Hari sudah mulai petang saat Salma menginjakkan kakinya di halaman rumah. Terlihat ibunya sudah menunggu di teras rumah.
"Tumben telat banget pulangnya?" tanyanya pada putri sulungnya itu.
"Iya bu... tadi di toko ada barang yang baru datang jadi aku di suruh mengawasi dan mencatatnya dulu" jawab Salma sambil meraih tangan ibunya lalu menciumnya.
Memang kebiasaan Salma yang selalu mencium tangan kedua orang tuanya jika akan pergi atau pun pulang ke rumah. Salma yang hanya lulusan SMU bekerja pada toko kelontong depan pasar tak jauh dari rumahnya. Setiap hari ia bekerja dari jam 6 pagi hingga jam 4 sore.
"Ya sudah masuk dulu ... sebentar lagi magrib" sambung bu Rahma ibunya.
Salma adalah sulung dari tiga bersaudara, kedua adiknya Shania dan Sakina keduanya sudah menikah dan tinggal bersama suami mereka masing-masing. Sedang Salma masih tinggal dengan ibunya karena dia belum menikah.Ya di usianya yang sekarang 28 tahun Salma belum juga menemukan jodohnya. Walaupun banyak sekali orang yang nyinyir dengan statusnya itu Salma tak pernah ambil pusing. Ia serahkan segalanya pada Allah, karena yang terpenting selama ini ia sudah berusaha untuk membuka hatinya dan tak lupa berdo'a, namun memang takdir belum mempertemukannya dengan jodohnya.
"Salma... tadi ada kiriman undangan untuk kamu..." kata Rahma.
"Undangan? undangan dari siapa bu?" tanya Salma penasaran.
"Sepertinya undangan reuni nak..."
"O..." jawab Salma sambil menganggukkan kepalanya.
"Ibu sudah taruh diatas meja di dalam kamarmu...".
"Terima kasih bu.." ucapnya.
"Sudah cepat sana mandi nanti keburu magrib" ujar bu Rahma sambil mendorong putrinya itu ke kamar.
Setelah membersihkan dirinya Salma mengambil undangan yang diletakkan ibunya tadi. Terlihat jelas pada undangan itu bahwa setiap peserta boleh membawa pasangan atau keluarganya. Ia pun mendesah pelan, sudah bisa ia bayangkan jika ia datang kesana sendirian teman-temannya pasti menjadikannya bahan pembicaraan. Rasanya jadi malas untuk datang jika membayangkan hal itu.
"Salma... udah magrib nak... ayo sholat dulu..." tiba-tiba terdengar suara ibunya memanggil.
"Ya bu..." sahut Salma, ia pun meletakkan kembali undangan reuni itu dan bergegas mengambil air wudhu.
Setelah melaksanakan sholat, tak lupa Salma menumpahkan segala keluh kesahnya pada yang Maha Kuasa. Tak terasa air matanya pun mengalir. Bukannya ia tak mau bersyukur dengan keadaannya saat ini namun jika ia melihat ekspresi wajah ibunya saat mendengar omongan orang yang terkadang menyakitkan sungguh tidak tega rasanya. Ibu mana yang rela jika anaknya dikatakan perawan tua atau pun gadis sial. Sungguh jika bukan karena ibunya mungkin ia sudah ikhlas jika harus melajang untuk seumur hidupnya. Namun saat melihat betapa sedihnya ibu yang telah mengandung dan merawatnya itu saat dirinya di caci rasanya jika ada yang berani melamarnya akan langsung diterimanya.
Tapi ibunya jugalah yang selalu memberi nasehat padanya agar dalam keputusan jodoh ia tidak gegabah. Sebab itu keputusan yang sangat penting dan akan merubah seluruh hidupnya. Selesai berdo'a Salma membereskan mukenanya dan keluar kamar untuk makan malam dengan ibunya. Tak lama setelah keduanya selesai makan tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumahnya.
"Siapa ya malam-malam begini bertamu kerumah kita?" tanya bu Rahma.
"Entahlah bu... coba Salma lihat dulu..." kata Salma setelah meletakkan piring kotor di tempat cuci piring.
Kemudian ia pun melangkah keluar untuk membukakan pintu.
"Assalamualaikum..." terdengar suara dari luar.
"Waalaikumsalam... sebentar..." jawab Salma sambil membuka pintu.
Salma terkejut saat dilihatnya Nadia sepupu jauhnya sudah berdiri di depan pintu.
"Nadia... kenapa malam-malam kemari? kamu sama siapa?" tanyanya.
"Aku kemari sendirian Ma..." terangnya.
"Sendirian? suamimu mana? kok nggak nganter?".
"Kamu itu kebiasaan Salma... ada tamu bukannya disuruh masuk malah diinterogasi kayak dikantor polisi aja..." potong bu Rahma yang sudah muncul dari dalam rumah.
Salma pun terkekeh.
"Maaf ya... abisnya aku kaget banget kamu datang ga ngabarin dulu dan kemari malam-malam, sendiri lagi..." terang Salma.
"Ya sudah masuk dulu yuk!" ajaknya pada Nadia.
Lalu mereka pun masuk ke dalam rumah. Setelah basa-basi sebentar akhirnya Nadia mengutarakan niat sebenarnya kenapa ia datang malam-malam.
"Sebenarnya aku datang kemari mau ngomong serius sama kamu Ma... sama tante juga..." ucapnya dengan raut wajah serius.
"Sebenarnya ada masalah apa, kok kelihatannya serius sekali..." kata bu Rahma.
"Begini Salma... tante... sebenarnya aku lagi ada masalah yang serius dengan rumah tanggaku..." kata Nadia dengan wajah sendu.
"Ada apa sebenarnya Nad?" tanya Salma lembut.
"Begini... seperti yang kalian tahu aku dan mas Amran udah menikah lebih dari lima tahun. Dan sampai sekarang kami belum juga diberi momongan..." Nadia menjeda kalimatnya lalu menghela nafas berat.
"Mama mertuaku sudah sering sekali menanyakan soal cucu pada kami... walau sudah sering mas Amran bilang kalau itu rejeki yang diatur oleh Allah tetap saja beliau sering membahasnya." sambungnya.
"Puncaknya kemarin malam saat salah satu saudara jauh mama mengabarkan mempunyai cucu baru. Bahkan mama menyuruh mas Amran untuk menikah lagi agar bisa mendapat keturunan..." tangis Nadia pun pecah.
Wanita mana yang mau jika dirinya diperlakukan seperti itu oleh mertuanya.
"Astaghfirullah... lalu bagaimana dengan suamimu Nad?" tanya bu Rahma sambil mengelus pundak Nadia lembut.
"Mas Amran jelas menolaknya dengan tegas tante... tapi aku tak tahu sampai kapan mas Amran bisa menolak keinginan mamanya..." jelas Nadia masih dengan linangan air mata.
"Lalu apa kamu sudah bilang pada orangtuamu tentang masalah ini?" tanya bu Rahma hati-hati.
"Sudah tante... makanya akhirnya aku kemari...".
"Maksudnya?" tanya Salma tak mengerti dengan maksud perkataan Nadia.
"Sebelumnya aku minta maaf sama kamu Ma... tapi setelah aku berfikir dan meminta saran pada kedua orangtuaku, aku ingin meminta padamu agar kau mau menjadi istri kedua mas Amran..." ucap Nadia sambil menggenggam tangan Salma.
Bagai petir disiang bolong Salma tak menyangka akan mendengar permintaan seperti itu terucap dari bibir Nadia. Tak berbeda dengan bu Rahma, ia tak menyangka jika putri sulungnya itu diminta untuk menjadi istri kedua dan madu dari saudaranya. Ada rasa sakit yang menjalar dihati bu Rahma, dan juga rasa terhina saat putri sulungnya itu seperti dijadikan cadangan pada rumah tangga Nadia. Namun ia masih dapat menahan emosinya apalagi saat dilihatnya Nadia yang seperti orang putus asa. Dengan menghela nafas pelan akhirnya ia dapat menguasai emosinya.
"Tapi apa kau sudah membicarakannya juga dengan suamimu?" kata bu Rahma lagi mencoba mencari peluang untuk menolak permintaan Nadia secara halus.
Sesungguhnya bu Rahma tak rela jika putrinya dijadikan istri kedua, ia tak sanggup jika putri sulungnya itu hidup dengan berbagi suami. Walaupun itu permintaan istri pertama tetap saja orang akan menganggap putrinya itu sebagai pelakor. Selama ini Salma sudah sering menjadi omongan karena belum menikah apa jadinya jika ia menikah dan menjadi istri kedua bukankah nanti orang-orang akan lebih membullynya. Bu Rahma tak ingin hal itu terjadi pada putrinya apalagi Salma itu anak yang baik. Sebagai seorang ibu ia akan berusaha melindungi putrinya.
Nadia masih menangis tergugu, sedang Salma semakin merasa tak enak. Bu Rahma sekuat tenaga menjaga emosinya.
"Nadia .... ini bukan masalah sepele ada banyak kehidupan yang akan terkena imbasnya akibat permintaanmu itu..." ucapnya sambil menghela nafas.
"Jika kau meminta hal yang lain tentu tanpa pikir panjang kami akan langsung mengiyakannya..." bu Rahma menjeda kalimatnya.
Nadia pun terlihat perlahan menghapus air matanya.
"Kau pasti tahu pernikahan bukan permainan yang dengan mudah bisa kau mainkan..." sambungnya.
"Kami memang orang miskin tapi kami juga punya prinsip..." sengaja bu Rahma mengucapkan kalimatnya dengan nada tegas.
Ya kali ini ia tak mau direndahkan baik itu karena mereka miskin ataupun karena status Salma yang dianggap perawan tua.
"Usia Salma memang sudah matang tapi bukan berarti saya sebagai ibunya akan menyerahkannya pada sembarang orang. Apalagi pada pria yang sudah beristri..." ucapnya lagi kali ini dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Maafkan saya tante... permintaan saya memang sangat tidak wajar, tapi sungguh jika saya harus dimadu maka lebih baik Salma yang menjadi madu saya..." ujar Nadia kekeuh dengan keinginannya.
"Saat ini kamu masih dalam keadaan emosi, karena sesungguhnya tak ada wanita yang mau dimadu... sebaiknya kamu pulang saja sekarang" kata bu Rahma mengusir Nadia.
"Tapi tante... apa tidak kita tanyakan dulu pada Salma?" ucap Nadia masih mencoba.
"Salma anak saya... saya tahu dia tidak akan mengambil keputusan apapun tanpa persetujuan saya... jadi lebih baik kamu pulang sekarang mumpung malam belum terlalu larut" kata bu Rahma dengan suara yang sedikit meninggi.
Mau tidak mau akhirnya Nadia pun berdiri dari duduknya dan melangkah kearah pintu. Namun sebelum dia benar-benar keluar dari rumah itu ia masih sempat menoleh ke arah bu Rahma dan Salma.
"Saya harap tante mau memikirkannya lagi...." ucapnya kemudian ia pun pergi.
Sesampainya diluar ternyata sopir pribadinya sudah menunggu di dalam mobil. Dengan cepat ia membuka pintu penumpang dan masuk kedalamnya.
"Kita pulang sekarang pak..." perintahnya pada sang sopir.
Setelah sopir menjalankan mobilnya Nadia mengambil hpnya dan menghubungi seseorang.
"Halo..."
"......"
"Aku belum berhasil membujuk mereka...."
"......"
"Baiklah...."
Setelah mematikan sambungan telepon Nadia pun menyenderkan badannya kebelakang sedang pandangannya menerawang keluar jendela mobil. Dalam pikirannya ia masih mencari cara agar Salma mengabulkan permintaannya.
Sementara setelah Nadia keluar dari rumahnya bu Rahma sudah tak dapat lagi membendung airmata yang sejak tadi ditahannya. Baru kali ini ia merasakan penghinaan yang paling dalam setelah sekian lama ia menahan hinaan orang lain. Salma pun langsung memeluk ibunya airmatanya pun sudah mengalir deras sejak tadi. Ia sangat tahu bagaimana sakitnya hati ibunya saat ini. Dia sendiri pun merasakan sakit hati. Namun Salma yakin rasa sakitnya tak sebanding dengan yang ibunya rasakan saat ini. Bagaimana tidak sebagai seorang ibu yang telah mengandung dan merawatnya dengan sepenuh hati tak mungkin ia rela anaknya dijadikan alat untuk mencetak anak.
"Sudah bu... ibu jangan khawatir, Salma akan selalu patuh pada perintah ibu..."
"Nak... kenapa mereka tega sekali? walaupun kita miskin ibu rasa sejak ibu menikah dengan ayahmu tak pernah satu kali pun kami merepotkan apalagi merugikan mereka." ucap bu Rahma mengungkapkan uneg-unegnya.
"Salma tahu bu... mungkin mereka sedang khilaf..." jawab Salma.
"Nak, hubungi kedua adikmu suruh mereka datang kemari bersama suami mereka"
"Tapi bu..."
"Tidak ada tapi-tapian ... mereka juga harus tahu masalah ini agar mereka bisa memberi saran...".
"Baiklah bu, Salma akan menghubungi mereka sekarang"
Lalu ia pun pergi ke kamarnya untuk mengambil hpnya dan menghubungi kedua adiknya. Bu Rahma memang mendidik anak-anaknya untuk selalu rukun sehingga walau diantara mereka sudah menikah namun mereka tetap dekat dan saling membantu jika ada masalah. Bahkan kedua menantunya pun sudah menganggap mertua mereka seperti ibu mereka sendiri begitu juga dengan Salma yang sudah seperti kakak mereka sendiri.
"Sudah malam bu... lebih baik ibu istirahat saja sekarang..." kata Salma setelah menghubungi kedua adiknya.
"Baiklah nak... ibu memang merasa sangat lelah setelah kejadian tadi" jawab bu Rahma.
Kemudian Salma mengantar ibunya masuk ke dalam kamar baru kemudian dia masuk ke kamarnya sendiri. Di dalam kamar Salma tak dapat memejamkan matanya ... telinganya masih terngiang dengan ucapan Nadia yang menyentil rasa kemanusiaannya. Namun tidak dapat ia pungkiri jika hatinya juga merasa sakit karena merasa diremehkan dengan menyuruhnya menjadi madu Nadia.
"Sebegitu rendahkah pandangan orang padaku sehingga saudaraku sendiri menganggapku begitu gampang menerima pinangan orang tanpa bisa memilih?" ucapnya dalam hati dengan air mata yang terus meleleh membasahi pipinya.
Salma teringat saat masih kecil, ia dan Nadia sangat dekat. Bahkan mereka selalu satu sekolah sejak mereka TK, sebab rumah mereka memang tidak terlalu berjauhan. Hal itu berlanjut hingga mereka masuk SD dan SMP. Bahkan saat masuk SMU pun sebenarnya mereka masih satu sekolah hanya saja mereka masuk dengan jalur berbeda. Jika Nadia masuk dengan jalur biasa sedangkan Salma melalui jalur beasiswa. Sejak masuk SMU itulah mereka jadi jarang berkomunikasi meski mereka masih bertemu karena masih satu sekolah. Namun Salma merasa jika Nadia mulai menjaga jarak dan perlahan menjauhinya. Entah karena apa dan sejak kapan dimulainya hingga akhirnya mereka berdua benar-benar seperti dua orang yang tidak pernah saling mengenal sebelumnya. Hingga akhirnya mereka lulus dan Nadia meneruskan kuliah sedang Salma langsung mencari kerja. Jadi jika saat ini tiba-tiba saja Nadia datang dan meminta hal yang tak biasa padanya membuat hati Salma bertanya-tanya.
Apakah Nadia sudah sebegitu putus asanya sehingga orang yang selama ini tidak ia anggap malah orang yang ia datangi untuk dimintai pertolongan. Hingga larut malam Salma tidak dapat memejamkan matanya karena fikirannya terus melayang kemana-mana. Akhirnya setelah hampir tengah malam Salma akhirnya dapat tertidur. Pagi hari selesai sholat Salma pun bersiap untuk berangkat ke toko tempatnya bekerja. Saat sarapan bersama, bu Rahma mengingatkan agar Salma tidak pulang terlalu sore sebab kedua adiknya akan datang ke rumah. Salma pun menyanggupinya kemudian ia pun berangkat dengan mengendarai sepeda motornya menuju toko tempatnya bekerja.
Selama seharian Salma jadi kurang fokus karena memikirkan masalahnya. Hal ini membuat pemilik toko yang bernama bu Mieke pun menegurnya.
"Salma... bisa kita bicara sebentar" tanyanya saat toko dalam keadaan sepi pelanggan.
Salma pun menganggukkan kepalanya.
"Sebenarnya ada masalah apa sama kamu hingga seharian ini kamu terlihat tidak fokus dalam bekerja?" tanya bu Mieke hati-hati.
"Sebenarnya memang ada masalah keluarga bu... makanya kalau bisa nanti saya ijin mau pulang cepat" terang Salma.
"Hmm... baiklah. Cepat selesaikan masalahmu jadi kamu bisa konsentrasi lagi dalam bekerja" kata bu Mieke.
"Terimakasih bu..." ucap Salma bersyukur karena majikannya mau mengerti keadaannya.
Saat jam menunjukkan pukul 3 sore, Salma pamit untuk pulang pada bu Mieke. Karena paginya sudah minta ijin maka Salma langsung diijinkan pulang oleh bu Mieke. Sesampainya dirumah ternyata kedua adiknya sudah datang bersama suami mereka.
"Assalamualaikum..."
"Waalaikum salam..." jawab mereka serempak.
"Kalian sudah lama datang?" tanya Salma.
"Baru saja kak..." jawab Shania mewakili.
"Ya sudah kakak ganti baju dulu sebentar ..." kata Salma sambil melangkah ke kamarnya.
Selesai berganti baju ia pun langsung menuju ke ruang tamu dimana ibu dan kedua adiknya bersama suami mereka telah menunggu.
"Salma tadi ibu sudah menceritakan semua pada adik dan juga iparmu" kata bu Rahma.
"Lalu bagaimana pendapat kalian?" tanya Salma pada kedua adik dan juga kedua iparnya itu.
"Sebenarnya semua keputusan itu ada ditangan kakak... tapi sebagai adik aku merasa tak rela jika kakak harus menikah untuk jadi istri kedua..." ungkap Sakina dengan wajah yang mulai sendu.
"Iya kak... kakak sudah banyak berkorban untuk keluarga kita, jadi kami ingin yang terbaik untuk kakak" sambung Shania.
"Apalagi orang diluar sana pasti akan berfikir yang tidak-tidak tentang kakak... sungguh kami tidak rela jika mereka merendahkan kakak" tambahnya.
"Kakak tahu dek... kakak juga masih merasa bingung dengan semua ini..." ungkap Salma.
"Kakak tenang saja ... jika kakak memang tidak mau biar kami yang mengatakan pada mereka. Kita tidak berhutang apapun pada mereka jadi kakak jangan merasa tidak enak..." kata Sakina yang tahu sifat kakaknya yang sering merasa tidak enak jika harus menolak permintaan orang lain walau terkadang ia tak terlalu suka.
"Iya kak... kami juga siap menjadi tameng untuk melindungi kalian semua. Jadi jangan merasa takut karena kalian perempuan sebab kami menantu laki-laki yang ada dikeluarga ini akan maju" ucap Danu suami Shania.
"Terima kasih nak... walau kalian menantu tapi kalian seperti anak-anak ibu sendiri" kata bu Rahma yang sudah mulai menitikkan air mata.
Saat mereka masih berbincang tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.
"Assalamualaikum..."
"Waalaikum salam..." jawab mereka.
Lalu Salma pun segera membukakan pintu. Alangkah terkejutnya ia saat didepannya sudah berdiri om Karno ayah Nadia. Terlihat wajahnya yang sangat panik.
"Salma... saya mohon ikut saya ke rumah... Nadia berusaha untuk bunuh diri..." terangnya dengan nafas terengah.
"Maksudnya?" tanya bu Rahma yang sudah berada dibelakang Salma.
"Ya mbak... Nadia mengurung dirinya di kamar sejak semalam. Dan sejak pagi di bujuk oleh ibunya namun tetap tak mau keluar bahkan ia mengancam akan bunuh diri jika Salma tak mau menemuinya...".
"Tapi..." ucap Salma kebingungan.
"Udah ayo kita kesana..." kata bu Rahma yang tahu keraguan putrinya.
Maka mereka pun bergegas pergi ke rumah pak Karno. Sesampainya di depan rumah terlihat ibu Nadia yang mondar-mandir menunggu kedatangan mereka.
"Cepatlah kalian masuk ... tolong bujuk Nadia agar dia tidak nekat" ucapnya sambil menarik tangan Salma ke dalam rumah.
Mereka semua pun masuk ke dalam rumah dan segera menuju kamar Nadia.
"Nad... Nadia... ini aku... Salma. Tolong buka dulu pintunya..." kata Salma sambil mengetuk pintu kamar.
Tak ada jawaban dari dalam kamar.
"Nadia... tolong buka pintunya .... mari kita bicarakan dulu baik-baik ..." sambung Salma tak mau menyerah.
Tak lama pintu kamar pun terbuka dari dalam. Tampak Nadia dalam kondisi tak karuan, rambut panjangnya terlihat awut-awutan sedang wajahnya tampak sembab akibat menangis dari semalam.
"Tolong Nad... ijinkan aku masuk ... "
Nadia pun mundur kebelakang dan berbalik melangkah kearah tempat tidurnya. Lalu ia pun duduk di tepi tempat tidur.
"Kamu jangan begini Nad... kasihan kedua orangtuamu, mereka sudah tua jangan kau tambah beban pikiran mereka..." kata Salma sambil duduk di sisi tempat tidur depan Nadia.
"Tak ada gunanya aku hidup Ma... ibu mertuaku pasti akan memaksa mas Amran untuk segera menikah lagi..." isaknya.
"Aku faham Nad... tapi bukan begini jalan keluarnya..."
"Tapi kau tak mau menolongku... siapa lagi yang dapat membantuku..."
Salma menoleh kearah keluarganya yang masih berdiri diambang pintu, lalu ia pun menghela nafas pelan.
"Tolong beri aku waktu untuk memikirkannya... tapi kau juga harus janji tak akan melakukan hal-hal yang nekat..."
" Baiklah... tapi jangan lama-lama dan aku harap jawabanmu itu iya..."
Salma hanya bisa tersenyum lemah karena terus terang saja saat ini dia belum bisa berfikir jernih.
"Baiklah kalau begitu aku permisi pulang dulu... kamu makan dulu ya kata ayahmu sejak pagi kau belum makan"
Nadia pun hanya mengangguk. Setelah itu Salma dan keluarganya pun pamit pulang pada kedua orangtua Nadia. Selama perjalanan pulang mereka hanya terdiam sibuk dengan fikiraan mereka masing-masing. Sesampainya di rumah bu Rahma mereka pun langsung masuk ke dalam dan duduk di tuang tamu. Sesaat mereka masih terdiam. Terus terang tak ada yang menduga jika Nadia bisa sefrustasi itu. Mungkin jika mereka terlambat datang... entah apa yang akan dilakukan Nadia mereka semua tak ada yang berani membayangkannya.
"Kak... kakak yang sabar ya.. fikirkan semua baik-baik jangan sampai kakak jadi ikut tertekan..." kata Shania sambil menggenggam tangan kakaknya itu.
Begitu juga Sakina yang langsung memeluk kakaknya dari samping.
"Shania benar bu... kita tidak boleh gegabah... apalagi menghadapi Nadia yang sepertinya mulai depresi" kata Agung suami Sakina.
"Kalian benar...kita memang harus hati-hati jangan sampai ada nyawa yang melayang" kata bu Rahma akhirnya.
Salma pun hanya bisa terdiam karena saat ini fikirannya masih dipenuhi dengan berbagai pertanyaan yang akan menentukan masa depannya kelak.
"Sudah sore lebih baik kita sholat berjamaah agar fikiran kita jadi tenang" usul bu Rahma yang langsung disetujui oleh anak dan menantunya.
Selesai sholat mereka pun berbincang sebentar sebelum akhirnya Shania dan Sakina pamit pulang beserta suami mereka. Setelah mereka pulang tinggal bu Rahma dan Salma yang jadi sering diam.
"Nak ... kau sholatlah minta petunjuk pada Allah... agar semoga pilihanmu nanti itu yang terbaik untuk semua..."
"Baik bu... Salma akan melakukannya" lalu bu Rahma langsung memeluk putri sulungnya itu dengan erat.
"Semoga Allah memberimu petunjuk yang terbaik nak... dan kau akan menemukan kebahagiaan. Seperti kata adik-adikmu, kau berhak untuk hidup bahagia..." do'a bu Rahma dalam hati.
Seperti kata ibunya Salma pun melakukan sholat istikharoh agar ia diberikan kemantapan hati dalam mengambil keputusan, agar dapat memberikan keputusan yang terbaik untuk semua termasuk untuk dirinya sendiri. Bukankah tidak salah jika dia juga ingin mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya nanti. Entah itu dengan Amran atau orang lain yang mungkin telah disiapkan untuk jadi jodohnya kelak oleh Allah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!