NovelToon NovelToon

KAMU PERI KECILKU

G'bye....

Satrio Eko Buwono mengedarkan pandangannya ke arah kerumunan para penjemput penumpang pesawat yang baru saja mendarat bersamanya.

Ada sepasang bapak ibu yang nampak tersenyum kalem sambil menatap ke satu titik di sebelah kanan Satrio.

Karena kepo, cowok itu menoleh ke arah kanannya.

Nampak satu gadis berjilbab, tingginya mungkin hanya sepundaknya (bila mereka berdiri berjejer) nampak sangat heboh dadah- darah sambil berjalan setengah berlari alias berjalan cepat. Entah mengapa Satrio merasa gadis itu kayak orang lagi ikut lomba balap karung dengan suporter utama orangtuanya sendiri.

Lalu ada juga seorang gadis atau tepatnya mbak- mbak ( karena kayaknya umurnya lebih tua dari dia) yang sangat berkharisma nampak berdiri tenang namun matanya nampak melihat tajam ke arah belakangnya.

Karena nggak ada kesibukan, Satrio menoleh ke belakang mencari tahu siapa yang jadi tujuan tatapan mbak- mbak itu.

Ternyata seorang bapak- bapak yang mungkin seumuran dengan ayahnya nampak sudah tersenyum lebar sambil merentangkan kedua tangannya siap memeluk mbak- mbak yang kini sudah melangkah cepat menyambut bapak- bapak itu.

"Miss you so bad, darling." Satrio nyengir kuda balap saat telinganya tanpa sopan santun mendengar bapak- bapak itu berkata pada mbak- mbak sambil berpelukan erat.

Mereka anak- bapak atau sugar Daddy dan sugar baby ya? Eh sugar lady ding, kan udah mbak- mbak, celoteh batin Satrio penasaran.

"Kita langsung ke kantornya Papa ya Ma?" suara seorang cowok kecil mampir di telinga Satrio yang lagi nganggur.

"Iya. Kita kasih kejutan sama Papa." jawab mahmud alias mamah muda yang imut- imut kayak anak kelas satu SMA.

Kamu mau nyamperin papa mu ngasih kejutan, Boy. Aku lho yang diusir bapakku dan langsung terkejut, celoteh batin Satrio menimpali ucapan bocah lelaki itu.

"Nggak papa, Sayang, aku ngerti kok. Nanti aku langsung kesitu aja." suara merdu mampir juga ke telinga Satrio yang masih celingak celinguk acting seolah sedang mencari seseorang padahal dia tahu banget nggak ada yang menjemputnya dan satu- satunya yang akan dia cari pertamakali begitu turun dari pesawat adalah taksi online. Tak lain dan tak bukan.

Coba kalau pacarku kayak kamu, Neng, pengertian, nggak dijemput nggak papa, mau nyamperin sendiri, enak pasti. Kembali hati Satrio berkomentar dengan melupakan kondisinya yang sedang pacarless.

"Taksi, Mas?" tawar seorang pemuda yang mungkin seumuran dengannya begitu Satrio melewati pintu keluar.

"Iya. Minta tolong dianter ke alamat ini ya." kata Satrio sambil menyerahkan secarik kertas tulisan tangannya yang mirip kecambah pencak silat itu, membuat sang driver harus sedikit memiringkan ke kanan dan ke kiri kertas alamat itu untuk mencari angle pas agar tulisannya bisa kebaca.

"Kompleks Dalem Kahyangan nomer 9 ya, Mas?" tanya driver itu menegaskan sebuah nama perumahan elite.

"Yo i." jawab Satrio sambil memakai kacamata hitamnya yang harganya bisa buat beli sepeda yang biasanya jadi hadiah dari Pak Jokowi.

Satrio memilih duduk di samping sang driver yang ternyata sangat seru orangnya.

"Lagi naksir sih, Mas. Tapi kayaknya cukup sampai di naksir aja." kata Lukas, sang driver, saat Satrio nanya padanya punya pacar nggak.

"Kenapa?" tanya Satrio kepo.

"Beda jalur, Mas. Saya ke gereja, dia ke masjid." jawab Lukas sambil tertawa ringan.

Satrio mengangguk mengerti.

Sudah nggak bisa nyari solusi lain kalau udah kepentok satu hal itu, selain MENYERAH.

"Kalau Mas Satrio pacarnya pasti ayuuuu, wangiiiii, sugiiiih ( kaya)." tebak Lukas yakin.

"Jones aku." sahut Satrio santai, membuat Lukas tergelak.

"Saingannya lebih berbobot ya?" tebak Lukas sambil tertawa pelan.

"Yoi." jawab Satrio sambil mengingat Dea yang dengan angkuhnya menatapnya sambil mengapit lengan Rino menuju mobil sport baru cowok itu.

Tiga tahun mereka pacaran walaupun LDR an karena Satrio harus kuliah di Inggris. Baru berapa bulan kemarin bisa barengan malah terus putus gegara cewek itu minta dibeliin apartemen mevvah.

Karena cinta dan merasa ada uang, Satrio tadinya langsung mengiyakan saja permintaan kekasihnya itu.

Sialnya, Papanya - yang biasanya nggak pernah usil ngurusin pengeluaran Satrio lewat kartu sakti tak berbatasnya- kok ya pakai kaget segala waktu tahu ada pengeluaran dua M lebih dalam waktu berdekatan.

Dipanggil lah Satrio ke depan orangtuanya dan diinterogasi lah dia soal pengeluaran warbiazah itu.

Flashback on

**************

"Dea minta apartemen." jawab Satrio santai.

"Mas, Dea itu baru pacarmu. Kalau kamu ngasih hadiah itu yang biasa aja deh. Baru jadi pacar, belum punya hak aja udah minta apartemen mewah. Besok kalau jadi istrimu, bisa- bisa semua harta orangtuamu dia minta. Bucin boleh, tapi jangan bo doh dong." kata Bu Katarina, mamanya tegas.

"Kamu tahu nggak, uang dua milyar itu, kalau kamu kasih ke orang yang hidupnya normal, nggak hedon, udah bisa tenang di rumah sampai ke anak cucunya nggak kerja juga tetap udah bisa hidup layak." sambung Pak Susilo Buwono, papanya.

"Kayaknya dulu kami harusnya nyuruh kamu tinggal di panti asuhan aja. Biar tahu rasanya susah." sambung papanya lagi dengan wajah gemas.

Satrio mendengus kesal.

Kata- kata itu kan kata- kata orangtuanya kalau dia nakal pas waktu dia masih piyik.

"Kemana teman- temanmu yang orang- orang pinggiran tapi baik- baik itu? Yang biarpun nggak kaya tapi nggak suka morotin kamu? Sejak lulus SMA mereka nggak pernah kelliatan suka main ke rumah?" tanya papanya lagi.

"Mereka sibuk kerja semua. Ada yang keluar kota juga." jawab Satrio sambil membayangkan wajah Udin, Gerry, dan Daniel, genk nya jaman SMA.

"Pererat gaul sama orang- orang seperti mereka biar kamu nggak lupa daratan. Biar tetap tahu kalau hidup nggak semudah yang kamu jalani selama ini karena kamu punya kartu sakti dari Papa. Biar kamu tetap tahu, mana yang penting dan harus, sama yang cuma buat gengsi dan show off aja. Papa sudah batalkan pembelian apartemen itu Dan jangan coba- coba membelikan lagi pacarmu itu barang- barang mahal." kata papanya membuat hati Satrio mencelos.

Fix, jelas bakal murka nih Dea kalau tahu pembelian apartemen di batalkan sama papanya.

Tapi dia bisa apa?

Ngamuk sama papanya? Kalau itu dia lakukan, yang ada dia bisa langsung di coret dari KK keluarganya. Kan serem tuh?

Masak putra mahkota langsung terjun bebas jadi duafa?

"Kartumu mana? Keluarin sini." pinta papanya yang langsung dituruti oleh Satrio dengan gerakan malas.

"Mulai sekarang kamu pegang kartu ini. Limit per bulan lima puluh juta." kata papanya setelah mengambil kartu berwarna hitam yang tadi diletakkan Satrio kemudian menyerahkan kartu lain dari dompet pribadinya.

"Pa?! Sebulan lima puluh juta dapat apaan?" tanya Satrio kaget.

"Tergantung gimana cara kamu memakai kartu itu. Kalau kamu masuk ke butik kenamaan merk luar negeri sama pacarmu itu, jelas nggak dapat apa- apa. Ya minimal dapat malu lah. Tapi kalau itu kamu bawa ke swalayan, bisa banget itu buat hidup sekeluarga dengan dua anak. Ya, Ma?" tanya Pak Susilo yang disambut anggukan mantap sang istri.

Satrio mendecih pelan sambil membuang punggungnya ke sandaran sofa dengan kesal yang dia tahan.

Mana berani dia menunjukkan kekesalannya pada orangtuanya itu?

Dia takut jadi anak durhaka walaupun kelakuannya selama ini mungkin masuk kategori durjana.

"Umur kamu sudah dua lima tahun ini. Sudah nggak ada waktu hanya buat have fun. Serius lah nyari calon istri. Dari pengamatan Papa, pacarmu yang ini yang paling parah materialistisnya." kata Pak Susilo lagi.

Satrio mengangkat pandangannya yang sedari tadi kusyuk menatap sepatu mahalnya.

"Memangnya Papa tahu aku pernah pacaran sama siapa aja?" tanya Satrio keheranan.

"Kamu kira bapakmu ini nggak pernah liat akun medsos kamu yang isinya cuma pamer kemesraan dan rayuan gombal recehan kamu itu? Bikin geli aja. Pacar pertamamu namanya Rita. Itu pas kamu kelas dua SMA. Putus menjelang naik kelas tiga. Kamu pacaran lima kali. Ya kan?" jawab Pak Susilo membuat Satrio meringis malu.

Dia saja sudah lupa pacar pertamanya siapa.

"Papa masih inget nama- namanya mantanku nggak?" tanya Satrio usil.

"Jelas! Rita, Nadia, Tyas, Nona, lalu si materialistis ini, Dea." jawab Pak Susilo lancar.

Membuat Satrio spontan bertepuk tangan kagum pada daya ingat dan daya kepo papanya.

"Mama juga tahu, Ma?" tanya Satrio jadi tambah penasaran.

"Ya iyalah! Kami kan selalu stalking berdua." jawab mamanya sambil tersenyum riang.

Ya ampun, my beloved parents......

"Pasti Dea ngamuk- ngamuk nih, Pa. Nggak jadi aku beliin apartemen." keluh Satrio.

"Bilang saja sekalian kalau kamu bangkrut. Cuma dapat jatah dua puluh juta sebulan. Minggat nggak dia dari sisi mu." kata Pak Susilo membuat Satrio melongo.

Diputus Dea? Oh, no......

Tapi, Pa...."

"Hidup kamu itu sepenuhnya milikmu, tanggung jawabmu. Tapi kami sebagai orangtua punya kewajiban memberitahu, menunjukkan kenyataan hidup ke kamu, menegur kamu kalau kamu sudah out of control. Dan kenyataan hidup itu nggak selalu sesuai dengan keinginan kamu. Belajarlah menerima dengan ikhlas. Apa yang lepas dari kamu padahal kamu sudah berusaha mempertahankan sekuat tenaga, pasti akan diganti dengan yang lebih baik oleh Allah." kata Pak Susilo.

"Kami nggak bisa memaksa kamu untuk berhenti mencintai Dea, tapi kami minta kamu realistis dan logis. Kalau kamu sampai menikah dengan dia, kamu sanggup nggak jadi sapi perah dia selamanya?" tanya mamanya lembut.

"Coba dulu lakukan apa yang Papa bilang tadi. Kalau dia tetap mau bersamamu walau kamu bangkrut, bisalah di pertimbangkan. Tapi kalau Papa sih yakin dia bakal langsung balik kanan jalan kalau tahu kamu miskin." kata Pak Susilo sambil tertawa mengejek pada anaknya.

Dan akhirnya, setelah seminggu berpikir dan menghindari Dea, Satrio mengikuti saran Papanya itu.

"Bisa bertahan denganku kan, Beib? Aku akan berusaha memperbaiki keuanganku agar bisa stabil lagi." tanya Satrio setelah bilang kalau dia bangkrut.

"Saldo tabunganku tinggal dua puluh juta." kata Satrio pelan, membuat Dea melotot tak percaya.

"Duapuluh juta doang?! Beneran?" tanya Dea yang mendapat anggukan pelan dari Satrio.

"Oh, no....! Aku nggak bisa kalau gini. Kamu nggak bisa ku andelin lagi. I'm so sorry, aku nggak bisa sama- sama kamu lagi." kata Dea pelan, membuat Satrio kaget.

Walau sudah mempersiapkan hati untuk scene ini, tapi ternyata hatinya nyeri juga.

"Kita udah tiga tahun lho, Beib....masak harus bubar gini aja sih tanpa berjuang dulu?" protes Satrio nggak terima.

"Aku harus gimana? Kamu mau aku sabar nunggu kamu kaya lagi? Sampai kapan? Sampai aku tua?" elak Dea membuat Satrio terdiam.

Gila! Dia benar- benar buta selama ini dengan ke realistisan Dea dalam menjalani hidup.

Cewek itu ternyata nggak membawa perasaan sama sekali dalam hubungan mereka selama ini.

"Kita temenan aja ya mulai sekarang?" kata Dea sambil menyentuh lengannya sekilas.

Entah mengapa Satrio langsung saja mengangguk walau kemudian diaerasa seperti ada lubang yang tercipta di hatinya.

Goodbye three annoying years.

Flashback off

**************

"Pacaran LDR tiga tahun nggak guna. Udah tekor bandar sampai gila- gilaan. Ujung- ujungnya ditinggal juga." keluh Satrio sambil nyengir menertawakan ke bo do hannya selama ini.

"Yang bisa mengalahkan kesetiaan itu adalah restu Tuhan dan kadang orang tua, kuda besi dan kereta besi Eropa. Ya nggak?" tukas Lukas sambil terkekeh.

"Kayaknya sih gitu." kata Satrio pasrah.

.......🧚🧚🧚 bersambung 🧚🧚🧚......

Jumpa lagiiiii dengan petualangan baru 😀😀😀

Semoga asik ya.....

Happy reading semuanya.....

Jangan lupa jempolnya mampir bentaran di akhir bab ya.....👍🙏

Komennya jangan lupa juga yang manis- manis, hihihi......

O ya buat yang belum tahu, sekarang kita bisa komen di tiap paragraf lho, kayak di aplikasi oren itu😊 Pastikan sudah di update ya aplikasi birumu ini.

Have fun.....💖💕

Teman Baru

"Di sini liburan atau kerja, Mas?" tanya Lukas kemudian, mencoba mengganti topik pembicaraan daripada nantinya hanya berujung jadi sesi curhat duo cowok ngenes.

"Kerja." jawab Satrio pendek.

Kerja rodi tepatnya, batin Satrio.

Diam- diam dia menghela nafas berat.

Setelah fix diputus Dea, dan sudah menikmati masa patah hati, penderitaan hidupnya ternyata masih bertambah lagi dengan diusirnya dia dari lingkungan hidup nyamannya selama ini.

Siapa lagi yang punya ide gila seperti ini kalau bukan orangtuanya.

Papanya mengusirnya pergi dari Jakarta untuk bekerja di daerah manapun, terserah dia asal pergi dari Jakarta.

Bukan sebagai direktur dari salah satu perusahaan milik keluarga mereka, tapi hanya sebagai karyawan biasa, dan di perusahaan orang lain pula.

Jangan mengira Satrio bekerja di Jogja dengan bantuan relasi orang tuanya. Tidak sama sekali.

Tak ada nepotisme dalam diterima nya dia bekerja di perusahaan yang akan ditempatinya nanti.

Dia benar-benar melakukan prosedur melamar pekerjaan seperti umumnya seorang pencari kerja.

Papanya benar- benar tak ingin membantunya.

"Sampai umurmu setua ini kamu belum pernah merasakan berjuang mencari nafkah kan? Anggap saja ini petualangan baru. Walau agak terlambat sih. Tapi nggak papa. Belajarlah menjadi lelaki sejati yang mampu berdiri di atas kakinya sendiri." begitu kata papanya sambil terkekeh.

Maka jadilah dia rajin mencari lowongan pekerjaan, memakai ijazah S1 nya di semua sosmed.

Yeaaah, papanya melarang memakai ijazah master nya untuk mencari pekerjaan.

"Gunakan itu nanti, untuk melamar pekerjaan di perusahaan papa. Dua tahun ke depan, gunakan waktumu untuk menikmati petualanganmu di dunia kerja tingkat dasar Pahami semuanya sebaik mungkin." begitu kata papanya.

Satrio hanya mengangkat tangan menyerah dan pasrah.

Lagipula ada baiknya juga dia pergi dari lingkungan pergaulannya di Jakarta.

Ya. Setidaknya dia tidak harus repot- repot menyembunyikan mukanya dari teman- temannya main atas ' kebangkrutannya'.

Sekalian bisa untuk membantunya mengikhlaskan Dea pergi dari hidup dan hatinya.

"Kerja di daerah mana, Mas?" tanya Lukas lagi.

"Sleman." jawab Satrio singkat.

"Slemannya mana?" tanya Lukas makin kepo.

Satrio melirik Lukas sejenak, untuk mengingat- ingat alamat calon kantornya, tapi malah membuat Lukas salah tingkah.

"Maaf....maaf....bukan mau kepo sih...." kata Lukas nggak enak hati.

"Depok." jawab Satrio menyebut nama satu kecamatan di kabupaten Sleman.

"Udah lama, Mas kerjanya disini?" tanya Lukas lagi.

"Besok baru mau mulai kerjanya." jawab Satrio santai yang disambut ooooo panjang dari bibir Lukas.

"Kalau gitu semangat ya, Mas. Saya aja yang nyemangatin, lumayan kan daripada nggak ada yang jadi penyemangat." kata Lukas sambil tertawa meledek.

Satrio hanya tersenyum kecut.

Ya, mungkin akan beda rasanya kalau kita punya someone special saat kita akan menjalani sebuah hal baru seperti ini.

Akan lebih menggelora semangat dan gregetnya. Nggak seperti keadaannya yang anyep kayak masakan tanpa garam gini.

"Disini kost, Mas?" tanya Lukas lagi dan lagi.

"Enggak. Numpang di rumah keluarga. Nanti kalau pengen kost ya ntar nyari kost yang dekat tempat kerja." jawab Satrio yang mendapat anggukan setuju dari Lukas.

Ya iyalah numpang, orang semua aset masih punya bapakmu, belum pindah tangan ke dirimu.

"Minimal ngirit budget bensin." kata Lukas sambil tersenyum.

"Iya ya." gumam Satrio seperti baru disadarkan.

Sejak pesawat kelas ekonomi - ini pertama kalinya dia naik kelas ekonomi- membawanya terbang dari Jakarta menuju kota Jogja tadi, dia sudah berjanji dalam hati akan menjadi Satrio yang baru.

Satrio yang akan hidup dengan uang hasil jerih payahnya sendiri dan tak akan memakai uang dari Papanya kalau tidak sangat terpaksa.

Dia akan membuktikan pada dirinya sendiri dan orangtuanya kalau dia bisa jadi lelaki sejati yang bisa berdiri di atas kakinya sendiri walau tanpa koneksi dan relasi. YEAHHHH !!!!

"Aku juga kerja di daerah Depok, Mas. Semoga kapan- kapan kita bisa ketemu di jalan atau di warung ya, Mas. Siapa tahu jodoh kan?" kelakar Lukas membuat Satrio tertawa.

"Mau ketemu ya tinggal janjian, gampang kan? Belum ada istri yang ngelarang- ngelarang ini." kata Satrio santai.

"Berarti mau nih, Mas ketemu sama Saya lagi?" tanya Lukas dengan gembira.

"Why not? Kamu adalah teman pertamaku di hari pertamaku menjadi penghuni kota Jogja. Lumayan kan bisa punya tour guide gratis." kata Satrio sambil terkekeh.

"Sip! Deal! Call me whenever, wherever you need me, Bro." kata Lukas sambil mengulurkan tinjunya ke arah Satrio yang kemudian membalas dengan mempertemukan tinjunya.

"Kamu jin, bisa dipanggil kapanpun dan dimanapun?" seloroh Satrio.

"Bukanlah! Aku sebangsa pria panggilan." kata Lukas dengan gaya berbisik genit dan sudah mulai ber aku kamu.

"Wuuaaaaah.....ngeriiiwwww!" pekik Satrio sambil tergelak.

"Jangan berusaha memangsaku atau menjebakku ya. Aku bukan lelaki gampangan." kata Satrio masih dengan sisa tawanya.

"Kalau gitu kita bisa saling tahu nama akun medsos?" tanya Lukas.

"Boleh. Aku cuma punya IG, nggak punya FB apalagi tiktok." kata Satrio sambil nyengir.

"Kenapa?" tanya Lukas keheranan.

"Nggak pengen aja." jawab Satrio santai.

"Padahal FB kan bisa bikin kita ketemu sama orang- orang di masa lalu kita yang mungkin kehilangan kontak." kata Lukas yang disambut anggukan Satrio.

"Tapi aku nggak ada kehilangan kontak sama semua orang di masa laluku." kata Satrio.

"Bisa jadi alat untuk bertemu jodoh juga lho." kata Lukas lagi.

"Jodoh mah sudah ada yang ngatur bakal ketemu kapan dan dimananya. Nggak usah repot- repot musingin itu." sergah Satrio.

"Bisa buat tebar pesona, Mas." kata Lukas belum mau kalah.

Satrio menatapnya sebal.

"Panggil nama saja! Kita kan udah temenan. Mas mes mas mes kayak emak gue aja lu." sungut Satrio sudah mulai ber elu gue.

"Okeeee....siyaaaaaap....." sahut Lukas sambil tertawa.

"Berarti kamu narik cuma pas hari libur?" tanya Satrio membuat topik obrolan baru.

"Iya. Sama pagi atau sore sepulang kerja, kalau lagi mood." jawab Lukas

"Lagu lu, pakai mood segala." kata Satrio dengan wajah mencibir.

Lukas hanya terkikik malu.

"Namanya pelayanan jasa, mood harus dijaga biar tetap cerah ceria sama klien. Kalau lagi nggak mood maksa narik, siksaan batin, Bro kalau ketemu klien rewel. Mau marah nggak boleh, nggak marah pingin meledak." kata Lukas.

Satrio mengangguk mengerti.

"Kamu asli Jogja?" tanya Satrio kemudian.

"Begitulah. Lahir dan besar disini. Belum pernah keluar dari sini selain pas piknik jaman sekolah dulu." kata Lukas malu- malu.

"Seriusan lu?! Nggak pernah liburan keluar kota atau pulau gitu?" tanya Satrio terperangah.

"Liburanku ya di atas gerobak ini. Nyari uang. Dari SMA dulu aku udah ngojek pakai motor, Bro. Habis subuh itu nganterin tetangga belanja ke pasar buat dia jualan di rumah. Nanti berangkat sekolah bawa anak tetangga yang sekolah SD dan SMP yang searah aku pergi sekolah. Nanti di hari- hari tertentu jemput anak tetangga yang pulang les atau pulang ekskul. Lumayan bisa buat bayar sekolah." cerita Lukas.

"Kamu kuliah?" tanya Satrio dengan nada agak pelan.

"Iya. Dapet beasiswa dari pemerintah desa. Biaya kuliah dan uang saku full dari pemerintah desa. Puji Tuhan banget aku dapat beasiswa itu. Kalau nggak, kayaknya kuliah jadi cita- cita mulia doang." kata Lukas sambil tersenyum tipis.

"Itu syaratnya apa biar bisa dapat beasiswa dari desa?" tanya Satrio kepo.

"Yang pasti nilai akademik masuk kategori bagus. Syukur- syukur dari keluarga kurang mampu. Sebelumnya aktif di kegiatan pemuda di desa atau kampungnya. Selama masa kuliah tidak boleh bekerja karena kami terikat dengan kegiatan pemerintahan desa. Jadi kalau ada event- event desa, kami diwajibkan jadi anggota panitia. Lalu begitu lulus harus kerja di kantor kelurahan minimal dua tahun." terang Lukas.

"Keren tuh program beasiswa nya. Trus kamu udah nggak kerja di kantor kelurahan sekarang?" tanya Satrio.

"Udah enggak. Gajinya dikit banget. Maklum, gaji honorer. Tapi nggak papa, itu aku anggap sebagai balas budi karena aku bisa kuliah dan point plus nya, aku jadi kenal semua orang kelurahan. Lumayan kalau mau ngurus surat- surat milik tetangga nggak bingung dan lebih lancar. " kata Lukas sambil tertawa kecil.

"Buka jasa ngurusin surat- surat juga?" tanya Satrio menebak.

"Begitulah." jawab Lukas sambil terkekeh yang mendapat gelengan takjub dari Satrio.

"Kan kamu kerja, kapan ngurusnya surat- surat itu?" tanya Satrio heran.

"Kantorku lima hari kerja. Untungnya kantor kelurahan Sabtu buka walau setengah hari. Jadi aku ngurusinnya ya hari Sabtu itu. Atau kalau terpaksa aku bisa datang ke rumah pegawai kelurahannya ngasih dokumennya, nanti dia urus besok paginya dan sorenya bisa aku ambil lagi di rumahnya." papar Lukas.

"Uang jasanya berapa ngurusin dokumen gitu?" tanya Satrio.

"Nggak pasang tarif kalau itu. Nggak enak sama tetangga sendiri juga. Seikhlasnya mereka aja. Kadang ada yang ngasih dua puluh, ada yang lima puluh, kadang ngasih rokok padahal aku nggak ngerokok, bahkan ada yang ngasih beras, sama gula atau mi instant." jawab Lukas sambil tersenyum dan menerawang.

"Nggak pengen nyoba ikut tes CPNS?" tanya Satrio iseng.

"Udah nyoba berulang kali begitu lulus kuliah dulu, tapi belum rejekinya kali ya? Tapi aku akan

tetap ikut sampai batas akhir umur CPNS, semoga nanti ada jatah rejekiku disana." jawab Lukas dengan berbinar dan penuh semangat.

Satrio menatap Lukas dengan tersenyum.

Ini baru satu orang muda hebat yang dia temui di luar circle pertemanan high class nya selama ini.

Dan sudah mampu membuatnya malu pada dirinya sendiri yang segede ini nggak pernah tahu artinya kesusahan. Nggak tahu caranya tetap bergerak di dalam keterbatasan, dan membuatnya sering melupakan cara dan rasa bersyukur untuk hidupnya yang selalu berlimpah kemudahan.

Dan dia merasa nol di depan Lukas ini.

Aku harus berubah, tekad batinnya mantap.

......🧚🧚🧚 b e r s a m b u n g 🧚🧚🧚......

Yang kemarin langsung tampil di part 1 👇👇👇👇

Walaupun sempat terjadi sedikit insiden, yaitu judul ini nyempil di sistem hingga nggak bisa muncul di kolom pencarian, Alhamdulillah nggak lama bisa di temukan 😊😊😊

Semoga kelakuan Satrio nggak membosankan ya.......😁

Happy reading......💖💖💖💖

Siap Bertualang

Lukas menghentikan mobil di depan rumah dua lantai bercat putih bergaya futuristik.

Itu adalah salah satu rumah milik keluarga Buwono di Jogja.

Pagar rumahnya juga berwarna putih bermotif bunga sulur yang cantik.

Asal tahu saja, di Jogja ini keluarga Buwono punya satu rumah di tiap kabupaten.

"Bagus banget rumahnya, Sat. Saudaramu hartawan ya?" tanya Lukas begitu meletakkan koper Satrio di samping cowok itu.

Wajahnya kelihatan sekali mengagumi rumah itu.

"Bukan. Saudaraku namanya Budiman." sahut Satrio sambil terkikik yang mendapat balasan tonjokan ringan di lengannya.

"Thanks ya." kata Satrio sambil mengulurkan beberapa lembar uang merah kepada Lukas.

"Ini kebanyakan, Bro." kata Lukas sambil mengulurkan kembali beberapa lembaran uang itu, pada Satrio.

"Bawa aja. Anggap saja aku nitip buat kita jajan kalau kita ketemu besok kapan- kapan." tolak Satrio halus.

"Tapi ini banyak banget sisanya, Sat...."

"Berarti kita bisa jajan beberapa kali dengan itu. Inget, kamu besok yang bayarin kalau kita ketemu di warung." kata Satrio sambil menunjuk uang itu.

"Aku modelan orang yang nggak bisa megang uang. Udah bawa aja." sergah Satrio saat dilihatnya Lukas mau bicara lagi..

"Ya udah deh. Aku jadi bendahara kamu nih." kata Lukas sambil nyengir.

"Sip! Bendahara." kata Satrio sambil terkikik.

"Dah, pergi sana. Aku mau masuk nih, pegel." usir Satrio membuat Lukas meringis keki.

"Iya. Aku pamit ya, Bro." kata Lukas kemudian bergegas menuju mobilnya.

Lukas tersenyum dalam hati dengan kelakuan Satrio.

Kok ada ya orang model kayak gitu? Nitip uang buat jajan kalau kapan- kapan mereka ketemu. Bahasa yang aneh. Apa dia selalu sepercaya itu sama orang lain yang baru dikenalnya?

...🧚🧚🧚🧚🧚...

"Alhamdulillah Mas Satrio wis tekan(dah sampai)." kata Mbak Puji begitu dia membuka pintu depan dan melihat Satrio baru saja melintasi gerbang.

"Hallo mbak Puji !" seru Satrio saat tahu ART itu tergopoh- gopoh menghampirinya.

"Nggak usah. Biar aku bawa sendiri saja." tolak Satrio saat mbak Puji akan meraih tuas koper di tangannya.

"Alhamdulillah...." kata Mbak Puji sambil terkikik.

"Punya makanan nggak?" tanya Satrio sambil menunduk melihat ke arah Mbak Puji yang berjalan di sampingnya.

Entah kenapa, sejak dia SMP, Satrio merasa mbak Puji makin pendek aja.

Lihat aja sekarang, dia hanya sebawah pundak Satrio.

Jangan- jangan Mbak Puji kurang gizi, jadi kena stanting, wkwkwk.....

"Punya dong......Aku sudah masak orak- arik, goreng tempe, sama bikin sambel." jawab Mbak Puji yang langsung mendapat hadiah pelukan hangat dari Satrio dibahunya.

Itu adalah menu kesukaan Satrio bila yang memasak mbak Puji.

"Cakep!!" kata Satrio riang.

"Mau mandi dulu apa langsung makan?" tanya Mbak Puji begitu Satrio sudah sampai di bawah tangga.

"Makan doooong! Aku naikin koper dulu terus langsung turun makan." kata Satrio yang mendapat acungan jempol dari mbak Puji.

Mbak Puji sudah mengurus rumah ini sejak sepuluh tahun lalu,saat rumah ini selesai di bangun. Makanya dia sudah akrab dengan anak- anak keluarga Buwono ini, apalagi pada dasarnya dua pangeran keluarga Buwono, yaitu Satrio dan Wira - adik dan satu- satunya saudara kandung Satrio- adalah orang yang easy going dan agak tengil.

"Mau dawet nggak, Mas? Aku mau beli dawet." tawar Mbak Puji saat Satrio baru saja meletakkan pantatnya di kursi makan.

"Boleh. Dua." kata Satrio tanpa ragu.

"Pakai gula merah atau gula putih?" tanya Mbak Puji saat Satrio baru saja menyuap makannya.

"Merah putih." jawab Satrio cepat.

Mbak Puji menatap Satrio bingung.

"Kenapa?" tanya Satrio keheranan dengan tatapan bingung itu.

"Maksudnya satu merah satu putih, atau satu dawet gulanya campuran gula merah sama gula putih?" tanya Mbak Puji.

"Satu dawet pake gula merah, satu dawet pake gula putih. Paham?" tanya Satrio sambil menatap Mbak Puji gemas.

Rasanya pengen nyi pok pipi Mbak Puji pakai garpu tahu nggak sih?

"OK, Boss!" jawab Mbak Puji sambil tertawa malu lalu sedikit sibuk dengan ponselnya.

"Pesen pakai ojol?" tanya Satrio.

"Iya. Males mau keluar, panasss." jawab Mbak Puji sambil meringis.

"Bayarnya berapa?" tanya Satrio kemudian kembali mengunyah makanannya.

"Dua satu ribu. Tapi udah ku bayar kok, Mas. Santuy saja. Anggap saja ini sebagai welcome drink dariku untukmu." kata Mbak Puji sambil tertawa.

"Sip! Sering- sering aja begitu." kata Satrio sambil tertawa- tawa.

"Kalau keseringan bisa tekor aku. Kamu mintanya jajan double terus." balas Mbak Puji dengan wajah dicemberutkan. Satrio hanya meringis nggak perduli.

...🧚🧚🧚🧚🧚...

Satrio sudah siap bertengger di atas motor sport berwarna putih miliknya yang sudah dibelinya sejak dua tahun lalu tapi lebih sering cuma dipanasin saja di garasi rumahnya di Jakarta.

Motor ini sampai datang duluan di Jogja dua hari lalu.

Sore ini, setelah mandi sore dan untuk menikmati sore yang indah ini, dia memilih akan cek rute menuju calon kantornya agar besok tidak kebingungan.

Dari map pinter di ponselnya, dia lihat akan butuh waktu empat puluh menit menuju sasarannya.

Perjalanan yang lumayan jauh yang nantinya akan dia jalani setiap harinya.

Seulas senyum terukir di bibirnya.

Aku akan mulai adventure ku , Pa, bisik batinnya.

Setelah berteriak untuk pamit pada Mbak Puji, Satrio mulai menjalankan motornya dengan kecepatan sedang saja karena niat utamanya memang untuk menikmati sorenya dengan tenang.

Menghapalkan satu demi satu tempat- tempat yang dianggapnya penting sepanjang rute rumah menuju kantor, seperti pom bensin, bengkel motor, juga minimarket.

Seperti yang di tulis di map pinter, sekitar empat puluh menit dengan kecepatan laju motor standar, Satrio sudah berada di seberang sebuah bangunan pabrik bertembok dan bergerbang berwarna abu tua dengan tulisan berwarna emas JONGGRANG FURNI tercetak jelas menempel di sepanjang tembok bangunan pabrik, di sisi gerbang yang tertutup rapat.

Satrio tersenyum dalam hati.

Entah mengapa ada rasa deg- degan dihatinya mengingat besok dia akan memasuki gerbang itu sebagai seorang karyawan baru.

Akan ikut mencari nafkah entah dengan berapa banyak karyawan di balik gerbang itu.

Namun ada kebanggaan juga di hatinya pada dirinya sendiri.

Ini adalah pertama kali dia akan bekerja untuk menafkahi dirinya sendiri.

Terlambat? Maybe....

Tapi tak masalah bagi Satrio.

Lebih baik terlambat kan daripada tidak pernah memulai sama sekali kan????

Dengan senyum kecilnya Satrio memotret sebagus mungkin area depan pabrik itu.

Menampakkan gerbang dan nama perusahaannya, kemudian mengirimkannya kepada mamanya bersama sebuah tulisan " mohon doanya. Mulai besok aku akan mencari nafkah di tempat ini, Ma 😊💪."

Bu Katarina yang sore itu sedang duduk mengupas jeruk di samping suaminya langsung sumringah saat melongok ponsel di depannya yang baru saja membunyikan sebuah notifikasi pesan masuk.

Setelah mengulurkan jeruk yang sudah terkupas kepada suaminya, wanita paruh baya berpenampilan tomboy itu pun bergegas meraih ponselnya.

"Satrio ngirimin photo kantornya, Pa." katanya dengan gembira walau matanya langsung berkaca- kaca.

Ada keharuan dari rasa bangga tapi juga iba untuk anaknya yang tengah dia rasakan saat ini.

Sang putra mahkota seorang pengusaha farmasi kelas multi nasional malah harus bekerja di perusahaan orang lain sebagai pegawai kantor biasa.

Tapi dia bangga, anaknya itu tak mengeluh apalagi sampai menolak 'ujian' dari ayahnya itu. Satrio bahkan meminta doanya untuk kelancaran pekerjaan pertamanya.

Bu Katarina sudah menitikkan air matanya saat Pak Susilo ikut melongok melihat photo yang dikirimkan anak sulungnya.

Seulas senyum bangga menghiasi bibirnya walau sangat tipis.

"Dia bisa kerja nggak ya, Pa? Ntar kalau dia dimaki- maki atasannya gimana?" tanya Bu Katarina penuh rasa khawatir.

"Paling dia maki balik." jawab Pak Susilo zantai sambil mengunyah jeruk.

"Bisa dipecat dong?!" seru Bu Katarina.

"Dia udah tua. Tahu attitude juga. Dan ingat, dia lelaki." kata Pak Susilo dengan tatapan memperingatkan istrinya yang selalu saja menganggap anak- anak mereka masih seperti bocah TK yang belum mengerti dunia.

"Papa coba cek itu perusahaan bener nggak." pinta Bu Katarina dengan nada memaksa.

"Buat apa?" tanya Pak Susilo ogah- ogahan.

"Biar kita tahu si Mas kerja di perusahaan bonafit nggak. Biar kita yakin kondisinya terjamin aman dengan gajinya." kata Bu Katarina menjelaskan dengan setengah emosi.

"Dia kan masih nerima limapuluh juta tiap bulan dari kita. Amanlah kalau hidupnya normal kayak karyawan, dengan back up dana segitu." kata Pak Susilo santai.

"Dia mana bisa nyukup- nyukupin uang segitu buat sebulan? Selama ini aja paling nggak dia duaratus juta habisnya." kata Bu Katarina masih dengan emosi.

"Itu karena dia mainnya di tempat- tempat mahal. Makan di tempat mahal, belanja di tempat mahal." sergah Pak Susilo.

"Kita sudah sepakat soal ini, Ma. Biarkan dia tahu kenyataan hidup disana, biar dia matang secara emosi dan pikiran. Kita harus mempersiapkan itu. Aku malah pengen dia dikejemin disana, biar dia tahu, hidup itu nggak segampang narik kartu sakti dari lipatan dompet." kata Pak Susilo yang hanya mendapat dengusan pelan dari istrinya.

Ya, dia mengerti maksud baik itu. Tapi sebagai seorang Ibu, rasanya nggak tega membiarkan anaknya sendirian memasuki sebuah dunia yang asing dan benar- benar baru untuknya.

"Dia hanya di Jogja situ. Bisa kita tengokin sehari empat lima kali kalau mau. Nggak usah lebay." kata Pak Susilo sambil tersenyum meledek pada istrinya.

"Kamu mah nggak sayang anak." sungut Bu Katarina dengan wajah di tekuk.

"Tapi aku sayang sama kamu. Banget." bisik Pak Susilo kemudian mengecup pipinya cepat.

"Iiiiih!!!" seru Bu Katarina kesal kemudian bergegas berdiri dan melangkah pergi menjauh.

"Ma, kok aku ditinggalin? I love you lho, Ma!" teriak Pak Susilo sambil tertawa- tawa jahil.

"Mbuh !" teriak Bu Katarina walau pipinya merona juga.

Ah dasar, buaya tua nggak tau diri.

...🧚🧚🧚 b e r s a m b u n g 🧚🧚🧚...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!