NovelToon NovelToon

Gadis Dollar

Bab 1 Awal cerita

" Mataku berkedip sekali, tapi rasanya penatku seolah berlari ribuan mil. Jangan kira danau yang tenang, karena bisa saja ada putaran mematikan di dalamnya. Jangan pula kira ombak indah di atas laut, sebab bisa saja berubah menjadi tsunami sewaktu-waktu. Aku pikir hujan pun begitu menyenangkan, sampai gemericik air itu membawa kenangan yang menyakitkan. Di sini, di dalam hati... ada yang masih saja mengganjal meski delapan tahun sudah berlalu ".

Di kutip dari arsip pribadi Ratna Mangalih.

* * *

" Ini uang kembaliannya, terimakasih telah berbelanja di toko kami " ujar kasir itu tak lupa dengan senyum yang sudah ia latih.

Sedang sang pembeli sedikit pun tak membalas senyum itu, dengan dingin diambilnya tas belanjaan setelah memasukan uang kembalian ke dalam dompet.

Hhhhhhh

" Senyum dikit ke! " celetuk seorang penjaga toko yang sedang membersihkan lantai.

" Hmm, mungkin dia lagi datang bulan kali " ujar kasir itu tersenyum geli.

" Ayo na! " ajak seorang pegawai lain yang sudah mengenakan jaket dan membawa tas.

" Ratna dan Irma, bener kata pak satpam kalian ini kayak saudara kembar. Kemana-mana jalan berdua, pakai pakaian pun sama juga yang lebih aneh kenapa kalian selalu kena shift bareng juga "

" Entah! aku juga heran, mungkin di kehidupan sebelumnya kami memang kembar " gurau Irma.

" Ngaco! udahlah yu pulang, aku lapar... " sergah Ratna.

" Ya udah, kita pulang duluan ya... " teriak Irma yang sampai terdengar ke meja ujung.

Dengan mengendarai motor metik kesayangannya seperti biasa Irma memberi tumpangan kepada Ratna untuk pulang ke kontrakannya, setelah tiba di sana mereka memutuskan untuk memesan makanan dan makan bersama.

" Cincin baru ya Ir? ko gak di pakai di tangan? " tanya Ratna yang tak sengaja melihat kalung yang menggantung di leher Irma.

" Oh ini, cincinnya kekecilan jadi aku pakai dengan cara ini " jawabnya sambil memeriksa leher.

" Pacar kamu yang beliin? "

" Bukan beli, tapi hadiah "

" Hadiah dari mana? " tanya Ratna penasaran.

" Snack yang harga lima ratus ".

Hahahaha

" Jangan ngawur! jaman sekarang mana ada snack berhadiah " ujar Ratna tertawa geli.

" Dia dapat waktu masih kecil, ya... sekitaran kelas lima SD kali ".

Wajah Ratna perlahan kehilangan senyum, sambil beranjak dia berkata.

" Gak modal banget pacarmu, masa ngasih cincin begituan "

" Awalnya aku juga kesel, tapi setelah dengar ceritanya aku baru paham kalau benda ini sangat berharga buat dia "

" Emang berapa harganya? " olok Ratna.

" Ini cincin yang niatnya mau dia kasih ke cinta pertamanya, tapi karena di tolak akhirnya dia simpan terus sampai akhirnya ketemu sama aku. Aku bahkan gak nyangka pacar ku pernah di tolak, dan dia juga bilang cinta pertamanya itu adalah gadis pertama yang nolak dia " ujar Irma bercerita.

" Begitu ya " balas Ratna pelan.

" Permisi... " teriak seseorang di luar.

" Oh kayaknya itu kurirnya " ujar Irma yang segera beranjak.

Tak lama kemudian ia kembali dengan dua bungkus makanan, dengan sigap Ratna menyiapkan meja kecil untuk menaruh semua makanan itu.

" Lalu kapan rencananya kamu bakal ngenalin pacar mu itu? " tanya Ratna sambil membuka bungkusan.

" Um....entah, dia masih sibuk kerja. Tapi rencananya minggu besok dia mau ngajak aku ketemu keluarganya di kampung, sebelum berangkat aku usahain kalian ketemu dulu "

" Wah, kalian udah mau serius? " tanya Ratna lebih penasaran lagi.

Irma menjawab dengan senyum yang tak bisa ia tutupi, kedua sahabat itu tertawa bersama ikut merasakan kebahagiaan.

" Eh Na, ada gunting gak? " tanya Irma yang sedari tadi susah membuka ikatan.

" Di dalam laci ".

Irma beranjak dari tempat duduknya, membuka laci untuk mengambil benda yang ia cari tapi tak hanya gunting yang ia temukan. Di sana pun ada sebuah potret yang cukup menarik perhatiannya.

" Ini siapa Na? " tanyanya penasaran.

" Coba lihat! " seru Ratna menoleh.

Wajahnya mendadak serius tatkala menatap sebuah potret yang di tunjukkan Irma, dalam potret itu terdapat foto tiga anak kecil laki-laki dan satu anak kecil perempuan. Sebuah ingatan muncul dalam kepalanya menampakkan kenangan masa lalu, masa dimana ia melewati semua duka cita.

* * *

Dua belas tahun yang lalu...

Air mata tak pernah habis keluar dari kelopak matanya meski berhari-hari sudah ia menangis, dalam dekapannya seorang wanita yang ia panggil ibu terbaring tanpa daya. Kulitnya memucat dengan bibir yang kering, di saat-saat terakhir ia bisa merasakan kaki ibunya mulai mendingin.

" Rat.... na.... " panggil ibunya lemah.

" Ratna di sini bu, di samping ibu " jawabnya masih dengan berderai air mata.

" Dengarkan ibu nak... mulai sekarang.... jangan pernah... menundukkan kepalamu... kepada... siapa pun...., pulanglah.... ke ayahmu... ".

Kata-kata lemah itu hampir tak terdengar, bahkan di detik kemudian nafas itu sudah hilang. Sebuah teriakan pilu menandakan seorang anak baru saja menjadi piatu.

Untuk beberapa hari tak ada yang mengusiknya, ia larut dalam kesedihan tanpa ada seorang pun yang mengusap kepalanya. Hingga akhirnya sampai di hari ke tujuh setelah pemakaman bibinya datang kepada ayah tirinya untuk membicarakan masa depannya.

" Saya tidak keberatan Ratna tinggal di sini, dia sudah saya anggap sebagai anak kandung saya sendiri. Lagi pula biar Sari ada temannya " ujar pria itu.

" Saya minta maaf sudah merepotkan, andai bisa pasti Ratna saya bawa tinggal bersama saya " ujar wanita itu.

" Saya mengerti, tidak perlu sungkan hehe ".

Tawa kecil itu menyadarkan Ratna untuk mengangkat kepalanya, dengan mata yang merah dan sembab ia dapat melihat ekspresi Sari sang saudari tiri yang tersenyum licik.

" Tidak! Ratna tidak mau tinggal di sini! " teriaknya tiba-tiba.

" Ratna... sayang... " panggil wanita itu bingung.

" Bibi... tolong antar Ratna ke ayah, Ratna mau tinggal saja dengan ayah. Itu juga permintaan terakhir ibu " ujarnya.

Wanita itu saling menatap dengan ayah tirinya, meski bingung harus berbuat apa atau bicara apa tapi pada akhirnya wanita itu mengabulkan permintaannya.

" Bibi sudah kasih tahu ayah kamu, dengar! bibi hanya bisa antar kamu sampai sini saja. Setelah bis ini sampai di terminal tunggu ayah kamu jemput, sudah lama kamu gak pulang ke rumah ayahmu nanti kamu nyasar kalau jalan sendiri "

" Aku mengerti " jawab Ratna pelan.

" Ya sudah cepat sana naik, sebentar lagi bisnya mau jalan ".

Dengan senyuman kecil wanita itu mengantar kepergian Ratna kembali ke kampung halamannya, dari balik kaca jendela bis Ratna melambaikan tangan sampai bibinya tak kelihatan lagi.

Usianya yang sudah menginjak empat belas tahun dapat di katakan bahwa ia bukanlah anak kecil lagi, tapi di usia itu tetap saja kehilangan seorang ibu bukanlah hal yang mudah.

Seolah kehilangan rumah untuk bernaung, ia tak tahu kemana ia akan pergi. Setelah ini mungkin ayahnya bisa menjadi obat kesedihan, tapi ia juga tak terlalu yakin sebab lima tahun sudah ia tak bertemu ayahnya.

Entah apa yang akan terjadi padanya nanti, untuk saat ini ia tak perduli karena yang penting ia bisa keluar dari rantai neraka yang selama ini membelenggunya.

Tepat pukul tiga sore bis sudah sampai di tujuan, sesuai perintah bibinya Ratna menunggu di depan terminal agar ayahnya bisa langsung melihatnya tanpa repot mencari.

Satu jam berlalu, angin mulai terasa dingin dan ia belum juga bertemu ayahnya. Dua jam kemudian, ia masih berdiri di sana dengan perut yang mulai lapar. Tiga sampai empat jam pun berlalu begitu saja, entah apa yang terjadi pada ayahnya tapi menunggu bukanlah pekerjaan yang mudah.

Akhirnya ia memberanikan diri untuk melangkah, ini adalah kota kelahirannya ia yakin semua akan baik-baik saja. Mengandalkan ingatan yang samar-samar ia menyusuri jalan sambil melihat dengan teliti.

Seingatnya rumahnya memang agak jauh dari terminal bis, ia harus menggunakan angkutan umum untuk sampai. Tapi di hari yang mulai larut itu ia tak menemukan satu angkutan umum pun yang menuju tempat tinggalnya.

Tap Tap Tap

Setiap langkahnya semakin berat dengan tas berat di punggungnya, bahkan hatinya juga ikut berdebar kencang. Namun bukan karena lelah, melainkan karena perasaan was-was.

Dari kaca sebuah mobil yang terparkir di pinggir jalan ia melihat dengan lebih teliti, nampaklah penyebab perasaan yang tak nyaman. Itu merupakan seorang pria dewasa dengan topi dan jaket hitam, mencuri pandang sambil mengawasi sekitar.

Bab 2 Bertemu teman masa kecil

Ia semakin menambah kecepatannya berjalan setiap mencoba menengok ke belakang, ia tak pernah berani melakukannya tapi derap langkah itu terasa semakin dekat dan dekat hingga pada akhirnya ia yakin ia harus berlari.

Bruk

Aw...

" Ahh..... sakit... " erangnya memegang lutut yang seakan patah.

" Kalau jalan hati-hati! ini bukan jalan pribadi! " teriak seseorang yang masih berdiri tegak meski tak sengaja telah Ratna tabrak.

" Maaf.... " ujar Ratna mencoba bangkit.

" Kau....apa kita pernah bertemu? " tanya orang itu sambil memerhatikan wajahnya.

Waktu seakan berhenti begitu saja, Ratna mencoba mengingat sampai kenangan masa kecilnya kembali ke permukaan.

" Amus.... " panggilnya.

" Kau Ratna? " tanya orang itu.

Bukan senyuman yang pertama kali Ratna tunjukan, melainkan air mata. Tiba-tiba dipeluknya Amus dengan penuh rasa syukur, bertemu teman masa kecilnya di saat-saat yang berbahaya adalah anugerah Tuhan yang luar biasa.

" E-eh kenapa kau menangis? " tanya Amus yang kebingungan.

" Aku... sangat takut... " jawabnya masih membenamkan wajah di dada Amus.

Untuk beberapa saat meski bingung tapi Amus membiarkan Ratna tetap menangis dalam dekapannya, hingga air mata itu reda dengan sendirinya.

" Tadi ada seorang pria asing yang mengikuti ku, aku benar-benar takut hingga bingung harus bagaimana " ujar Ratna memberitahu.

" Astaga itu benar-benar berbahaya, lagi pula apa yang kau lakukan di sini? " gerutu Amus.

" Aku mau pulang... tapi ayah ku belum juga menjemput ku jadi aku inisiatif jalan sendiri "

" Kau ini sudah gila ya! "

" Oi! Amus! " teriak seseorang dari kejauhan.

Amus segera menengok, beberapa orang dengan pakaian sepak bola nampak melambai-lambaikan tangan yang segera di balas oleh Amus.

" Siapa mereka? " tanya Ratna.

" Teman-teman ku, kami habis nonton dari stadion. Baiklah kau ikut pulang bersama ku saja, nanti aku akan bicara dengan ketua dia pasti mengizinkan mu ikut "

" Terimakasih "

Kkkkrrreeeoookkkk

Langkah yang baru akan di ambil tertahan saat bunyi itu begitu nyaring terdengar, dengan malu Ratna mencoba menekan perutnya sebab Amus yang melempar tatapan.

" Kau lapar? " tanya Amus.

Ratna tak menjawab, terlalu malu hingga bingung harus menjawab apa atau bertingkah seperti apa.

" Tunggu di sini! " ujarnya.

Amus pergi ke toko terdekat dan membeli beberapa roti serta minuman.

" Ini! makan nanti saja di mobil mereka sudah menunggu kita " ujarnya memberikan satu kantung penuh makanan itu.

Dengan berlari kecil mereka menemui orang yang Amus panggil ketua, umurnya lebih tua dua atau tiga tahun dari Amus. Dengan perawakan tinggi dan kekar membuat Ratna sedikit takut, tapi setelah Amus menceritakan bahaya yang hampir menimpanya orang itu bertindak sangat ramah sampai memberikan kursi depan untuknya.

Hanya dengan waktu satu setengah jam mereka sudah sampai, tak lupa Ratna mengucapkan terimakasih kepada ketua yang sudi memberinya tumpangan.

" Ah.... sudah lama sekali aku tidak kemari, rupanya gang kecil ini masih sama saja " ujar Ratna melihat sekeliling kampung halamannya.

" Memang apa yang kau harapkan? kau hanya pergi selama lima tahun saja "

" Waktu selama itu tentu saja sudah banyak merubah sesuatu, contohnya kau! dulu aku lebih tinggi darimu kenapa sekarang malah kau yang lebih tinggi dariku? " ujar Ratna.

" Karena aku di beri makan oleh orangtuaku! " balas Amus sambil berjalan lebih dulu.

" Lima tahun sudah berlalu dan dia masih saja menyebalkan seperti dulu " gumam Ratna.

Tepat memang, saat itu matahari bersinar dengan terik. Masih teringat jelas di benaknya ia sedang bermain dengan teman-temannya di lapangan, tiba-tiba ibunya datang dengan mata merah dan tangan yang terus menghapus air mata.

Saat itu ia masih berumur sembilan tahun, belum mengerti apa pun. Yang ia ingat hanya ibunya membawanya pulang ke rumah lalu membereskan semua pakaian mereka, saat di tanya ibunya hanya menjawab bahwa mereka akan mengunjungi neneknya.

Anehnya hari itu ayahnya terus diam di kamar dan tak mau keluar meski ia panggil untuk berpamitan, untuk beberapa hari ia pikir ia sedang liburan tapi saat ia masuk Sekolah Menengah Pertama ia pun tahu bahwa orangtuanya telah bercerai.

Tok Tok Tok

Lampu depan rumah itu nampak temaram seakan menandakan ia akan mati, rumah tempat dimana ia menghabiskan masa kecil tak berubah sedikit pun.

Tok Tok Tok

Ia mencoba mengetuk lagi tapi rumah itu sangat hening, sempat ia berfikir mungkin ayahnya sedang pergi dan tak ada di rumah sampai kemudian.

Ceklek

Pintu terbuka, Ratna melihat sesosok pria yang sudah sekian lama tak ia jumpai.

" Ratna... kau di sini! " ujarnya.

" Ya, aku pulang... "

" Bu-bukankah kau datang hari selasa? "

" Ini hari selasa " jawab Ratna.

Pria itu yang tak lain adalah ayahnya langsung salah tingkah saat ia sadar telah melakukan kesalahan.

" Si-siapa yang menjemput mu? "

" Aku pulang bersama Amus "

" Oh... syukurlah! ayo masuk! kamar mu sudah siap sejak kemarin kau bisa segera istirahat, ini sudah malam kau pasti lelah " ujarnya sambil membuka pintu lebar-lebar.

Ratna masuk ke dalam, melihat isi rumah yang masih sama seperti dulu hanya dengan debu di sudut-sudut ruangan. Ia segera menuju kamarnya, kamar yang selalu berantakan saat ia tinggal main dan akan rapih saat ia kembali.

Kamar itu juga masih sama seperti dulu, hanya saja semua pernak pernik dan bonekanya sudah tidak ada. Ratna segera membaringkan tubuhnya di atas ranjang, di hari kematian ibunya hingga saat ini ia belum bisa tidur dengan nyenyak. Ia pikir malam ini pun ia akan terbangun dengan perasaan sedih, namun nyatanya ia tidur dengan nyenyak dan bangun di pagi hari yang cerah dengan perasaan yang lebih baik.

" Kau sudah bangun " sapa ayahnya.

" Pergilah cuci mukamu, ayah sudah siapkan nasi dan telur untuk sarapan mu. Ayah harus pergi bekerja jadi... istirahat saja di rumah " lanjutnya.

" Baik " jawab Ratna.

Ia mengikuti perintah ayahnya, setelah beberapa hari tak tidur nyenyak ia juga tak makan dengan baik. Meski hidangan sarapan itu sederhana tapi ia bisa menikmatinya, bahkan ia menghabiskan sarapannya.

Tak ada aktifitas yang ingin ia lakukan karena lelah perjalanan, tapi melihat rumah yang berantakan membuat tangannya gatal sehingga pada akhirnya seharian itu ia membereskan rumah.

" Oh.. Ratna.... kapan kau kembali? " tanya seorang nenek yang tak sengaja bertemu saat ia membuang sampah.

" Ah... nenek Amus, wah.... ingatan nenek sangat bagus bisa mengenaliku meski sudah lama tak bertemu. Hehe aku datang semalam " jawab Ratna sambil menghampiri.

" Oi Ratna! ada yang ingin bertemu denganmu! " teriak Amus dari kejauhan.

Nampak dua orang berjalan bersamanya, wajah mereka nampak berseri hingga berhenti tepat di depan Ratna.

" Ahhhh... astaga! Ardi? Jimy? " tanya Ratna.

" Oh kau masih mengingat kami rupanya " ujar Jimy sambil mengacak-acak rambut Ratna.

" Tentu saja! meski ku akui kenapa kalian tumbuh tinggi dengan cepat " balasnya melihat perbandingan tinggi badannya.

" Ku pikir tidak akan bertemu denganmu lagi, jika kau datang sedikit lebih lama lagi bisa di pastikan aku akan lupa wajahmu " ujar Ardi.

Hahahaha

Tawa pertama dalam hidup Ratna setelah lima tahun berlalu, saat-saat paling membahagiakan dalam hidupnya memang saat ia bersama dengan ketiga orang itu. Apa pun masalah yang ia hadapi rasanya bisa ia lewati begitu saja jika ada ketiga teman masa kecilnya.

" Nak, makanlah di sini! nenek masak ayam goreng untuk menyambut kepulangan mu " ujar nenek.

" Oh Ardi boleh ikut makan gak nek? tadi pelajaran olahraga di sekolah, Ardi capek banget sampai kelaparan nih " rengek Ardi.

" Dasar anak nakal! kau biasa mencuri nasi nenek sudah tidak perlu minta ijin, ayo kalian semua masuk " ujar nenek menepiskan tangan.

Hahaha

Tawa itu kembali lagi, membawa warna yang telah hilang.

Bab 3 Kenangan masa kecil

" Um... yummy... masakan nenek emang selalu enak! " ujar Jimy mengambil lagi satu paha ayam yang tersisa.

" Aku setuju! ah.... sudah lama aku tidak makan seenak ini " balas Ratna mengingat bagaimana ia menghabiskan waktu lima tahun tanpa menikmati makanan.

" Jadi, dimana kalian sekolah? apa kalian sekolah di tempat yang sama? " tanyanya yang tak ingin kembali larut dalam kesedihan.

" Hmm, bahkan kami satu kelas " jawab Ardi.

" Benarkah? astaga....kalian benar-benar tidak terpisahkan "

" Kau sendiri, bagaimana dengan sekolahmu? kau akan pindah ke sekolah mana? " tanya Jimy.

" Entahlah, aku belum bicara dengan ayahku " akuinya.

" Saat kecil kami begitu dekat tapi setelah lima tahun berlalu tanpa pernah berjumpa, tiba-tiba aku kembali dalam keadaan seperti ini... rasanya aku seperti orang asing " lanjutnya.

Entah apa sebab kecanggungan antara ayah dan anak itu, Ratna selalu merasa sikapnya tak pernah berubah hanya saja ia akui memang ia tak bawel seperti dulu. Mungkin itu akibat tekanan yang ia alami selama ini, ayahnya juga seolah memperlakukannya sebagai tamu.

" Hei kau punya handphone? " tanya Jimy tiba-tiba.

" Kenapa? apa kau punya? " tanya balik Ratna.

Jimy tersenyum dan mengeluarkan sebuah handphone baru dari dalam sakunya.

Waahhh......

Kekaguman nampak jelas di raut wajah ketiga sahabat itu.

" Apa ini keluaran terbaru? " tanya Amus.

" Aku juga kurang tahu, tapi kakak ku yang membelikannya. Ini adalah hadiah dari gaji pertamanya "

" Ah kau sangat beruntung, kau punya kakak yang baik " ujar Ratna iri.

" Hei... kita menuju masa milenial, kita harus memiliki barang-barang seperti ini " ujar Jimy.

" Kau benar, hampir semua teman kelas kita memilikinya " ucap Ardi setuju.

Hhhhhhhh

" Jangankan handphone Sony Ericsson atau Nokia, Nintendo pun aku tak punya " keluh Ratna.

" Jangan sedih kau bukan satu-satunya yang miskin di sini " ujar Ardi sambil menepuk pundak Ratna.

" Bisakah kita bermain kelereng seperti dulu? atau membuat pedang dengan pelepah pisang? jujur aku merindukan hal itu ".

Hahahahah

Ucapan Ratna itu tentu mengundang tawa mereka semua, lima tahun sudah berlalu dan kini mereka baru saja duduk di kelas tiga SMP.

Tahun 1995 pasangan suami istri membawa bayi ke rumah mereka dan memberitahu bahwa nama bayi itu adalah Amus Ali Asegaf putra sulung mereka, di tahun yang sama bulan Mei dengan bantuan dukun beranak lahir seorang putri di rumah yang di beri nama Ratna Mangalih.

Tiga bulan kemudian tangisan seorang bayi di tengah malam memberitahu dunia bahwa anak kedua dari pasangan suami istri telah lahir dengan nama yang cukup singkat yaitu Jimy. Di akhir tahun dari pasangan suami istri yang sudah 10 tahun menanti kehadiran buah hati akhirnya lahirlah bayi tampan dan di beri nama Ardi Saputra.

Empat anak lahir di tahun yang sama dan bertetangga membuat ke empat anak itu menjadi teman masa kecil, meski samar tapi Ratna ingat saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar.

Amus yang rumahnya paling pojok pagi-pagi sekali akan berteriak di depan rumahnya dan mengajaknya pergi ke sekolah bersama, setelah itu orangtua Ardi dan Jimy akan memintanya untuk mengikutsertakan Ardi dan Jimy agar mereka ada teman di jalan.

Setelah pulang sekolah waktu luang yang mereka punya akan di habiskan dengan bermain, entah itu petak umpet, main bola, kelereng, atau peperangan dengan menggunakan senjata yang mereka buat sendiri.

Ratna satu-satunya anak perempuan di sana tak pernah keberatan jika harus mengikuti permainan anak laki-laki, meski terkadang ia terluka dan merepotkan semua orang.

" Hei apa pohon asam di dekat rumah kosong masih ada? dulu kita sangat suka mengambil asam yang bertebaran di tanah " ujar Ratna teringat masa kecil.

" Sudah di tebang, bahkan rumah kosong itu juga sudah di ratakan. Ada pembangunan proyek di sana, jika tak salah akan di buat perumahan " jawab Ardi.

" Ah sayang sekali, padahal aku ingin pergi ke sana "

" Kau mau apa? " tanya Amus heran.

" Aku ingin buah asam "

" Ha.... kau tinggal beli di pasar "

" Itu beli! aku ingin gratis! "

" Kau cari di dapur ku " tukas Amus dengan wajah dingin.

Ratna mengerutkan bibinya, jika di luar ia bisa nampak manis maka di depan Amus ia hanya gadis kecil yang selalu menyebalkan. Apa pun yang di lakukan atau di katakan olehnya entah mengapa selalu mengundang omelan dari Amus.

" Memangnya kakak mu kerja di mana Jim? " tanya Ratna.

" Oh setelah lulus S1 dia mengajar di SMA, meski honorer tapi karena sekolah itu termasuk ke dalam sekolah favorit jadi gajinya lumayan "

" Kau benar-benar beruntung, orangtua mu pemilik restoran di pusat kota sekarang kakak mu jadi guru. Seumur hidup rasanya kau tidak akan kekurangan apa pun "

" Jangan begitu, terkadang aku kesepian karena mereka semua sibuk bekerja. Aku juga di tuntut harus pintar agar bisa mewarisi usaha keluarga, beban itu sudah cukup berat untuk ku "

" Setidaknya kau tetap tidak kekurangan, beda dengan ku yang hanya mengandalkan uang pengsiun ayahku " tukas Ardi.

" Setidaknya setiap bulan keluarga mu ada pemasukan, jika di pikir lagi akulah yang paling sengsara. Sekarang ibuku sudah meninggal, ayah ku pun hanya seorang tukang servis kursi yang kadang ada kerjaan kadang tidak " sergah Ratna.

Mereka terdiam, sebab ucapan Ratna benar adanya, dengan rasa bersalah Jimy mengembalikan sepotong paha ayam yang sudah ia gigit.

" Makanlah " ujarnya pelan.

" Kau mau ku pukul? " ucap Ratna sambil mengepalkan tangan.

Hhhhhhh

" Jika di pikir-pikir Amus lah yang paling beruntung, ayahnya bekerja sebagai satpam di bank dan ibunya karyawan pabrik. Meski di tinggal kerja kau masih punya nenek yang merawatmu dan menemani mu " lanjutnya sambil melirik.

Tak ada ucapan yang keluar dari mulut Amus untuk menjawab pernyataan itu, ekspresinya juga tetap dingin tak berubah.

" Bahkan sejak kecil saat bermain kerajaan dia selalu menjadi Rajanya, benar-benar berkharisma sejak lahir " tukas Jimy.

" Dan aku adalah putrinya yang manis " teriak Ratna tersenyum lebar.

" Itulah yang aku sesali, kenapa dulu kau selalu menjadi putri hanya karena kau satu-satunya anak perempuan di sini padahal kau bisa berperan sebagai penyihir, itu lebih cocok untuk mu! " ujar Amus.

" Apa? katakan sekali lagi aku akan membunuhmu! " teriak Ratna.

Aw aw.....

Hahahhaha

Beberapa pukulan benar-benar di layangkan oleh Ratna membuat gelak tawa untuk Ardi dan Jimy, sejak dulu bagi mereka hal yang paling lucu adalah saat Ratna dan Amus bertengkar.

" Hei sudahlah, lima tahun tidak bertemu satu-satunya yang bisa kalian lakukan hanya bertengkar " ujar Ardi melerai.

" Oh sudah hampir sore, aku harus pulang jika tidak ibuku akan marah melihat seragam ini belum ku ganti " ucap pula Jimy melirik jam dinding.

" Kau juga sebaiknya pulang, besok ada ujian aku harus belajar " kata Amus beranjak dari tempat duduknya.

" Baiklah aku pulang, dah.... " balasnya melambaikan tangan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!