Rembulan semakin meninggi, Sashi menatap pantulan ciptaan Tuhan yang begitu indah tersebut dari kolam ikan tepat di bawah balkon kamarnya. Dingin malam agaknya sama seperti malam-malam sebelumnya, tapi tidak dirasa Sashi, semua seakan berbeda saat sapuan angin itu menyentuh kulitnya. Seolah tajam dan menusuk hingga pori terdalam. Ya … hal tersebut telah dirasa Sashi selama 5 bulan ini.
Lima bulan ini memang Aric sang suami kerap pulang terlambat, dini hari bahkan. Berbagai alasan dilontar menjadi alasan, pengecekan bahan yang baru tiba, pertemuan dengan rekan bisnis, mengatasi truk pengangkut kayu yang tertahan polisi, bertemu rekan lama, juga yang beberapa hari lalu diucap adalah mobilnya mogok dan tak memperoleh bengkel.
Sashi memang bodoh … memilih menjadi bodoh tepatnya. Ia lebih memilih mempercayai Aric ketimbang meragukan cinta pria itu. Bagaimana tidak, bahkan waktu telah merubah lelakinya. Aric yang dingin perlahan berubah menjadi hangat. Cinta yang tak pernah ada, kini tampak jelas rasa itu. Hanya satu yang ia benarkan, lelakinya sering pulang terlambat!
Hati itu bergemuruh, setelah sore tadi seorang pria datang, dia yang tak asing dan pernah tinggal tak jauh dari rumahnya mengatakan hal macam-macam mengenai suaminya …
Flashback
"Mbak … ada pak Bagas di luar?" Sumi sang ART menghampiri dengan tergopoh.
Sashi bangkit dari duduknya sambil meraih Shiza bayi mungil berusia 6 bulan dalam dekapnya. Ia turun ke lantai bawah menuju tempat sang tamu menunggunya.
Dilihat lelaki seusia suaminya yang seketika berdiri menangkap kehadirannya. Dianggukkan kepalanya ke arah Sashi sebagai salam penghormatan. Sashi membalas anggukan itu. Mereka duduk.
"Mas suaminya mbak Aruna, kan?" lontar Sashi dengan sebelah bibir terangkat. Lelaki itu pernah menjadi tetangganya dan Sashi tahu betul ia sering berbuat kasar pada istrinya. Hal itu yang membuat raut tidak suka Sashi.
Lelaki itu mengangguk.
"Bagaimana kabar mbak Aruna? Dan ada apa Mas ke sini?" tanya Sashi lagi datar.
"Kami sudah bercerai, Mbak. Aruna sekarang tinggal di rumah megah, hidupnya sudah berubah, sudah menikah lagi dengan pria kaya!" ujarnya.
"Oh, alhamdulillah kalau begitu, saya ikut senang. Mas sendiri ada perlu apa ingin bertemu saya?" ucap Sashi sembari membetulkan posisi Shiza yang tampak sibuk memasukkan mainan plastik ke mulutnya.
"Begini Mbak … kedatangan saya kesini untuk memberitahu mengenai suami baru Runa."
"Apa hubungannya dengan saya? Mengetahui mbak Runa sudah bahagia dan jauh dari lelaki kasar seperti Mas itu cukup untuk saya. Siapa suaminya, saya rasa itu bukan urusan saya," lugas Sashi.
"Tidak Mbak. Semua juga urusan Mbak! Menyangkut rumah tangga Mbak!" Alis itu terangkat. Sashi semakin tidak paham dengan yang diucapkan Bagas.
"Tolong jelaskan dengan jelas, saya tidak suka menerka!" Walau hatinya tidak suka dengan lelaki di hadapannya, juga dengan hal yang disampaikan. Tapi kata 'rumah tangga mbak', membuat rasa penasaran itu muncul.
"Pak A-ric, ayah anak Mba-k i-tu … ia diam-diam telah bermain di belakang Mbak! Ia telah menikah lagi dengan Aruna!"
Mata Sashi terbelalak. "Mas jangan asal bicara, ya! Saya bisa melaporkan Mas pada polisi atas tuduhan Mas yang tidak mendasar pada suami saya!" Wajah Sashi gusar, ia sungguh tidak menyangka lelaki yang pernah bertetangga dengannya dan sering dibantu hidupnya itu kini menuduh suaminya dengan hal yang menjijikan.
"Saya sungguh-sungguh dan tidak mengada-ada, Mbak!"
"Kalau semua yang ingin disampaikan sudah selesai. Mas bisa pergi dari rumah saya!"
"Mbak … mbak harus percaya saya!" Wajah itu memelas, Bagas berusaha keras meyakinkan Sashi.
"Percaya pada Mas? Apa saya tidak salah dengar? Pria tukang mabuk, tidak bertanggung jawab pada keluarga dan sering menyakiti fisik istri serta anaknya?" Melihat nada keras Sashi, Shiza menangis. Sashi langsung berteriak memanggil seseorang.
"Bik Sumii …!"
"Iya, Mbak?"
"Tolong tenangkan Shiza di kamar, Bik." Tak berselang lama ART dengan bayi mungil Sashi tak terlihat.
Bagas yang sejak tadi menahan bicara kembali bersuara. "Mbak … Mbak Sashi harus mendengar saya. I-ni … ini bukti perselingkuhan Pak Aric dan Aruna. Mbak bisa melihat dan menyimpulkan sendiri apakah perkataan saya dusta atau justru sebaliknya!"
Tangan lelaki dengan amplop coklat itu terjulur ke arah Sashi namun tak ditanggapi. Sashi membuang wajah. Ada rasa takut di sana! Takut semua ucapan Bagas benar! Mengenai Aric yang telah berubah dan bisa mencintainya, nyatanya memiliki wanita lain selain dirinya.
"Tidak … aku harus percaya pada Kak Aric!" batin Sashi.
"Pergi! Saya tidak mau melihat bukti apapun! Suami saya pria setia! Mas Bagas bersikap ini karena iri dengan keluarga kami, kan?" tegas Sashi dengan mata membulat dan rahang mengeras. Ia marah!
"Bukan aku yang iri pada hidup kalian! Tapi Runa! Mantan istriku itu tergila-gila pada suami Mbak!"
"Diam! Keluar!" Tangan dengan telunjuk mengacung menandakan kata-kata Bagas sudah sangat keterlaluan dan Sashi tak suka mendengarnya.
Bagas keluar dengan cepat, tapi ia tak membawa amplop coklat itu. Ia meninggalkannya! Amplop coklat berisi bukti kebersamaan Aric dan Aruna sengaja ia tinggal di atas meja itu!
_______________
Raga itu masih bergeming berdiri di balkon kamarnya, sengatan angin malam yang semakin sarkas menembus kulit tak ia hiraukan. Ia mematung menatap amplop coklat yang tergeletak di meja. "Haruskah aku membukanya?" bisik hati itu.
Netra itu terpejam, menimbang seksama. Hingga akhirnya ia menarik nafas panjang dan membuangnya.
"Aku akan membuka amplop itu! Ya, aku yakin akan kesetiaan kak Aric, aku tidak boleh takut! Pasti ini hanya rencana Bagas yang iri dengan kak Aric!" batin Sashi.
Mengucap Basmalah Sashi perlahan membuka amplop itu. Tak berselang lama amplop terbuka. Tangannya meraba lembaran-lembaran seperti foto dalam amplop itu. Hati itu lagi-lagi berdesir takut. Tapi segera ia enyahkan. Ia angkat beberapa lembar foto dalam genggamannya dan tampillah wajah-wajah itu.
Sashi memundurkan tubuh, langkahnya gontai. Ia mencari sandaran hingga tubuhnya membentur sofa, ia mendaratkan tubuhnya di sofa. Dada itu sesak!
"Mengapa ada foto-foto ini? Mungkinkah yang diucapkan Bagas benar?"
Kembali ia lihat foto-foto dalam genggaman tangannya. Ada saat Aric mencium pipi Aruna, makan malam bersama Aruna, berbelanja di Mall, juga foto saat Aruna mencium tangan Aric di depan sebuah rumah minimalis dengan gambaran langit gelap menandakan foto itu diambil malam hari.
Sashi masih terdiam, ia mengingat peristiwa demi peristiwa yang terjadi belakangan dengan Aric maupun Aruna. Hati itu sakit, Aruna yang tinggal tak jauh dari rumahnya memang kerap Sashi tolong, ia seperti kakak untuk Sashi. Tapi sungguh tak terfikir di otaknya jika Aric dan Aruna menjalin hubungan. "Tunggu …!"
Sashi teringat sesuatu. Ia mengangkat tubuh dan berdiri di tepi balkon, tempat dimana suaminya sering menghabiskan waktu berjam-jam menyendiri saat dulu hubungan mereka masih renggang.
"Ahh … ternyata benar! Berdiri dari balkon ini rumah lama mbak Aruna terpampang jelas, kursi di terasnya yang tertutup pagar dari luar dan etalase jualannya di muka rumah juga terlihat. Mungkinkah sudah sejak lama kak Aric diam-diam memperhatikan mbak Aruna. Tidak! Menurut mas Bagas mbak Aruna yang tergila-gila pada kak Aric. Pasti mbak Aruna yang sering melihat ke atas tepat ada kak Aric di balkon ini. Ahh …. Aku telah kecurian …!"
Sashi masih terus berbicara sendiri dalam diam tak menyadari seorang pria telah berdiri tepat di belakang tubuhnya. Pria itu menyusupkan tangan dan memeluk tubuh Sashi dari belakang, ia mencium ceruk leher Sashi.
"Sa-yang … kenapa belum tidur?"
______________________________________
☕Masih 1 bab yaa, bab selanjutnya masih di cek editor, jangan lupa faforit kan dulu❤❤
☕Makasih supportnya selalu😘
☕Karya ini dibuat sebab even yang sedang diadakan NT dan Bubu ikuti😯
"Sa-yang … kenapa belum tidur?"
"Menjauhkah, Kak! Jangan sentuh aku dengan tangan yang baru saja menyentuh wanita lain!"
"A-pa maksud ucapanmu, Sayang!" Wajah itu gelisah.
"Kenapa harus ada wanita kedua? Apa hadirku dan Shiza tidak cukup membuat Kakak bahagia! Aku kecewa padamu, Kak!" Dengan tergesa Sashi melewati pintu kaca, menarik sebuah koper dan memasukkan dengan gusar beberapa pakaiannya dan pakaian Shiza dari lemari.
"Sa-yang ... tolong maaf! Maaff!!"
"Maafmu tidak berguna, Kak!" Sashi mendekati ranjang dimana seorang bayi mungil tengah pulas terlelap. Dengan cepat Sashi meraih tubuh mungil itu dalam dekapnya.
"Sashi please jangan pergi! Kamu mau kemana? Ini tengah malam, Sayang!"
"Bukan tengah malam! Ini sudah pagi, Kak!" Langkah itu semakin cepat. Bayi itu mulai menangis. Aric seketika bersimpuh di hadapan Sashi, membuat raga itu tak dapat bergerak.
"Minggir! Minggir, Kak!"
"Jangan pergi! Aku mencintai kalian! Pleasee ...!" lirih dan lembut kalimat itu terucap mengiba, namun tak dapat mengubah kekecewaan Sashi. Tangis Shiza semakin kencang. Sashi berusaha keras melepaskan tangan yang mengunci kakinya.
"Lepas! Lepas, Kak! Aku membenci Kakak! Aku ingin kita akhiri hubungan ini!"
"Ta-pi----
Oekk ... Oekk ....
Tangisan Shiza mengaburkan angan yang membingkai otak Sashi beberapa saat lalu. Seorang pria berjalan mendekat ke arahnya mengendong seorang bayi mungil, ia berdiri di sisi pintu kaca yang membatasi balkon dan kamarnya.
"Sayang ... cepat masuk! Kenapa terus termenung, Shiza sudah kehausan!" ucap Aric terus menggoyangkan Shiza, berusaha meredakan tangis itu.
Sashi menyusui bayinya tanpa kata.
"Jadi yang terjadi beberapa saat lalu hanya anganku, aku masih di sini dan tidak benar-benar pergi? Tapi apa foto-foto itu juga hanya angan? Kebenaran Kak Aric memiliki hubungan dengan mbak Aruna tak sesungguhnya ada?" batin Sashi.
Sashi berdecak, hembusan napas kasar itu lolos saat jemarinya meraba saku dress kutung yang ia kenakan, foto-foto itu ada di sakunya. Semuanya nyata!
Sashi terus menatap wajah pria yang sudah pulas tidur di ranjangnya. Wajah tampan itu tampak polos saat tertidur. Hati itu berdesir, sesak menghujam sangat perih.
"Mengapa sangat pandai kak Aric bermain-main di belakangku selama ini?"
________________
☕FLASHBACK 1 TAHUN 2 BULAN LALU
Sashi Pov
Akibat nila setitik rusak susu sebelanga ... peribahasa yang sangat tersohor yang biasa kita dengar. Maknanya jelas bahkan sudah melekat di otak. Tapi terkadang kita lupa bahwa nila itu bisa berarti banyak hal, hal buruk, kejadian di luar dugaan atau apa pun itu yang membuat kita seketika terpelosok ke lembah terdalam. Hilang arah dan tak ternilai. Ini yang sedang kualami.
Sashi Mumtaz namaku, usia 18 tahun 9 bulan. Aku mahasiswa jurusan psikologi di kampus ternama di kotaku. Ayahku bernama Latif Mumtaz, ia pendakwah. Hari-hari dihabiskan di luar kota untuk membagi ilmu yang ia miliki pada manusia lain. Bundaku Aira Munaf, pengusaha catering yang juga cukup terkenal. Bunda tak kalah sibuk dengan ayah. Banyaknya pesanan yang mempercayakan acaranya pada masakan bunda membuatnya tak pernah punya waktu untukku. Berangkat ke ruko saat aku belum bangun dan pulang saat aku sudah terlelap.
Banyak orang iri denganku, wajahku yang cantik, tubuhku yang proporsional, otakku yang pintar juga hidupku yang berkecukupan. Mereka semua tidak tau kalau aku tak bahagia! Aku kesepian!
Aku memang hidup dalam lingkup keluarga beragama. Walau orang tuaku tidak mendidikku secara langsung, tapi mereka menempatkan seseorang yang sigap mengingatkan akan norma-norma agama yang harus aku jaga. Ialah pengasuhku, namanya Siti Khatijah, Mima biasa kupanggil. Ia seperti ibu lain untukku. Ia wanita yang sabar menghadapiku yang manja dan sering keras kepala, maklumlah aku anak satu-satunya. Mima selalu ada untukku, tapi tetap saja sisi jiwaku kosong. Aku rindu Bunda dan Ayah!
Aku punya kekasih, tapi ini rahasia dan jangan sampai ayah dan semua orang di rumahku tau atau ayah akan menghukum dan membatasi gerakku. Ya, karena semua orang dalam rumahku anti dengan hubungan semacam itu.
Lelaki itu bernama Kaysan Diandra Perwira, kami teman sekelas saat SMA dan sekarang ia kuliah mengambil jurusan Bisnis Manajemen di Kampus yang sama denganku. Kami sudah menjalin hubungan diam-diam selama 1 tahun. Tapi jangan berfikir buruk tentang hubungan ini, kami tak pernah melakukan hal di luar batas, sebatas pegangan tangan tentu boleh, kan?
Dia lelaki baik, sopan dan sangat menjagaku. Katanya, jika ia sudah sukses berkarir ia akan melamarku. Aku senang, cinta dan bahagia. Kehadirannya mengikis jiwaku yang kesepian. Dia adalah semangatku!
Kembali pada kisah nila yang membuatku terpelosok. Kejadian yang membalikkan hidupku itu dimulai pada saat kedatanganku dan Kaysan ke pesta ulang tahun seorang teman SMA di sebuah Cafe. Kinanti namanya. Walau aku belum berhijab tapi aku selalu menjaga pakaian yang kukenakan, tidak terbuka namun tetap elegan.
Kami datang dengan perasaan bahagia malam itu, ajang ulang tahun yang mempertemukan kami dengan teman-teman lama saat SMA. Seperti ajang reuni. Aku seketika berbaur dengan rekan perempuan, berbincang, tertawa dan saling bercerita banyak hal. Hingga malam semakin larut, Kaysan yang ingin mengantarku pulang masih terus ditahan rekan-rekannya, geng basketnya itu. Ada beberapa teman sekelas, tak sedikit pula kakak kelas kami. Karena memang kakak Kinanti yang bernama Prima juga bersekolah di SMA yang sama dengan kami. Sekedar informasi, kakak Kinanti sebetulnya pernah beberapa kali mengutarakan rasa padaku namun selalu kutolak karena aku sering melihatnya berganti-ganti wanita. Dan kini ia tampak mengundang teman-temannya pada pesta tersebut.
Kaysan masih terus tertahan sedang aku dengan setia menunggu di sampingnya. Hingga jus orange lagi-lagi diantar pramusaji dan kami mengambilnya. Kutatap kondisi cafe mulai sepi, di kejauhan Kinanti masih asik berkumpul dengan rekan-rekan kuliahnya.
Kepalaku tiba-tiba pusing, aku tak tau kenapa. Kugenggam erat jemari Kaysan dan kurasakan ia juga membalas dengan eratan yang tak kalah kuat. Setelahnya aku tak tau lagi yang terjadi.
Pagi menjelang, aku dibuat kaget karena bangun di samping seorang pria, Kaysan. Kuintip selimut yang menutup tubuh kami, dan aku semakin tersentak, kami bahkan tak menggunakan selembar kain pun.
Aku menangis, entah bagaimana semua ini bisa terjadi. Bahkan aku tak mengingat semuanya. Aku semakin teriris menyadari noda di sprei dan rasa sakit pada area intiku. Aku sangat marah pada Kaysan yang tega melakukan hal intim tersebut, merusak kepercayaanku padanya.
Kaysan terbangun dengan raut kaget pula. Ia menyatakan tak mengingat yang terjadi. Namun melihat noda itu, ia meyakinkanku akan bertanggung jawab!
Sebulan berlalu, bahkan Kaysan belum juga mengatakan pada orang tuanya yang terjadi. Dan tubuhku ... ada yang tak beres! Aku kerap mual, tubuhku lemah, makanan tak dapat masuk. Mima membawaku ke rumah sakit dan aku dinyatakan ... hamil!
Keluargaku marah besar. Mereka kecewa. Ayah yang pendakwah merasa malu, hampir mengusirku, hingga Bunda meyakinkannya bahwa mencari penyelesaian lebih baik. Mereka menyadari kelalaian mereka dalam memperhatikanku. Akhirnya kami sekeluarga mendatangi rumah Kaysan.
Orang tua Kaysan yang merupakan pengusaha mebel terbesar di kotaku tak kalah kecewa. Mereka menanyakan pada Kaysan dan Kaysan membenarkan. Ia bercerita mengenai kami yang tidak sadar hari itu dan tiba-tiba bangun sudah bersama. Kedua keluarga membicarakan mengenai penyelesaian masalah kami. Dan akhirnya mereka sepakat menikahkan kami.
Hari H itu tiba, acara yang hanya dihadiri keluarga itu dilangsungkan di sebuah rumah besar milik keluarga Kaysan yang berada di kota Tangerang. Ya … karena memang mereka tidak ingin berita pernikahan ini tersebar. Aku, keluargaku, keluarga Kaysan, penghulu serta beberapa orang saksi dari pihak keluarga sudah berkumpul. Tapi Kaysan belum juga tiba. Ia yang merupakan panitia sebuah seminar yang diselenggarakan oleh kampusnya harus menyerahkan beberapa berkas pada panitia yang lain.
Kejadian naas itu terjadi, Kaysan kecelakaan, sebuah truk dari arah berlawanan menghantam tubuhnya. Ia dinyatakan meninggal di tempat. Keluargaku kebingungan akan nasibku dan bayi dalam kandunganku. Mereka tetap meminta pertanggungjawaban dari keluarga Kaysan.
Seorang lelaki seketika maju, menyatakan siap menggantikan Kaysan bertanggung jawab. Dialah Alaric Abdi Perwira, kakak Kaysan. Walau keluarga Kaysan awalnya tidak setuju tapi mereka tak punya pilihan. Aku dengan derai air mata kehilangan kekasihku tak ada pilihan. Anakku butuh ayah. Kami pun menikah!
__________________________________________
☕Happy reading❤❤
☕Alurnya maju mundur cantik yaa😘😘
"Mimaa ...!"
"Sayangku Sashi ada apa? Suaramu serak, kamu pasti habis menangis. Apa yang membuatmu menangis dan menghubungi Mima di pagi buta seperti ini, Nak?"
Ialah Mima wanita penjaga Sashi, selain Aira ibu kandung Sashi tentunya. Pukul 02:20 saat itu mata Sashi tak jua bisa terpejam. Otaknya terus dipenuhi hal apa yang harus ia lakukan setelah mengetahui kebenaran tentang penghianatan Aric.
Perlahan nyaris tak bersuara Sashi memutuskan turun dari ranjang, keluar kamar dan beralih ke lantai bawah. Di samping sebuah sofa panjang Sashi menjatuhkan tubuhnya bersapa lantai. Berbagai pelik di otaknya harus ia keluarkan, dan kepada siapa lagi tempat ternyamannya kalau bukan pada wanita paruh baya yang telah mengurus Sashi sejak kecil dan selalu ada hingga Sashi beranjak dewasa seperti sekarang. Mima!
Bulir tangis yang ia keluarkan sungguh hanya bantal yang menopang wajahnya yang tau. Tangis yang menyisakan serak suaranya selalu mampu ditangkap Mima. Mima menyadari gadis yang terpaksa menjadi dewasa itu sedang dirundung pilu. Gadisnya tidak sedang baik-baik saja! Ia pun mencecar Sashi dengan tanyanya.
Setelah terdiam menetralkan sesak, Sashi mulai menjawab tanya Mima. "Mima ... Kak Aric telah menyakitiku! Ia nyatanya memiliki wanita lain di belakangku ...! Aku benci kak Aric! Aku ingin bercerai!"
Walau telah memiliki buah hati, Sashi tetaplah gadis 19 tahun yang dipenuhi gejolak emosi dan kelabilan sikap. Seketika ia mengucapkan hal yang ada di kepalanya.
"Astagfirullah ... kata-kata apa itu, Sayang! Bercerai itu tidak dianjurkan dalam agama kita! Masalah apa yang kamu hadapi sebetulnya? Kesalahan apa yang Aric lakukan? Bukankah suamimu itu kini sangat menyayangimu, Nak?"
Mima memang saksi perubahan Aric. Ia ikut bersama Sashi saat Aric menjemput Sashi dari rumah orang tuanya setelah berbagai prosesi pemakaman Kaysan dilakukan. Prosesi dimana Sashi dan keluarganya tak boleh menampakkan diri, sungguh membuat hati Sashi semakin terpuruk. Ia sangat sedih tak bisa melihat ayah biologis dari janinnya untuk terakhir kali. Ya, keluarga Aric yang cukup terpandang tak ingin kehadiran Sashi yang sedang mabuk parah akibat kehamilannya mengacaukan prosesi yang terjadi, belum lagi emosi Sashi yang masih belum stabil.
Saat itu Sashi meminta Aric untuk membiarkan Mima ikut bersamanya pindah ke rumah Tangerang. Aric yang sebetulnya pribadi lembut dan penyayang mengiyakan ingin Sashi. Di dalam rumah itu Mima selalu menguatkan Sashi untuk bersabar menghadapi Aric, hingga berbagai peristiwa terjadi dan hati lelaki itu luluh.
"Sash ... kenapa diam, Sayang? Keluarkan gundahmu! Apa yang diperbuat Aric padamu?" Tak mendengar jawaban Sashi, Mima mengulang tanyanya.
Sashi yang terbawa angannya saat melihat foto pernikahan dirinya dan Aric di ruang keluarga lupa ada seorang wanita yang menunggu jawab dan sedang ia ajak berbincang di telepon. Pun ia memfokuskan diri dan mengingat-ingat lagi segala perilaku Aric di belakangnya baru ia berucap.
"Kak Aric memiliki wanita lain, Mima! Kak Aric jahat, tega padaku! Kata-kata cintanya dusta! Perilakunya kemunafikan! Aku benci kak Aric! Dia sangat pandai bersandiwara, bahkan menurut seseorang yang memberi informasi padaku kak Aric katanya sudah menikah dengan wanita itu! Mima tau siapa dia? Dia adalah mbak Aruna! Mima masih ingat 'kan wanita itu? Andai aku mendengar ucapanmu, apa katamu saat itu .... 'Sashi, jangan sering membawa wanita lain ke rumah, sebaik apa pun ia!' Hahh ... Mima memang tau segalanya. Kini ia sudah mencuri suamiku, aku harus bagaimana, Mima? Aku memang wanita yang bodoh! Aku jadi ingat kak Aric pernah mengatakan jika aku hanya seorang gadis kecil! Sebal .... Sebal, Mima!"
Begitulah Sashi saat sedang kesal, terus bicara mengeluarkan seluruh apa yang muncul di otaknya. Ia bertanya dan menjawabnya sendiri. Ia terus bicara tanpa henti hingga ia merasa lelah dan diam setelahnya.
"Sayang ... kamu masih di sana, kan?" tanya Mima tak mendengar suara Sashi lagi.
"Masih, Mima!"
"Sudah lebih plong bukan setelah mengeluarkan seluruh gundahmu?"
"Sedikit. Tapi tetap saja ada wanita lain di hati kak Aric!" gusar itu masih terdengar jelas.
"Apa yang membuatmu begitu yakin? Bukan tidak mungkin 'kan, jika wanita itu yang terus mendekati Aric namun Aric sebetulnya tak menyukainya. Bukankah kamu tidak melihat keduanya bermesraan secara langsung?"
"Tidak sih. Tapi foto-foto itu cukup menjelaskan segalanya!" Suara menggebu itu kini berubah lirih, tampak Sashi pasrah dan hilang asa dan cita dalam membangun mahligai rumah tangganya.
"Sekarang jawab Mima! Di mana suamimu sekarang?"
"Tidur dengan Shiza."
"Di rumah wanita itu?"
"Tentu tidak Mima! Kak Aric ada di kamarku! Di rumah kami!" nada suara itu meninggi.
"Suamimu ingat pulang ke rumahmu, itu artinya tetap kamu Sayang nomer satu di hatinya!"
"Aku tidak percaya!"
"Kenapa?"
"Karena esok akan ada alasan kak Aric pulang terlambat. Dan itu pasti ke rumah mbak Aruna, wanita pencuri!"
"Kalau begitu ... buat suamimu tidak pulang terlambat!"
"Maksud Mima?"
"Jemput ia di kantornya, buat ia menghabiskan waktu bersamamu dan Shiza hingga ia lupa pada wanita itu!"
"Hahh ... kenapa aku tak pernah terfikir hal-hal seperti itu. Mima memang tau segalanya! Itu rencana super, Mima! Oke siap aku akan lakukan apa yang Mima katakan!" raut pilu itu seketika berubah menjadi sebuah semangat baru.
"Boleh Mima menanyakan hal sensitif padamu, Sayang!"
"Katakan Mima!"
"Bagaimana hubungan intimmu dengan Aric? Apa kalian rutin melakukannya?"
"Mima mengapa bertanya itu! Aku jadi malu!"
"Kenapa malu, kamu seorang istri, seorang ibu! Yahh walau usiamu masih muda, tapi jangan jadikan hal seperti ini tabu, Sayang .... Karena kamu memang sudah menikah! Kamu wanita dewasa kini, dan semua wanita dewasa biasa membicarakan itu!"
"Aku tidak paham maksud Mima ...."
"Oke, hemm ... berapa kali dalam sebulan kalian berhubungan intim?" lugas Mima bicara pada Sashi.
"Hmm ... dua sampai tiga kali, Mima!"
"Ha-nya dua sampai ti-ga ka-li? Kamu yakin, Nak?" kaget Mima.
"Aku letih mengurus Shiza, Mima. Jadi aku sering mengantuk! Oh ya, apa maksud Mima menanyakan itu?"
"Sayang ... itu tidak benar, Sashi! Sekarang Mima mulai paham mengapa Aric merasa nyaman menemui wanita itu!"
"Apa maksud Mima?" Sashi semakin dibuat bingung.
"Layani Aric minimal seminggu 2 kali! Harus! Semakin sering semakin bagus! Pakai gaun terbaik dan terseksi saat di kamar bersama. Sampai sini paham?"
"Tapi aku malu, Mima ...!"
"Malu itu jika menampakkan kecantikan di depan lelaki lain, tapi di depan lelaki yang menjadi suamimu, semua itu baik, Sayang!"
"Ta-pi Mima?"
"Berhenti berkata tapi jika ingin suamimu kembali padamu, Nak!"
"Tapi setelah aku tau kebenaran ini, bahkan menatap kak Aric aku merasa jijik!"
"Husss ... jangan begitu! Dia suamimu. Kalau kamu pupuk perasaan seperti itu, yang ada hubungan kalian akan semakin jauh. Ingat Shiza membutuhkan papanya! Pun kamu juga masih muda, status janda itu jangan sampai melekat padamu. Juga Pak Latif dan Ibu Aira ... coba fikirkan perasaan mereka jika tau hal ini."
Sashi terdiam mencerna kata-kata Mima, hingga kepalanya spontan mengangguk membenarkan ucapan Mima.
"Sashi masih mendengarkan Mima, bukan?" tanya Mima.
"Iya Mima."
"Pertahankan yang memang milikmu! Jangan sampai wanita itu merasa menang dan tertawa setelah mengambil sesuatu milik orang lain!"
"Bagaimana aku sebaiknya bersikap terhadap kak Aric?"
"Berpura-puralah bodoh dan tidak mengetahui segalanya. Buat ia bertekuk lutut padamu hingga ia menceraikan wanita itu dengan sendirinya, gunakan cara pintar, Sayang!"
"Rasanya aku ingin menjambak rambut mbak Aruna! Tega ia melakukan ini semua padaku!"
"Tahan! Jangan lakukan! Hmm ... Oke, mulai saat ini ikuti saran Mima! Yang pertama seperti yang Mima sampaikan padamu tadi ... perbaiki hubungan intim kalian! Selanjutnya, Mima akan memberitahu langkah apa yang harus kamu lakukan!"
"Ba-ik Mima."
"Sash ...."
"Iya?"
"Apa kamu menyimpan nomer telepon orang yang memberitahu hubungan Aric dan wanita bernama Aruna itu?"
"Mas Bagas ... hemm ... I-ni! Di balik foto ada nomer telepon mas Bagas, Mima!"
"Save nomer itu dan sekarang tidurlah dengan tenang dan jadilah pribadi lebih tegar dan dewasa esok hari! Kamu mengerti?"
"I-ya!"
"Mima sayang Sashi!"
_________________________________________
☕Happy reading❤❤
☕Jangan lupa dukungannya guys, harus komen dan like😄😄😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!