...✪✪✪...
Petir terdengar begitu menggelegar. Angin dan hujan menjadi satu untuk menambah aura sangarnya alam. Kala itu di depan sebuah rumah terdapat dua orang yang baru saja keluar dari mobil. Mereka mengenakan pakaian serba hitam dengan topi dan masker yang hampir menutupi seluruh wajahnya.
Salah satu dari mereka berjalan menuju bagasi mobil. Terpampanglah sebuah kantong mayat di dalamnya. Dia pun segera membawa kantong mayat tersebut masuk ke rumah.
Dari balik pintu terdapat seorang anak lelaki berusia sepuluh tahun. Dia telah lama menunggu kedatangan dua orang yang tengah membawa kantong mayat itu.
"Ayah, Ibu! kenapa lama!" ujar anak lelaki yang bernama Yudha tersebut.
"Kau pikir mudah menangkap manusia secara diam-diam?" sahut Ferdi, sang ayah sembari berjalan melingus melewati putra semata wayangnya.
"Yudha, kau sudah makan?" Rena, ibunya Yudha sengaja menjongkokkan badan untuk menyamakan tingginya dengan putranya.
"Aku hanya makan cemilan!" jawab Yudha dengan raut wajah gusarnya. Dia sebenarnya kesal terhadap perlakuan ayahnya barusan.
"Ya sudah, Ibu akan buatkan kau makanan." Rena menuntun Yudha ikut bersamanya menuju dapur. Dia segera memasukkan spageti ke dalam taflon yang berisi air agar bisa dimasak.
Rena segera membuka jaket hitamnya. Sekarang terpampanglah bercak darah dibajunya. Namun baik Rena maupun Yudha sama sekali tidak risih dengan hal tersebut.
"Rena! cepat bantu aku!" pekik Ferdi dari ruang bawah tanah. Dia sepertinya kewalahan menghadapi tawanan yang telah dibawanya.
"Iya Fer!" sahut Rena sambil mengecilkan kapasitas api di kompornya sebelum pergi. "Yud, kau selesaikan sendiri ya! campurkan saja bumbu yang sudah tersedia di dalam kulkas!" tambahnya yang sekarang berbicara kepada sang putra.
Yudha yang tengah ditinggalkan sendiri sontak merasa kesepian. Rasa penasarannya kembali memuncak. Jujur saja ia selalu ingin tahu apa yang dilakukan ayah dan ibunya terhadap tawanan. Alhasil sekarang dia berjalan menuju ruang bawah tanah.
Yudha sudah tiba di depan ruangan dimana ibu dan ayahnya berada. Dia menempelkan telinganya ke pintu, berharap bisa mendengar jawaban dari rasa penasarannya selama ini. Namun selang beberapa menit kemudian, Ferdi mendadak membuka pintunya.
Ceklek!
Tubuh Yudha yang sedang tersandar ke pintu reflek terjatuh. Bajunya sekarang mengenai linangan darah yang ada di lantai.
"Yudha!! ngapain kamu ke sini hah?!" geram Ferdi.
"Yudha! kamu tidak boleh ke sini!" Rena ikut menimpali. Dia segera memaksa Yudha berdiri dan menyeretnya menjauh dari ruangan penuh darah dan bau amis tersebut.
"Bawa dia jauh-jauh Ren! kalau perlu kurung di kamar saja!!" titah Ferdi dengan dahi berkerut.
"Ibu, kenapa aku tidak boleh tahu apa yang kalian lakukan di sana?!" tanya Yudha dengan wajah cemberutnya.
"Yudha, umurmu masih belum sesuai untuk melihatnya. Ayah dan Ibu akan memperbolehkanmu ketika kau berusia tujuh belas tahun nanti. Oke?" tutur Rena yang mencoba menenangkan putranya.
Sejak kecil Yudha sudah terbiasa menyaksikan darah, teriakan dan penyiksaan yang dilakukan oleh ayah dan ibunya. Kedua orang tuanya itu memiliki ruangan khusus untuk melakukan bisnis ilegal mereka, dan sebentar lagi markas istimewa akan resmi dibangun.
Bisnis ilegal yang dilakukan oleh Ferdi dan Rena sendiri, adalah berupa pembunuhan dan juga penjualan daging manusia.
Terkadang Yudha diperbolehkan bermain-main dengan tawanan yang dibawa orang tuanya. Walaupun begitu, Ferdi dan Rena tidak pernah membiarkan Yudha tahu mengenai cara pembunuhan yang mereka lakukan.
...***...
Waktu berlalu dengan cepat, sekarang Yudha telah enam belas tahun. Tepatnya dua hari lagi, dia resmi berusia tujuh belas tahun, dan Yudha sudah tidak sabar dengan berbagai pertunjukkan yang akan diberikan kedua orang tuanya.
Tak! tak! tak!
Yudha perlahan menuruni anak tangga, lalu duduk bergabung bersama Ferdi dan Rena di meja makan.
"Yah, Bu, kalian tidak lupa kan lusa aku--"
"Tujuh belas tahun!" Rena sengaja menebak lebih dahulu.
Yudha tersenyum miring dan berucap, "Bolehkah aku memilih tawananku sendiri di hari ulang tahunku nanti?"
Rena yang mendengar lantas menatap ke arah suaminya karena menuntut jawaban. Ferdi yang paham dengan arti tatapan tersebut mendengus kasar dan mengangguk-anggukkan kepala.
"Silahkan!" kata Ferdi singkat, yang tentu membuat Yudha reflek untuk melakukan selebrasi kecil.
"Tapi, carilah tawanan yang tidak merepotkan. Paling tidak orang yang hidup sebatang kara." Ferdi menyarankan.
"Baik Yah! kalau teman sekolahku tidak apa-apa kan?" tanya Yudha.
"Memangnya siapa orang yang telah berani mengganggumu, sampai-sampai sepertinya kau ingin balas dendam?" Ferdi berbalik tanya.
"Eh! siapa bilang ada yang menggangguku. Cuman ada beberapa orang yang berhasil membuatku risih!" ujar Yudha. Dia berhasil menyebabkan ayah dan ibunya saling bertatapan heran.
"Sepertinya anak kita lebih psiko dari kita sayang!" ungkap Rena seraya memajukan bibir bawahnya. Yudha dan Ferdi yang mendengar pernyataan Rena hanya bisa tertawa kecil. Sungguh keluarga yang harmonis, namun pembicaraan mereka sangatlah tidak normal.
Yudha tumbuh menjadi anak yang terbilang jenius. Bukan hanya itu, ia juga rupawan dan kaya raya. Meskipun begitu, tidak ada satu orang pun yang tahu mengenai bisnis ilegal yang dilakukan oleh kedua orang tuanya.
Ferdi dan Rena menutupi bisnis ilegal mereka dengan cara membangun usaha properti. Sehingga orang awam pasti akan mengira hasil kekayaan mereka berasal dari usaha properti tersebut. Mereka bahkan telah membentuk kelompok mafia bernama Elang Satan.
Dengan segala kelebihan yang Yudha punya, tentu saja ia menjadi lelaki yang populer dikalangan semua orang. Apalagi para kaum hawa, tidak jarang dari mereka akan berteriak histeris kala menyaksikan Yudha lewat.
Yudha sekarang berada di kantin bersama ketiga temannya.
"Yud, ada Elisha tuh! kayaknya mau kasih kamu hadiah lagi," ucap Sandi, teman Yudha yang memiliki badan gemuk.
"Lagi? bukankah dia anak panti asuhan ya? dari mana coba dia dapetin uang buat beliin orang hadiah!" komentar Ben, teman Yudha yang memiliki kumis tipis tepat di bawah hidungnya.
"Benar juga ya, sepertinya dia sangat menyukaimu Yud! haha!" Ello yang juga bagian kelompok pertemanan Yudha ikut menimpali.
"Hush! jangan menghinanya!" tegur Yudha kepada ketiga temannya.
Tidak lama kemudian, tibalah sudah Elisha di hadapan Yudha. Gadis berambut panjang itu sebenarnya cantik. Namun dari penampilannya yang terkesan biasa saja, menunjukkan bahwa ia tidak pandai bersolek.
"Yudha aku punya sesuatu untukmu." Elisha memperlihatkan hadiah yang sedari tadi berada dalam genggaman tangannya.
Yudha bangkit dari tempat duduknya dengan senyuman yang terukir diwajahnya. Dia selalu menerima hadiah dari Elisha. "Terima kasih!" ucapnya. Namun tiba-tiba atensi Yudha secara tidak sengaja tertuju pada lebam yang ada di sudut bibir Elisha.
"Wajahmu kenapa?" tanya Yudha seraya memegangi sudut bibir Elisha lembut.
Jantung Elisha sontak berdegub kencang. Matanya membulat dan terpaku kepada wajah tampan lelaki di hadapannya. Dia bahkan sudah menenggak salivanya sendiri satu kali.
Semua murid perempuan yang kebetulan menyaksikan penampakan tersebut tentu merasa iri. Sebenarnya Elisha sudah puluhan kali dibully oleh siswi lain karena terlalu nekat mendekati Yudha, namun sepertinya dia tak pernah kapok dengan berbagai ancaman yang dilayangkan kepadanya.
"Aku tidak apa-apa..." lirih Elisha yang reflek menundukkan wajahnya, lalu memegangi sudut bibirnya yang lebam.
"Kau mau ku-temani ke UKS?" tawar Yudha dengan binaran mata yang tak dapat di artikan. Dia sebenarnya selalu bersikap ramah dan baik terhadap gadis yang berusaha mendekatinya. Makanya tidak heran, penggemar Yudha akan terus bertambah seiring bergantinya hari ke hari. Padahal tingkahnya tersebut hanya tipu muslihat, agar orang-orang disekitarnya tidak mencurigainya.
"Ciee Yudha... perhatian sekali ya!"
"Senang banget pasti kamu ya El!"
Teman-teman Yudha yang merasa geli, tentu langsung mengejek Yudha dan Elisha.
Mendengar tawaran Yudha, jantung Elisha semakin berdebar tidak karuan. Dia pun akhirnya langsung beranjak pergi, karena tidak mampu menutupi pipinya yang telah memerah.
"El?!" panggil Yudha yang terheran.
"Dia nggak nolak kamu Yud, cuman sepertinya terlalu malu aja tuh!" Sandi berpendapat sambil merangkul pundak Yudha.
"Memangnya kau menyukai gadis cupu itu?" tanya Ello dengan kening yang mengernyit heran.
"Entahlah." Yudha menjawab singkat.
"Kau aneh sekali Yud! padahal Dea lebih cantik darinya!" timpal Ben, namun sama sekali tidak mendapat respon sedikit pun dari Yudha.
...✪✪✪...
Yudha dan Ferdi sedang berada di ruang gym. Keduanya hanya mengenakan celana boxer mereka. Dada bidang beserta otot perut milik kedua lelaki tersebut terpampang nyata.
Yudha sebenarnya sudah banyak belajar mengenai ilmu bela diri semenjak usia dua belas tahun. Dia menguasai karate dan judo. Sekarang Ferdi sedang mengajarkan tinju kepada putra semata wayangnya itu.
Buk dhuak! Buk dhuak.
Yudha memukul samsak di hadapannya dengan teknik yang di ajarkan ayahnya. Sedangkan Ferdi hanya berdiri di sampingnya, untuk mengetahui cara memukul yang dilakukan sang anak.
"Bagus Yudha! sekarang saatnya kau melawan Ayah!" ujar Ferdi sembari memasang sarung tinjunya.
"Apa?! sekarang?" Yudha merasa dibuat kaget terhadap usulan ayahnya.
"Iya!" tegas Ferdi.
"Tapi Ayah, aku sudah lelah. Tidak mungkin aku bisa mengalahkanmu."
"Justru karena itulah! kebanyakan orang akan menyerah jika sudah merasa lelah. Tetapi Ayah ingin ajarkan kepadamu, bahwa kata lelah hanya menghambat kita menuju kemenangan!" Ferdi menjelaskan petuahnya. Meskipun begitu, Yudha tetaplah merasa tidak bersemangat. Dia hanya berusaha mengatur deru nafasnya akibat sudah kelelahan.
Ferdi terlihat sudah menaiki ring tinju lebih dahulu. Dia melakukan beberapa pemanasan.
"Ayo cepat Yud! apa kau mau tinju amarahku?!" geram Ferdi yang sudah tak sabar.
"Huhh!" Yudha menghela nafas panjang. Dengan terpaksa, ia pun akhirnya berjalan memasuki ring tinju.
"Oh iya, kita butuh wasit berpengalaman," ujar Ferdi sambil celingak-celingukan untuk mencari salah satu anak buahnya.
"Pak Ijo aja tuh!" usul Yudha yang kebetulan menyaksikan sopir pribadinya tengah tertidur pulas di sofa.
"Ah kamu! mana ngerti orang kurus kerempeng kayak gitu tentang tinju!" geram Ferdi.
"Bukan gitu Yah, suruh aja dia buat nyari Deny keluar, biar Ayah nggak perlu buang-buang tenaga." Yudha menjelaskan seraya menyenderkan badannya di ring tinju dengan santainya.
"Ya sudah, bangunkan dia gih!" perintah Ferdi.
"Aku?" Yudha menunjukkan jari telunjuknya ke dadanya sendiri.
"Memangnya aku bicara sama siapa lagi? hah?!" balas Ferdi. "Cepat!" sambungnya, yang tentu saja membuat raut wajah Yudha semakin cemberut. Dia pun segera membangunkan Pak Ijo. Selanjutnya lelaki paruh baya tersebut bergegas untuk mencari Deny, yang merupakan salah satu anak buah terkuat Ferdi.
Tidak lama kemudian Deny pun datang. Lelaki yang lengannya dipenuhi tato itu berderap memasuki ring. Ferdi lantas menghampirinya.
"Coba lawanlah Yudha!" ucap Ferdi. Dia berhasil menyebabkan mata Yudha terbelalak.
"A-apa? bukankah aku akan melawan Ayah?" Yudha memastikan.
"Kenapa? kau lebih takut sama Deny dari pada Ayah?" timpal Ferdi seraya melakukan pose berkacak pinggang.
"Tidaklah!" yakin Yudha, yang tak ingin terlihat lemah.
"Nah! begitu dong!" Ferdi menepuk pelan pundak putranya. Sedangkan Deny sudah terlihat melepaskan bajunya. Dia sekarang juga hanya mengenakan celana boxernya. Setelah memasang sarung tinju, ia pun siap berhadapan dengan Yudha.
Deny tampak mulai memainkan gerakan tangannya. Bahkan sesekali ia juga meloncat-loncatkan badan dengan penuh semangat. Hal yang sama juga dilakukan oleh Yudha. Keduanya saling bertatapan sambil terus berjalan mengitar membentuk lingkaran. Mereka sama-sama mencari waktu yang tepat untuk menyerang.
Wush.
Yudha melayangkan serangan pertama, tetapi melesat begitu saja. Deny mampu menghindar dengan sigap.
Wush! Buk.
Serangan pertama Deny juga luput, namun dia berhasil mengenai sisi wajah Yudha di tinju keduanya.
Yudha tak terima, dia mulai melakukan hantaman balik secara betubi-tubi. Hingga membuat Deny agak kewalahan menghindar.
Deny tak ingin kalah dengan seorang anak remaja. Kali ini dia pun mengerahkan semua kekuatannya untuk bergempur lebih hebat.
Buk dhuak! Buk dhuak!
Beberapa pukulannya berhasil membuat Yudha oleng.
"Yudha!!" pekik Ferdi yang menampakkan semburat ketegasan diwajahnya. Dia tidak terima anaknya dikalahkan.
Buk dhuak.
Lagi-lagi Deny melayangkan serangan. Dia menggunakan kesempatan untuk memukul lagi, di saat Yudha oleng dan lengah.
"Ugh!" Yudha sontak menggeram kesakitan.
"Ayolah Yudha! jangan lemah!" pekik Ferdi yang merasa geram kala menyaksikan sang putra mulai kewalahan.
"Sialan! kau harusnya tidak memukul wajahku!!" tegas Yudha, ia melanjutkan dengan hantaman ke perut lawannya. Deny mencoba menghindarinya dengan cekatan, tetapi tinjuan ke perutnya hanyalah tipuan. Ternyata tangan lelaki yang sebentar lagi berumur tujuh belas tahun tersebut membidik wajah Deny.
Buk.
Tinjuannya tepat mengenai hidung Deny. Sekarang hidung lelaki bertubuh besar itu berlumuran darah.
Ferdi yang melihat aksi gesit sang anak tampak manggut-manggut saja, dihiasi patrian senyum diwajahnya.
"Aaarghh!!!" kekesalan Deny mulai membara.
Pertarungan semakin intens, Yudha dan Deny saling menyerang dengan cara bergantian.
Nafas Yudha mulai naik turun dalam tempo cepat. Dia meludah sejenak untuk membuang darah yang keluar dari mulutnya. Kemudian segera berlari menghampiri Deny dan melayangkan tinju-nya.
Buk! buk! buk.
Yudha lebih bersemangat dari sebelumnya. Dia meninju lawannya dengan kekuatan dan kecepatan luar biasa. Deny mulai termundur dan terjatuh. Namun Yudha masih saja sibuk memukulinya.
"Yudha cukup!!" tegur Ferdi kepada sang putra. Yudha pun akhirnya menghentikan pukulannya. Dia langsung berdiri dan mengulurkan tangannya kepada Deny.
"Teknikmu semakin hebat saja!" puji Deny sambil meraih uluran tangan Yudha. Dia mencoba bangkit untuk berdiri.
Yudha bermaksud membantu Deny berjalan. Namun langsung mendapat penolakan.
"Aku bisa berjalan sendiri!" yakin Deny. Hingga membuat Yudha menganggukkan kepala karena mempercayainya.
"Ini, bonus untukmu, karena mau bertarung melawan putraku!" ujar Ferdi sembari menyerahkan beberapa lembar uang kepada Deny.
"Terima kasih Bos!" sahut Deny seraya mengatur deru nafasnya.
"Ayah, bagaimana dengan tawanan yang aku inginkan. Apa kau sudah menyiapkannya?" tanya Yudha.
"Bagaimana aku bisa mencarinya, kalau kau belum menyebutkan siapa tawanannya!" balas Ferdi heran.
"Ah! Ayah benar!" Yudha terkekeh geli.
"Jadi, siapa dia?"
"Namanya Anton. Dia seumuran denganku, untungnya dia sekarang yatim piatu dan tinggal bersama neneknya. Pasti akan mudah untuk ditangkap, iyakan?"
"Bagus juga pilihanmu, iyakan Den?" Ferdi menatap ke arah Deny yang tengah sibuk menenggak air mineralnya.
"Iya, itu pilihan yang sangat bagus. Tetapi apa salah Anton kepadamu, sampai kau menginginkannya untuk dijadikan tawanan?" tanya Deny sambil menutup botol minumannya.
"Dia salah satu pembully di sekolah. Mungkin dia anak yatim piatu, tetapi perangainya membuat satu sekolah risih!" jelas Yudha.
"Pantas saja, perlukah aku dan yang lain membunuh neneknya?" usul Deny.
"Kenapa?" Yudha mengerutkan dahi.
"Bukankah neneknya akan menderita jika ia terus bertahan hidup?" Deny berpendapat.
"Kau benar juga Den, tetapi apa gunanya membunuh orang tua. Dagingnya tidak laku dipasaran!" Ferdi menyahut sambil menyalakan sepuntung rokok dengan alat pemantik.
"Begitukah?" tanya Yudha penasaran.
"Tentu saja Yud, apa kau pernah merasakan daging ayam yang tua? rasanya sangat keras dan alot!" Deny menerangkan.
"Kau pernah memakannya?" Yudha merasa bergidik ngeri. Meskipun ia sering melihat darah dan mayat, tetapi dirinya sama sekali tidak tertarik memakan daging manusia.
"Tentu tidak! aku hanya membayangkan rasanya saja!" Deny melakukan pembelaan terhadap dirinya sendiri.
"Sudahlah, ayo kita membersihkan diri!" ajak Ferdi yang sengaja mengubah topik pembicaraan. Dia lebih dahulu berjalan keluar dari ruangan.
...✪✪✪...
Yudha baru saja turun dari mobilnya. Seperti biasa kedatangannya ke sekolah selalu berhasil mendapatkan sorotan dari banyak orang. Tidak hanya untuk teman sebayanya, bahkan juga para guru.
Ketiga sahabat karibnya langsung menyambut kedatangannya. Mereka berjalan menyusuri koridor sekolah bersama-sama. Kala itu mereka kebetulan melihat Elisha sedang dirundung oleh Dea dan gengnya.
Tanpa basa basi, Yudha pun langsung berjalan menghampiri keberadaan Elisha. Rambut gadis tersebut terlihat sudah acak-acakan.
"Dea! apa yang kau lakukan?" timpal Yudha dengan keadaan mata yang menyalang. Dia berusaha melindungi Elisha, dengan cara berdiri di hadapannya.
"Yud! kenapa kamu malah membela psikopat ini sih!" geram Dea, yang sangat kesal dengan pembelaan Yudha terhadap Elisha.
"Apa maksudmu psikopat?" tukas Yudha.
"Dia terobsesi kepadamu Yud! gadis itu benar-benar menjijikan!" ujar Dea seraya meringiskan wajah.
"Apa salahnya? bukankah yang terpenting dia tidak menyakiti orang lain?"
"A-apa? kau masih membelanya?" Dea terperangah tak percaya.
Dikarenakan sudah kalah telak, Dea dan kedua temannya pun berlalu pergi begitu saja.
"Yang benar Yud? aku bahkan juga sama terkejutnya dengan Dea!" ungkap Sandi. Namun omongannya sama sekali tidak mendapat hirauan dari Yudha.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Yudha sembari merapikan rambut Elisha yang acak-acakan.
"Bisakah kalian tinggalkan aku dan Elisha berdua?" Yudha berbicara kepada ketiga temannya.
"Oh..." Ello menyenggol lengan Ben dengan sikunya, mereka bertukar tatatapan penuh arti. Keduanya tahu betul Yudha sedang ingin melakukan sesuatu terhadap Elisha.
"Ya sudah, ayo kita pergi guys!" ajak Sandi yang juga paham maksud Yudha. Mereka tak lupa melayangkan tatapan mengejek ke arah Yudha.
"Nikmatilah waktu kalian, oh iya, karena sebentar lagi bel masuk kelas berbunyi, kalian hanya punya waktu delapan menit!" Sandi yang sudah berjalan jauh memekik lantang. Yudha yang mendengar hanya bisa menggeleng maklum.
"Ka-kau mau bicara apa Yud?" Elisha bertanya sambil menundukkan kepala.
"Ikut aku!" Yudha membawa Elisha ke suatu tempat. Setelah menemukan tempat yang jauh dari keramaian, ia pun berhenti. Tepatnya di sebuah gudang yang penuh akan meja dan bangku tak terpakai. Yudha tiba-tiba memojokkan Elisha ke sebuah meja.
"Besok adalah ulang tahunku El," ujar Yudha yang semakin mendekatkan wajahnya.
"Benarkah?" Elisha akhirnya mendongakkan kepala. Dia dan Yudha sekarang saling menatap lekat.
Yudha perlahan mendekatkan mulut ke telinga Elisha dan berbisik, "Aku mau hadiah darimu..."
Deg!
Jantung Elisha berdegub kencang. Sekujur tubuhnya merinding seketika, kala orang yang disukainya begitu dekat dengannnya. Namun sepertinya Yudha hanya memanfaatkannya untuk tujuan lain.
Yudha sekarang memegangi dagu Elisha, dia menyentuh bibir merah muda alami milik gadis tersebut. Elisha seolah membeku, dia hanya terpaku menatap wajah rupawan seorang Yudha.
Selanjutnya, Yudha pun mulai memagut bibir Elisha dengan pelan. Sekarang baik Yudha dan Elisha sama-sama merasakan ada yang menggelitik di perut mereka. Secara alami, Elisha melingkarkan tangannya ke pundak Yudha. Bibirnya ikut beraksi untuk membalas ciuman Yudha.
Lama-kelamaan, pergulatan mulut Yudha dan Elisha semakin intens. Bahkan tangan nakal Yudha mulai menggerayangi setiap jengkal badan Elisha. Perlahan Yudha mengangkat tubuh Elisha, dan mendudukkannya di atas meja. Nafas keduanya mulai tersengal-sengal, karena gairah yang semakin memuncak.
Seragam Elisha yang baru saja dirapikan, sekarang kembali acak-acakan akibat ulah Yudha. Bel pertanda masuk sudah berbunyi, saat itulah Yudha melepaskan tautan bibirnya dari bibir Elisha. Baik Yudha maupun Elisha, keduanya sama-sama tengah mengatur deru nafasnya. Hening terjadi beberapa saat.
"Yud, apakah ini berarti kita..." tanya Elisha, yang memecah kesunyian antara dirinya dan Yudha. Dia masih duduk di atas meja.
"Apa?!" ketus Yudha, dia tak peduli. Sikapnya tersebut sontak membuat mata Elisha membola. "Biarkan aku mengendalikan diri, aku masih harus bersabar. Karena kita masih berada di bawah umur!" tambahnya.
"Kau benar-benar keterlaluan Yud, kau hanya memandangku seperti itu?" kata Elisha gusar sembari merapikan rambut dan seragamnya.
"Bukankah aku tadi sudah bilang, bahwa aku menginginkan hadiah darimu. Dan inilah hadiah yang ku-inginkan. Terima kasih El, karena selalu memberikanku hadiah!" Yudha merekahkan senyum tak bersalah. Dia mengambil sebilah rokok dari saku celananya dan langsung menyalakannya dengan pemantik. Kemudian memposisikan dirinya duduk di sebelah Elisha.
"Jadi, kau cuman mau ini dariku? aku kira kau mencintaiku..." mata Elisha mulai berembun.
Yudha memutar bola mata malas seraya mengeluarkan kepulan asap rokok dari mulutnya.
"Aku menyukaimu," ucap Yudha singkat.
"Karena aku gadis yang mudah?!" tebak Elisha yang sudah merasa kecewa.
"Kau tidak pernah menyerah untuk mendekatiku. Aku suka orang yang seperti itu, dan aku yakin kau akan memberikan segalanya kepadaku." Yudha menjelaskan.
Elisha yang mendengar hanya terdiam. Cairan bening perlahan menetes dipipinya. Dia sekarang melihat siapa jati diri lelaki yang telah dipujanya selama ini. Yudha yang kebetulan melihat hanya mendengus kasar.
"Berhentilah menangis!" perintahnya sembari menghapus air mata dipipi Elisha dengan kasar.
"Aku ingin selalu berada di dekatmu Yud..." lirih Elisha penuh harap. Dia sekarang menangis dengan terisak.
Yudha yang mendengar menggeleng tak percaya dan berkata, "Dea benar, kau sangat terobsesi denganku!"
"Tidak! aku hanya sangat mencintaimu!" bantah Elisha.
"Kenapa? bisakah kau sebutkan alasannya?"
"A-aku..." Elisha meliarkan bola matanya karena kebingungan menjawab pertanyaan Yudha.
"Tuh kan kau tak bisa menjawab. Palingan alasan kau mencintaiku, ya cuman karena melihat wajah dan kekayaanku kan?!" timpal Yudha sambil tersenyum miring.
"Tentu saja tidak!" tegas Elisha yang semakin dibuat kecewa.
"Kalau begitu, paling tidak sekarang kau melihat siapa diriku yang sebenarnya. Beginilah aku El, apa kau masih tetap menyukaiku?" tanya Yudha sambil mencondongkan kepala ke arah Elisha. Dia melayangkan tatapan seakan menuntut jawaban.
"Entahlah!" Elisha membuang muka dari Yudha.
"Aku rasa sudah tidak." Yudha kembali tersenyum seraya mematikan rokoknya.
Ceklek!
Pintu mendadak terbuka, muncullah Pak Wanto. Dia merupakan guru bimbingan konseling yang kebetulan sedang berkeliling lingkungan sekolah. Hal itu sering dilakukannya ketika jam pelajaran pertama di mulai. Dia memastikan semua anak didiknya tidak berada di luar kelas.
"Kalian? apa yang sedang kalian lakukan berduaan hah?!" timpal Pak Wanto.
Yudha dan Elisha yang melihat kemunculan gurunya sontak tersentak kaget. Mata mereka membulat sempurna. Untung saja Pak Wanto tidak memergoki mereka di beberapa menit sebelumnya.
"Kami sedang membicarakan hal penting Pak!" Yudha berusaha melakukan pembelaan kepada Pak Wanto. Dia lagi-lagi bersikap polos dan ramah, seakan apa yang dikatakannya memanglah benar. Yudha sangat pandai berakting.
"Bau rokok! apa kalian merokok hah?!" mata Pak Wanto sekarang melotot tajam. Dengan cekatan Yudha menginjak puntung rokok yang tadi dijatuhkannya ke lantai.
"Itu aku Pak! Elisha sama sekali tidak terlibat. Dia malah berusaha menasehatiku!" lagi-lagi Yudha kembali bertutur kata lembut. Elisha yang sudah mengetahui perangai Yudha yang sebenarnya semakin tak percaya. Namun ia hanya membisu.
"Sudah! yang penting kalian berdua ikut Bapak!" titah Pak Wanto dengan raut wajah sangarnya.
"Ba-baik Pak," respon Elisha yang gugup akibat merasa bersalah. Yudha yang melihat tentu merasa risih.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!