...NO WORLD TO BE END...
"Traumatized from the thing i've seen in my life. Everything you see right now is the highlight."
...•Api•...
Pada suatu pagi yang tidak terlalu cerah...
[Beep, beep, beep]
Aku mengulurkan tangan untuk meraih handphoneku yang ada di atas meja samping kasur. Kurasa tidak ada satupun manusia yang mampu hidup tanpa benda berukuran kecil ini di zaman sekarang. Fitur alarm yang ada di dalamnya kini telah menggantikan penggunaan alarm konvensional secara perlahan. Gapaian tanganku pun menjadi simbol dari ketergantungan kaum milenial akan sesuatu yang dinamakan dengan teknologi ini.
Dengan kejadian buruk yang seakan sedang menanti, Aku bergumam sebelum beranjak dari tempat tidur, "Kenapa ya aku merasakan sesuatu yang aneh pagi ini?"
Hal itu bukan tanpa alasan. Angin yang berhembus dingin, bulir-bulir keringat yang menetes tanpa sebab, serta bagian tengkuk yang mendadak pegal menjadi pertanda akan firasat yang tidak meng-enakan. Aku pun langsung berjalan meninggalkan kamar menuju ruang tamu seraya menghiraukan perasaan mengganjal tersebut.
Di atas meja, rupanya ibuku yang telah berangkat bekerja menitip pesan agar aku menghangatkan makanan yang ada di kulkas sebelum berangkat ke sekolah. Berdasarkan menu makan malam kami kemarin, kurasa yang dimaksudkan oleh ibuku itu adalah nasi goreng kotak yang tersisa tadi malam. Tetapi karena merasa malas, aku enggan melakukannya dan memilih untuk langsung berangkat ke sekolah, tanpa memberi asupan pada tubuh sebelum beraktivitas.
Untuk sampai ke sekolah, biasanya aku berjalan kurang lebih sepuluh menit menuju stasiun, kemudian menaiki kereta listrik, dan berjalan lagi sekitar sepuluh menit dari stasiun menuju sekolah. Itu adalah perjalanan yang sangat membosankan bagiku. Bahkan selama di perjalanan pun aku asyik memperhatikan langit yang pagi ini sedikit mendung. Awan-awan kelabu yang terasa berat itu mungkin dapat memuntahkan isinya kapanpun, menyebabkan siapapun yang tidak siap melakukan antisipasi mendapat ganjaran guyuran air yang deras dari langit.
Sambil menyusuri jalan setapak, aku berharap dengan cemas, "Semoga saja hujan tidak turun!"
Sayang seribu sayang... Hujan pun tetap turun
Sambil menutup kepalaku dengan kedua tangan, aku mengumpat, "Sial! Kalau begini aku harus cepat!" Aku langsung berlari dengan langkah berat menuju stasiun pertama, tempat yang akan menjadi peneduh dari rintikan air yang membasahi diri.
Keringat yang bercampur dengan rintikan air hujan menyebabkan sensasi segar sekaligus gerah secara bersamaan. Tubuhku yang tidak siap untuk melakukan olahraga di pagi hari seketika mengalami penyesuaian tidak normal pada otot-otot yang merenggang. Ini mungkin pertama kalinya bagiku untuk berlari dalam beberapa minggu belakangan. Beruntungnya setelah aku sampai di stasiun, hujan nampaknya sudah reda.
Beberapa menit berlalu. Waktu yang tanpa kusadari terus berputar, secara tidak langsung melarutkanku hingga tiba di sekolah. Gerbang bangunan yang berbentuk segi panjang tersebut pun kulewati dengan sangat lesu, seakan-akan ini bakal menjadi tujuh jam yang paling lama dalam hidupku.
Tidak hanya sensasi berada di penjara, kelesuanku pun kini semakin bertambah kala mendapati tidak ada satupun siswa dan siswi yang lalu lalang di dalam. Hal tersebut memperparah keputusasaanku pada sekolah ini.
Aku yang berniat melihat waktu, lantas mengeluarkan handphone dari saku. Tetapi saat aku akan menyalakan layar handphone, gerbang sekolah di belakangku tiba-tiba bergerak menutup sendiri, menyebabkan kebingungan dan kengerian yang menjalar dari ujung kaki hingga ujung kepala.
[Suara gerbang]
Di atap sekolah, terlihat pria yang mengenakan jas dan topi layaknya seorang pesulap sedang melambaikan tangannya padaku. Pakaian yang dikenakannya sedikit norak jika dibandingkan dengan selera berpakaian orang-orang pada umumnya. Yang menjadi sorotan utamaku adalah topi tabung seperti saluran pipa yang terpasang layaknya baut di kepalanya.
Siapa yang masih mengenakan topi konyol seperti itu di zaman seperti ini?
Aku yang melihat keramahannya kemudian mencoba memastikan dengan memberi isyarat, "Aku?" Sambil menunjuk diriku sendiri. Alangkah baiknya untuk menunjukkan sikap yang baik ketika bertemu dengan orang baru, itulah yang selalu dikatakan oleh ibuku.
Dia lalu menjawab dengan isyarat juga, "Iya. Kau!" Entah ada urusan apa pria pesulap itu denganku, yang jelas aku yakin kalau aku tidak pernah terlibat dalam hal apapun dengan orang berpenampilan aneh seperti dia. Jika kami adalah komplotan penjahat, maka kami merupakan penjahat pemula dari para pemula dengan pakaian seperti itu.
Sang pria pesulap melepaskan topinya dan mengeluarkan sebuah payung dari dalam topi tersebut layaknya seorang pesulap sungguhan. Rasa bingung yang memenuhiku pun untuk sesaat berubah menjadi kekaguman atas sebuah pertunjukan sulap dadakan. Dengan memencet sebuah tombol yang ada di dekat pegangannya, payung yang digenggam oleh sang pria pesulap akhirnya terbuka, menunjukkan motif warna sederhana pada kembangan bahan anti air yang melingkar pada setiap jari-jari yang menyebar.
Setelah membuka payung yang dia ambil barusan, tiba-tiba hujan pun turun lagi. Kebetulan yang aneh mengingat langit sempat sedikit cerah kala hujan reda untuk pertama kali. Pelangi yang seharusnya muncul malah digantikan oleh susulan hujan dadakan yang nampak disengaja.
Saat aku memperhatikan langit, kali ini yang turun ternyata bukanlah air hujan, melainkan kumpulan belati tajam yang siap untuk menghujam seluruh tubuhku kapan saja. Dengan berbagai macam ukuran, benda-benda tajam itu seakan tidak memperhatikan bagaimana mereka seharusnya terlihat, mereka lebih mengutamakan bagaimana cara melukaiku dengan cepat dari atas sana.
[Belati turun]
Aku berlari mencari tempat berlindung sambil mencoba untuk menghindar dari beberapa belati yang turun. Gocekan kiri dan kanan serta lompatan harimau yang agak kaku kukeluarkan dengan susah payah demi menghindar dari luka yang sedang menunggu untuk tercipta. Sayangnya walau sudah berusaha, belati-belati tersebut pada akhirnya tetap berhasil untuk menghujam beberapa bagian tubuhku dengan begitu cepat. Aku pun tersungkur ke tanah kala mendapati kepalaku telah tertancap olehnya.
"Aaarghh!!" Keluhku dengan kesakitan. Sengatan yang tidak lazim untuk dirasakan membawaku pada ambang ketidaksadaran yang menjadi nyata.
Di sisi lain, sang pria pesulap yang sedang berteduh di balik payungnya kemudian membuang payung yang sudah penuh dengan belati tersebut ke arah belakang. Lemparannya terlihat cuek dan sedikit arogan. Kemampuan payung itu untuk menahan belati agar tidak menembus seutuhnya mendapatkan sedikit perhatian dari sudut pandangku. Sang pria pesulap pun langsung melayang turun ke permukaan untuk menghampiriku setelahnya.
Pria pesulap mengulurkan tangan kanannya untuk mengangkat kerah seragamku sampai wajah kami saling berhadapan. Dia lalu bertanya kepadaku yang sudah tak berdaya, "Kau Jion, bukan?"
"Apa maumu?!” Tanyaku dengan agak lemas seraya menahan rasa sakit.
Pria itu menjawab, “Kau. Aku mau kau agar membantuku.”
Mendengar jawabannya barusan sungguh membuatku muak. Aku sontak meludahi wajah pria pesulap itu dengan darah yang mengalir keluar dari mulutku, membalas hinaan yang baru saja dia berikan dengan penuh kebencian. Cairan merah gelap kental yang berasal dari diriku menodai wajahnya yang rupawan, menuruni bagian bawah mata sampai ke rahang.
Karena merasa agak kesal, sang pesulap tiba-tiba melakukan gerakan cepat dengan tangan kirinya, menusukkan sebilah pedang tajam yang entah darimana asalnya menuju perutku. Kini situasi sangat tidak berimbang. Jika aku memiliki kekuatan seperti dirinya, mungkin semuanya akan berjalan dengan berbeda.
Sambil menusukkan pedang miliknya dengan kuat, pria itu memberitahuku sesuatu yang menurutnya sangat penting. “Mereka membutuhkan bantuanmu, Jion!"
Tak lama berselang, seluruh tubuhku seakan menjadi berat. Aku mulai kehilangan kesadaran dan mataku perlahan mulai terpejam. Rasa sakit yang kuterima kini sudah tidak bisa kutahan lagi. Dalam hati aku bertanya...
Apakah ini yang dinamakan kematian?
***
Sementara itu...
Di sebuah istana entah dimana, seorang wanita cantik yang sedang mengandung terlihat memandangi sebuah kolam besar di hadapannya. Wanita itu mengenakan gaun yang cantik nan mempesona, layaknya sesosok dewi.
Area kolam tempat wanita itu berdiri sendiri nampak agak gelap dengan hanya diterangi oleh beberapa lentera. Untuk isinya, kolam tersebut memiliki air berwarna warna merah yang menyerupai darah dengan disertai Bunga-bunga Kamboja yang mengapung tenang di atasnya. Wanita itu memasukkan salah satu tangannya ke dalam air kolam untuk mengambil salah satu bunga tersebut.
“Kita sudah hampir sampai bukan, Aka Manah?” Tanya wanita itu kepada sosok yang ada di dalam bayangan sembari mengangkat salah satu bunga yang dia ambil tadi.
“Ya, seperti itulah. Aku baru saja memindahkan semua ras manusia bumi ke Kapaleos,” jawab sosok yang ada di dalam bayangan itu dengan suara berat. “Kau sendiri, bagaimana dengan kandunganmu?”
Wanita itu mengembalikan bunga yang dia ambil tadi ke dalam kolam lalu menjawab, “Satu bulan lagi sepertinya dia akan lahir. Dan kemudian saat dia besar nanti, aku akan memastikan padamu bahwa dia siap untuk menghabisi semua manusia yang telah kita pindahkan ke No World!”
“Aku suka sekali dengan ambisimu itu, Damballa. Ngomong-ngomong, apa nama yang akan kau berikan padanya saat dia lahir nanti?” Tanya sosok dalam bayangan itu lagi.
Setelah pertanyaan tersebut dilontarkan, seekor ular tiba-tiba merayap keluar dari bagian atas gaun wanita itu menuju tangannya. Dengan wajah yang licik, wanita itu menjawab, “Dia akan menjadi sosok iblis yang besar dan kuat, serta akan menjadi simbol dari kehancuran. Oleh sebab itu, aku akan menamainya Behemoth.”
...###...
*Pada beberapa bab seterusnya terdapat sedikit intermeso. Intermeso dalam karya ini sendiri tidak masuk ke dalam lingkup bab, tetapi lebih kepada informasi yang author mau sampaikan untuk menjadi tambahan bagi para pembaca. Dimana informasi yang ada tersebut merupakan referensi ataupun petunjuk tentang alur yang sedang terjadi dalam cerita. 👹
...No World...
“Nama yang bagus,” puji sosok itu sembari berjalan keluar dari dalam bayangan yang gelap dan misterius. Pendaran cahaya yang berwarna kuning kemerahan dari lentera yang menyala perlahan mulai menampakkan pola yang tegas dari lekukan tubuh seseorang yang tak biasa.
Kini dapat terlihat dengan jelas sosok di balik bayangan tersebut. Dia adalah seorang pria bertanduk kambing yang mengenakan setelan jas dengan seluruh tubuh berwarna hitam pekat layaknya bayangan di tengah malam. Jas yang ia kenakan sendiri terlihat seperti jas bermerk yang sering digunakan oleh para bangsawan, dengan perpaduan warna merah dan hitam yang mendominasi. Tanduk yang mencuat dari bagian samping keningnya berwarna coklat gelap dengan garis-garis vertikal yang mengelilingi, menandakan bahwa pertumbuhan tulang yang biasa digunakan sebagai pertahanan tersebut tumbuh secara bertahap pada permukaan kulit yang gelap.
Pria itu memberitahu, “Nampaknya ada seseorang yang tersadar dari realitas buatan kita. Bisakah kau urus dia? Jangan sampai dia berbuat onar di No World.” Nada bicaranya datar dengan sedikit getaran dalam artikulasinya.
Wanita itu kemudian bertanya dengan penasaran, “Dimana lokasi orang itu berada?” Pertanyaan tersebut seakan memberi isyarat kalau mereka sudah terbiasa dengan fenomena yang sedang terjadi ini.
Sambil memejamkan mata, pria itu mencoba merasakan keberadaan sang pelaku, membuntuti sebuah aliran energi yang asing untuk dirasakan bagi ras iblis seperti dirinya. “Di selatan, orang itu berada di suatu daerah di bagian selatan.”
Wanita yang dipanggil Damballa itupun mengelus-elus ular di tangannya lalu membiarkan ular tersebut turun melewati gaun cantik yang ia kenakan. “Baiklah. Aku akan menyuruh Demon Coyote untuk mengurusnya,” ucap wanita itu.
Damballa kemudian mendekatkan dirinya kepada Aka Manah, memuji pria itu sembari berkata, “Kau sungguh hebat bisa melakukan ini semua. Aku tahu kau pasti sangat lelah bukan?” Gelagat layaknya sepasang suami istri dikeluarkan olehnya sebagai usaha dalam menjadi pelipur lara bagi pria yang sedang berada di hadapannya.
Aka Manah lalu membalas, “Semua ini kulakukan agar persembahan dua puluh milyar nyawa dapat segera terkumpul. Demi kebangkitan Fallen Lux Ferre!”
Damballa pun ikut berseru, “Demi kebangkitan Fallen Lux Ferre!”
***
Di sisi lain...
Aku tenggelam, aku merasa seperti sedang berpindah ke suatu tempat. Firasatku ternyata benar. Ini adalah hari yang sangat buruk, bahkan yang paling buruk dalam hidupku. Di dalam kegelapan, tiba-tiba aku mendengar suara seorang perempuan yang tidak asing, sedang memanggil namaku.
"Jion!!" Panggil perempuan itu. Suara yang serak dan lantang tersebut pasti akan mendorong siapapun untuk bergerak menghampiri. Akan tetapi, kebekuan yang terjadi pada seluruh tubuhku tidak membiarkanku untuk memulai langkah dengan segera. Aku justru malah terbangun karenanya, "Argh!!" Perasaan yang sebelumnya terasa nyata seketika meninggalkanku dengan kebingungan yang luar biasa.
Pria pesulap yang menjadi lawan perseteruan ini pun tiba-tiba muncul dengan santainya di sampingku. "Halo! Selamat pagi!" Dia terlihat ramah, nada bicaranya juga sangat menyambut untuk orang yang baru dibunuhnya seperti diriku.
"Apa yang kau lakukan padaku?" Aku bertanya dengan heran. Kepastian, itulah yang aku butuhkan. Permainan bunuh-bunuhan yang dilakukan oleh pria pesulap ini seharusnya tidak boleh terjadi, tidak, kalau dia tidak memiliki kemampuan sihir yang aneh.
Sang pria pesulap kemudian merangkul pundakku sambil berkata, "Kau tahu? Manusia di bumi selalu memuji keindahan yang nampak di angkasa. Tetapi jika kau pernah pergi ke angkasa, maka yang kau puji adalah keindahan dari bumi itu sendiri." Ucapannya benar-benar tidak memiliki konteks yang jelas.
Dugaan awalku sendiri menuntunku pada fakta bahwa latar hitam dengan cahaya kelap-kelip yang mengelilingiku ini merupakan sebuah tempat yang tidak asing, setidaknya itu berdasarkan pengalamanku menonton televisi. Walau masih bingung dengan maksud ucapan sang pesulap, aku yang kemudian meluruskan pandanganku dibuat tak bisa berkata-kata oleh apa yang kulihat.
[Bumi terlihat jelas di hadapanku]
"Wow. ini sangat keren," ucapku dengan penuh decak kagum. Aku tidak percaya kalau aku sedang berada di luar bumi, planet tempatku tinggal. Laut, daratan, serta awan-awan yang menyelimuti planet tersebut terlihat sungguh memukau dari sini. Saat berada di ruang angkasa, aku sebenarnya masih mengenakan seragam sekolah. Hal tersebutlah yang membuatku sempat berpikir kalau semua ini hanyalah mimpi.
Pria pesulap kemudian bertanya padaku, "Kau merasa keseharianmu di bumi sungguh membosankan bukan?" Dia menebak seraya memperkuat cengkraman pada pundakku, berharap bahwa aku akan mengeluarkan jawaban sesuai dengan yang dia harapkan.
Pertanyaan yang diberikan itu memiliki makna yang luas. Apakah yang dia maksud adalah kehidupanku secara keseluruhan atau hanya beberapa segmentasi dalam hidupku saja? Tentunya hal tersebut harus kuputuskan secara garis besar. "Bukannya membosankan. Hanya saja, tidak ada yang cukup menarik minatku di sana." Itulah yang keluar, jawaban jujur yang terkesan melebih-lebihkan. Remaja sepertiku memang suka mendramatisir segala kejadian yang terjadi selama hayat.
Sembari melayang ke hadapanku, pria itu lalu berkata, "Yaaa aku setuju denganmu. Bumi memang sudah tidak menarik lagi!" Sang pesulap tidak sekadar membalas, dia sedang memberikan statement yang lugas dengan perkataannya barusan.
"Kalau begitu, bagaimana jika kita pergi ke dunia lain?" Usul pria itu sebelum mendorongku ke belakang. Dorongannya terasa pelan dan tanpa tenaga. Tetapi tanpa kusadari, aku dan pria itu sedang meluncur dengan kecepatan cahaya.
[Swoosh]
Kami membelah ruang hampa dengan gemerlap bintang-bintang yang mengambang di kejauhan. Yang terjadi padaku sekarang lebih mirip teleportasi.
"Wooaahh!"
Selang beberapa detik, kami akhirnya tiba di hadapan sebuah planet besar yang tidak kuketahui keberadaannya. Planet itu nampak redup dan lembab seakan kumpulan jamur sedang menguasai seluruh daratannya. Awannya juga terlihat tebal, mirip bumbungan asap yang tercipta akibat ledakan dahsyat sebuah gunung berapi.
Dengan tangan yang diarahkan kepada planet besar itu, pria pesulap memberitahukanku semua yang ia tahu tentangnya. "Ini adalah Kapaleos. Planet rancangan, atau bahkan bisa dibilang sebuah rancangan besar untuk kehidupan manusia selanjutnya."
"Planet ini memiliki diameter yang hampir sama dengan matahari. Tujuan planet ini diciptakan sendiri adalah untuk menjadi tempat sentral para manusia yang baru di masa depan. Tetapi karena planet ini begitu besar, seperti yang kau lihat di sana!" Tunjuk pria pesulap ke arah sebuah bintang di kejauhan. "Sang Pencipta kesulitan untuk menciptakan bintang yang sesuai dengan planet ini. Lihat saja itu! Bahkan bintang itu tidak mampu menerangi Kapaleos dengan benar! Pada akhirnya, kegelapan yang muncul akibat penerangan yang kurang dari bintang tersebut menyebabkan iblis-iblis mulai bangkit di Kapaleos serta mengakibatkan kerusakan pada dunia yang ada di dalamnya."
Kengerian hinggap pada ujung hidungku. Entah mengapa, aku seperti harus terlibat dengan para iblis yang bahkan tidak pernah kuketahui kebenarannya, itulah ketakutan yang muncul dalam benakku. "Terus, kau ingin aku melakukan apa?" Aku lantas bertanya.
Dia menjawab, "Selamatkanlah dunia yang ada di dalam Kapaleos, Jion. Jika itu tidak bisa kau lakukan, maka hancurkanlah dunia tersebut."
Aku sudah bisa menduganya. Permintaan aneh serta konyol seharusnya memang akan keluar seiring dengan informasi yang ia berikan di awal percakapan. Bodohnya aku tidak langsung menyadarinya begitu dia membawaku ke sini. Aku merasa seperti ditipu dan diperbudak secara tidak langsung, penolakan menjadi keputusan yang harus kuambil sekarang. "Apa kau sudah gila? Kenapa tidak tuhan saja yang menghancurkannya?"
Pria pesulap menjawab lagi, "Sang Pencipta bisa saja menghancurkan planet ini seketika, tetapi kau harus tahu satu hal. Dalam Kapaleos masih terdapat banyak manusia dari berbagai dunia. Mereka yang tidak bersalah tidak boleh binasa begitu saja!" Dia menggunakan sisi baiknya untuk mengambil empatiku. Rasa kepedulian akan sesama memang menjadi alasan yang mendasar mengapa seseorang harus melakukan kebaikan.
"Terus apa bedanya dengan aku yang harus menghancurkan dunia itu? Kekuatan untuk menghancurkanya saja aku tidak punya!" Aku memberi pembelaan dengan mengirim secercah harapan akan sebuah pemberian yang istimewa.
Pria itu kemudian membalas dengan senyuman mengajak, "Kalau masalah kekuatan, serahkan padaku. Apa yang kau inginkan?"
Aku seketika menjawab, "Kekuatan fisik tidak terhingga!"
"Tidak bisa!" Tolak pria itu dengan acuh.
"Kecerdasan luar biasa!"
"Tidak bisa!"
"Kemampuan sulap yang bisa mengeluarkan segala benda dari topi!"
"Tidak bisa! Itu punyaku!"
"Terus kekuatan apa yang bisa aku dapatkan?!" Dia malah membuatku kesal. Mengizinkanku untuk meminta kekuatan, tetapi tidak memperbolehkanku untuk mendapatkan kekuatan yang sudah kuminta. Ini sungguh menguras waktu dan emosi bagi seorang remaja yang memiliki emosi tidak stabil seperti diriku.
Sang pria pesulap tiba-tiba melepaskan topinya dan mencari-cari sesuatu di dalam, merogoh barang berharga yang sepertinya akan dia berikan padaku. Setelahnya, dia mengeluarkan seekor beruang kecil berwarna cokelat dari dalam topi tersebut, mendekapnya pada salah satu lengan agar ia tidak terjatuh.
[🐻]
"Ini! Dia bernama Aelius," ujar sang pesulap sambil memberikan beruang kecil yang sedang tertidur tersebut pada kedua tanganku yang terbuka.
"Apa-apaan ini?! Kenapa kau tidak memberikanku semacam kekuatan super yang bisa membantuku untuk bertahan hidup di Kapaleos?" Tanyaku dengan kesal. Aku bukannya tidak ingin menerima beruang itu. Maksudku dia mungkin akan lucu dan unik apabila dijadikan hewan peliharaan, tetapi ini semua masalah keselamatan. Tidak mungkin untuk berkeliaran menjelajahi tanah yang tidak kukenal, yang dipenuhi dengan para iblis, sambil mengandalkan seekor beruang yang bahkan masih terlalu kecil untuk bertarung. Aku jelas membutuhkan sebuah kemampuan atau kekuatan khusus yang lainnya.
"Kau adalah ras manusia dari bumi. Apa kau ingat manusia pertama di bumi identik dengan apa?" Entah sang pria pesulap bermaksud untuk mengejek, yang jelas aku tidak suka dengan pertanyaan tersebut.
"Memberikan nama segala binatang hutan dan segala burung di udara—tugas yang diberikan pada adam sang manusia pertama." Jawabku.
"Nah! Itu dia alasan mengapa aku memberikanmu Aelius."
"Kau sudah gila!" Ucapku dengan kesal.
"Terima kasih banyak atas pujiannya!" Pria itu kemudian melanjutkan, "Tenang saja, Jion! Aku sejatinya telah memberikan sebuah kemampuan khusus pada dirimu. Tetapi, kau harus mencari tahunya sendiri. Yang jelas kemampuan tersebut akan berhubungan dengan 'benda' dan 'cahaya'. Penasaran 'kan?"
"Bisa-bisanya kau memberikanku sesuatu, tetapi tidak memberitahuku apa yang kau berikan. Memangnya ini semacam kado ulang tahun apa?" Balasku dengan geram.
...###...
...Harapan pada Kami...
"Aku yakin kalau kau akan baik-baik saja di sana, sungguh!" Ucap pria itu yang sedang berusaha keras untuk meyakinkanku. Suaranya yang agak berat sungguh mampu menjatuhkanku ke dalam lautan kapas yang sangat lembut. Dia memberikanku kepercayaan diri yang tidak pernah kudapatkan sebelumnya, terasa unik dan menantang.
Tetapi, aku tidak boleh semudah itu terbuai dengan omongannya. Mau bagaimanapun, dia adalah sosok dibalik keberadaanku sekarang. Pria berwajah mulus itu menyimpan sejuta rahasia yang bahkan dirinya sendiri tidak sadar akan hal tersebut, terlihat sekilas dari cerminan pada iris matanya. Mungkin dia sedang memainkan permainan pikiran denganku, atau mungkin aku memang sudah masuk ke dalam perangkapnya sedari awal. Apapun itu, aku tidak akan pernah melupakan bagaimana cara dia membunuhku tadi. Rasa sakit akibat tusukan pedang yang menerobos daging dan tulang dalam tubuhku menimbulkan perasaan mual yang tak tertahankan ketika melintas dalam ingatan.
Sambil menghadap ke arah sang pria pesulap, aku bertanya, "Kenapa kau membunuhku? Memangnya apa yang telah aku lakukan sampai aku layak mati dan diberi tugas seperti ini?"
Pria pesulap berpikir sejenak, mencoba datang dengan alasan yang terbaik di antara ide-ide sampah yang terlintas dalam benaknya. "Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, aku akan bertanya terlebih dahulu. Saat kau tiba di sekolah, apakah kau melihat orang lain di sekitarmu?"
"Tidak." Jawabku. Jelas dan sangat jelas bahwa aku tidak menemukan tanda-tanda kehidupan yang serupa dengan manusia di sana, mungkin makhluk hidup yang lain tidak menghilang, aku tidak tahu soal itu. Tetapi, orang-orang yang mengenakan seragam sekolah tidak dapat kulihat sejauh mata memandang. Mereka seakan menghilang dalam pembatas ilusi yang diciptakan oleh kemampuan sihir seseorang.
"Nah. Karena semua manusia di bumi secara misterius telah berpindah ke Kapaleos," jelasnya dengan menggugah semangat. Penjelasannya bukanlah sebuah ilmu pengetahuan, tetapi mengandung pesan yang penting dan krusial.
Walaupun begitu, entah mengapa aku belum percaya sepenuhnya. Aku memang tidak mendapati keberadaan ibuku sejak pagi tadi, tapi setelahnya aku menjumpai beberapa orang yang sedang melakukan aktivitas masing-masing selama di perjalanan. Mereka semua terlihat hidup dengan mengeluarkan emosi yang berbeda-beda dalam ekspresi wajah yang samar, contoh utamanya adalah ketika aku akan menaiki gerbong kereta tadi. "Aku yakin selama di stasiun, aku melihat banyak orang di sekelilingku," balasku dengan teguh.
Pria pesulap lalu menjelaskan dengan lebih rinci, "Perpindahan manusia yang terjadi sangatlah cepat. Bahkan aku pun baru sadar dengan kejadian tersebut saat sedang berkeliling antar dunia." Lagi-lagi dia memberikan jawaban yang tidak masuk akal. Aku merasa sedikit iri dengan apa yang bisa dia lakukan dan dia pamerkan kepada orang lain.
"Lantas, apakah mereka baik-baik saja di sana?" Tanyaku untuk memastikan. Mereka adalah rasku, sesamaku, bahkan terdapat ibuku di dalam sana. Sudah selayaknya aku memperdulikan keadaan mereka.
Pria pesulap menjawab, "Seharusnya tidak. Para manusia dari bumi sepertinya kini telah mendapat identitas yang baru selama berada di Kapaleos. Aku hampir yakin kalau mereka tidak sama lagi dengan yang sebelumnya. Kau harus tahu bahwa aku, bahkan Sang Pencipta sekalipun tidak tahu apa-apa lagi tentang kehidupan yang berjalan di sana. Dunia itu kini menjadi sangat misterius. Aku tidak bisa turun tangan karena harus melakukan pengawasan pada dunia lain. Sedangkan, Sang Pencipta saat ini sedang fokus mempertahankan tatanan alam semesta agar tidak tercipta kehancuran."
Pernyataan yang berat sampai harus memberitahukan kegiatan Sang Pencipta merupakan salah satu aspek yang harus kuwaspadai akan kemampuan sang pria pesulap. Sepertinya dia adalah salah satu malaikat yang biasa aku dengar di kitab ataupun cerita-cerita fiksi yang umum di masyarakat, hanya saja dengan penampilan yang aneh dan tentu saja, sangat manusiawi. Aku pun bertanya dengan hati-hati sekaligus to the point, "Lalu, apakah dengan mengambil nyawaku merupakan solusi terbaik yang kau miliki?"
"Seperti itulah. Karena kau satu-satunya manusia yang ada di bumi kala itu, maka dengan terpaksa aku harus mengambil nyawamu." Kata-kata tersebut keluar layaknya jatuhan air deras yang turun dari atas tebing tinggi di perbukitan, menjadi alami seperti turunan air terjun yang segar sekaligus menyakitkan.
Aku mencoba menyimpulkan meskipun hatiku membara akibat jawaban polos yang dia berikan, mengumpulkan ketenangan jiwaku yang sempat tenggelam agar kembali berada dalam fokus yang lebih stabil. "Baiklah kalau begitu. Sekarang yang menjadi kecurigaanku hanya satu. Jika para manusia berpindah ke Kapaleos secara tiba-tiba dan diberi identitas baru, bukankah itu terdengar seperti-."
"Sebuah realitas buatan," potong sang pria pesulap. Akar pemikiran kami mungkin berbeda, tapi kami keluar dengan hasil yang sama. "Aku benar-benar berharap kau dan Aelius bisa menyelamatkan Kapaleos serta para manusia yang ada di dalamnya, Jion." Pria pesulap pun di akhir memberikan sentilan pada keningku dengan tujuan agar aku bisa langsung melaksanakan tugas secepatnya. Ibu, mungkinkah kau ada di sana? Aku berpikir seakan tugas sampingan tersebut merupakan sesuatu yang harus kufokuskan dari pada tugas utama, yaitu menyelamatkan Kapaleos.
[Ting]
Pria itu mengatakan kalimat terakhirnya sebelum kami berpisah, "Jagalah Aelius. Dia adalah kunci keberhasilanmu."
Mataku akhirnya perlahan mulai terpejam lagi akibat dorongan pelan jari telunjuknya. Kini kesadaranku tergerus oleh gelapnya ruang angkasa yang gelap dan dingin.
Apakah ini sebuah mimpi? Kalau benar, maka aku harus segera bangun. Ini waktunya untuk berangkat ke sekolah! Aku harus bangun! Bangun!
"Bangun!!!" Teriak suara seorang laki-laki. Nada suaranya yang melengking dan agak berat sontak membangunkanku secara instan, membuka kelopak mataku layaknya tirai yang dibuka saat ruangan berkaca nampak gelap dan mencekam dari dalam.
"Ughh. Apa aku sudah terbangun dari mimpi buruk itu?" Tanyaku sembari mengusap mata. Aku sungguh berharap demikian meski semuanya terasa sangat nyata, kecuali momen dimana aku dapat bernapas dengan lancar di luar angkasa, itu agak mustahil untuk dilakukan.
"Apa maksudmu? Justru kau dan beruang kecilmu itulah yang memberi kami mimpi buruk dengan tidur di tengah jalan seperti ini!" Balas laki-laki itu. Rambutnya yang tersisir ke belakang merupakan gaya rambut yang tidak sesuai dengan latar hutan lebat seperti ini, mungkin akan terlihat cocok kalau dia berada di perkotaan.
"Hah?" Aku menengok ke kiri dan ke kanan untuk memastikan, "Semua ini bukan mimpi?!?!"
"Ayolah kawan, kau mengganggu perjalanan kami," katanya yang mulai lelah. Jika diperhatikan dengan seksama, aku memang seperti habis tidur di tengah jalan.
"Oh maaf-maaf," balasku sebelum bangkit dan menyingkir sambil mengangkat Aelius yang sedang tertidur. Aku hampir lupa akan keberadaannya. Sejak dia diberikan padaku, dia belum sama sekali membuka kedua mata, meninggalkanku pada kekhawatiran yang cukup besar akan kondisi kesehatannya. Mungkinkah pesulap itu memberikanku hewan yang sekarat dengan tujuan untuk mengejekku?
"Dasar! Dari pakaian yang kau kenakan, kau pasti berasal dari kota bukan?" Timpal laki-laki itu dengan tatapan yang pedas dan menusuk.
"Uhmm." Aku tidak tahu harus menjawab apa. Jika yang dia tanyakan adalah tempat tinggalku di bumi, maka aku akan menjawab "Iya". Tapi di sini, aku berasal dari mana? Pesulap sialan itu sepertinya lupa memberikan skenario khusus padaku!
"Sudahlah, tidak ada gunanya lagi bicara denganmu. Ayo kita lanjutkan perjalanan, Laka!" Seru laki-laki itu kepada seorang yang lain, yang sedang mengendarai kereta kuda di belakangnya. Aku tidak dapat melihat dengan jelas keberadaan orang lain itu, tapi aku cukup yakin kalau dia adalah laki-laki juga, sama seperti kami, terdengar dari namanya yang secara akal sehat tidak layak untuk digunakan oleh seorang perempuan.
Kereta yang memiliki tumpuan roda kayu besar itu kemudian melanjutkan perjalanannya dengan bantuan seekor kuda sebagai tenaga penarik. Laki-laki bernama Fuzz yang sempat berbicara denganku lalu menyusul di belakangnya dengan berjalan kaki. Dia ingin mengambil ancang-ancang terlebih dahulu sebelum melompat masuk ke dalam kereta yang sedang berjalan.
Tidak lama setelah mereka berdua meninggalkanku, aku mulai menyadari sesuatu. "Wajah laki-laki tadi nampak sangat mirip dengan teman SMA-ku, sangat tidak asing. Jangan-jangan dia adalah..."
"Ryo!"
...###...
Intermeso:
Sebagian orang di dunia takut akan kegelapan, baik itu di luar rumah atau ruangan di dalam rumah. Mereka khawatir dan cemas dengan sesuatu yang tersembunyi di dalamnya. Sehingga diciptakan lah lilin, lampu, dan senter sebagai sumber cahaya untuk mengatasi rasa takut akan gelap tersebut. 👹
Sumber: Merdeka.com
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!