas pergi ke kamarku, mengganti celana panjang dan juga memakai jaket tebal. Aku harus bertemu dengan Mas Hilman meski aku tidak tahu ada dimana dia.

Dengan langkah cepat aku keluar mengambil motor di garasi, tak lupa semua pintu dan jendela aku kunci. Aku harus bertemu dengan Ibu untuk menanyakan keberadaan Mas Hilman.

Hampir dua jam aku berkendara ke rumah orang tua Mas Hilman. Tidak ku hiraukan kecepatan yang kini di atas rata-rata. Aku hanya ingin segera sampai di sana. Beberapa kendaraan aku salip, tidak peduli mereka membunyikan klakson atau bahkan mengumpati diriku yang mengambil jalannya begitu saja.

Sampai di rumah orang tua Mas Hilman. Suasana di sana sepi, tidak seperti biasanya. Pintu yang biasanya terbuka kini tertutup, begitu juga dengan jendela.

"Bu. Ini Ayu, Bu!" Aku mengetuk pintu, beberapa kali tidak ada sahutan dari dalam membuat semakin gundah hati ini.

Kemana gerangan mereka semua?

"Bu, Pak!" Kali ini aku memanggil semua orang yang ada di rumah ini. Tidak hanya di pintu depan, aku juga berlari ke arah belakang rumah. Di sana biasanya ibu dan Yana, menantunya dari anak pertama suka berbincang, Disini pun sepi, tidak ada orang sama sekali. Aku kembali ke teras depan.

"Loh, Mbak Ayu disini?" Seorang tetangga datang saat aku kembali mengetuk pintu rumah ini. Sudah sepuluh menit tapi masih tidak ada yang membukakan pintu untukku.

"Ini pada kemana, ya Bu?" tanyaku pada Bu Sri, tetangga ibu, rumahnya tepat ada di samping. "Kok pada gak ada orangnya?" Jujur saja aku mulai takut.

Bu Sri terlihat kebingungan. Keningnya terlihat mengkerut dengan alis yang hampir menyatu.

"Loh, emang Mbak Ayu gak tahu? Kan Bu Widia sekeluarga sedang ada acara nikahan di kota sebelah." tutur Bu Sri.

Deg ....

Ya Allah. Pernikahan siapa?

"Pe-Pernikahan siapa, Bu?" tanyaku pada Bu Sri.

"Loh, Mbak Ayu serius gak tau? Jadi Mas Hilman menikah lagi gak bilang sama Mbak Ayu?" tanya Bu Sri yang kini menatap iba padaku.

Blammm ....

Rasanya ada sebuah gada yang kini dipukulkan ke dadaku dengan keras. Kakiku gemetar, lututku melemas, nyawa seakan tercabut dari raga ini. Aku terduduk di lantai dengan tangan memegang pilar. Mata ini tak mampu berkedip, hanya saja air mata terus bercucuran tanpa bisa aku tahan lagi.

Jadi foto itu benar adanya?

Bu Sri berlari ke arahku, mengguncang tubuh ini. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara apapun yang terdengar dari sana. Telinga dan mataku seakan kini tertutup.

Pernikahan ....

Tega kamu, Mas ....

"Mbak Ayu! Mbak eling, Mbak. Istighfar!" Lamat suara Bu Sri terdengar lagi oleh telingaku. Aku menoleh padanya, Bu Sri menatapku dengan penuh kekhawatiran.

"Yang sabar ya, Nduk." Tangannya yang gempal mengurut punggungku lembut. Justru membuat aku semakin rapuh. Ku tubrukkan diri ini ke tubuh berisi Bu Sri dan menangis dengan memeluknya erat.

Kini aku berada di rumah Bu Sri. Bu Sri tidak tega melihat keadaanku yang syok berat. Hingga sore begini Ibu dan yang lainya belum juga pulang. Bu Sri setia menemaniku.

Entah berapa puluh panggilan aku mencoba menelepon Mas Hilman. Begitu juga dengan pesan, tidak peduli dengan jariku yang sudah pegal. Pesan yang aku kirimkan masih saja centang satu, belum berubah biru.

Tidak hanya ada Mas Hilman, aku juga masih berusaha untuk menghubungi yang lainnya. Jika aku tahu dimana mereka, sekarang juga aku akan menyusul dan menghancurkan kebahagiaan mereka!

Seperti yang sudah direncanakan, tidak ada seorang pun yang mengangkat atau membalas telepon dariku. Aku hanya bisa menahan sesak di dada ini sendirian.

Hari sudah menjelang malam, tidak ada tanda-tanda siapapun akan pulang ke rumah itu. Beberapa kali ada mobil yang lewat berharap jika itu mobil yang membawa keluarga besar Mas Hilman, tapi ternyata bukan.

"Saya pamit saja, Bu. Terima kasih saya sudah diizinkan menunggu disini." Aku mengambil tasku dan memasukkan hp ke dalam sana.

"Loh, gak nginep aja disini. Rumah Mbak Ayu kan jauh." Bu Sri melarang.

"Gak apa-apa, Bu. Ayu pulang aja. Gak enak kalau nginep disini." Aku bergegas bangkit, Bu Sri menatapku dan ikut berdiri.

"Oh, sebentar Mbak Ayu, diantarkan saja ya pulangnya sama bapak sama Arman. Ibu takut terjadi apa-apa sama Mbak Ayu di jalan." Bu Sri mengusulkan.

"Tidak usah, Bu, Terima kasih. Ayu pulang sendiri saja." Aku menolak usulan Bu Sri, sudah merepotkan selama disini, tidak mau merepotkan keluarganya yang lain.

"Sudah toh, Mbak Ayu. Jangan sungkan seperti itu. Pak! Bapak!" Bu Sri berteriak memanggil Pak Hendra, tak lama yang dipanggil datang.

"Ada apa, Bu?" Pak Hendra datang dari ruangan lain.

"Ini, Pak. Mbak Ayu mau pulang. Bapak antarkan Mbak Ayu sama si Arman ya." Bu Sri meminta pada suaminya.

"Jangan, Bu. Tidak enak dilihat yang lain." Aku tetap menolak. Bagaimanapun juga mereka adalah orang lain, tidak enak juga jika dilihat orang lain lalu ada yang melapor pada mertuaku.

"Sudah lah, Mbak Ayu. Pikiran Mbak Ayu ini lagi kalut. Jangan sungkan pada kami. Biar diantar saja. Ibu takut Mbak Ayu melamun di jalan."

Aku bingung, menerima atau menolak sama-sama tidak baik juga.

"Begini saja deh kalau Mbak Ayu sungkan. Saya sama Arman ngikutin motor Mbak Ayu dari belakang sampai ke rumah, ya?" tawar Pak Hendra.

Jika dipikir itu lebih baik. Akhirnya aku setuju.

Dengan kecepatan yang sedang aku, diikuti Pak Hendra di belakang, akhirnya kami pergi. Beberapa kali Arman menekan klaksonnya, entah sepertinya aku sempat melamun hingga saat mendengar suara klakson motor Arman aku tersadar.

"Mbak. Hati-hati, Mbak. Jangan melamun!!" Pak Hendra berteriak dari belakang tubuh putra sulungnya yang sedang mengemudikan motor.

Perjalanan pulang membutuhkan waktu yang lumayan lama. Hingga akhirnya kami sampai di rumah lebih dari jam sembilan malam.

"Kami pulang dulu, ya Mbak." Pak Hendra dan Arman pamit tanpa masuk ke rumahku. Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih banyak pada mereka berdua atas bantuannya.

...***...

Tiga hari sudah berlalu, tapi Mas Hilman belum juga ada kabar. Bahkan pesan yang aku kirimkan juga masih saja centang satu dan belum berubah warna. Mas Hilman juga terakhir online saat dia mengabarkan bahwa dirinya sedang istirahat di rest area.

Beberapa kali aku pergi ke rumah ibu mertuaku, tapi masih tetap tidak ada orang. Seakan mereka sepakat untuk menghindar dariku.

Hati ini semakin gundah, semakin gelisah. Rasa sakit atas penghianatan suamiku membuat aku lelah hanya menangis, dan menangis. Sudah tiga hari pula aku tidak menyentuh laptopku.

Sadar akan diri yang akan terpuruk jika terus melakukan hal konyol ini, lebih baik aku melupakannya dengan aktifitasku yang lain. Mungkin jika aku kembali mengetik aku akan melupakan rasa yang menyakitkan ini. Setidaknya, aku tidak akan terlalu memikirkan masalahku meski aku juga tidak yakin akan hal itu.

...***...

Pintu diketuk dari luar. Gegas aku berjalan menuju pintu. Ku putar kunci, tapi tak lantas langsung membuka pintu itu untuknya. Siapa lagi yang akan datang ke rumah ini? Ya, Mas Hilman telah pulang. Pulang dari acara pentingnya.

"Assalamualaikum, Yu." Senyumnya lebar terlihat sumringah saat aku membuka pintu ini lebar-lebar.

"Waalaikum salam." Meski dalam hati ini aku marah, salam tetap wajib untuk dijawab. Aku mengutuk sikapnya yang dengan tega menduakan aku.

"Yu, kamu kok gak sambut aku?" tanya Mas Hilman yang kini mengikuti langkah ku. Mungkin bingung karena biasanya aku menunggu dia pulang bekerja dan lalu memeluknya setelah membuka pintu.

"Buat apa aku sambut kamu. Dasar pembohong!" ucapku tanpa berhenti atau sekedar menoleh padanya.

"Apa maksud kamu, Yu?" Mas Hilman tidak terima, tanganku dipegangnya dan ditarik hingga aku berhenti melangkahkan kakiku. Diputarkannya tubuh ini menghadap ke arahnya.

"Kamu ini kenapa, Yu? Tidak biasanya kamu tidak menyambut kepulangan aku?" protesnya, tapi aku tidak peduli. Aku menarik tanganku kasar. Terlalu sakit hati ini saat melihat foto itu. Apalagi kini orang yang ada di poto itu berlagak tidak tahu dan juga tidak mengerti.

"Jangan pura-pura kamu, Mas? Kamu kenapa bohong sama aku? Kamu kenapa nipu aku, Hahh?!!" Aku menjerit tepat di depan wajahnya, tidak tahan dengan rasa hati ini. Hal yang sama sekali tidak pernah aku lakukan selama ini pada sosok suami yang sayangnya kini penghianat di dalam hidupku.

"Bohong apa? Apa yang kamu maksud aku gak ngerti?" Mas Hilman masih berkilah. Dia benar-benar tidak mau mengaku? Sungguh keterlaluan suamiku ini!

Aku pergi meninggalkan Mas Hilman untuk mengambil hpku yang ada di meja dapur, lalu dengan cepat kembali ke tempat Mas Hilman berdiri tadi. Dada ini rasanya mau meledak dengan ketidakjujuran pria ini. Hanya bisa kembang kempis dengan amarah yang hampir meledak.

Dengan gerakan cepat aku mencari gambar yang beberapa hari terakhir ini sangat mengacaukan dan menghancurkan hatiku.

Mas Hilman terkejut dan terdiam saat aku menunjukkan gambar itu di depan matanya.

"Ini. Bisa kamu jelaskan?" tanyaku dengan nada geram. Mataku sudah panas, tapi tidak bisa lagi mengeluarkan air mata.

"Kamu ... darimana kamu dapatkan gambar ini?" Mas Hilman meraih hp di tanganku. "Ini ... Ini buk ...."

"Kamu mau bilang itu bukan kamu, Mas?!" teriakku padanya saat dia belum selesai bicara. Mas Hilman hanya terdiam tidak menjawab.

"Apa mungkin ada yang wajahnya mirip sama kamu, terus dia meminjam jam tangan kamu saat dia akad nikah? Kamu mau bilang begitu?!" teriakku lagi.

Mas Hilman kini benar-benar diam menerima teriakanku yang lantang. Air mataku kini kembali mengucur. Aku kira aku akan kuat berhadapan dengannya untuk waktu seperti ini, tapi tidak aku sangka jika aku tidak sekuat itu.

"Maaf." Mas Hilman berkata dengan lirih. Pandangannya ia alihkan ke samping, menghindari tatapan dariku.

"Aku terpaksa, Yu. Ibu sangat ingin cucu, dan aku tidak bisa menolak permintaan ibu kali ini." Perkataan itu membuat aku kini meluruhkan tubuhku pada dinding, hingga merosot ke lantai. Sungguh aku tidak kuat lagi menahan diri ini. Aku tidak sekuat yang aku bayangkan kemarin.

Mas Hilman perlahan berjongkok, kedua lututnya berada di lantai. Entah apa lagi yang dia lakukan, aku menelungkupkan kepalaku di atas lutut.

"Maaf, Ayu. Aku tidak tahu harus bicara apa sama kamu, kamu pasti akan menolak permintaan ibu ini kan?"

"IYA!! Tentu aku akan menolak, Mas!" Aku berteriak seraya mengangkat kepalaku, menatapnya dengan tajam.

"Kamu kira siapa orang yang rela dimadu? Siapa yang suka jika dirinya diduakan? Siapa orang yang mau itu Mas? Dan parahnya kamu bohong sama aku dengan alasan pekerjaan di luar kota?" Aku berteriak lagi. Ku rasakan bibir ini bergetar karena emosi yang sangat besar terhadapnya.

"Maafkan aku, Ayu. Aku minta maaf. Aku terpaksa menikah dengannya. Aku mohon kamu mengerti posisi aku, Yu. Ibu dan bapak ingin punya cucu dari aku. Ibu bilang aku harus menceraikan kamu. Aku gak mau, Yu. Aku gak mau pisah dari kamu."

Aku tidak menjawab perkataannya. Hanya bisa menangis sambil memukuli dada ini yang terasa sesak. Begitu teganya ibu padaku.

"Ini juga bukan mauku, Mas. Aku juga tidak mau seperti ini. Aku juga mau punya anak. Huu....."

Pernyataan Mas Hilman membuat luka hati ini menganga semakin lebar. Aku menangis tersedu, Mas Hilman mengambil bahuku dan meraihku ke dalam pelukannya. Pelukan yang hangat seperti biasanya menenangkan hatiku, tapi kini sama sekali tidak membuatku merasa lebih baik.

"Aku mohon, Yu. Ini juga tidak mudah untuk aku. Aku mohon kamu mau menerima dia. Jangan anggap dia sebagai madumu. Anggap lah dia sebagai adikmu."

Aku menghentikan tangisku mendengar ucapannya barusan. Ku tegakkan kepala ini dan menatapnya dengan tajam.

"Apa kamu bilang, Mas? Terima dia sebagai adikku? kamu gila!" cercaku lalu mendorong tubuhnya hingga terjengkang ke belakang.

Aku berdiri dan menunjuk lantang padanya.

"Satu kesalahan, kamu berbohong sama aku tentang perjalanan kerja kamu. Kesalahan kedua, kamu menyembunyikan pernikahan kamu. Dan kesalahan ketiga, kamu menyuruhku untuk menganggap dia adikku? Kamu gila, Mas!" ucapku dengan nada yang dingin. Mas Hilman menatapku dengan sorot penuh penyesalan.

Aku menggelengkan kepalaku, tidak sanggup lagi mengatakan hal apapun terhadapnya kini. Rasa di dalam dada semakin bergejolak dengan amarah. Kutinggalkan Mas Hilman yang masih terdiam di tempatnya, gegas aku berjalan cepat ke dalam kamar.

"Ayu!" teriak Mas Hilman dari belakang. Aku mempercepat langkahku untuk masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam.

Suara pintu terdengar digedor dari luar, aku tidak peduli dengan teriakan Mas Hilman yang memanggil namaku dan memintaku membukakan pintu untuknya.

Aku menutup telingaku. Berharap tidak lagi mendengar suara teriakan itu.

"Aaaarggghhhhh!!!!" Hanya berteriak yang bisa aku lakukan untuk mengeluarkan rasa sesak di dalam dada ini.

Jangan lupa dukungannya ya 🙏

3. Orang Asing

Hingga malam hari aku mengurung diriku di kamar, tidak peduli dengan Mas Hilman yang masih terdengar suaranya di luar. Panggilannya juga ku abaikan. Aku hanya duduk diam di atas kasur sambil memeluk lututku sendiri. Sungguh sangat kacau keadaanku saat ini.

"Yu, ayo kita makan! Aku sudah masak!" Suara ketukan di pintu terdengar, nada suaranya membujukku dengan lembut. Biasanya itu menjadi hal yang menyenangkan jika Mas Hilman memasak, aku juga akan disuapinya, tapi sekarang aku tidak ingin bertemu dengannya sama sekali.

"Ayu!" suara ketukan di pintu terdengar kembali, aku tetap bertahan dengan kediamanku.

"Ya sudah kalau kamu gak mau makan sekarang. Tolong keluar dan nanti kamu makan, ya. Ingat lambung kamu, Yu. Jangan sampai sakit lagi. Kalau kamu butuh apa-apa aku tidur di kamar sebelah ya." pamitnya memberi keterangan padaku. Aku masih diam, tidak lagi mendengar suaranya atau mendengar pintu diketuk lagi.

Semua yang terjadi tidak membuatku merasa lapar, apalagi aku tidak ingin melihatnya lagi.

Kuusap air mata yang kini masih menggenang. Payah! Sudah mencoba menguatkan hati, tapi ini memang tidak mudah. Air mata ini terus keluar meski hanya sedikit.

Tidak peduli dengan rasa laparku, aku membuka hpku dan menekan aplikasi biru yang menjadi lapakku kini mencari kesenangan. Beberapa hari jadwal update ku kacau, beberapa komen dan juga chat pribadi di aplikasi biru itu banyak yang masuk menanyakan dan juga meminta aku untuk publish bab baru.

Aku tersenyum setidaknya masih ada orang lain yang memberikan semangat untukku, meski yang mereka ucapkan semangat update. Anggap saja jika mereka juga menyemangatiku untuk melupakan rasa kesal dan marahku.

Setelah mencuci muka, aku kembali ke depan laptopku. Rasa hati yang marah, kecewa, dan juga tersakiti membuat aku ingin menciptakan cerita lain. Gegas aku membuat sebuah judul yang baru.

Suasana yang tenang menjadikan aku sampai lupa waktu. Kurasakan jika punggung dan tangan ini mulai pegal. Aku menoleh ke arah jam dinding, sempat tidak percaya jika sekarang ini sudah lebih dari jam satu malam. Lima jam berkutat di depan laptop.

Aku memandang tidak percaya pada angka yang tertera di salah satu sudut layar, hampir sepuluh ribu kata aku mengetik dengan tema cerita baru ini. Entah apa yang aku pikirkan hingga otak ini begitu lancar dan juga sinkron dengan jari jemari. Sampai aku lupa juga dengan cerita lama yang harusnya publish secepat mungkin.

Perut ini lapar. Sedari siang memang aku belum mkan, sarapan pun hanya sedikit, sudah mulai trasa perih. Gegas aku mencari obat hijau dengan rasa mint, makan itu sebelum makan makanan yang berat, mengurangi rasa perih yang akan terasa saat nanti perut ini diisi makanan.

Aku terpaku saat melihat Mas Hilman yang kini duduk bersandar di kursi di ruang makan. Matanya terpejam dengan mulut yang terbuka. Suara dengkuran halusnya terdengar di tengah suasana tengah malam yang sunyi.

Cetrek.

Kompor aku nyalakan. Panci aku isi dengan air lalu menyimpannya di atas kompor yang menyala. Ku ambil sebungkus mie instan kuah dari atas kulkas.

"Ayu, kamu sudah bangun?" Suara Mas Hilman terdengar saat aku memasukkan mie ke dalam air yang sudah mendidih.

Aku tidak menjawab pertanyaannya.

Suara langkah kakinya terdengar mendekat, aku sama sekali enggan untuk mengalihkan pandanganku ke arahnya.

"Yu, kenapa kamu gak makan yang aku masak? Makan mie instan gak baik loh Yu buat kamu." Mas Hilman kini telah berhenti satu langkah tepat di sampingku.

"Gak usah peduli sama aku." ucapku ketus sambil membolak-balikan lembaran mie di dalam panci. "Urus saja istri baru kamu."

"Yu, tidak bisakah kita bicara baik-baik?" Mas Hilman mencoba melangkah mendekat ke arahku. Aku menggeser tubuhku menjauh darinya.

"Ayu aku mohon, kita bisa bicara berdua."

"Menjauh, Mas. Atau aku akan siram kamu dengan air ini!" ancamku padanya, tangan ini sudah siap memegang panci yang airnya bergejolak mendidih. Mas Hilman kini diam di tempatnya.

Makananku sudah matang, segera kuambil piring dan juga sendok lalu menuangkan lembaran mie dan kuahnya dengan cepat.

"Ayu. Mas mohon, kita harus bicara," pintanya menghiba. Mas Hilman masih tetap berdiam di tempatnya.

"Oke. Aku yang bicara. Ceraikan istri baru kamu, atau cerakan aku. Pilih saja." ucapku dengan tidak peduli.

Ku tatap sosok lelaki itu, masih hanya diam dengan raut wajah terlihat bingung.

"Pembicaraan selesai!"

Aku melangkah meninggalkan Mas Hilman di dapur, tidak ku lirik sama sekali, entah dia mengikutiku atau tidak. Aku tidak peduli. Aku lapar, dan tidak mau selera makanku keburu menghilang karena pembahasan yang menyakitkan ini.

Makan dengan deraian air mata, sungguh rasanya tidak nikmat sekali, tapi perut ini mesti diisi juga. Aku tidak mau sakit dan terlihat lemah karena masalah ini.

...***...

Suara motor terdengar saat aku sedang membersihkan bagian dalam rumah. Seorang wanita paruh baya turun dari atas motor bersama dengan anak sulung lelakinya. Dengan langkah anggun berjalan mendekat ke arahku yang masih memegang kemoceng di tangan.

"Assalaamualaikum." Suara nyaring itu terdengar di ambang pintu yang terbuka.

"Waalaikum salam." Segera ku jawab lalu mempersilahkan mereka masuk. Sadar akan diri yang hanya memakai celana pendek sebatas paha aku bergegas masuk kamar setelah mereka duduk di ruang tamu, ku pakai rok setinggi betis. Setelah itu aku pergi ke dapur untuk membuatkan mereka minuman dan menyuguhkan camilan.

"Maafkan kami Yu yang datang gak kasih kabar. Ibu sekalian lewat tadi." Ibu berbicara, sedangkan anak sulungnya memilih meminum air yang aku suguhkan. Wajahnya terlihat kaku dan canggung tidak seperti biasanya yang ramah.

"Mengenai pernikahan Hilman, Ibu minta maaf. Memang ibu yang memaksa Hilman untuk menikah lagi. Kamu jangan marah sama Hilman ya," ujar ibu. Aku hanya diam, tidak ingin bicara sama sekali sebenarnya. Perlakuan ibu mertua dan keluarganya ini membuat aku malas untuk bersikap hormat lagi padanya.

"Ibu mohon Yu, kamu harus mengerti. Ibu juga ingin punya cucu dari Hilman. Kalian sudah menikah lama, tidak juga ada tanda-tanda kamu akan hamil. Ibu harap kamu mengerti kemauan Ibu dan bapak." Ibu menatapku, sedangkan Mas Gandi anak pertamanya, melengos menatap ke arah luar saat aku menatap mereka bergantian.

"Aku ini istri sahnya, Bu. Bukankah pernikahan tidak akan sah jika tidak ada izin dari istri pertama? Lalu apa ibu tidak memikirkan bagaimana perasaan aku saat ini?" tanyaku dengan nada datar dan dingin. Ibu bergerak gelisah, menunduk, dan tidak tenang dalam duduknya.

"Ibu juga memikirkan perasaan kamu, Yu, tapi kalau Hilman bicara sama kamu, apa kamu akan izinkan dia menikah lagi?" tanya ibu yang membuat luka hati ini bertambah.

"Ada satu cara Bu, kami bisa mengambil anak salah satu saudara, kan? Tidak perlu ibu menyuruh Mas Hilman untuk menikah lagi." aku membicarakan pemikiranku beberapa hari ini.

"Anak saudara bukan darah daging Hilman, Yu. Yang Ibu dan Bapak mau anak Hilman, bukan anak orang lain!" Ibu menatap dengan tajam ke arahku. Nada suaranya penuh dengan penekanan.

"Tapi dia masih sedarah dengan kalian, kan?" aku keukeuh dengan pemikiranku.

"Tetap saja yang ibu mau anak Hilman, Yu. Kamu mengerti keinginan ibu dan Bapak, dong!" Ibu membentakku dengan suara keras kali ini. Hal yang tidak pernah ibu lakukan padaku sejak dulu hingga hari ini. Mas Gandi pun sampai menoleh ke arah ibu dengan wajah yang terlihat kebingungan, sementara ibu terlihat marah menatapku.

Aku tercekat di tenggorokan. Rasanya sangat sulit sekali untuk bernafas

"Ayu juga sudah berusaha untuk berobat, Bu. Dokter bilang Ayu tidak ada masalah. Memang kami belum diberikan keturunan. Mas Hilman juga selalu sulit untuk aku aja ke dokter ...."

"Jadi kamu menuduh anak saya bermasalah begitu?" tanya ibu dengan tatapan marahnya.

"Bukan itu maksud Ayu, Bu. Ayu tidak bilang seperti itu. Ayu hanya ingin ibu bersabar sebentar lagi. Kami juga sedang berusaha ...."

"Sampai kapan?" tanya ibu dengan ketus.

"Sampai kapan kami harus menunggu?!" tanya ibu dengan penekanan di dalam kalimatnya. "Jangan egois kamu, Ayu! Kamu mau sampai kami meninggal nanti kami tidak bisa melihat keturunan Hilman? Kamu mau kami mati penasaran?" tanya ibu dengan kesal.

Aku menundukkan kepala. Aku juga tidak tahu akan hal itu. Aku tidak tahu kapan hal itu akan datang dan terjadi padaku.

Terlihat oleh sudut netraku saat lutut ibu bergerak, "Keputusan kami ternyata benar! Hilman memang seharusnya menikah lagi. Percuma bicara dengan wanita keras kepala seperti kamu yang tidak memikirkan keluarga! Ingat Ayu, kamu harusnya bersyukur, Hilman tidak mau melepas kamu yang tidak bisa memiliki anak. Siapa orang yang bisa menerima wanita yang tidak bisa memberikan keturunan?"

Duaarrr ....

Perkataan ibu seperti kilat dan petir yang menyambar hatiku, padahal siang hari ini sangat cerah. Aku menatap ibu dengan tidak percaya. Teganya ibu berkata kejam seperti itu. Aku menatap ibu yang kini telah berdiri, lalu juga ikut berdiri.

"Bu, kenapa Ibu bicara seperti itu? Ayu bisa, Bu. Kalau kami berobat dengan ...."

"Ibu sudah terlalu sabar dengan kamu, Yu. Semua keputusan ini kamu tidak bisa ubah lagi. Kalau kamu tidak bersedia dengan nasib pernikahan kalian, kamu juga tahu apa yang terbaik untuk kamu!" Ibu memotong ucapanku dan menatapku dengan tajam. Kami saling bertatapan dengan penuh emosi, bak ada kilatan kemarahan di dalam mata kami masing-masing. Mas Gandi menyentuh tangan ibu dan mengusapnya.

"Sabar, Bu."

"Kita pulang, Gandi!" tanpa menunggu jawaban dari anak sulungnya itu, ibu melangkah keluar dari rumah ini. Mas Gandi pun sama kini berdiri dan merapikan bajunya.

"Maaf, Yu. Mas gak bisa melakukan apa-apa jika ibu sudah ada keinginan." Mas Gandi berkata dengan nada pelan, sorot tatapannya iba terhadapku.

Aku hanya diam, tidak mampu menjawab. Rasanya suara ini enggan ke luar hanya untuk sekedar menjawab penyesalannya. "Kami pamit dulu," ucap Mas Gandi kemudian menyusul ibu keluar dari sini.

Suara deru mobil terdengar masuk ke halaman rumah, kemudian terdengar mesin mobilnya mati. Aku masih terduduk di ruang tamu, pembicaraan dengan ibu membuat aku kini bagai patung, hanya diam dan menahan sesak di dalam dada.

"Kamu harusnya gak usah urusin istri kamu itu, Hilman! Dia istri yang tidak tahu berterimakasih. Apa Ibu salah kalau Ibu hanya ingin cucu?!"

Terdengar suara ibu yang berbicara dengan keras dan dengan nada marah ditujukan pada Mas Hilman. Hatiku sakit mendengar ibu menyebutkan aku istri yang tidak tahu berterimakasih. Apa maksudnya ibu bicara seperti itu?

"Sudah untung kamu gak ceraikan dia, tapi dia tetap saja tidak mengakui kekurangannya dan bilang kalau mungkin kamu yang bermasalah! Tidak ada yang bermasalah di keluarga kita!" Aku memejamkan mataku. Rasa perih di mata ini membuatku kembali ingin menangis.

"Akui dan terima saja kalau memang tidak bisa memberikan keturunan. Dasar wanita mandul!"

Suara Mas Hilman terdengar lirih berkata, terdengar menenangkan ibu. Pria itu hanya mengatakan jika dia akan memberikan pengertian padaku. Pengertian apa lagi?

Gegas aku berjalan ke arah pintu dan membanting pintu itu dengan keras, terserah orang mau mengatakan apa. Aku tidak peduli. Setelah itu aku berjalan ke arah kamarku. Sama, aku juga membanting pintu kamar sebagai rasa kesal dan sakit hatiku ini terhadap ucapan ibu. Siapa yang suka disebut mandul?

"Tuh lihat kamu, Man. Istri macam apa yang tidak mengantar mertuanya akan pulang dan juga menyambut kepulangan kamu? Sudah. Memang kamu pantas menikah dengan Hana!" Suara Ibu terdengar lagi, masih berbicara dengan keras dan menyebutkan nama seseorang. Kamarku memang dekat dengan garasi mobil hingga masih terdengar dengan jelas suara-suara itu.

"Sudah, toh Bu. Ayo kita pulang. Biar Hilman yang urusi soal ini. Ayu pasti akan mengerti, Bu." Itu suara Mas Gandi, suara motor kemudian terdengar menyala dan lalu lamat tidak terdengar lagi.

Aku menjatuhkan diriku di atas tempat tidur. Memeluk bantal guling yang sudah beberapa malam ini menjadi teman tidur ku. Menangis tersedu mengingat apa yang dikatakan ibu tadi. Wanita mandul. Aku menolak dikatakan seperti itu. Bahkan, dokter pun tidak mengatakan jika aku mandul, memang hanya belum diberikan rezeki oleh Yang Maha Kuasa. Apa itu salahku?

Pintu kamar diketuk dari luar, terdengar pelan dan membujuk suaranya Mas Hilman memintaku untuk keluar.

"Ayu, kita bicara sebentar bisa?" suara Mas Hilman terdengar bertanya. Pintu diketuk lagi, masih dengan pelan.

"Yu, Ayu. Kita bicara sebentar, Yu. Ayu, Sayang!"

Aku tidak mau menjawab. Rasa sakit di dalam hati ini semakin bertambah di kala mengingat pria yang memanggilku sayang ini adalah suamiku yang telah berkhianat.

"Yu!" panggilnya lagi.

"Aku gak mau bicara, Mas!" teriakku. Tangis yang sedari tadi terpendam kini pecah dan membasah di wajahku.

Suara ketukan tidak terdengar lagi. Aku menangis pilu dalam kesedihan.

Malam telah menjelang, aku keluar dari kamar untuk mandi, handuk tersampir di bahuku. Sedari siang menangis dan juga tak sadar sampai tertidur pulas. Panggilan ibu di telepon juga sama sekali tidak terdengar. Setelah bangun tadi aku kirimkan chat pada ibu akan menghubunginya setelah selesai mandi.

Wangi aroma masakan tercium di bawah hidungku. Sangat harum dan juga menggugah selera untuk orang yang tengah lapar sepertiku.

"Hana gak tau, Mas. Apa Mbak Ayu mau makan masakan Hana? Kami belum saling mengenal, dan dari cerita Mas Hilman tidak mungkin Mbak Ayu mau terima Hana dengan mudah."

Aku terdiam menatap seseorang kini sedang memasak di dapurku. Mas Hilman duduk menungguinya. Sebatang rokok tersemat di antara jarinya, mengepulkan asap tipis yang selalu tidak aku suka aromanya.

Seorang wanita dengan tubuh mungil, lincah bergerak ke kanan dan ke kiri, tangannya sedang mengaduk masakan di dalam wajan.

Ada wanita lain yang berani memakai dapurku!

"Apa Mas yakin, Hana harus tinggal disini. Nanti kalau Mbak Ayu melarang bagaimana?" tanya wanita yang menyebut dirinya sebagai Hana.

"Aku akan beri pengertian sama Ayu. Kamu ...."

"Pengertian apa lagi, Mas?!" tanyaku memotong ucapan mereka. Kedua orang itu terkejut dan serentak mengalihkan pandangannya ke arahku. Dadaku bergerak naik turun melihat kedua orang yang ada di hadapanku ini. Berani-beraninya pria ini membawa madunya ke rumah ini.

Mas Hilman langsung bangkit dari kursinya, sementara wanita itu menunduk dalam, tidak berani menatapku.

"Ayu, Mas bisa jelaskan!" Kini langkahnya cepat menghampiri, kedua tangannya terulur untuk memegang lenganku, aku segera mundur dan menahan pergerakannya, mendorong tubuhnya agar tidak lagi mendekat.

"Ayu, Mas mohon ... Dengarkan penjelasan Mas dulu."

"Tidak perlu, Mas. Kamu tega bohongin aku, kamu menikah lagi, dan sekarang kamu mau bawa dia tinggal disini?" lirihku.

"APA KAMU SUDAH GILA, MAS?" teriakku pada akhirnya. Tidak tahan lagi dengan pikirannya yang sudah di luar batas. Dia sudah melakukan beberapa kesalahan, dan sekarang ingin menambah daftar kesalahannya lagi.

"Ini permintaan ibu, Yu. Aku bisa apa?" Aku menggelengkan kepalaku. Tatapan matanya terlihat bingung dengan penuh permohonan padaku.

"Kamu bawa belati di dalam rumah tangga kita, Mas." Hatiku sakit, tentu saja, setelah dibohongi, kini dia membawa orang ketiga itu kesini.

"Kenapa kamu bawa dia kesini? Apa tidak bisa dia ditempatkan di rumah lain?"

"Aku gak bisa, Yu. Hana takut sendirian, aku gak bisa tinggalkan dia dirumah lain! Aku mohon kamu mau terima dia di rumah ini, ya ...." Bahkan, dia tahu ketakutan wanita itu.

"Kalau begitu, tinggalkan saja dia dirumah ibu, Mas! Disana banyak orang dia gak akan kesepian. Jangan biarkan dia tinggal disini!" teriakku lagi, aku ingin kembali menangis, tapi air mataku seakan enggan untuk keluar lagi.

"Rumah ibu jauh dari kantor, aku gak sanggup pulang pergi sejauh itu."

"Terserah!! Terserah kamu mau bawa dia kemana yang penting jangan di rumahku!" teriakku lagi. Aku sungguh tidak mau melihat dia ada disini.

Dengan langkah cepat aku mendekat ke arahnya, terhalang oleh meja makan aku berhenti dan menunjuk lantang kepada wanita itu.

"Kamu! Pelakor! Kamu tau kan Mas Hilman sudah punya istri? Kenapa juga kamu mau menikah dengan dia, huh?!!" perasaanku semakin emosi melihat dia yang hanya berdiri dengan gelisah. Kepalanya masih tertunduk dalam. Jari jemarinya saling meremat satu sama lain.

"Ayu, jangan keterlaluan kamu! Jaga ucapan kamu, dia itu wanita baik-baik!" Mas Hilman mendekat ke arah ku dan berbicara dengan membentakku. Hal yang tidak pernah dia lakukan selama ini.

Ku alihkan tatapanku ke arah Mas Hilman. Dia juga sama menatapku, berbeda dengan sorot matanya tadi, kali ini sorot itu terlihat ada kilatan amarah di dalam sana.

"Wanita baik mana yang menikah dengan pria beristri? Wanita mana yang menyodorkan dirinya untuk disebut pelakor, dan menjadi orang ketiga?! Mengganggu kedamaian rumah tangga orang lain?!"

Tangan besar itu seketika naik hingga sejajar dengan telinganya. Telapak tangannya jelas terlihat melebar dan siap untuk melayang, aku menantang Mas Hilman dengan tatapanku. Tak ada sedikitpun rasa takut akan dirinya

Air mataku kembali mengalir, menetes dengan deras. Sikapnya jelas sudah berubah.

Dia hanya terdiam, tangannya hanya menggantung tanpa dia gerakkan lagi, padahal pipi ini sudah siap jika tamparan itu akan mengenainya. Bagus malah, itu bisa aku jadikan laporan KDRT untuk pengadilan nanti.

Tangan besar itu perlahan turun, tubuhnya yang tegap kini melemah di hadapanku. Wajah yang marah seketika berubah menjadi sendu.

"Maaf, Yu. Mas khilaf." Satu lelehan air bening mengalir melewati pipinya. Pundak Mas Hilman kini tidak tegak lagi.

"Ayu gak tahan, Mas. Silahkan kalau Mas mau melanjutkannya. Ayu mundur saja." Berat, sakit, perih, saat aku mengatakan hal itu. Aku tidak bisa melanjutkan rasa sakit ini dengan dia.

Gegas aku melangkahkan kaki ini ke arah kamarku, mengambil koper yang ada di samping lemari dan kemudian mengeluarkan beberapa pakaianku dari lemari. Tanpa merapikannya aku memasukan baju-bajuku. Gantungan baju aku lempar sembarangan, rasanya aku tidak sabar untuk pergi dari rumah ini.

"Ayu kamu mau kemana?" tanya Mas Hilman kini ada di sampingku. Dia merebut pakaian yang sedang aku masukkan ke dalam koper dan juga melemparnya sembarangan ke lantai.

"Aku mau pulang!" Aku tidak peduli dengan dia yang terus saja mengeluarkan kembali bajuku dari sana. Aku mengambillnya dan memasukkan baju lain.

"Gak boleh. Kamu gak boleh pergi dari rumah ini. Aku bagaimana kalau gak ada kamu, Yu?" tanya mas Hilman dengan memohon.

Ku tatap dirinya yang kini wajahnya memelas.

"Kamu lupa kalau kamu ada istri yang lain? Dia bisa mengurus kamu. Kamu sudah gak perlu aku lagi, Mas." Teriakku tidak tahan. Aku mengambil, dompet, hp, dan kunci motor yang ada di atas nakas lalu pergi tanpa membawa koperku. Dengan langkah yang cepat aku pergi ke luar dan mengambil motor di garasi. Helm ku pakai tanpa aku kunci talinya dengan benar. Ingin segera pergi dari sini secepat mungkin.

"Ayu, tunggu Ayu. Jangan pergi. Ayu!" Suara teriakan Mas Hilman terdengar saat aku sedang membukakan pintu pagar. Aku hanya menolehkan kepalaku sekilas, meihat dia yang berlari, di belakangnya terlihat wanita itu sedang menatap ke arahku. Segera aku melajukan motorku ke luar dari sana dengan kecepatan tinggi. Tidak peduli dengan rasa dingin yang kini menerpa kulitku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!