Musim Kemarau, 2008.
Semua murid SMU Pelita ikut berpartisipasi dalam kegiatan sparing olahraga yang rutin diadakan setiap akhir semester. Kelas 10 sampai kelas 12 semuanya terlibat mengisi kegiatan sparing antar SMU, yaitu SMU Pelita dan SMU Bangsa. Ada yang berkontribusi sebagai 'pejuang' sparing dengan menjadi anggota tim sparing basket, sparing baseball, sparing voli, sparing futsal, sparing bulu tangkis, sparing renang. Tak ketinggalan para pemandu sorak yang ceria dan semangat dan cantik-cantik tentunya, tidak ada bosannya memberikan yel-yel semangat untuk para 'pejuang' sekolah mereka. Meski sparing ini dilandasi dengan kalimat 'Pertandingan Persahabatan', namun tidak memungkiri masing-masing sekolah menginginkan kemenangan. Hei, jangan lupakan para penonton setia yang tak kalah semangatnya dengan pemandu sorak. Para penonton jauh lebih *gila* memberikan yel-yel mereka, tak sungkan juga mereka memberikan sorakan 'huuuuu' jika tim lawan mencetak angka. Yah, begitu lah.
Dipinggir lapangan basket tempat penonton lebih padat dari pada lapangan pertandingan yang lain. Kenapa bisa begitu saudara-saudara sekalian? Karena tentu saja ada satu sosok yang penampilan berkeringatnya, dalam drible, shooting, three point, Alley-oop, dunk, dan segala macam pergerakan satu sosok itu membuat kaum hawa seantero SMU Pelita memujinya, menghalukan dirinya sebagai pacar dari sang idola sekolah, apalagi kalau sang idola mencetak angka dengan gaya yang sangat keren, jangan tanya bagaimana heboh dan histerisnya para cewek-cewek dipinggir lapangan pada kursi penonton itu.
Oh, kecuali mungkin beberapa orang yang benar-benar fokus menonton pertandingan, bukan orang-orang yang bertandingnya.
"Astaga! Kenapa deh ini orang-orang!' Keluh Lania sambil mengorek lubang telinganya dengan jari kelingkingnya saat suara teriakan histeris itu seperti memecahkan gendang telinganya.
"Ih, namanya juga si ganteng cetak gol!" Seru Aruna, sahabat Lania yang juga mengidolakan satu sosok yang kini sedang selebrasi hasil cetakan angkanya.
Lania memutar bola matanya. Ia mengorek saku seragamnya, mencari lolipop yang biasa dia kantongi.
"Hah, perasaan tadi gue nyimpen lolipop, deh."
"Kan udah lo makan, ish." Aruna mengingatkan.
"Oh udah ya? Hehehe. Ya udah, gue mau beli lolipop lagi, lo mau, ga?" Lania menawari.
"Teh es aja dong, haus banget."
"Oke, jagain tempat gue, jangan sampe diserobot cewek-cewek ganjen."
Lania turun dari kursi penonton, keluar dari lapangan menuju kantin yang juga penuh dengan mereka-mereka yang kehausan. Maklum, cuaca memang sedang kemarau, para penjual menuman dingin di kantin tentu saja menjadi serbuan.
"Huh, mau beli es teh aja kudu ngantri sepanjang ini, nih? Keburu ketinggalan pertandingan ini sih." Lania ngedumel sambil mencari tempat duduk yang kosong, ia membuka bungkus lolipop yang sudah lebih dulu dibelinya. Sambil kipas-kipas dengan tisu, Lania menunggu dengan bosan.
"Aaakkkk.... ada Kak Jevan! Ada Kak Jevan!" Pekik seorang cewek, yang jelas dia seangkatan dengan Lania karena memanggil nama yang disebutnya dengan sebutan 'Kak', dan pekikan-pekikan serupa tapi tak sama pun mulai terdengar, kecuali satu orang yang mulutnya lebih memilih untuk mengulum lolipop dari pada teriak-teriak tidak jelas.
Satu kios yang memang pilihan minuman dinginnya lebih banyak, yang tadinya penuh dan sulit untuk menerobos tiba-tiba membuka jalan seperti mobil-mobil di jalanan yang menepi saat mendengar sirine ambulan dan mobil ambulan lewat.
Lania yang melihat tiga orang cowok memakai seragam basket melewati cewek-cewek yang menepi itu, berjalan dengan tenang dan seolah kios itu sepi-sepi saja membuat Lania melotot dan berdecak kesal. Rupayanya pertandingan sedang istirahat.
Ini yang dia tidak suka dari orang-orang populer di sekolah, mereka selalu diperlakukan seperti anak raja dari negeri dongeng. Mereka selalu dianggap paling ganteng dan cantik sebumi, padahal ganteng dan cantik itu, kan, relatif.
Tiga cowok itu adalah Jevan, si kapten basket yang berada pada tingkatan paling tinggi dalam kategori cowok terganteng, selain paling ganteng Jevan juga anak donatur terbesar dan pintar. Lalu ada Gio yang berada pada tingkatan kedua, ganteng juga dalam penilaian cewek-cewek, meski bukan anak donatur tapi Gio juga berasal dari keluarga menengah ke atas. Kemudian Mario berada pada posisi ke tiga, dia tidak setampan Jevan dan Gio, tapi sangat humoris dan sangat ramah, dan tentu saja berasal dari keluarga yang berada juga. Mereka adalah para pemain basket yang tadi dielu-elukan penampilannya, dan mereka adalah kakak kelas dua belas kesayangan para ciwi-ciwi.
"Permisi, Kak, mumpung Kakak bisa membubarkan barisan panjang tanpa mengantri, saya boleh ya, pesen es teh doang satu, buat temen saya, dia dehidrasi gara-gara teriak-teriak mulu nontonin Kakak-Kakak tadi." Cuek Lania berkata pada tiga cowok senior yang populer itu. Sontak semua mata langsung tertuju padanya. Tatapan iri dengki, sinis, terkejut, juga jangan lupakan bisikan-bisikan yang seketika itu juga menilai bahwa Lania sok kecantikan, cari perhatian, ganjen dan penilaian negatif lainnya.
Apakah bisik-bisik tetangga itu terdengar oleh Lania, tentu saja kawan! Apakah Lania sakit hati? Sedih? Marah? Tidak sama sekali, dia tidak perduli. Terserah orang-orang mau bicara apa, yang jelas dia tidak mengidolakan ketiga cowok itu dan hanya ingin membeli segelas es teh untuk sahabatnya yang sedang menjaga kursi penonton untuknya agar tidak diserobot orang lain. Sudah itu saja!
Ekspresinya pun tak kalah cuek dan datarnya, tidak ada antusias atau kegugupan yang melanda.
"Oh, boleh-boleh. Bu, tolong satu es teh dulu, ya." Ujar Mario dengan ramahnya. Sementara Jevan hanya diam, memperhatikan adik kelas yang cuek mengulum lolipop.
Tidak sampai tiga menit, satu gelas plastik berisi es teh segar pun siap, Lania membayar kemudian mengucapkan terima kasih, dan melenggang pergi dari kantin begitu saja, seperti tidak habis berinteraksi dengan cowok-cowok idola sekolah.
Kalau cewek lain, sudah pasti akan senyum-senyum sendiri, minimal bertingkah manis walaupun aslinya bar-bar. Tapi Lania, dia berlalu begitu saja, dia todak perduli dengan tatapan menusuk dan cemoohan orang-orang yang dilaluinya.
"Itu tadi anak kelas 10 apa 11, sih?" Gio bertanya.
"Kayaknya kelas 10, deh." jawab Mario.
"Kok bisa-bisanya dia nyelak kita trus pesen es teh." kata Gio.
"Heh, bukan dia yang nyelak kita, tapi kita yang nyelak antrian sebanyak tadi." Mario mengingatkan.
"Kita ga nyelak, Mar, tapi cewek-cewek itu aja yang kasih jalan untuk kita." Gio membela diri.
"Tetep aja, harusnya kita ngantri." Mario menghabiskan es jeruk nipis yang dibelinya tadi.
Sementara Mario dan Gio memperdebatkan kejadian di kantin tadi, Jevan lebih memilih diam dan memperhatikan sekeliling kursi penonton, matanya mencari sosok gadis berwajah cuek, berambut pendek sekuping dengan poni yang menutupi sebagian keningnya. Tak membutuhkan waktu lama, matanya menangkap sosok itu. Astaga, bahkan dari kejauhan, gadis itu terlihat tidak seantusias penonton-penonton lainnya yang mengabadikan momen istirahat tim basket, atau sebenarnya mengabadikan momen Jevan istirahat dipinggir lapangan sambil minum sebotol air mineral dingin dengan ponsel-ponsel mereka.
Gadis tadi, hanya duduk malas, dengan lolipop di dalam mulutnya, menatap kosong ke lapangan tanpa ekspresi.
Apa dia sedih karena cercaan di kantin tadi, ya? Jevan.
Gadis bersepeda, 2008.
"Jevan!" Panggil Mama Ayu, sedikit mempercepat langkahnya untuk mengejar anak lakinya yang langkahnya lebar-lebar untuk segera keluar dari rumah. Langkah lebar itu terhenti begitu jari lentik mencekal siku lengannya.
"Mau kemana kamu?" tanya Mama.
"Ke sekolah, dong, Mama cantik. Ga lihat ini aku udah pakai seragam." jawab Jevan.
"Kenapa setiap kali mau berangkat sekolah selalu saja kamu mau kabur? Pak Miran sudah siap dari pagi-pagi padahal."
Jevan melihat ke arah mobil sedan hitam mewah yang pintu jok belakangnya sudah dibukakan oleh Pak Miran, supir sekaligus asisten keluarga. Jevan mendesah bosan, entah sudah berapa ratus kali Jevan menolak pergi dan pulang diantar jemput dengan supir apalagi dengan kendaraan mewah seperti itu.
Tapi sang Mama selalu tidak mengijinkan anak lelaki sematawayangnya pergi dan pulang sekolah dengan kendaraan umum. Membayangkan anak yang selama ini dirinya rawat dengan sepenuh hati dan cinta, harus berdesakan dengan orang-orang asing di dalam bus, orang-orang asing yang kini sulit membedakan mana orang baik, mana pencopet yang menyamar dengan mengenakan setelan jas keren. Mama Ayu hanya tidak tahan membayangkan jika anaknya bertemu dengan orang jahat, padahal Jevan sudah sabuk hitam Taekwondo, tetap saja yang namanya seorang Ibu selalu melihat anaknya adalah anak kecil yang tidak mengenal dunia.
"Ma, sekali aja Jevan naik bus, ya?" Pinta Jevan yang langsung dijawab tanpa ragu oleh Mama Ayu, jawaban yang pastinya adalah penolakan mentah-mentah.
"Engga bisa! Gimana kalo kamu ketemu orang jahat? Pencopet? Jambret? Dihipnotis? Diculik?!"
"Ya ampun, Ma, imajinasi Mama kejauhan. Lagian Jevan, kan, sabuk hitam Taekwondo lho, Ma, Jevan juga menang kejuaraan."
"Engga pokoknya, engga. Udah kamu ga usah ngeyel kalo dikasih tau orangtua, dari pada terlambat nanti, udah sana cepet berangkat sama Pak Miran."
"Tapi Ma..."
"Pak Miran!"
Perdebatan pun selalu dimenangkan oleh wanita berkedudukan tertinggi dirumah. Jevan pasrah duduk di jok belakang dengan kedua matanya terpejam. Jevan demi meredam emosinya. Jevan tahu Mama dan Daddy-nya sangat menyayanginya, tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya, namun terkadang Jevan merasa terkekang dengan segala peraturan yang dibuat Mama dan Daddy. Ingin rasanya Jevan memberontak dan menjadi anak pemberontak yang bebas.
Tapi, Jevan selalu mengurungkan niatnya, dia tahu betul bagaimana Mama dan Daddy sangat menyayanginya. Jevan sadar, apa pun yang dilakukan Mama dan Daddy semata-mata untuk kenyamanan dirinya. Dan kalau Jevan benar-benar sampai menjadi pemberontak, bukan kah dia akan menjadi seseorang yang tidak bersyukur? Dimana banyak anak-anak terlantar di luar sana yang bermimpi ingin berada diposisinya. Orang tua yang lengkap, rumah yang penuh kehangatan dan kasih sayang, materi yang berkecukupan dan semua hal yang bisa Jevan dapatkan hanya dengan sekali meminta.
Jevan menghela napas panjang, ia membuka matanya, "Pak Miran, gimana kalo saya turun di perempatan seberang sekolah aja, trus saya bisa jalan dari situ ke sekolah, kan deket." Jevan memberikan ide.
"Maafkan saya Tuan Muda, saya sudah diperintahkan oleh Nyonya Besar untuk mengantar Tuan Muda tepat di depan gerbang sekolah."
"Tapi, kan, Mama ga perlu tau Pak, saya turun di perempatan."
"Maaf Tuan Muda, saya tidak berani melanggar amanah. Keselamatan Tuan Muda adalah tanggung jawab saya."
Jevan berdecak kesal. "Tapi saya benar-benar ga nyaman, Pak, setiap kali keluar dari mobil, semua orang pasti ngeliatin saya."
"Maafkan saya, Tuan Muda."
"Huh, kenapa juga Pak Miran minta maaf." Jevan sudah pasrah, lah.
Sepuluh menit kemudian mobil sedan mewah itu pun berhenti tepat di depan gerbang. Begitu saja sudah menarik perhatian. Mereka sudah tahu siapa yang akan keluar dari dalam mobil itu, cewek-cewek yang kebetulan baru datang pun langsung mengurungkan niat mereka untuk masuk lebih dulu ke dalam sekolah, mereka memilih untuk menunggu calon suami halu mereka keluar dari dalam mobil. Yang di dalam mobil masih enggan untuk keluar sampai seseorang melewati mobil itu sambil menggoes sepeda dengan santai, tidak sedikit pun melirik apa lagi kepo dengan siapa yang ada di dalam mobil.
Seseorang yang justru menarik perhatian Jevan. Ia seorang gadis bertubuh kurus tinggi dan berwajah jutek.
"Oke, Pak Miran, saya turun dulu." Tiba-tiba dirinya jadi terdorong untuk segera keluar dari dalam mobilnya. Ia mencoba untuk tidak perduli dengan tatapan-tatapan terpesona para kaum hawa, juga mereka yang menyapa Jevan dengan centilnya. Ia mempercepat langkahnya untuk melihat gadis bersepeda tadi memarkir sepedanya dengan santai. Begitu melihat gadis itu keluar dari tempat parkir sepeda, Jevan segera melambatkan langkahnya, berjalan di belakang gadis itu.
Tidak seperti kebanyakan cewek-cewek yang sibuk merapihkan rambutnya atau takut angin merusak tatanan rambutnya. Sementara gadis itu dengan santainya mengacak rambutnya sendiri lalu menyisirnya dengan jari sambil berjalan.
Gadis itu berbelok, menuju koridor dimana kelas-kelas 10 berada. Dan tahu apa? Jevan nyaris saja mengikuti gadis itu menuju koridor kelas 10, kalau saja Mario dan Gio tidak menepuk bahunya dengan keras.
"Woi, mau kemana lo?" tanya Gio.
Beberapa hari berlalu, gadis itu, yang namanya baru Jevan ketahui tidak sengaja saat seseorang memanggilnya untuk mengembalikan sebuah buku.
"Lania..." Mulai menarik perhatiannya, mulai dari sikapnya yang cuek, selalu tampil apa adanya, dia tidak malu untuk datang ke sekolah mengendarai sepeda, disaat hampir semua murid berlomba memamerkan kendaraan mereka dari hasil kerja orang tuanya. Selain itu, Lania seperti sama sekali tidak perduli dengan dirinya atau dengan cowok-cowok populer lainnya. Tidak seperti kebanyakan cewek-cewek yang langsung sibuk merapihkan rambutnya yang sebenarnya baik-baik saja, atau mengecek tampilan dirinya pada layar ponsel, menyalakan mode sweet girl, saat berpapasan dengan salah satu cowok populer di sekolah. Lania, justru berjalan dengan ekspresi wajah yang lempeng-lempeng saja, seperti tidak melihat siapa-siapa.
Siang itu, jam istirahat kedua untuk melaksanakan ibadah, Lania dan Aruna baru saja turun dari mushola dan memutuskan untuk nyari angin sebentar dengan duduk-duduk santai pada gajebo kecil di taman samping mushola.
"Angin sepoi-sepoi gini enaknya sambil makan, nih." Celetuk Lania sambil menengadahkan kepalanya, matanya terpejam, menikmati sentuhan angin sepoi-sepoi di bawah pohon Chery yang rindang.
"Aish, anak ini kerjaan makan mulu tapi ga gemuk-gemuk." Ujar Aruna.
"Hehehe, jangan iri, ya, kawanku." Lania menunjukkan cengiran lebar. Kemudian bangkit. "Gue denger di kiosnya Pakde lagi ada menu baru."
"Menu baru apaan?" tanya Aruna, sedikit terpancing.
"Batagor aci."
"Yeee, itu mah baru empat belas tahun menu udah ada disana." Sungut Aruna.
Lania tertawa kejam. "Mau nitip, ga?"
"Engga deh, gue lagi diet."
"Yah pake segala diet ini anak, diat buat siapa lo?"
"Jevan."
"Hadeeeehhh...." Lania geleng-geleng kepala sambil berlalu.
Untuk menuju kantin dari mushola, setiap orang pasti akan melewati lapangan, dimana lapangan saat itu sedang ada, yah, lagi-lagi tiga serangkai kakak kelas yang diidamkan oleh para kaum halu, hawa maksudnya. Kakak-kakak kelas itu pastinya sedang mengisi waktu istirahat kedua ini dengan bermain basket, tiga kakak kelas ganteng lawan tiga junior ganteng. Siapa yang tidak klepek-klepek coba melihat enam cowok ganteng beda angkatan itu bertanding santai. Oh, Lania yang tidak klepek-klepek.
Dia santai melewati lapangan yang berisik dengan sorak-sorak suara perempuan memuji-muji para pemain, membuat gendang telinga Lania sakit.
Setelah mendapatkan dua bungkus batagor aci kesukaannya di tangan, yang tentu saja dua bungkus itu untuk dirinya sendiri, kalau Aruna benar-benar tidak mau. Lania berjalan santai sambil bersenandung membayangkan asiknya makan batagor aci hangat di bawah pohon chery dengan angin yang meniup sepoi-
DUG!
"AAAK!"
Bola basket, entah bagaimana bisa-bisanya mendarat pada dirinya, membuat dua bungkus batagor aci yang sudah membuatnya bahagia itu jatuh ke lantai dengan isinya yang berantakan. Ditambah seragamnya pun jadi ikutan kotor karena bumbu kacangnya menumpahi seragam yang dikenakan Lania.
Lania geram. Sangat kesal dan marah. Tangannya terkepal. Dalam hati ia menghitung hingga tiga, jika sampai hitungan ketiga siapa pun pelakunya tidak menunjukkan diri dan ganti rugi atas kerugiannya, dia berjanji akan membawa bola basket tadi ke kantin dan menusuknya dengan pisau, mengempeskannya dan membelahnya.
Satu...
Dua...
Ti...
"Hei, maaf, lo ga apa-apa?" Suara cowok, ia berdiri di depan Lania, wajahnya penuh penyesalan, apa lagi ia melihat bagaimana ekspresi wajah Lania yang menahan geram dan langsung menatapnya dengan tatapan super dingin, sinis, dan galak tanpa pandang bulu.
"G-gue ga sengaja, maaf." kata cowok itu lagi.
"Ga bisa!"
"Apa?"
"Memangnya Kakak pikir maafnya Kakak bisa ngegantiin kerugian saya?"
Cowok itu menyadari seragam Lania yang kotor.
"Eum gini aja, kamu pakai ukuran seragam berapa?"
"Ukuran seragam?" Kening Lania berkerut, tapi tidak meninggalkan tatapan mautnya tadi.
"Iya, gue beliin sekarang seragam buat lo di koperasi."
"Seragam?"
"Iya."
"Huh! Kakak pikir ini yang bikin saya kesel?"
"Memangnya apa?"
"Lihat, tuh!" Lania menunjuk lantai. "Jajanan saya tumpah semua, jadi mubazir, jadi ga bisa dimakan!" Teriak Lania tanpa takut dan tanpa malu.
Cowok itu pun melebarkan matanya, membuka bibirnya tapi tidak tahu harus berkata apa, dia benar-benar tidak habis pikir.
"Saya ga mau tahu, Kakak harus ganti rugi!"
"O-oke, lo mau gue ganti rugi bagaimana?"
"Beliin saya jajanan lagi!"
Sontak jawaban itu membuat cowok itu terkekeh, tapi segera mengakhiri kekehannya begitu tatapan setajam pisau daging menghujamnya.
"Sorry, eum, oke, gue ganti rugi jajanan lo, kalau perlu sama kios-kiosnya gue beliin."
"Cih, dasar orang kaya." Lania menggerutu tapi masih terdengar jelas. Gadis itu pun langsung memutar tubuhnya dengan bertumpu pada tumit kakinya, kemudian berjalan mendahului cowok yang akan mengganti rugi jajanannya.
Hei, jangan lupakan puluhan pasang mata yang menyorot tajam kepada mereka, atau lebih tepatnya kepada Lania.
Sementara Mario dan Gio melihat dengan bingung dari tengah lapangan.
"Si Jevan mau kemana itu?" tanya Gio.
"Eh, itu bukannya anak kelas sepuluh yang waktu itu beli es teh itu, bukan?"
Jatuh cinta di kantin, 2008.
Lania melipat kedua tangannya di depan dada sambil menunggu pesanan batagor aci dua bungkus miliknya selesai disiapkan oleh Pakde pemilik kios.
"Memangnya yang tadi udah habis?" tanya Pakde, selalu ramah seperti biasa, pada Lania sambil menyerahkan dua bungkus batagor aci yang seketika membuat sebuah senyuman pada wajah jutek tadi mengembang lebar.
"Yang tadi ja-" Jevan hendak menjawab pertanyaan Pakde, tapi Lania langsung memotongnya.
"Yang tadi ada yang minta, aku malah jadi ga kebagian, eh, sekarang malah ada yang traktir." jawab Lania dengan lancar tanpa terkesan sedikit pun berbohong.
"Rejeki anak yang soleha."
"Rejeki Pakde yang soleh juga. Hehehehe."
Deg!
Apa ini?
Jevan menyentuh dadanya, tepat dibagian jantungnya berada dan sedang berdegup sungguh cepat, seperti habis lari berkilo-kilo jauhnya.
"Bisa aja. Ada lagi ga yang mau ditraktirin?" Goda Pakde.
"Engga Pakde, ini aja."
"Ga pake minum? Ntar kalo abis makan seret ga ada minumnya." Bisa aja nih si Pakde ilmu dagangnya.
"Es teh, Pakde." kali ini Jevan yang menjawab.
Setelah selesai di kios Pakde, Lania lebih dulu meninggalkan kantin.
"Tunggu-tunggu," Jevan mengejar.
"Apa?"
"Kenapa lo bohong tadi sama Pakde?"
"Karena kalo saya bilang jujur, nanti Pakde sedih karena makanan dagangannya kebuang sia-sia."
"Tapi, kan, yang penting itu makanan udah lo bayar."
Lania memutar bola matanya, "Kadang ga semua hal tentang uang." jawaban Lania begitu menohok jantung, hati, usus, lambung hingga pankreas Jevan.
Lania berjalan lagi, dan Jevan kembali mengejarnya.
"Lo kelas 10 berapa?"
"Kenapa memangnya?" tanya Lania, mode galak kembali menyala.
"Ga apa-apa, cuma tanya aja."
"Saya ga mau kasih tau, saya ga suka kasih jawaban yang tujuan pertanyaannya ga penting. Makasi untuk bonus es teh nya." Kemudian Lania berlalu, meninggalkan Jevan yang degup jantungnya masih belum bisa ditenangkan.
Lania sedikit mempercepat langkahnya, bukan karena tidak nyaman dengan tatapan-tatapan menusuk dan mencemooh dari cewek-cewek yang dilaluinya, tapi karena dia tahu waktu istirahat tidak lama lagi. Dan ada dua bungkus batagor aci yang harus segera ia lahap.
"Heh, lama amat beli batagor aci doang.... eh baju lo kenapa?" tanya Aruna begitu Lania datang membawa dua bungkus batagor dan segelas plastik es teh yang langsung diberikan pada Aruna.
"Nih, es teh dari pacar halu lo." kata Lania tidak mengindahkan pertanyaan Aruna yang bingung melihat seragam Lania.
"Hah? Siapa?"
"Kak Jepaann!" Lania menirukan gaya fanbase nya Jevan yang histeris.
"Jepan? Eh, Kak Jevan maksud lo?"
Lania mengangguk malas dan mulai menyantap batagornya dengan nikmat.
"Kok bisa?!" Otomatis Aruna pasti langsung histeris, Lania sudah mengantisipasinya dengan langsung menyumpal mulut Aruna dengan sepotong besar batagor.
"Itu juga dari Jepan."
"Aaaa.... kok isa?" Aruna kesulitan untuk bertanya karena batagor besar di dalam mulutnya.
"Nih, baju gue jadi gini juga gara-gara dia."
"Kok-"
"Makan dulu, makan! Gue abis emosi, nih, jadi laper banget. Nanti gue ceritain pulang sekolah."
***
Keesokkan harinya kabar Jevan mentarktir Lania pun sampai ke telinga Sheryl dan kawan-kawan pemandu sorak yang sudah bukan rahasia lagi kalau ketua pemandu sorak itu sudah mengejar Jevan sejak mereka masih kelas 10. Dan tidak pernah sekali pun Jevan menganggap Sheryl lebih dari sekedar kenal saja. Tentu saja kabar itu membuat kuping, hati, jiwa dan raga Sheryl jadi panas.
Bagaimana tidak panas, dirinya yang sudah hampir tiga tahun mengejar Jevan belum pernah sama sekali ditraktir, oh jangankan ditraktir, Jevan tersenyum padanya atau menerima pemberian cokelat valentine darinya saja tidak pernah. Cokelat itu pasti akan diberikan lagi pada Mario atau Gio.
Tapi ini, anak kelas 10 bisa-bisanya sampai membuat Jevan mentraktirnya? Sheryl tentu saja tiak tinggal diam. Dia bersama genk langsing dan cantiknya itu menemukan Lania dan Aruna yang baru saja keluar dari perpustakaan. Sheryl dan lima orang cewek lainnya segera menghadang jalan Lania dan Aruna.
"Ada apa, ya?" tanya Lania, yang cueknya sudah tingkat akut, sama sekali tidak ada takut melihat enam orang kakak kelas dengan wajah vampir yang seolah siap menghisap darahnya sampai kering. Sementara Aruna sudah beringsut di belakang Lania.
"Mana yang namanya Latina?" tanya Sheryl galak.
"Lania." Bisik salah satu anggota genknya mengkoreksi Sheryl.
"Whatever!" Tukas Sheryl. "Yang mana orangnya?"
"Saya bukan Latina, dia juga bukan Latina. Kakak salah orang." jawab Lania sambil menunjuk dirinya dan Aruna.
"Ga usah kurang ajar, ya, lo!"
"Siapa yang kurang ajar?" tanya Lania. Tidak seperti Aruna yang sudah ketakutan, Lania tetap saja menampilkan ekspresi lempeng. "Kakak cari yang namanya Latina, kan? Nah, saya dan teman saya ini bukan orang yang namanya Kakak sebut tadi."
Anggota genk yang tadi mengkoreksi Sheryl pun mencolek pinggang belakang Sheryl.
"Oke! Gue cari yang namanya Lania. Siapa diantara kalian yang namanya Lania?" Akhirnya Sheryl mengoreksi, walaupun tetap dengan gaya Kakak kelas yang galak.
"Saya." jawab Lania tanpa ragu.
"Sudah gue duga, lo orangnya!"
Lania menaikkan kedua alis matanya. "Terus?"
"Denger, ya, lo jadi anak kelas 10 ga usah keganjenan, ga usah sok cantik, ga usah cari perhatian sama Jevan. Jevan itu udah punya gue! Lagi pula lo itu bukan tipenya Jevan, cewek kampungan, ceking, apa lagi ini, rambut lo kemerahan gini juga pasti kebanyakan di bawah matahari, kan, lo. Cih, jadi ga usah sok-sok-an deh mau ngedeketin Jevan segala."
"Lo liat di jidatnya Jevan ada tanda atau cap, ga, sih?" Lania bertanya santai pada Aruna. Takut-takut Aruna menggeleng. "Nah, ga ada, kan?"
"Heh, jangan kurang-"
"Kakak bilang tadi saya bukan tipenya dia? Bagus, dia juga bukan tipe saya. Saya sukanya sama cowok pesantren."
"Songong banget nih anak." Celetuk salah satu anggota genk di belakang Sheryl.
"Ga usah sok ga suka sama Jevan deh lo." Celetuk yang lain. Celetukkan yang justru mengundang tawa hambar dari bibir Lania.
"Ini gimana, sih, saya ditraktir tapi malah dikatain keganjenan lah, sok kecantikan lah, cari perhatian lah. Saya kasih tau kalo saya ga suka, malah dicibir. Maunya apa sih Kakak-Kakak ini?"
Sheryl ingin membalas perkataan adik kelas yang sangat berani tapi juga sangat benar kata-katanya itu. Harusnya dia lega karena ternyata Lania bukan saingannya. Dia hanya bisa mengepalkan tangan dan menghujani Lania dengan tatapan setajam pisau pencukur alis.
"Aiish, itu sebabnya gue ga pernah tertarik sama cowok-cowok populer dari dulu." kata Lania pada Aruna.
Anggota genk yang lain pun ikut speechless. Ingin membalas Lania lagi, tapi mereka sudah kepentok sendiri.
"Gini ya, Kak. Kalo Kakak cemburu sama saya, Kakak salah orang. Kalo Kakak mau ngelabrak orang, labrak tuh mereka yang diem-diem motoin gebetan Kakak, kirim cokelat, surat cinta, hadiah dan macem-macem dah. Atau Kakak bisa aja langsung ngomong ke pujaan hati Kakak, kalo Kakak ga suka dia deket-deket cewek lain. Simple, kan? Itu juga kalo Kakak dianggap, ya."
"Heh, kurang ajar banget lo!" Bentak salah satu anggota gank.
"Lho memangnya saya salah? Udah bukan rahasia lagi kalo Kakak ngejar-ngejar tapi ga direspon."
Malu, kan!
Wajah Sheryl memerah, menahan malu juga marah. Ingin rasanya menampar pipi adik kelas yang begitu berani padanya, tapi apa boleh buat, omongannya sangat benar. Hatinya hanya bertepuk sebelah tangan.
Karena tidak ada respon lagi dari ketua dan anggota gank tersebut, Lania dan Aruna pun akhirnya pergi dari kepungan enam gadis populer itu, yang akhirnya mereka jadi merasa malu sendiri.
Dari tempat mereka tadi, tidak ada satu pun orang yang menyadari tiga pasang mata memperhatikan enam lawan dua di depan perpustakaan tadi. Mario dan Gio sebenarnya sudah ingin menghampiri dan melerai, mereka tahu kalau rumor itu pasti sudah sampai ke Sheryl dan benar saja Sheryl dan genknya tidak menyia-nyiakan waktu untuk melabrak anak kelas 10 itu, ditambah satu dari anak kelas sepuluh itu kelihatan sangat ketakutan. Tapi Jevan menahan Mario dan Gio.
"Itu anak kelas sepuluh bisa habis sama Sheryl dkk, Jev, kita harus tolongin." kata Mario.
"Tunggu dulu, gue punya firasat, dia bisa melawan." jawab Jevan.
"Dia siapa?"
"Dia yang mana?"
Tapi Jevan tidak memberikan jawaban pada kedua sahabatnya. Biar hatinya saja yang tahu, kalau hatinya sudah tercuri oleh seseorang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!