Sena menyiapkan sarapan lalu meletakkan pada kotak makanan satu persatu, gadis berambut keriting panjang itu melakukannya dengan hati-hati. Sena bukan lagi seorang gadis melainkan sudah bersuami.
Umur pernikahannya sudah 2 tahun namun belum dikaruniani anak, bagaimana tidak? Sena tak pernah disentuh sedikitpun oleh
suaminya. Menjadi seorang yang tak dicintai membuatnya harus tegar, lalu kenapa dia menikah dengan pria yang tidak mencintainya?
Itu semua karena perjodohan, apalagi Sena kala itu harus menikah dengan dosennya, Regan Anggara. Dosen mengerikan yang selalu
melempar hasil skripsinya dulu ketika tak sesuai yang dia inginkan. Sekarang Sena sudah lulus kuliah dan bekerja di sebuah perusahaan.
“Sudah siap, semoga saja Kak Regan menyukainya. Aku gak tahu harus bagaimana lagi untuk membuatnya melirikku sekali saja. Sudah 2 tahun sejak kita menikah namun dia masih saja dingin denganku.” Sena tersenyum kecil membayangkan nasibnya yang tragis. Dia harus menikah dengan dosen killer yang seperti es balok.
“Semangat, Sena! Kau pasti bisa. Es batu saja terkena matahari bisa mencair.” Sena menyemangati dirinya sendiri supaya tidak sedih dalam menjalani pernikahan hampa ini.
Sena mengambil tasnya lalu memasukkan kotak bekal tadi dengan senyuman yang mengembang. Mata Sena lalu melirik laptop Regan yang tertinggal di sofa ruang tamu, di laptop itu terdapat flashdisk yang memiliki gantungan berupa kunci. Itu adalah kunci cadangan ruangan Regan di kampus ternama itu.
Tanpa berpikir panjang, Sena lalu mengambil laptop tersebut dan memasukkannya di tas, sebelum berangkat bekerja dia menyempatkan diri untuk mampir memberikan laptop dan bekal untuk suaminya.
Motor Vario menemaninya sepanjang perjalanan, ia sudah membayangkan reaksi dingin dari Regan. Sifat Sena juga keras kepala, dia tak akan mundur sampai Regan benar-benar melihat perjuangannya.
Sesampanya di kampus, Sena memarkirkan motornya.
Kampus ini adalah saksi bisu pertemuan Regan dan Sena pertama kali bahkan Sena menjadi mahasiswi daftar hitam yang ada di catatan Regan. Sena tidak pintar dan juga tidak bodoh, dengan dosen lain dia mudah untuk lolos namun jika berhubungan dengan Regan makan Sena akan mendadak menjadi mahasiswi yang sangat bodoh.
Dengan berjalan santai, Sena berjalan ke gedung tempat ruangan sang suami berada. Menurut jadwal harusnya sang suami sudah mengajar, tak masalah karena Sena akan meletakkan bekal makanan dan laptop suami di atas meja saja lalu setelah itu dia akan berangkat bekerja. Kampus ini masih sama seperti dulu bahkan jauh lebih segar karena tembok yang dulu kusam sudah dicat ulang.
Sesampainya di ruangan sang suami, Sena mengingat tatkala dulu harus mempunyai nyali untuk mengetuk pintu tersebut. Senyumannya
muncul saat mengingat betapa mengerikannya Regan dulu saat menjadi dosennya. Karena yakin jika Regan sedang ada kelas mengajar, Sena membuka ruangan itu namun terkunci. Sena yang mengingat kunci cadangan menggantung di laptop sang suami segera mengambilnya.
Sena berpikir jika Regan tak akan marah akan hal itu, dia memasukkan kunci tersebut dan setelah itu membuka pintu. Ruangan Regan sangat sepi sekali, Sena meletakkan laptop dan bekal makanannya di atas meja, namun pendengarannya menguat tatkala mendengar suara yang asing ditelinganya.
Suara ******* terdengar dari sudut ruangan, ruangan Regan memang memiliki rak buku yang tinggi dan besar seperti yang ada di perpustakaan. Sena bergetar sangat kuat bahkan untuk berjalan saja dirinya tertatih. Suara itu sangat kecil dan nyaring namun masih bisa di dengarnya. Kaki Sena melangkah pelan, selangkah demi selangkah, ketakutan demi ketakutan sampai dia menemukan fakta mengejutkan saat suaminya sedang memadu kasih dengan teman sesama dosen. Sena yang tak kuat dan mendadak pening segera mundur berusaha tanpa bersuara, namun dirinya yang
panik menabrak rak buku yang membuat bunyi kuat dan pada akhirnya Regan dan Maya mengetahui kedatangan Sena.
Pasangan mesum itu segera memakai pakaiannya, Maya adalah dosen baru segera keluar meninggalkan ruangan itu. Sedangkan Regan menatap sang istri yang matanya sudah
memerah.
“Aku bisa jelaskan semuanya.”
“Selama ini aku hanya menjadi badut dalam pernikahan ini. Aku sadar dan saat ini sudah jelas semuanya.” Sena berjalan untuk menjauhi Regan namun ucapan Regan membuatnya terhenti.
“Kami sudah menikah sirih di depan orang tua kami.”
“Hahaha ... Menikah sirih?” Sena mulai mengeluarkan air matanya. “Menikah sirih dan mesum di kampus? Apa tidak ada tempat lain, Kak Regan?” Dada Sena bergemuruh, rasanya sakit sekali dan terasa sesak.
Sena yang istri sahnya saja tidak pernah disentuh sekalipun, betapa jahatnya Regan. Pria dingin itu tak menunjukan penyesalan pada Sena, wajahnya sangat datar dan tanpa ekspresi.
“Salah aku apa? Aku kurang apa untuk Kak Re? Aku sudah mencoba menjadi istri yang baik untuk Kak Re, tapi apa? Kau jahat sekali,” ucap Sena dengan berderai air mata.
Sena berlari keluar, Regan menatap datar pada
kepergian sang istri. Pria misterius itu memang seolah tak punya hati telah melukai wanita yang sudah menjadi istrinya. Sena mengelap air matanya dan berlari ke parkiran, banyak mahasiswi dan mahasiswa yang melihatnya dan mereka tahu jika Sena adalah istri dari sang dosen killer.
“Sena...” Seorang wanita menarik tangannya dan rupanya adalah Maya.
Sena menepis tangannya dan menatapnya tajam. “Kak Maya pasti tahu jika Kak Re sudah beristri dan aku adalah istrinya.”
“Sena, maafkan aku! Aku sangat salah namun kami saling mencintai.”
Dasar pelakor! Cinta katanya? Bullshit! Punya pendidikan tinggi pun percuma jika
mempunyai otak dangkal seperti mereka.
Sena tak menggubris ucapan Maya lalu segera naik ke motornya.
Maya masih menatapnya seolah memohon. “Sena, tolong apa yang kau lihat tadi anggap saja tidak pernah terjadi. Aku memohon dengan sangat, jika perbuatan kami ketahuan oleh...”
“Jangan khawatir! Aku akan tutup mulut karena ingin melindungi karir SUAMI-ku!” ucap Sena dengan penuh kata penekanan.
Sena melajukan motornya dan segera menuju ke tempatnya bekerja bahkan untuk saat ini saja dia malas sekali untuk bekerja. Ah ... bolos sehari bekerja mungkin saja diperbolehkan daripada berangkat bekerja namun tidak bisa konsentrasi. Sena memutuskan untuk membolos saja dan ia melihat kotak bekal yang tercantel di motornya, setelah kejadian tadi rasanya tidak rela memberikan makanan pada Regan. Sena akan memberikan makanan itu pada orang yang lebih membutuhkan saja yaitu sang bapak yang bekerja menjadi tambal ban di pinggir jalan dekat kampusnya. Kendaraan ia hentikan tepat disamping tanbal ban sang
bapak.
“Ini makan, Pak.” Sena mengulurkan bekal makanan pada sang bapak.
“Nana, tumben? Gak kerja?”
Sena duduk di bangku yang disediakan untuk
pelanggan. “Enggak, aku cuti dulu. Hari in aku bantu Bapak saja, boleh ‘kan?”
Sang bapak mencuci tangannya. “Senarita, ada apa? Ada masalah?”
“Itu....”
“Itu... emh... aku dimarahin bos jadinya disuruh pulang karena aku tidak tahu mau apa di rumah, maka aku di sini saja.” Sena terpaksa berbohong, dia tak ingin sang bapak khawatir dengan keadaannya.
Sena membantu bapak untuk menambal ban pelanggan yang membutuhkan jasa mereka, dari pekerjaan itulah sang bapak bisa membiayai Sena sampai kuliah. Sena adalah anak piatu, dia tak mempunyai ibu sejak SMA.
Dia menjadi mandiri dan sering mengambil kerja sambilan semasa sekolahnya.
Pribadinya sangat kuat namun siapa sangka jika nasib pernikahannya seperti ini.
Sena mencoba untuk kuat, dia tak mau gegabah untuk mengambil keputusan apalagi
ini menyangkut nasib rumah tangganya.
Tak terasa waktu jam makan siang datang juga,
pelanggan hari ini cukup banyak membuat Sena kelelahan. Bapak mengajaknya makan
dengan bekal yang Sena masak tadi. Mereka makan bersama-sama dengan lahap
sampai habis.
“Na, sudah ada tanda-tanda hamil?” tanya bapak.
Pertanyaan itu di dapat bukan hanya dari bapak saja melainkan mertuanya juga. Bagaimana dirinya bisa hamil jika sang suami tak
menyentuhnya sama sekali? Sena menggeleng membuat Bapak mengusap rambut
putrinya itu.
“Pak, lagian aku juga masih fokus bekerja. Nanti akan repot jika nantinya ada anak diantara kami.”
“Bapak sarankan jangan ditunda! Nanti akan
menyesal.”
Tidak ditunda pun sudah membuatku menyesal, menyesal telah menikahi pria yang salah.
Suara mobil terparkir membuat aktvitas makan mereka terhenti, Sena menatapnya dengan jengah, pikirannya langsung terbayang kejadian
di kampus tadi pagi. Pria yang tak berhati nurani itu sudah membuatnya sangat
kecewa.
“Sena, suamimu datang.”
Bukan suami, lebih tepatnya calon mantan suami.
Sena tak menggubris, dia mencuci tangannya lalu segera mengambil tas miiknya yang tergelatak di kursi. Regan sudah masuk lalu
menyalami Bapak mertuanya.
“Mau jemput Nana?” tanya Bapak.
“Iya, Pak. Sena, ayo makan siang!”
Sena menatapnya malas, ia sekilas memperhatikan raut wajah sang bapak yang heran dengan reaksi saat bertemu dengan Regan. Tak mau membuat Bapak curiga akhirnya Sena mau ikut dengan Regan. Mereka berpamitan dengan sopan lalu masuk ke mobil Pajero hitam milik pria dingin itu. Di dalam mobil, Sena memilih mendengarkan lagu lewat ponselnya dan matanya menatap jalanan yang ramai di siang ini.
“Sena, aku akan membawa Maya untuk tinggal bersama kita malam ini juga.”
Pria yang tak punya hati, bukannya meminta maaf namun malah semakin menyiramkan air
cuka ke luka yang ternganga.
“Terserah Kak Re saja asalkan besok sudah ada surat perceraian kita.”
“Kita tidak akan bercerai.”
Sena menatap lekat Regan, pria itu memang tak
memiliki perasaan. Sena tersenyum kecut, matanya seketika memerah menahan air mata yang sedari tadi seakan mau jatuh. Hatinya terasa tertusuk duri lalu disiram perasan air jeruk nipis. Perih, itu yang dia rasakan. Tak main-main Regan menyakiti perasaannya.
“Kau senang melihat hatiku sakit? Kenapa Kak Re sangat kejam?”
Regan hanya diam, tidak ada suara yang terdengar dari bibirnya yang selalu datar dan tidak pernah tersenyum. Regan bukan hanya
dosen killer bagi Sena, melainkan suami yang tak bisa ia gapai. Pria dingin itu memilih diam saat Sena mulai mengajaknya berdebat.
Ternyata Regan membawanya pulang ke rumah, dari jendela mobil Sena bisa melihat Maya yang tengah berdiri di teras mereka. Mata
Sena melihat koper besar sudah ada di sana. Air mata Sena tumpah, ia langsung turun mobil dan masuk ke dalam rumah tanpa memperdulikan Maya.
“Na... Sena ...” Maya mencoba mencegahnya namun Sena menepis tangannya.
Wanita 27 tahun itu berlari masuk ke kamar dan
mengunci pintunya, dia menangis tersedu -sedu. Pria jahat itu tak mempunyai hati
sedikitpun dan tidak pernah mengerti perasaannya.
Aku kurang apa selama ini? Aku sudah melakukan apa yang diharuskan seorang istri
lakukan. Jika dia tak mencintaiku, kenapa menyiksaku begini? Sakit... sakit sekali.
Tok ... tok ... tok ...
“Sena, ayo kita bicara! Sena, kita sudah menjadi
keluarga. Suamimu juga kini suamiku. Kami memang salah telah melakukan pernikahan tanpa sepengetahuanmu,” ucap Maya.
Tak ada jawaban dari Sena, Maya menghela nafas secara kasar. Regan menarik tangannya dan menyuruh membiarkan Sena yang sedang
syok. Sena hanya butuh waktu yang pas untuk menerima pernikahan mereka.
“Tata barang-barangmu di kamarku, biarkan Sena merenungi semuanya.”
“Regan, apa kita tidak keterlaluan dengannya?”
“Tidak, sedari awal aku memang tidak ingin
menikahinya. Ini resiko yang harus diterima jika menikah tanpa cinta.”
Regan segera kembali ke kampus setelah jam
istirahatnya selesai, sedangkan Maya akan memutuskan untuk mengundurkan diri
dari kampus itu sebelum kabar pernikahan siri-nya tersebar di kampus. Maya akan
menempati kamar bersama Regan. Lalu Sena bagaimana?
Sedari awal pernikahannya dengan Regan,
pria itu tak mengizinkannya untuk masuk bahkan tinggal di kamarnya.
Sena menangis pilu sambil memukul-mukul dadanya, sudah ribuan air mata ia teteskan sedari awal pernikahan mereka.
Jahat, kau sangat jahat!
Bunda, andai saja kau masih ada pasti pernikahan ini tak akan terjadi.
Sena menangis sampai terlelap, hanya tidur yang bisa membuatnya melupakan fakta yang menyakitkan walau saat ia terbangun akan
mengingatnya lagi. Sementara, ia hanya ingin melupakannya meski hanya sementara.
Malam hari.
Sena terbangun di pukul 7 malam saat Maya mengetuk pintu kamarnya. Sena dengan malas menuju ke kamar mandi tanpa menghiraukan
ketukan pintu tersebut. Sena menyiram air dingin ke seluruh tubuhnya sampai bersih. Seusai mandi, Sena terpaksa keluar dari kamar karena perutnya yang keroncongan.
Di meja makan, Sena melihat pasangan mesum itu sudah duduk bersebelahan. Sena tak menghiraukan mereka dan menuju ke dapur untuk membuat makanannya sendiri.
“Duduklah!” pinta Regan tanpa menatapnya.
Sena terhenti, baru kali ini Regan menyuruhnya untuk duduk bersama di depan meja makan namun sayangnya di sana ada madunya.
“Aku tidak suka mengatakan kalimat yang sama untuk kedua kalinya.” Regan berbicara tanpa ekspresi.
Dada Sena bergemuruh, ingin sekali menyiram air panas pada Regan.
“Ada air panas di atas meja, silahkan siram ke
wajahku jika mau.” Regan bisa membaca ekspresi Sena yang berapi-api.
Sena menarik kursi dengan kasar, dia duduk di
seberang mereka berdua.
“Sayang, bisa ambilkan nasi?” pinta Regan.
Sena dan Maya refleks mengambil centong nasi, Sena langsung mengalah karena mengingat panggilan ‘Sayang’ bukan untuknya. Dia sadar diri jika yang dimaksud Regan adalah Maya. Sena kembali duduk dan terdiam, ia
melihat tangannya begitu bergetar di bawah meja.
Dia memang menyiksaku. Dia pria yang berperasaan dingin bahkan mati. Aku tidak
menyangka bisa terjebak pernikahan
dengannya. Regan Anggara, kapan aku bisa meraih cintamu? Apa dengan kemunculan
Kak Maya seolah kode untuk membuatku menyerah untuk bisa menggapai cintanya?
Sinar mentari menembus sela-sela kaca kamar milik Sena, ia menguap dan mengusap matanya yang tersorot silau dari cahaya itu. Samar-samar terdengar suara obrolan hati yang begitu hangat. Rupa-rupanya jika
itu adalah Regan dan Maya.
Sial!
Kenapa pagi-pagi sudah membuat hatiku panas? Apa mereka memang sengaja?
Sena beranjak ke kamar mandi dan mandi secepat kilat, dia mengucir rambut keritingnya setinggi mungkin supaya tidak basah terkena air. Dia lalu berkaca pada cermin, ia sadar jika sering meremehkan penampilan. Sena jarang merawat kulitnya dan rambut keritingnya juga jarang di
sisir. Bukannya Sena tak pandai merawat diri, dia sudah merasa jika
penampilannya dibenahipun tetap sama saja.
Huh...
Otak... Aku sadar jika jelek makanya Kak Re tidak melirikku sama sekali.
Please ... jangan berpikiran jika aku jelek lagi! Aku sadar jika aku JELEK.
Setelah bertengkar dengan pikirannya, Sena segera bersiap untuk berangkat bekerja. Kali ini dia sedikit berdandan dan mengenakan lipstick yang merah merona. Rambutnya yang panjang nan keriting, ia ikat separuhnya saja. Setelah selesai, Sena segera keluar dari kamar. Matanya lalu melihat jika Maya sedang membenarkan kerah baju Regan.
“Sena, aku sudah masak. Sarapan dulu gih!” ucap Maya yang melirik Sena sekilas.
Sena tak menggubris, dia menuju ke garasi dan mengeluarkan motornya. Regan mendekatinya, sorot matanya seolah memandang dandanan Sena yang berbeda dari biasanya.
“Ada apa? Aku cantik? Baru nyadar? Hah?” tanya Sena merasa berbangga diri. Sepertinya Regan mulai meliriknya saat dia sudah memulai
berdandan.
Regan hanya diam, ekspresi wajah Regan memang tak mampu terbaca oleh Sena. Pria itu sangat misterius dan tidak mudah ditebak.
“Minggir! Aku mau mengeluarkan motor. Jika terpesona bilang saja! Tidak usah sok cool begitu.”
Sena mendorong motornya menuju ke luar, namun sayangnya tangan Regan tiba-tiba mengambl sesuatu dari wajahnya. Bulu mata palsu, bulu
mata palsu tertempel di pipinya. Betapa malunya Sena di depan Regan. Sena merebutnya dan segera menaiki motor untuk menutupi rasa malunya.
Arghhh... apa sih? Setiap hari pasti terjadi hal yang memalukan di depannya.
Regan menatap datar pada istri pertamanya itu sambil tangannya masuk ke saku celananya. Setelah itu dia masuk untuk menemui istri
keduanya, istri yang benar-benar dia cintai.
**
Pukul 5 sore, Sena sudah keluar dari perusahaan tempat dirinya bekerja. Dia mengendarai motor dengan santai lalu menikmati kemacetan ini. Matanya melihat kaca spion, ia bisa melihat wajahnya begitu
kusam karena bekerja sedari pagi. Sambil memainkan gas dan matanya terus melihat sisi jalan, ia melihat salon kecantikan yang direkomendasikan oleh
teman-teman kantornya.
Ah... ke salon pun tetap burik.
3 menit kemudian.
Sena sudah memarkirkan motor di depan salon itu. Dia menarik nafas panjang dan mengeluarkannya secara perlahan.
“Niatku di sini hanya meluruskan rambut saja supaya mudah di sisir dan tentunya membuat Kak Regan menyesali karena sudah
menyia-nyiakanku.”
Sena masuk ke salon tersebut, dia mendapat sambutan hangat dari pegawai. Sena duduk dan melihat kaca di depannya.
“Yakin hanya ingin diluruskan saja, Kak? Tidak sekalian di warnai biar lebih fresh?” tanya si pegawai.
“Warnai?”
Di perusahaan juga memperbolehkan untuk menyemir rambut. Mungkin tak masalah jika ku cat rambut.
“Dengan semir rambut sekalian, Kak. Tapi jangan yang terlalu cerah, aku ingin coklat semu saja, jadi jika di dalam ruangan masih terlihat hitam.”
Pegawai itu mengiyakan, mereka segera meluruskan rambut milik Sena yang begitu ikal. Sena sedari tadi memandangi wajahnya yang tanpa semangat. Memori kemesraan Regan dan Maya terus saja tergambar jelas diingatannya. Apa yang dilakukan oleh Regan memang membuatnya sakit hati. Baru pertama kali ini dia datang ke salon, ia yang memang sudah lelah langsung tertidur.
Pukul setengah sembilan malam. Sena dibangunkan oleh pegawai salon. Dia menatap cermin membuatnya sangat syok, pasalnya dia tak mengenali dirinya sendiri.
“Itu aku?” tanya Sena.
“Benar, jadi cantik dan fresh.”
“Tunggu dulu! Kenapa rambutku jadi sangat panjang?” tanya Sena sambil memegangi rambutnya.
“Rambut kakak keriting nan sudah panjang dan jika diluruskan maka akan menjadi bertambah panjang.”
Sena berdiri, tubuhnya memutar untuk melihat rambut indahnya. Memang benar jika rambut akan mempengaruhi penampilan seseorang.
Setelah puas akan hasilnya, Sena lekas membayar dengan kartu debit pemberian Regan. Baru kali ini dia menggunakan kartu itu untuk keperluan pribadinya.
Sena melihat jam tangannya yang menunjukan pukul 9 kurang 15 menit, rasanya enggan sekali untuk pulang ke rumah. Dia pasti disuguhkan pemandangan suami beserta istri keduanya. Setelah dari salon, Sena
memutuskan untuk mampir ke rumah orang tua Regan. Walau hubungannya dengan Regan begitu renggang namun tak membuat Sena dan mertuanya juga renggang.
Mertuanya sangat baik namun Sena sedikit kecewa dengan mereka yang tidak jujur dengan pernikahan Regan dan Maya.
Sesampainya di rumah mertuanya.
Intan dan Bram yaitu orang tua Regan menyambut baik kedatangan menantunya. Intan juga memuji dengan penampilan baru Sena.
“Nana, kok sendiri? Regan mana?” tanya Intan menyuruh menantunya untuk duduk.
“Mama, Papa, kenapa kalian ikut menyembunyikan pernikahan Kak Regan dengan Kak Maya?” Sena berusaha untuk tegar dan menahan
badannya yang sudah bergetar.
Intan dan Bram saling berpandangan. Pada akhirnya rahasia itu akan terbongkar juga setelah sekian lama tertutupi.
“Kenapa kalian sangat jahat?” Isakan Sena sudah terdengar.
Intan menggenggam tangannya dan meminta maaf pada Sena. Sebagai seorang perempuan memang dirinya sangat bersalah.
“Kalian yang memaksaku untuk menikah dengan Kak Regan tapi...”
“Bisakah kamu jangan menyalahkan orang tuaku?” Suara pria yang tak asing terdengar ditelinga mereka.
Regan sudah berdiri di depan pintu rumah orang tuanya. Sekilas Regan menatap rambut baru Sena. Lagi-lagi ekspresi tak terbaca yang ada di wajahnya. Sena meneteskan air mata tatkala melihat Regan menggenggam tangan Maya begitu erat. Hati Sena sangat nyeri, dia menepuk-nepuk
dadanya.
“Sakit...” lirihnya.
Sorot dingin Regan seolah menusuknya begitu tajam, tak ada kata kasian di mata pria dingin itu.
“Nana, maafkan, Regan! Kami memang yang salah telah memaksa kalian untuk menikah dan kali ini kami sebagai orang tua tidak ingin ikut campur dengan rumah tangga kalian. Biarkan Regan yang menentukan sendiri,” ucap Bram.
Sena mencoba untuk kuat walau kenyataannya sangat pahit. Tidak ada yang membelanya sama sekali atas perbuatan Regan.
“Maya sedang mengandung anakku, itulah sebabnya kami harus menikah dan bahkan aku tidak perlu izin menikah lagi padamu,” ucap Regan.
DEG!!!
Mengandung anak Regan? Semua ini membuat Sena semakin sedih, ia sudah tak bisa berkata-kata lagi bahkan suaranya semakin
serak. “L—lebih b-bbaik kita bercerai saja.” Sena mengucapkan dengan sangat berat.
“Tidak semudah itu, aku tidak akan menceraikanmu sebelum aku sendiri yang menginginkannya.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!