NovelToon NovelToon

Arkan Dinda

Prolog

Sorotan lampu motor menyilaukan gerbang besar berwarna merah kecoklatan. Seorang Satpam yang mendengar suara kendaraan mendekat segera membukanya.

Sebuah motor KLX hitam dengan pengendaranya masuk dan langsung terparkir di dalam garasi rumah.

Satpam langsung menutup gerbang kembali setelah motor tersebut masuk.

Menghampiri dengan langkah cepatnya.

"Aden perlu sesuatu seperti biasa," ucap Satpam itu yang hafal dengan majikannya yang baru saja datang dengan motor KLX hitam.

"Enggak usah pak, biarin Kakek Tahu," ucapnya turun dari motor menatap Satpam sambil membuka pengait helmnya.

Wajah tampan dengan beberapa luka kecil terlihat dan kebiruan lebam di pelipisnya.

"Beneran ini den, nanti kalo kakek marah gimana?" Satpam itu sangat khawatir. Biasanya Satpam akan membantunya masuk tanpa di ketahui orang rumah.

"Pak Joko ke pos saja," ucapnya dengan wajah datar nada suara yang sopan.

Satpam itu mengangguk.

*

Arkan anak laki-laki tunggal dari keluarga terkaya nomor dua di Indonesia yang pertama adalah kakeknya.

Arkan Tinggal dengan Kakek neneknya sejak umur lima tahun tanpa, orang tua.

Arkan melangkah keluar dari garasi sambil menenteng helmnya sekaligus. Menaiki tangga rumah yang terdapat lima tingkat tangga yang muat empat orang berdiri sejajar

Langkah Arkan terhenti di tingkat keempat dari bawah.

Seseorang dengan wajah tegas dan menyeramkan berdiri melipat tangannya di depan Arkan. Tanpa sapa tanpa senyum, hanya berdiri diam disana.

"Baru kelas 12 SMA aja kamu udah banyakkan tingkah gini, mau jadi jagoan kamu," ucap Kakek.

Kakek Arkan orang yang disiplin dan tegas. Ia merasa marah karena Arkan pulang larut malam.

Jari-jari tangan yang menggenggam helm mulai mengeratkan pegangannya. Arkan terdiam dengan semua yang kakeknya katakan sekarang.

Kakek masuk kedalam tanpa memperdulikan Arkan. Arkan masih menatap lurus kedepan dengan wajah datarnya. Perlahan langkahnya masuk dengan langkah tenang teratur Arkan hampir sampai di tangga menuju kamarnya lantai dua.

Nenek datang tiba-tiba menarik tangan Arkan dan memeluknya. Arkan hanya diam tanpa kata apapun.

"Mandi air hangat dan minum susu hangat mu nanti nenek buatkan," ucap Nenek penuh kasih.

Arkan masih diam melepaskan pelukannya. Membalik tubuhnya berjalan menuju kamarnya. Membuka pintu dan masuk kedalam kamar.

Meletakkan helmnya di atas meja dekat akuarium ikan hiasnya yang cantik dengan lampu berwarna biru.

Kamar yang di terangi cahaya putih itu seketika di matikan Arkan dan di ganti dengan lampu tidur di atas nakas. Arkan melepas jaket dan sepatu juga kaos kakinya. Mandi, rasanya Arkan harus mendinginkan tubuh dan kepalanya.

Terdengar suara ketukan pintu. Arkan sedang ada di kamar mandi, seketika pintu terbuka, Nenek dengan pelayannya.

"Taruh saja disana." Nenek memberi perintah pada pelayan meletakkan segelas susu hangat di atas nakas dan juga roti gandum.

Nenek dan pelayan beralih keluar Mereka tidak akan menyentuh apapun di kamar Arkan karena Arkan tidak suka barangnya di sentuh siapapun.

Nenek juga sudah hafal dengan Arkan sejak berumur tujuh tahun.

Arkan yang berumur tujuh tahun hanya ingin melakukan semuanya sendiri. Nenek sebenarnya tidak ingin Arkan sendirian melakukannya tapi, Kakek Arkan sangat keras orangnya. Nenek mau tidak mau harus mengikuti perintahnya dan membiarkan Arkan dengan sendirinya belajar mandiri tapi, tetap diawasi.

Baru berusia lima belas tahun Kakek meminta Arkan untuk bisa mencari uang sendiri. Arkan melakukannya. Walaupun anak seumurannya harus bersenang-senang di masa itu tapi, Arkan malah bekerja keras. Nenek awalnya menolak tapi, Kakek tetap pada keras kepalanya hingga Arkan berumur tujuh belas tahun Arkan bisa membuka tokonya sendiri.

Masa kecil yang penuh tekanan hingga menginjak masa remaja masih dengan tekanan kakek yang sama yang selalu keras pada Arkan. Hanya nenek, neneklah yang selalu lembut pada Arkan.

Keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap Arkan mengambil ponselnya di dalam saku jaketnya dan meraih laptopnya di atas meja. Lalu duduk diatas kasurnya Arkan juga menoleh ke atas nakas, segelas susu hangat dengan uap samar yang terlihat keluar dari gelas susu.

Arkan kembali bangkit dari duduknya mengambil buku tebal dan juga buku tugas lainnya. Tugas sekolah yang belum terselesaikan harus Arkan rampungkan sekarang.

Setengah jam berlalu segelas susu tadi sudah berkurang setengah lebih banyak roti gandum tanpa tambahan apapun alias tawar sudah habis.

Di samping kanan atas ponselnya dekat gulingnya. Tiga tumpukan buku tugas selesai.

Arkan beralih pada susu di gelas dan menghabiskannya.

Meletakannya kembali ke atas nakas. Beralih pada buku laptop dan juga tugasnya

Arkan sudah selesai sekarang.

Menyiapkan buku untuk sekolah besok, Melangkah ke atas nakas untuk membereskan bekas makannya.

Arkan keluar kamar menuruni tangga perlahan tanpa membuat langkahnya berbunyi. Sampai di dapur Arkan mencuci bekas makannya dan gelas susunya.

Beralih ke dispenser, Menuangkan air putih hangat untuknya. Di minumnya dengan duduk di kursi dekat meja pantry.

Selesai Arkan mencuci gelasnya dan kembali kekamarnya.

Sampai didalam kamarnya Arkan menutup pintu dan menatap lekat pada pintu putih didepannya.

Arkan melangkah berbalik ke kasurnya duduk di tepi, membuka laci nakasnya Foto wanita cantik dan pria yang begitu tampan di sampingnya.

Arkan mengusap Foto itu. Seketika air mata yang tidak di izinkankan muncul, menetes membasahi kaca bingkai.

Arkan yang sendiri Arkan yang butuh pelukan ibu sekarang. Arkan tidak merasakannya Pelukan itu hanya seperti angin yang berlalu tanpa ingin berlama-lama.

...Hanya ingin tenang untuk saat ini~Arkan Prawira...

Bersenggolan bahu

Arkan terbangun pukul tiga subuh. Wajah bantalnya terlihat masih menunjukan rasa lelahnya. Alarm baru saja berbunyi ketika Arkan sudah sadar sepenuhnya dari kantuknya. Turun dari kasur Arkan melangkah ke kamar mandi.

Arkan melihat wajah didepan kaca wastafel. Menyikat gigi lalu mencuci muka dengan air biasa saja.

Keluar kamar mandi dengan wajah segar. Mengambil alat sholat yang tiap hari di pakainya untuk ibadah.

Selesai Sholat Arkan membereskan semua yang berantakan di kamarnya. Lalu mengambil kotak obat di bawah laci nakas, lemari nakas yang kecil. Lampu tidurnya di matikan di ganti dengan lampu putih menerangi satu ruangan kamarnya.

Duduk di tepi kasur mengambil sekotak cermin di letakan nya di atas nakas. Mengambil salep di dalam kotak obat memakaikannya di luka sudut bibir dan juga kebiruan di pelipisnya.

Selesai. Arkan kembali membereskan semuanya dan pergi ke arah berlawanan masuk kedalam ruangan dengan alat olah raga dan juga pakaiannya.

Tidak terasa Jam enam pagi sudah tiba Arkan sudah siap dengan seragam sekolahnya sekarang. Pintu terketuk ketika Arkan sedang menggunakan dasi untuk melengkapi seragam SMA.

Pintu Terbuka Nenek dengan Pelayannya ternyata.

"Arkan sarapan bubur ayam dulu ya, ini bubur nenek buat sendiri, kebetulan kakek kamu lagi pengen bubur ayam jadi pas kamu juga suka nenek buatin buat kamu juga, di makan ya.. nenek tungguin sampe habis," ucap Nenek dengan lembut.

Arkan selesai dengan dasinya berbalik menatap neneknya dan duduk di kursi depan neneknya mengambil semangkok bubur ayam dan menyuapnya perlahan kedalam mulutnya.

Nenek merasa senang karena Arkan masih mau makan di rumah ini dengan tenang tanpa banyak masalah lagi.

Arkan selesai dengan sarapannya dan minum segelas air hangat hingga habis.

Tidak lupa Arkan mencium punggung tangan neneknya.

Beralih pada tas Sepatu kaos kaki Setelahnya pada Helmnya di samping akuarium.

"Assalammualaikum." Suara Arkan sebelum pergi keluar kamarnya.

Arkan melangkah menuruni tangga perlahan tanpa suara.

Kakeknya baru saja masuk bersama seseorang di sampingnya.

Langkah Arkan melambat seketika.

Melihat Kakek di hadapannya.

Arkan menyalimi, mencium tangan kakeknya sama dengan yang ia lakukan pada neneknya.

Tanpa suara apapun Arkan berlalu begitu saja. Kakeknya menoleh mengikuti langkah Arkan yang berlalu keluar menuju pintu depan.

"Anak kurang ajar, tidak sopan, Main pergi saja," ucap Kakeknya kesal.

Motor sudah siap di depan garasi dengan warna yang mengkilap dan hitam. Bersih tanpa debu.

Arkan memakai helemnya menaiki motornya. Seketika motor dinyalakannya. Suara deru mesin motor KLX hitam Arkan langsung di tanggapi Satpam. Pintu gerbang besar di buka untuk Arkan.

Segera melaju keluar dari gerbang Arkan mengklakson untuk pintu gerbang yang Pak Joko bukakan untuknya.

Pak Joko melambai menanggapi dengan tangan terangkat sedikit dan tersenyum.

Perjalanan ke sekolah hanya beberapa menit. Arkan akan berjalan santai karena waktu di perjalanan masih sangat banyak. Ini masih terlalu pagi.

Akhirnya gerbang sekolah menyambut Arkan dengan terbuka lebar beberapa siswa siswi yang sudah datang sudah meramaikan sekolah pagi ini.

"Selamat pagi pak Ketua," sapaan Lorenzo pada Arkan karena Arkan adalah ketua di gengnya.

Justin terkekeh melihat aksi Lorenzo dan Bagas seperti ada sesuatunya mereka inginkan dengan alasan sapaan pagi.

"Pak Ketua... Contekannya boleh!" ujar Bagus dengan memelas. Arkan terdiam menatap dengan sebelah alis terangkat.

"Hahaha.. Arkan males ngasih contekan. Hancurlah kalian bersama hukuman Pak Udin," ucap Justin menakutkan. Bagus dan Lorenzo berdecak malas.

Mereka berdua sebenernya bisa mengerjakannya tapi, malas. Mereka juga tidak sepintar Arkan atau Justin tapi, Mereka masih di kuasai rasa malas.

"Dikelas." Arkan bersuara membuat raut wajah Bagus berubah dengan cepat dan Lorenzo mengangkat tangannya dan mengucap rasa syukurnya.

Arkan turun dari motornya melangkah duluan seketika tubuh seorang gadis menabrak bahu kirinya dengan keras, tasnya yang hanya di cangklong sebelah kiri saja jatuh ke tanah.

Justin Bagus dan Lorenzo terdiam. Bersiap-siap dengan kemarahan Arkan.

*

Dikelas sedang ada piket. Gadis rusuh menurut teman-teman sekelasnya. Dinda Alea dengan semua tingkah sembarangan tanpa mau melihat dan berpikir dulu sebelum melakukannya, contohnya kelas. Yeni dan Lia baru saja selesai menyapu lalu mengepel kering. Dinda datang dengan sepatu kotor meninggalkan jejak.

"DINDA.... BERENGSEK LO." Teriakan Yeni menggema satu kelas dan Lorong dekat kelasnya.

Dinda menoleh santai tanpa dosa sambil menutup telinganya. Malah berjalan lagi menambah jejak sepatu kotor.

"Emang mau mati tu bocah," ucap Yeni, Lia segera menahan Yeni.

"Apa sih Yeni pagi-pagi udah berisik." Dinda masih belum merasa bersalah Menoleh pada Yeni yang sangat Kesal.

Lia menghela nafasnya dan menatap Dinda tajam.

"Liat lantai," ucap Lia. Seketika Dinda menatap ke bawah lantai.

Dinda menatap terkejut, malu dan merasa bersalah sekarang.

Dinda pergi keluar kelas dengan berjalan jinjit.

Yeni makin emosi. Jejak baru terbuat lagi dari sepatu Dinda.

"Maaf ya Yeni," ucap Dinda sudah sampai di depan pintu kelasnya.

Yeni melepaskan pegangan tangan Lia kasar.

Memegang sapu bersiap memukul. Dinda mundur perlahan.

"Yeni, kan enggak sengaja. Gu-gue enggak tahu kalo lo lagi..."

"DINDA ALEA LO ITU GAK LIAT ITU EMBER ITU PEL-PEL LAN." Kesal Yeni sudah mencapai ubun-ubun. Menunjuk pel-pellan dan ember di depan pintu

Dinda menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan tertawa kecil.

Yeni semakin marah. Ketika sapu melayang ke arah Dinda, Dinda menghindar, sapu meleset. Yeni semakin kesal.

"Gu-guee.. Aaaduh meleset lagi," ucap Dinda mengejek Yeni, semakin marah Yeni mengambil sapu yang meleset, terjatuh di lantai.

Dinda ketakutan seketika berlalu berlari kencang. Yeni juga mengejar dengan membawa sapu.

Sampai di depan koridor sekolah Yeni berhenti. Lelah Yeni berbalik sambil membawa sapu kembali. Dinda yang masih tetap berlari tidak tahu jika Arkan baru saja melangkah akan memasuki koridor.

Tas Arkan jatuh di tanah suara retakan terdengar.

Dinda juga terjatuh dan merasa jika dirinya menyenggol bahu seseorang. Dinda bangkit dengan lututnya yang terasa nyeri Dinda mengambil tas yang tergeletak di atas tanah, mengulurkannya pada orang yang juga mengulurkan tangannya.

Seketik wajah Dinda terangkat menatap wajah datar dan tatapan mata tajam didepannya.

Ya, ampun Kakak kelas yang di idolakan Dinda ada didepannya dan dekat dan tas Arkan. Dinda yang pegang.

"Tas." Suara Arkan mengagetkan Dinda, buyar lamunan menikmati wajah tampan Arkan didepannya.

Dinda memberikannya dengan senyuman. Arkan menerimanya. Membuka tasnya dan melihat ponselnya retak dengan layar bergaris.

Dinda melotot kaget.

"Ah. Aaa.. maaf kak, aku enggak sengaja, aku tadi di kejar sama.. sama.. "ucapan Dinda berubah lebih sopan dan mencari Yeni untuk kambing hitamkan, tapi, Yeni tidak ada. Arkan menatap layar ponselnya mengusapnya dan menyalakannya.

Dinda yang celingak-celinguk mencari Yeni seketika jadi terdiam mematung takut didepan Arkan.

"Kak Arkan maaf kak," ucap Dinda lagi dengan bahasa yang sopan pada kakak kelasnya.

Arkan diam saja mengantongi ponselnya dan pergi begitu saja.

Lorenzo Justin dan Bagus segera ikut melangkah mengejar Arkan yang masuk koridor sekolah.

Bagas menatap Dinda mengintimidasi. Dinda langsung menunduk takut. Seketika rangkulan di leher Dinda terasa.

Kiran Sari. Teman Dinda dari Smp.

"Dinda, ngapain disini? cari apaan?" Ucap Kiran.

"Gue mau cari ketenangan," ucap Dinda kembali dengan bahasa santainya ketika bersama teman sebayanya.

Dinda pergi dengan wajah murung meninggalkan Kiran sendiri di halaman dekat parkiran.

Kiran menatap heran memiringkan kepalanya. Sedang ada apa dengan Dinda apa dia habis terjun dari lantai tiga. Tidak biasanya Dinda mengucapkan kata ketenangan dengan marah, malah sebaliknya mengucapkan kata ketenangan dengan berteriak lalu melompat kesana-kemari seperti anak monyet.

Kiran segera mengejar Dinda yang terus berjalan menjauh dan Kiran akan bertanya kenapa Dinda marah pagi-pagi .

...Ketidak sengajaan itu membuat kita bertemu, apa ini kebetulan atau takdir pertemuan kita....

...~Dinda Alea....

Ponsel layar petir

Sambil berjalan Dinda menatap lantai lalu menghela nafasnya kasar Dinda seperti orang Frustasi. Kiran melompat menghadang jalan Dinda seketika Dinda menabraknya.

"HAAAH... GUE MALU... MALU BANGET... KIRAN TOLONGIN GUE. KIRAN TOLONG GUE MAU MATI RASANYA."

Satu Koridor semua menoleh pada Dinda menatap Dinda dengan aneh. Ada yang menggeleng ada yang mengelus dada dan ada yang merasa kupingnya berdenging ketika Dinda berteriak keras.

Kiran melotot tidak percaya.

"Sakit, Sakit apaan? Kok enggak cerita sih ke gue. Ya ampun Kiran sahabat terbaik Dinda Alea gak tahu kalo sahabat karibnya Sakit," ucap Kiran malah membuat Dinda semakin histeris.

"Bukan Sakit Kiran..." Dinda melangkah melewati Kiran. Kira menatap bingung.

Bibirnya berkomat kamit mengulang kata Dinda. Berucap tanpa suara.

"Apaan sih nih anak," Kiran kesal karena tidak paham dengan Dinda.

Kiran kembali mengejar Dinda yang masuk kedalam kelas.

Seketika bel bunyi tanda waktu upacara bendera setiap hari senin akan berlangsung sekarang.

Semua segera berlari berhamburan datang ke lapangan upacara. Untuk yang tidak menggunakan pakaian lengkap berbaris di samping para guru.

Semua barisan siap. Banyak dari siswa siswi yang lupa jika ini hari senin ada yang tidak menggunakan kaos kaki sabuk dengan benar bahkan tidak memakai dasi dan membawa topi.

Upacara bendera setiap hari senin berlalu beberapa menit. Karena pidato kepala sekolah singkat jadi waktu di jemur untuk upacara tidak terlalu lama.

Upacara selesai semua siswa siswi kembali kekelasnya masing-masing. Dinda masih lemas hingga Dinda dan Kiran kali ini membuat Yeni kembali marah.

"Astagfirullahaladzim. Lu anak manusia bukan sih Dinda, Kiran, Lu berdua nguji gue mulu perasaan!" Yeni menatap keduanya yang baru saja duduk di bangku nomor dua barisan tengah dengan wajah lelah.

"Laah... apaan sih Yen," ucap Kiran.

Lia menggeleng. Berdiri Lia dari duduknya mengambil sapu dan kain pel yang masih lembab.

"Ih.. Lia, capek nih nanti deh gue lepas sepatu gue." Dinda bersuara dengan mata terpejam kepala di letakan di atas meja.

"Gak.. Mau Dinda, Kiran, sekarang, Bu siska bisa ngomel kalo sampe tahu kelas kotor."

Dinda mengangkat kepalanya dari meletakan kepalanya diatas meja. Membuka sepatu dan Kiran juga melakukan hal sama yang Dinda lakukan.

Mereka membersihkan bekas jejak kaki mereka dengan sapu dan kain pel.

*

Arkan yang baru sampai di kelas duduk dan mulai membuka bukunya. Sedangkan Loerenzo yang baru saja datang sudah berantakan dengan dasi di longgarkan kancing dua diatas di lepas memperlihatkan kerah kaos hitam yang menjadi kaos yang di pakai Lorenzo sebelum seragam putihnya.

Bagus baru saja datang dengan rupa lebih parah dari Lorenzo. Serang putih Bagus sudah terbuka semua kancingnya kaos coklat dengan tulisan aneh besar terlihat. Dasi Bagus sudah di lepas di gulung-gulung di tangannya.

Justin dan Arkan mereka masih tetap rapi, dengan pakaiannya.

Justin sebenarnya juga kadang seperti Bagus dan Lorenzo tapi, berhubung ia tidak kepanasan karena tempatnya berbaris tadi teduh jadi Justin masih rapi, sampai sekarang.

Justin meminum air dalam botol yang baru saja Bagus letakan untuk dirinya minum sambil duduk.

"Woy.. Justin! Beli lo, bokek lo minum aja ngambil punya gue," ucap Bagus baru saja duduk tenang langsung menatap kesal ketika air di dalam botol air mineralnya berkurang setengah.

"Nanti gue ganti satu galon." Suara Justin tenang berpura-pura tidak salah.

Bagus mendengus kesal. Justin tersenyum ketika Bagus meminum air di botol.

"Gak usah, lo kasih mentah nya aja ke gue," ucap Bagus setelah meminumnya.

"Mentahan, apaan?" Sahut Lorenzo.

Bagus berdecak.

"Duit nya aja. Lumayan isi ulang galon lima ribu tuju ribu kan lumayan, nah mending buat gue aja," ucap Bagus.

"Heeh.. itu mah mau lo, Adeknya mail," ucap Lorenzo.

Mereka kembali diam beralih tatapan pada Arkan yang membaca buku pelajarannya. Lalu menutupnya ketika merasa di perhatikan temannya.

"Apa?" Suara Arkan datar dan menatap tajam pada Lorenzo Bagus dan juga Justin.

"Oh.. enggak.. enggak apa-apa, iya kan gus," ucap Lorenzo menyenggol Bagus.

Bagus yang sedang minum tersedak, seketika wajah Lorenzo di sembur.

Justin tertawa terbahak-bahak hingga perutnya sakit. Teman satu kelas yang melihat itu hanya tertawa kecil memalingkan wajahnya.

Lorenzo mengelap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

"Maaf, Maaf Zo.. gue kaget lo sih maen senggol aja." Bagus langsung memberikan dasinya untuk mengelap wajah Loernzo.

"Ogah.. DASI LO BAU ******. LO MAKAN APAAN SIH, BAU!" Kesal Lorenzo.

Bagus menggaruk tengkuknya menatap Lorenzo malu.

"Orek tempe kasih pete, Emak masak itu tadi pagi?" Sahut Bagus malu jujur Justin malah lebih geli karena Bagus menjelaskannya dengan wajah polos seperti anak gadis yang di marahi karena tidak bisa memasak.

Lorenzo misuh-misuh. Kesal geli, bau keringat dan pete di wajahnya hampir menghancurkan wajah cool boynya.

"Rita.. Abang Enzo minta tisu boleh," ucap Lorenzo merayu Rita.

Rita menyukai Lorenzo tapi, Lorenzo lebih suka perempuan cantik dan berias lebih, sedangkan Rita polos tanpa make up.

Rita mengangguk merogoh laci mejanya.

"Mau tisu basah atau kering?" Seketika Lorenzo dan Bagus heboh.

"Basah?" Beo Bagus.

"Kering?" Beo Lorenzo.

Mereka berdua saling menatap.

Tahu tatapan Lorenzo aneh padanya Rita langsung mengeluarkan dua bungkus tisu berukuran kecil.

"Oh... my baby," ucap Lorenzo dan Bagus bersamaan.

"Ambil aja kalo mau," ucap Rita dengan wajah datar. Menyimpan rasa Senangnya karena tanpa sengaja Lorenzo sedikit banyak bicara padanya kali ini.

"Ah.. enggak deh.. abang mau nya satu aja. kalo kebanyakan kasian kamunya diduakan, Jiaahaah." Seru Lorenzo dengan heboh.

Rasanya Rita ingin terbang sekarang.

"Rita awas Buaya darat beraksi," ucap Justin merusak suasana Lorenzo dan Rita.

Rita menggeleng.

Setelah Lorenzo mengambil tisu masing-masing satu Rita kembali memasukannya ke laci.

Lorenzo mengelap wajahnya. Lalu melempar bekasnya pada wajah Bagus.

Justin menoleh pada Arkan ketika susah payah mengendalikan tawanya karena tingkah aneh Bagus dan Lorenzo.

Arkan membuka ponselnya lalu menutupnya. Menyimpan ponselnya lagi, Justin sempat melihat layar ponsel Arkan bergaris retak.

"Ponsel lo, jatoh karena cewek tadi," ucap Justin.

Arkan mengangguk menjawab ucapan Justin.

Mendengar kata cewek tadi, Lorenzo dan Bagus langsung berhenti dari bercandanya. Arkan menatap keduanya datar.

"Terus lo, eh.. cewek tadi gimana? eh.. bukan maksudnya hp lo di gantiin ama dia gitu?" Ucap Bagus berbelit-beli karena takut dengan tatapan tajam Arkan.

Justin juga menunggu Arkan bicara.

"Biarin aja," ucap Arkan tenang.

Bruak... gebrakan meja di depan Arkan membuat satu kelas menoleh. Arkan juga sedikit terkejut reflek tatapannya ingin membunuh Lorenzo sekarang.

Menggeleng Lorenzo tidak percaya dengan tanggapan dan jawaban Arkan tadi.

"Lo.. Arkan... hp lo harganya puluhan juta, Ya Allah.. lo bilang biarin aja. Lo ini sebenernya eman-eman duit lo gak sih," Gemas Bagus.

Lorenzo benar- benar tidak habis pikir dengan temannya yang satu ini.

"Ingat lo cari duit susah lo beli hp impian lo pake tabungan lo, dan layar petir itu, Astagfirullahaladzim Arkan gue mau pingsan rasanya," ucap Lorenzo benar-benar melebih lebihkan.

Arkan tetap tenang, sudah biasa dengan sikap Bagus dan Lorenzo yang berlebihannya tidak bisa di kurangi.

"Panas tangan gue," ucap Lorenzo tiba-tiba.

"Lagian lo mukul meja gak kira-kira rasain dahlo," ucap Bagus malah membuat Lorenzo sedikit kesal.

Tentang gadis tadi Arkan sempat melihat wajahnya. Arkan rasanya tidak asing.

Seketika.

"Eh.. gue inget.. Kayaknya tu cewek yang suka sama lo, dia itu suka perhatiin lo diem-diem, anak kelas Sebelas." Lorenzo berucap dengan jelas ketika ingat siapa Dinda Alea.

"Namanya siapa?" ucap Justin.

Lorenzo terdiam.

satu menit, dua menit. Selesai sudah.

"Lo tahu gak?" Ucap Bagus.

Lorenzo menggeleng sambil tersenyum lebar.

...Barang buatan manusia memang bisa rusak tapi, sikap ikhlas harus bisa di gunakan pada tempatnya~Arkan Prawira....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!