Wanita Pilihan CEO
Oleh Sept
Hotel Asthon, Jogyakarta.
Seorang wanita berjalan sempoyongan menuju salah satu bilik toilet di sebuah hotel bintang lima yang megah. Alexa Hutama, sang anak haram dari keluarga Hutama yang kehadirannya sangat tidak dianggap. Alexa bagai aib, seperti noda. Kehadirannya hanya merusak citra keluarga.
Gadis yang kelahirannya tidak diharapkan sama sekali itu, kini sudah beranjak dewasa. Ia tumbuh dan memiliki paras yang sangat menawan. Cantik dan memiliki daya tarik tersendiri. Tapi, sekarang gadis itu malah berjalan sambil tertatih, hampir saja ia jatuh terjerembab ke lantai kalau tidak berpegang pada dinding di sebelahnya. Akhirnya, setelah susah payah berjalan. Ia pun sampai di dalam salah satu bilik.
Ingin menenangkan diri sejenak, Alexa memilih duduk di atas closet yang masih tertutup. Ia memijit pelipisnya, kepalanya pusing, perutnya mual seperti diaduk-aduk.
"Sial!" Gadis itu memaki dan merutuk, sorot matanya menatap tajam ke depan. Alexa bangkit, ia berpegang pada apa saja yang bisa ia buat tumpuan. Kemudian melihat pantulan dirinya dengan rasa benci yang dalam. Alexa menatap cermin seperti musuh.
Tangannya menyalahkan keran air, membiarkan wajahnya basah sempurna. Ia harus segera mendapatkan kesadarannya lagi. Sembari membasuh wajah, kembali ia merutuk kesal.
"Argggh!"
Bibirnya yang merah menggoda perlahan terangkat, Alexa kemudian tersenyum kecut. Menyadari ia sedang dijebak, untung saja ia bisa menghindar. Namun, tubuhnya masih terasa amat lemas. Entah apa yang dimasukkan ke dalam minuman yang sudah ia minum beberapa saat lalu.
Tap tap tap
Tiba-tiba terdengar derap langkah yang semakin mendekat, Alexa menajamkan telinga, kemudian bersikap siaga. Takut bila orang yang sudah menjebak dirinya yang datang.
Klek
"Astaga!" Alexa yang masih merasa pusing, memegangi dadanya. Ia terhenyak menatap siapa yang datang. Jantungnya hampir lepas karena was-was yang berlebihan.
"Kamu nggak apa-apa?" Jessy mendekat. Teman baiknya itu merasa khawatir dengan kondisi Alexa. Ia berjalan ke arah Alexa yang nampak kacau tersebut.
"Oles ini," Jessy mengulurkan sebotol minyak. Berharap akan bisa meredakan rasa tak nyaman pada temannya itu. Jessy sepertinya bisa menebak, kalau Alexa sudah dijebak.
"Terima kasih," ucap Alexa kemudian mengoles benda itu pada perut dan pelipisnya.
"Aku bilang juga apa, terlalu beresiko datang ke tempat seperti ini."
"It's okay! Aku nggak apa-apa, kamu gak usah khawatir," ucap Alexa yang melihat penyesalan pada wajah teman baiknya itu. Bagaimana pun juga ini tidak ada kaitannya dengan Jessy. Anggap saja ia sedang kena apes, ketemu pria hidung belang yang mau menjebak dan menyeret dirinya ke ranjang.
Untung saja, sekarang Alexa bisa lolos. Meski dengan tubuh yang masih lemas. Telat sedikit, mungkin ia akan menyesali karena masuk kandang singa dengan suka rela.
"Kamu balik aja, aku beneran udah nggak apa-apa." Alexa menepis tangan Jessy yang memegangi tubuhnya.
Jessy nampak ragu. Namun, ia juga memiliki sesuatu yang harus ia kerjakan.
"Beneran kamu nggak apa-apa kalau aku tinggal?"
"Hemm!" Alexa mengangguk, yang artinya tidak masalah ia ditinggal sendirian.
"Beneran, aku tak apa," tambah Alexa yang menangkap mimik penuh ragu Jessy.
Karena Alexa memaksa, akhirnya Jessy pun memutuskan keluar. "Hati-hati ya,"
Setelah mengatakan itu, Jessy bangkit. Gadis itu keluar dari bilik. Tapi, apa yang terjadi. Baru melangkah, ia malah dikejutkan dengan kehadiran sosok yang menakutkan.
"Gawat! Kalau sampai Austin tahu, mati aku!" batin Jessy melihat kekasih Alexa yang mendekat ke arahnya.
Dengan tatapan dingin dan mencekam, Austin berjalan melewati Jessy. Sepertinya ia tidak akan membiarkan Jessy. Tapi, ada yang lebih penting. Ia harus mengurus Alexa terlebih dahulu.
"Aduh ... bakal ada perang!" pikir Jessy, ingin melarikan diri. Begitu Austin memeriksa tiap bilik, buru-buru Jessy kabur.
Klek
Alexa muncul dari balik pintu dengan manik mata yang menajam.
"Ish!" Ia mengumpat, mengapa pria itu ada di sini? Mengapa ia datang di saat yang kurang tepat. Cemas, panik, Alexa meremas jari-jarinya.
"Kok bisa ke sini?" Alexa memaksa senyum palsunya.
Austin menjentik puntung rokok dengan santai, ia memindai seluruh bagian tubuh Alexa. Terlihat kacau, wajah pria itu pun berubah mengeras.
"Apa lagi yang mau kamu lakuin kalau aku ngak datang? Habis nemanin minum, mau nemanin tidur?" sindir Austin dengan sarkas. Menusuk tepat sasaran. Menyisahkan nyeri di relung hati Alexa yang paling terdalam.
Alexa menelan ludah dengan kasar, setelah itu ia berkata dengan nada sabar dan sedikit membujuk, "Mana berani aku."
Austin mendekat, ia langsung merangkul pinggul Alexa, lalu menahannya di atas wastafel sambil menatap wajahnya yang menawan dan sepasang kaki jenjang yang putih mulus, memang sesuai julukannya sebagai wanita tercantik di kota Yogyakarta. Tapi, dandanannya secantik ini justru untuk menemani orang lain minum-minum. Austin jelas merasa geram menahan amarahnya.
"Singkirkan itu," Alexa menatap rokok yang semula Austin hisap.
Austin lantas melempar rokok yang masih menyalah itu ke dalam tong sampah di sisihnya. Gadis itu selalu protes bila ia merokok, tapi ia tidak peduli.
"Katakan! Mengapa kamu ada di sini?"
Sekarang ganti Austin yang bertanya.
"Ah ... itu," Alexa terlihat kesulitan memberikan penjelasan. Ia takut bila kekasihnya tahu rencana apa yang ia lakukan.
"Katakan!" bisik Austin di telinga sang gadis.
Alexa bergidik ngeri, tak kala jari-jari Austin mulai menjalar dan menyusuri leher jenjangnya. Seperti sebuah isyarat, Austin ingin jawaban pasti.
"Ini tentang kompetisi mengambar waktu itu," ucap Alexa dengan ragu. Ia pikir Austin tidak akan ingat hal itu, sebab beberapa waktu lalu, ia meminta dukungan pada kekasihnya tersebut. Namun, Austin terlihat acuh dan tidak peduli.
Alexa salah sangka, ia bicara mengenai kompetesi di saat kurang tepat. Waktu itu Austin yang merupakan pimpinan perusahaan besar sedang meeting. Mana bisa Austin fokus pada dua hal yang bertolak belakang. Ia hanya sekedar mengiyakan, tapi tak terlalu tanggap tentang apa yang kekasihnya ucapkan.
Keduannya berada pada hubungan yang miss understanding.
"Jadi kamu ke mari untuk mencari sponsor?" tebak Austin yang langsung terpancing. Ia sudah menahan marah sejak tadi karena melihat Alexa minum bersama pria lain, sekarang dia malah mengetahui alasan Alexa ke sini. Jelas saja emosi pria itu langsung meluap.
"Bukan, bukan seperti itu."
Alexa langsung menempelkan kepalanya di dada bidang Austin. Ia mencoba merayu sang kekasih.
"Aku hanya ingin bertemu dan meminta ijin langsung agar aku bisa lolos ikut kompetesi itu. Tidak ada yang lain, hanya agar pihak mereka memperbolehkan aku ikut. Itu saja, tidak lebih."
"Lalu apa aku harus percaya? Lihat ini!" Austin mencium bau minuman yang menyengat dari mulut Alexa.
Reflek, Alexa melepas pelukannya. Ia kemudian ke wastafel. Membasuh wajahnya berkali-kali, gadis itu mencoba mencuci mulutnya, mencoba menghapus aroma minuman yang masih menyengat.
Melihat itu, Austin menarik pinggang Alexa.
"Cukup!" serunya pada sang wanita.
"Kamu pasti marah?"
"Mana bisa aku marah padamu!"
Austin langsung merampas bibir yang masih basah itu. Terasa dingin dan semakin lama makin hangat. Ia menyesapnya dengan dalam, dan ini adalah hukuman pertama untuk Alexa. Bersambung.
Baca juga novel Sept yang lain
Dinikahi Milyader
suami Satu Malam
Dipaksa Menikah
Wanita Pilihan CEO
Dea I love you
Kanina Yang Ternoda
cinta yang terbelah
menikahi pria dewasa
Pernikahan Tanpa rasa
The Lost Mafia Boy
Menikahi pria Cacat
suamiku Pria Tulen
dokter Asha and KOMPOL Bimasena
crazy Rich
selengkapnya kalian bisa klik profile Sept
Terima kasih
Wanita Pilihan CEO
Oleh Sept
Rate 18+
Alexa kira malam ini ia akan berakhir, ternyata salah. Ia melihat Austin dengan tatapan memelas, amarah Austin pun mendadak pudar dan menghilang. Ciuman panas barusan, nyatanya bisa meleburkan amarah pada sang kekasih.
"Aku mau pulang," ucap Alexa dengan lirih. Ia mengigit bibir bawahnya, sedikit terasa perih. Sepertinya Austin sempat mengigit bibirnya.
Tidak mau sang kekasih kembali marah, Alexa mengambil kesempatan untuk bermanjaan, dia berbaring di pelukan Austin dan mengatakan sakit maag.
"Ada yang salah dengan perutku," tambah Alexa dengan nada manja dan merajuk.
Austin menggendong Alexa, gerakannya lebut, tapi mulutnya masih saja pedas.
"Pulang, kalau lain kali masih berani minum kayak gini, kupatahkan kakimu."
Mendengar peringatan Austin, Alexa langsung menelan ludah dengan kasar. Gadis itu kemudian bersandar dengan patuh di dada si pria, rambutnya menyelimuti lengan siku Austin seperti sepotong sutra berkualitas, suasana hati Austin sangat baik. Kali ini ia akan mengampuni Alexa, tapi tidak lain kali.
Sesaat kemudian, ketika mereka keluar, Austin menghampiri dan memperingati Jessy dengan nada datar
"Alexa tidak bisa minum, lain kali jangan bawa dia datang ke perjamuan seperti ini!" ucap Austin dengan wajah dingin dan nampak serius.
Tentu saja Jessy dibuat ketakutan hingga buru-buru menggangguk. Ia sampai tidak berani menatap sorot mata yang menyalak marah tersebut.
Lobby hotel, Alexa terus memegangi perutnya yang terasa perih. Melihat hal itu, Austin berinisiatif membopong sang gadis.
"Turunkan aku, mereka melihat Kita!" ucap Alexa sembari bisik-bisik. Ia dapat merasakan bahwa sekarang menjadi pusat perhatian, karena seorang pria membopong tubuhnya.
"Sudah! Diam saja!"
Beberapa langkah kemudian, mereka sudah berada di depan sebuah mobil keluaran terbatas. Hanya ada beberapa di seluruh belahan dunia. Tidak meragukan lagi, karena Austin memang salah satu dari keluarga konglomerat di kota Jogyakarta. Keluarganya sangat terpandang dan sering wara-wiri di sampul majalah bisnis. Salah satu jajaran pembisnis 20 besar di Asia.
"Sedikit lebih cepat," seru Austin pada driver pribadinya.
Karena maag Alexa kambuh, Austin meminta supir untuk menyetir secepatnya kembali ke vila di pinggiran kota.
Rainbow Garden, sebuah vila yang tersembunyi. Kemewahan yang tersimpan dengan rapi. Alexa tinggal di sini, tapi tidak dengan Austin, Alexa juga tidak tahu di mana Austin bermalam saat tidak tidur dengannya, dia juga tidak ingin tahu.
Ketika mereka sampai, Austin menggendong Alexa yang masih sedikit mabuk masuk ke dalam vila dengan wajah masam, Bi Wati yang memasak sangat ketakutan, terakhir kali saat Austin pergi dia berpesan pada Bi Wati untuk menjaga Alexa baik-baik, dengan kondisi Alexa yang sekarang, dia takut Austin akan menyalahkannya.
"Ya ampun, bagaimana kalau tuan Austin marah?" batin Bi Wati dengan dada yang sudah dag dig dug karena takut.
Alexa menyadari ketakutan di wajah Bibi, ia lantas berkata dengan suara lembut, "Tin, kamu nakutin Bi Wati tuh."
"Bikinkan sesuatu agar mabuknya hilang, juga bubur!" titah Austin dingin.
Austin tak menyahut candaan Alexa, ia hanya mengatakan pada Bibi Wati untuk membuat sup penghilang mabuk, dan juga bubur bubur untuk kekasihnya itu.
Melihat Austin yang sepertinya tidak mau diajak bergurai, Alexa pun terdiam. Ia berbaring di sofa dengan patuh dan membiarkan Austin memijat bagian lambungnya sesekali.
"Jangan lakukan lagi!" ucap Austin yang terdengar seperti sebuah ancaman.
Sadar memang sudah bersalah, Alexa pun menundukkan wajah dalam-dalam. Ia tidak membantah, itu hanya akan semakin memperkeruh keadaan. Sedangkan Austin, ia terus saja menatap Alexa dengan intense. Barulah saat ini Austin mengagumi dandanan glamour Alexa malam ini di bawah terang lampu, emosinya perlahan menggebu, lalu menggendong Alexa menuju ke kamar.
"Bagaimana dengan buburnya?" sela Alexa saat mereka menuju ke kamar.
Tidak menjawab, Austin terus saja menapaki lantai vila hingga sampai di depan pintu kamar.
Bukkk
Pria itu meletakkan tubuh Alexa tepat di tengah ranjang yang lebar tersebut. Sebuah ranjang yang menjadi saksi bisu mereka selama ini. Alexa selalu memenuhi permintaan Austin, dia sangat bekerja sama di ranjang dan berusaha memuaskan Austin. Seperti budak cintanya, Alexa tidak pernah bilang tidak atau pun menolak.
"Apa kau mencintaiku?" tanya Alexa dengan mata sendu. Ia menatap penuh harap pada pria yang kini berada di atasnya.
"Bicara apa kamu ini? Apa semua ini belum cukup?"
Austin merasa kata cinta tidak penting, setelah apa yang mereka lakukan selama ini.
"Aku hanya ..." kata-kata Alexa mengantung di udara. Ia tersentak kaget karena tiba-tiba Austin menyentaknya cukup keras.
"Bagaimana? Apa ini belum cukup?"
Alexa langsung memukuli dada lebar dan bidang tersebut.
"Sakit!" rintihnya lirih.
"Anggap ini hukuman dariku, awas saja kalau berani minum dengan pria lain ... aku rasa kamu nggak bisa memikirkan hukuman apa yang akan aku berikan."
Alexa langsung menekuk wajahnya, Austin selalu mengintimidasi. Dan gadis itu selalu kalah tak bisa melawan.
Melihat wanitanya masam, Austin mencoba bermain-main lagi. Belum puas rasanya bila hanya sekali atau dua kali. Keduannya pun kembali melakukan malam gila yang bergejolak dan membara.
Beberapa jam kemudian.
Saat mandi setelah selesai berhubungan, ponsel Austin di luar terus berdering, dia berjalan keluar, Alexa keluar dengan balutan handuk sambil memegang bagian lambungnya yang sakit tanpa memakai alas kaki, dan tanpa sengaja ia mendengar suara wanita dari seberang telepon, "Kak Austin, aku lagi di rumah sakit Harapan..."
Seketika aura suram menyelimuti hati Alexa. Ia sangat membenci moment seperti ini. Austin dan wanita lain! Perlahan, tangan Alexa mengepal menahan marah.
Apalagi dilihatnya Austin bergegas memakai pakaian, sudah pasti pria itu akan meninggalkan dirinya setelah apa yang mereka lakukan barusan.
"Kamu mau ke mana?" Alexa mendekati Austin. Memeluk pria itu dari belakang, seolah menahan agar Austin tidak pergi malam ini.
Austin melirik sekilas ke arah belakang tubuhnya, pria itu lantas berucap, "Hanya sebentar!"
"Mau bertemu siapa?" Alexa kembali bertanya. Ia masih penasaran, wanita mana yang membuat Austin langsung berbeda seratus delapan puluh derajat.
Austin tertegun, pria itu tidak mau menjawab pertanyaan dari Alexa.
"Kenapa? Sepertinya kamu penasaran sekali?" tanya Austin balik.
"Ah ... tidak, bukan apa-apa."
Pria itu tersenyum kecut, "Oke, benar-benar tidak apa-apa, kan?" batin Austin.
Sedangkan Alexa, wajahnya nampak gelisah. Tapi, enggan meminta pada Austin agar tetap tinggal. Entah gengsi yang tinggi atau ia berharap Austin bisa menyadari tanpa ia mengutarakan isi hatinya. Berharap pria itu bisa membaca hatinya dengan benar.
Sementara Austin, pria itu tidak suka main tebak-tebakan. Ia tidak suka menebak-nebak, harusnya Alexa katakan untuk tetap tinggal, maka ia bisa mempertimbangkan, tetap pergi atau tinggal. Pria itu kesal, karena Alexa tidak memohon padanya untuk tetap tinggal. Bersambung.
Wanita Pilihan CEO 3
Oleh Sept
Rate 18+
Hubungan tanpa kejujuran dan sikap terbuka, rawan akan gagal di tengah jalan. Selama ada yang ditutupi dan disembunyikan, hubungan itu akan berjalan dengan tak sehat. Sepertinya jalinan asmara antara Alexa dan Austin.
Malam ini Alexa memilih tidak menahan Austin untuk pergi. Wanita itu hanya pasrah pada keadaan, tidak mau berjuang dan mengatakan apa yang ia rasa. Alexa tersenyum masam di balik punggung sang kekasih, ada getir dalam senyum yang dipaksakan tersebut. Sepertinya, ia tidak bisa menahan pria itu malam ini. Gengsi gadis itu mengalahkan inginnya, alhasil ia pun harus kalah, atau lebih tepatnya memang mengalah.
Sesaat kemudian, Alexa pun melepas pelukannya, lalu berjalan mundur. Ia melangkah menuju lemari pakaian, berniat untuk berganti baju tidur, kemudian turun ke lantai untuk menyiapkan sepatu Austin dengan perhatian dan menunggunya mengganti sendal.
Austin tahu wanita ini lagi-lagi sedang pura-pura patuh, Alexa selalu saja memperlihatkan wajah patuh padanya yang malah membuatnya menjadi marah, Alexa tidak akan mengatakan sepatah katapun untuk memintanya tinggal, keinginannya untuk bermalam juga hilang semua.
"Aku nggak pulang malam ini," ucap Austin sembari memakai sepatu.
Alexa juga mengiyakan saja. Ia memasang senyum palsunya lagi saat melepas kepergian Austin. Tak disangka, pria itu menutup pintu cukup kencang.
Bruakkk
Terdengar suara pintu vila dibanting cukup keras, Austin pergi. Kini hanya ada dirinya dan bibi di vila itu. Beberapa saat kemudian, bi Wati datang. Ia mengantarkan sup dan bubur, meminta pada Alexa untuk memakannya.
"Non, ini buburnya." Bi Wati memperhatikan Alexa yang diam saja.
"Taruh di sana saja, Bi!" Wanita itu menunjuk ke arah meja. Seolah tidak mau memakan makanan itu.
Selera makannya sudah hilang beberapa saat lalu.
"Tapi, Non ... kata Tuan Austin ..." Bibi terus saja memaksa agar Alexa mau makan.
"Tuan nggak ada di sini! Bawa pergi!" sentak Alexa dengan kasar.
Bi Wati agak aneh dengan amukan Alexa, sejak sebulan lalu Alexa dibawa tinggal di sini oleh tuan mudanya, Alexa selalu saja tersenyum, cantik, dan punya temperament yang cukup ramah dan baik.
"Ba ... baik Non," Bibi pun buru-buru pergi. Tidak mau kena amuk oleh Alexa lagi.
Melihat bibi pergi, Alexa menghela napas dengan kesal. Alexa lalu kembali ke kamarnya, masih ada aroma badan Austin di bantal dan kain sprai, baru saja menidurinya, pria itu langsung pergi setelah menerima telepon dari orang lain. Alexa marah, tapi pandai mengatakannya.
Tiba-tiba ia teringat masalah kompetisi desain, dan si Austin masih belum menyelesaikan untuknya. Wajah kecewa Alexa makin tergambar sempurna.
Dengan frustasi, Alexa meremas kain seprai yang ia duduki. Ia ingin marah. Namun, tidak berdaya. Alexa sungguh tidak senang malam ini, pikirannya kalut, dia pun mengeluarkan lagi botol alkohol terbaik milik Austin dari dalam lemari, lalu menghabiskannya sambil duduk di balkon, dia menghadap langit dan memarahi serta memaki Austin, pria brengsek ... Austin jahat dan Austin yang dingin.
"Pria brengsek!" maki Alexa dengan keras. Matanya menatap kosong pada langit gelap.
Mulai mabuk, botol alkohol terlepas dari tangannya, jatuh di atas batu dan menjadi berkeping-keping. Seperti itulah gambaran hati Alexa malam ini, hancur tak berbentuk. Cukup lama ia di luar sana, menikmati rasa sepi yang dingin. Angin malam di musim hujan sangat dingin menusuk, Alexa mabuk hingga tertidur di balkon dalam balutan baju tidur.
Dalam tidurnya, ia masih mengalami hal buruk. Bayangan keluarga yang menatap tak suka dan menganggap ia sebagai aib yang pantas dihilangkan, membuat tidurnya terlihat gelisah.
Dahinya dipenuhi bulir keringat, mimpi buruk yang sama dan berulang. Alexa mengalami banyak hal buruk, baik di dunia nyata maupun dalam mimpinya yang semu itu.
Pagi hari, cahaya lembut matahari pagi menerpa kulit halus Alexa. Terasa hangat saat cahaya itu menyentuh kulitnya. Gadis itu mengerjap, dilihatnya matahari yang sudah mulai meninggi. Suara cuitan burung menambah suasana tenang di vila itu. Namun, semua jadi terusik ketika terdengar suara ketukan pintu.
Tok tok tok
Alexa menoleh pada pintu kamarnya, ia tidak menyangka akan tertidur di balkon.
"Ish!" ia meringis ketika tidak sengaja kakinya menyentuh serpihan botol alkohol yang pecah semalam. Dengan tertatih, Alexa berjalan menuju pintu.
Klek
Alexa membuka pintu kamarnya.
"Non, sarapan sudah siap."
Bibi Wati mengamati mata sembab Alexa, ia rasa gadis itu habis menangis semalaman.
"Aku nggak lapar, Bi!"
Klek
Alexa langsung menutup pintu kembali, setelah itu ia berjalan ke arah ranjang. Merebahkan tubuhnya, tidak peduli pada telapak kakinya yang terus mengeluarkan darah karena terkena serpihan kaca.
Ia memilih memejamkan mata, melupakan riak sendu yang mengusik sejak semalam. Kepalanya juga terasa masih pusing, ia memutuskan untuk tidur saja. Berharap ketika membuka mata, Austin sudah ada di sisinya.
Beberapa saat kemudian.
Terlihat Austin menatap marah pada Bi Wati.
"Apa saja yang Bibi lakukan di vila ini?" cibir Austin yang sudah kembali. Ia marah setelah melihat kondisi Alexa.
"Aku tidak apa-apa," Alexa menarik kakinya, ketika Austin mencoba memeriksanya sendiri. Ia tidak suka Austin memarahi bibi karena semua salahnya.
Di atas kain seprai itu terdapat noda darah dari kaki Alexa yang sempat berdarah saat pagi tadi. Namun, karena dikuasai oleh rasa mabuk, Alexa tak begitu merasakannya. Ia memilih tidur sampai sore menjelang. Rasa sakit itu tidak terasa, karena hatinya jauh lebih sakit.
Begitu Austin datang, pria itu sangat marah dan diliputi rasa cemas. Darah dari mana itu? Ketika menyadari ada pecahan botol alkohol di balkon kamarnya, Austin memejamkan mata menahan amarah. Ia mendesis kesal, susah sekali mengerti seorang gadis seperti Alexa.
"Aku bilang kamu nggak bisa minum!" ujar Austin ketika mereka hanya berdua di dalam kamar.
"Aku nggak sengaja menginjaknya." Alexa bersikeras ia tidak apa-apa.
"Kamu mulai tidak mematui ucapanku." Austin mencengkram kedua bahu Alexa. Bukan masalah luka itu, tapi tentang Alexa yang terus menyetuh alkohol. Gadis itu boleh minum, tapi harus bersamanya.
"Semalam aku nggak bisa tidur," Alexa mencari alasan agar pria itu amarahnya mereda.
"Apapun alasannya, aku sangat tidak menyukainya. Awas saja kalau kau kembali melangar. Kamu tahu? Hukuman apa yang pantas didapatkan oleh orang yang berkali-kali melangar aturan dariku?"
Alexa beringsut, ia menelan ludah dengan kasar. Tatapan mata itu, membuat dadanya naik turun. Austin menyeringai bagai srigala lapar. Apa mereka akan berakhir di atas ranjang kembali?
"Semalam aku tidak bisa tidur!" Alexa mundur saat Austin melangkah ke arahnya.
Austin semakin dekat, dan Alexa sudah tidak bisa lagi bergerak, ketika pria itu sudah mengunci seluruh ruang geraknya. Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!