Hallo, terimaksih karena telah memilih My Bastard Husband sebagai bacaan kalian. Kembali diingatkan, ini karya hanya menurut pandangan saya sebagai authornya ya, jadi kalau kalian punya pendapat sendiri juga ngga papa. Itu wajar karena isi kepala orang itu beda-beda.
Disini Author memang membuat si tokoh utama ngga main fisik, tapi menghadapi dengan tetap tennag hati, meskipun sebenarnya tetap sakit. Tapi, yaudahlah, selamat membaca aja. Semoga Suka.. ❤️❤️❤️
💞
...💞...
...💞...
"Hallo, Mas."
"Hey, sayang. Nanti sore Mas pulang, tapi harus mampir dulu ke kantor untuk urusan penting. Kita ketemu di rumah ya."
"Iya sayang, aku tunggu di rumah. Tapi, jangan mampir kemana-mana lagi. Isti rindu." goda Isti, pada suami tercintnya yang masih berada di seberang pulau sana.
Setelah memberikan kecupan dari jauh, Fikri langsung menutup teleponnya. Isti faham, Ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Apalagi dalam masa promosi sebagai seorang kepala cabang dari perkebunan sawit yang telah memperkerjakannya selama Sepuluh tahun ini.
Isti Wulandari, serang wanita berusia Tiga puluh Dua tahun, sekarang adalah kepala perawat di sebuah ruangan Anak Rumah sakit swasta di kotanya. Secara karir, Ia mapan. Iapun menikah dengan Fikri Ramdhan, seorang mandor perkebunan sawit yang telah memilik pabrik pengolahan sendiri. Mereka memiliki seorang anak perempuan, bernama Zalfa afanin husna. Gadis kecil yang ceria, dan perlu perhatian khusus dari mereka berdua sebagai orang tuanya.
Kehidupan mereka harmonis meski Rifki terkadang harus keluar kota untuk mengecek perkebunan yang lain milik pabrik tempatnya bekerja itu. Isti dan Zalfa sudah terbiasa, dan tak pernah mengeluhkan apapun yang terjadi. Mereka pun tak pernah kekurangan dari segi ekonomi, karena sama-sama memiliki karir yang bagus dalam pekerjaan yang kami jalani.
Selama Sepuluh tahun pernikahan, tak pernah ada gangguan yang begitu berarti. Hanya pertengkaran kecil, dan berselisih faham yang memang umum terjadi antar pasangan suami istri. Dan mereka juga bisa menanganinya dengan baik, apalagi Zalfa selalu menyejukkan hati dan selalu bisa mencairkan suasana yang sedikit membeku.
Hari ini tepatnya, adalah hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke Sebelas. Isti ingin menyambut suaminya dengan spesial, setelah ditinggalkan selama hampir Dua minggu lamanya. Sebagai kepala perawat, Isti sudah tak mempunyai sift lagi, dan hanya bekerja pagi hari untuk mengontrol semua pekerjaan yang ada. Isti pulang sesuai jadwal, mampir ke toko kue langganannya, dan mampir sebentar ke salon untuk perawatan.
Untungnya, Zalfa pun kini sedang di rumah Neneknya (Nenek dari pihak ayah) dan menginap disana karena esok Ia libur sekolah. Semakin melapangkan jalan Isti untuk menyambut suami tercintanya, dan melepas rindu padanya nanti.
Dengan perasaan berdebar, seperti ketika baru awal menikah. Kini Ia telah ada di rumah, dan menunggu Sang suami pulang. Ia pun sudah membelikan makanan kesukaannya, dari restaurant langganan mereka. Bukan karena tak bisa memasak, Ia hanya tak ingin bau asap lagi ketika memeluknya nanti.
"Mana? Udah mau jam Sembilan malem, tapi belum sampai di rumah." gumamnya, yang terus menatap jam tangan hadiah ulang tahun pernikahan mereka Dua tahun lalu yang dibelikan Sang suami, Dan masih ku jaga dengan baik hingga sekarang.
Kreek... Pintu terbuka perlahan. Isti yang tadinya mengantuk, matanya kembali terbuka lebar dan berlari menghampiri suaminya dan memeluknya dengan erat.
"Hey, Mas masih bau keringet ini. Nanti aja, Mas mandi dulu." ucap Fikri, yang dengan lembut berusaha melepaskan pelukan sang istri.
"Nanti aja, kita tiup lilin dulu." Istti menyeret tangan Fikri, dan membawanya ke tempat kue itu berada.
"Happy, Aniversary sayang...." ucap Isti pada Fikri, setelah menghidupkan kembali lilin diatas kue itu.
Fikri dengan wajah terharu, bahkan tampak mengeluarkan air matanya, meniup lilin itu hingga habis. Ia pun memeluk erat Isti dan mengecup keningnya dengan hangat.
" Tak terasa, hubungan kita sudah sejauh ini. Memiliki seorang anak, pekerjaan, dan semuanya sempurna. Keluarga kita sempurna, aku tak memerlukan apapun lagi sekarang. Hanya ingin membahagiakanmu, bersama Zalfa. Kita akan hidup bahagia selamanya." ucap Fikri, yang begitu membuat hati Isti berbunga-bunga.
Acara telah usai, Fikri pun pamit untuk membersihkan dirinya. Isti yang telah menunggunya ditemowt tidur, seolah tak sabar untuk kembali bercumbu dengan sang suami setelah sekian lama. Apalagi, ketika Fikri keluar dengan mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya, semakin membuat jantung Isti berdesir kencang. Persis, seperti saat malam pertama mereka dulu.
Isti beranjak dari ranjangnya, dan menghampiri Fikri yang akan memakai pakaiannya.
"Mas, rindu..." ucap Isti, yang melingkarkan lengan di pinggan suaminya dari belakang.
Fikri tahu dan faham maksudnya, Ia pun membalik tubuhnya dan mengusap wajah Isti, "Kamu ngga capek?"
Isti menggeleng, dan terus saja memeluk suamimya dengan erat. Fikri akhirnya mengangkat tubuh Isti dan membaringkannya di ranjang. Permainan mereka dimulai, mereka saling melepas rindu satu sama lain, dengan gairah mereka yang sekian lama telah tertahan. Malam ini, mereka bagai sedang menikmati bulan madu untuk kesekian kalinya, tanpa gangguan dari Zalfa, anak tunggal mereka.
Saling cumbu telah usai, Isti memeluk suaminya dengan erat dan tidur bersama dengan berbantal tangan Fikri. Rindu yang mendalam, seolah membuatnya tak ingin sedetikpun berpisah lagi dari Sang suami.
"Andai bisa, aku akan ikut kemanapun Mas pergi. Meski harus bolak balik, lelah ngga papa." ucap Isti.
"Kasihan Zalfa lah. Kalau bolak balik terus, dia ngga fokus sekolahnya, kan sayang. Kariermu, yang selama ini kamu bangun, juga akan berantakan. Inget perjuangan kita, yang telah kita mulai dari titik Nol bersama-sama."
Nasehat yang begitu teduh diucapkan Fikri, dan dibenarkan Isti dengan anggukan darinya. Memang benar, mereka telah merintis semuanya bersama-sama dari titik terendah mereka. Sehingga, benar-benar sayang jika salah satunya ditinggalkan. Mereka akan menikmati berdua, jika sudah masanya nanti.
.
.
.
Pagi datang, mereka sarapan berdua di depan tv sembari menonton acara kesukaan mereka. Mengobrol santai dengan semua rencana hari ini.
"Jangan pagi ini, ya? Mas ada urusan sebentar. Nanti sore aja, Mas janji bawa kamu dan Zalfa jalan-jalan." bujuk Fikri padanya.
"Yasudah... Oh iya, mana baju kotornya biar Is cuciin."
"Walah, ketinggalan di mobil. Sangking kangennya, ngga inget bawaan." ucap Fikri, dengan menepuk jidatnya. Lalu beranjak pergi menuju mobil untuk mengambil sisa baju kotornya.
Tak lama setelah Fikri pergi, sebuah telepon memanggilnya. Terpampang foto gadis cantik dengan nama Kanaya di layar ponsel Fikri. Tanpa ragu, Isti mengangkatnya karena memang sudah terbiasa seperti itu selama ini.
Belum sempat Isti menyapa. Wanita itu sudah terlebih dulu berbicara dengan nada begitu manjanya.
"Sayang, nanti jadi kan ajak jalan-jalannya. Aku kangen loh, Dua minggu ngga ketemu. Yang kemarin rasanya belum cukup, karena ketemuan cuma sebentar banget. Eh iya, jangan lupa Hp yang ini khusus buat aku. Nomorku, fotoku, dan segala macamnya. Jangan dicampur sama yang lain. Bye sayang... Muuuaach."
Ucapannya yang tanpa jeda itu terhenti. Lalu Ia mematikan teleponnya sendiri.
Tangan dan kaki Isti gemetaran, jantung dan hatinya terasa begitu sakit. Terutama ketika tangannya mulai membuka semua isi Hp itu yang dari Warna, merk, dan semuanya sama dengan yang biasa dipakai Fikri. Jelas, suaminya telah menggandakan barang miliknya itu.
Fikri membuka bagasi mobilnya, dan mengambil pakaian kotor yang ada disana. Tak lupa, Ia mengecek barang lain yang sering Ia tinggalkan di dalam mobil, termasuk Hpnya yang semalaman telah Ia matikan itu.
Dipencetnya tombol On, dan dibukanya Wa dan pesan.
"Siapa tahu, Naya ada kirim pesan." ucapnya.
Namun, ketika Ia buka dan Ia teliti, ternyata semalaman Ia telah salah membawa ponsel masuk ke dalam rumah. Ponsel yang Ia pegang saat ini adalah ponsel untuk keluarga, dan rekan kerjanya. Sementara yang terbawa, adalah ponsel khusus Naya, Wanita simpanannya.
"Mati aku.... Salah ponsel!" ucapnya yang syok, sembari menepuk jidatnya dengan kasar.
Tanpa fikir panjang, Fikri langsung berlari kembali pada Isti. Ia takut jika sesuatu terjadi padanya saat ini, apalagi jika Naya ternyata menelponnya untuk menagih janji.
Braaakkkk! Fikri membuka pintu dengan kasar. Tatapannya langsung tertuju pada Isti yang masih duduk di depan Tvnya. Diam, dan tanpa suara sedikitpun meski Fikri baru saja membuka dengan keras pintu itu.
Perlahan, Ia menghampiri Isti dan mencoba bersikap biasa saja padanya.
"Is, ini baju kotornya." ucap Fikri, menahan rasa yang sebenarnya mengacak-acak hatinya.
Terdengar Isti meletakkan ponsel Fikri di mejanya dengan kasar.
"Mana, Hpmu yang satunya?" pinta Isti dengan wajah begitu tenang.
"Ma-mana ada? Hp Mas kan cuma Satu, dan itu yang kamu belikan buat hadiah pernikahan kita tahun lalu. Dari dulu, Mas ngga ada ganti Hp."
"Mana?" kali ini, Isti menadahkan tangan kirinya pada Fikri.
Fikri menghela nafas panjang, Ia pun duduk di sebelah Isti dan memegangi bahunya. "Is. Itu Hp Mas, dan hanya Satu. Ngga ada yang lain."
Mulai tersulut emosi, Isti lalu mencari sendiri ponsel dikantong Fikri Satu persatu. Dan ternyata, Ia telah menymebunyikan dengan di selipkan di sela celana dan ikat pinggangnya.
Braakkk! Isti kembali meletakkan Hp itu dengan kasar.
"Is... Ini tak seperti yang kamu fikirkan."
"Lalu apa? Hpmu tertukar, salah bawa, atau memang kamu gandakan?"
"Is... Dengarkan penjelasanku dulu."
"Bawa aku kesana."
"Ke-kemana?"
"Ke rumahnya, ke kostnya, atau ke apartemennya. Kita harus bicara bertiga."
Isti langsung beranjak dari sofa, dan pergi ke kamarnya untuk mengganti pakaian. Sedangkan Fikri, mengikutinya dari belakang dengan langkah gemetar.
"Ayo...." ajak Isti, ketika telah siap.
"Is, tak perlu seperti ini, Is. Kita bisa bicarakan baik-baik seperti biasa." bujuk Fikri.
"Seperti biasa kamu bilang? Hah! Seperi biasa itu jika permasalahan memang terjadi antara kita berdua, Mas. Sedangkan ini, ada dia disini dan dia bukan penenang kita seperti Zalfa. Bukan Mas."
"Ta-tapi...."
Isti merebut kunci mobil dari tangan Fikri, lalu melangkah dengan cepat menuju mobil dan duduk di kursi setir.
"Biar Mas yang nyetir, Is."
"Masuk!" sergah Isti, dengan wajah datarnya.
Fikri akhirnya mengalah, dan duduk di kursi sebelahnya dengan tetap diam selama perjalanan.
"Tinggal dimana dia?" tanya Isti.
"Di.... Di rumah Susun dekat pabrik. Dia bekerja sebagai sales, dan kami bertemu ketika Ia diminta mempromosikan produk baru dari perusahaan."
"Telepon dia, katakan, kau akan segera kesana." pinta Isti, dengaj menyerahkan Ponsel pada Fikri.
Fikri dengan tangan gemetar, mengetik nomor Naya dan menelponnya. Lalu melounsdpeaker karena Isti meminta untuk melakukannya.
"Hallo, Mas...." jawab Naya dengan begitu mesra dan manja.
"Aku... Akan kesana. Tunggulah." ucap Fikri, dan Isti hanya menghela nafas yang begitu panjang.
"Baiklah, kebetulan aku baru saja mandi. Sudah begitu siap untuk menyambutmu."
"He'em..." jawab Fikri dengan singkat, lalu mematikan teleponnya.
Isti kemudian meriah ponselnya sendiri, dan menelpon Sang anak.
"Hallo, Zalfa..." sapanya dengan begitu manis.
"Mama... Kapan kesini?" tanya Zalfa dengan begitu ceria.
"Sayang, nanti Mama kesana, ya. Mama lagi ada urusan sebentar. Baik-baik ya, sama nenek. Atau jalan sama tante Rani juga ngga papa."
"Iya, Ma. Zalfa mau ajak tante Rani aja buat jalan-jalan. Daah mama..." pamit Zalfa.
Seusai bicara, aura wajah Isti kembali ke awal lagi. Kembali diam, dengan raut wajah penuh kebencian. Namun tetap tenang.
Tiba di tempat yang telah Fikri tunjukkan. Isti mematikan mesin, dan meminta Fikri turun dari mobilnya terlebih dulu untuk menunjukkan tempat dimana gadis itu tinggal. Dan Isti mengikutinya dari belakang.
"Is...." panggil Fikri lirih.
Isti tak menjawab, hanya diam dan menatap kembali Fikri dengan tajam.
Fikri tak menjawab lagi, hanya terus berjalan hingga tiba dikamar rumah milik Naya. Dengan perlahan, Fikri membuka pintu rumah itu dengan kunci cadangan yang Ia miliki.
"Wah, bagus. Sudah dibekali kunci cadangan rupanya." ledek Isti pada suaminya itu.
Fikri hanya diam, membuka pintu dan masuk terlebih dulu.
"Nay... Naya..." panggilnya pada Sang gadis.
Bruuugh...! Naya memeluknya dari belakang dengan begitu erat.
"Masss, akhirnya dateng juga. Aku udah nunggu daritadi." celotehnya dengan mesra.
Naya, yang kini hanya memakai handuk dalam bentuk kimono, dengan rambut basah yang juga diikat dengan handuk kecil, terkejut dengan lagkah kedua yang masuk ke dalam kamar kostnya itu.
"Ma-mas... Siapa dia?" tanya Naya.
"Nay, ganti baju dulu. Mas mau bicara sama kamu." bujuk Fikri, dan dibalas anggukan Naya.
Fikri mengajak Isti duduk lesehan di lantai, karena memang kamar yang tak begitu luas itu tak memiliki kursi dan perabotan lain. Hanya peralatan sederhana, yang mengisi di setiap ruangan. Itu yang Isti lihat saat ini.
Terdengar bunyi pintu kamar terbuka. Naya telah mengganti pakaiannya dengan sebuah daster, dan rambutnya yang basah di biarkan terurai panjang. Membuat suasana hati Isti semakin kacau. Apalagi, tanpa rasa bersalah, Naya duduk sengaja berdempet dengan Fikri meski Fikri menolaknya.
"Mas... Dia?" bisik Naya.
"Namamu Naya?" tanya Isti, dengan menjejerkan dua ponsel yang sama persis di hadapan mereka berdua.
"I-iya...." jawab Naya terdunduk, dan sesekali menggaruk tangannya. Tampak sebuah jam tangan, yang sama persis dengan yang Isti pakai.
"Sudah kenal berapa lama, dengan dia?"
"Sudah Dua tahun. Lebih..." jawab Naya. Fikri hanya tertunduk diam.
"Selama dua tahun, apa yang kamu dapat dari dia?"
"Jam tangan, sepatu, Hanphone, rumah susun ini pun Mas yang bayar."
"Sejauh apa hubungan kalian?" tanya Isti lagi.
"Mas... Sering menginap, dan mengajak liburan."
Dari jawaban itu, sudah dapat dibayangkan oleh Isti, sejauh mana hubungan mereka.
"Apa, dan bagaimana perasaanmu dengan dia?"
Sebuah pertanyaan yang paling mendebarkan dalam hati Isti, dna bahkan Fikri untuk saat ini..
"Kami... Saling mencintai." ucap Naya dengan lantang.
Deg.... Hati Isti berdesir dan begitu sakit mendengarnya. Ia hanya menatap Fikri, begitu juga Naya yang begitu mengharap jawaban yang sama dari Fikri untuknya.
"Mas...?" tegur Naya pada Fikri yang hanya bisa diam seribu bahasa.
Tapi Fikri seolah tak menghiraukannya, justru hanya menatap Isti dengan tatapan permohonan yang tampak begitu jelas.
"Kau mencintainya? Maka, ambillah dia. Aku akan segera mengurus perceraian kami." ucap Isti, lalu berdiri mengayunkan kakinya dengan langkah cepat. Tanpa lupa mengambil ponsel tadi.
"Perceraian? Mas, dia?"
"Kau diam dulu, jangan banyak tanya. Aku akan segera menyusulnya." ucap Fikri, yang kembali memakai sepatunya.
"Ta-tapi, Mas....."
Ucapan terputus, karena Fikri tak lagi mau mendengarkan, dan pergi meninggalkan Naya yang bingung sendirian di rumahnya itu. Merasa terbodohi oleh semua keadaan yang ada. Menyesal, namun tiada guna, karena semua telah terjadi dan sudah begitu jauh hubungannya dengan Fikri. Ia pun begitu mencintainya, dan tak pernah ingin melepaskan pujaan hatinya itu.
.
.
.
Isti berjalan dengan begitu cepat, mencari, dan mencoba menghentikan setiap taxi yang lewat. Tak di hiraukannya suara Fikri yang memanggil dan mengikutinya dari belakang.
Isti segera menaiki taxinya, ketika sudah berhenti tepat di depannya.
"Ke perumahan Jaya sari, Pak." ucap Isti pada Sang supir. Sang supir mengangguk, dan langsung menginjak pedal gasnya berjalan sesuai rute yang diminta.
"Sial... Dia mau kemana, lagi." gerutu Fikri, yang menuju mobilnya untuk mengejar Isti.
"Mana Hpku di bawanya lagi. Bagaimana ini? Kenapa jadi begini, Is?" gerutunya, sembari terus menatap taxi yang kemungkinan berisi istrinya di dalam.
"Hallo, Bu. Isti mau ngomong sama Ibu, sekarang. Tolong Zalfanya biar main sama tantenya dulu, ya." pinta Isti, yang kini suaranya mulai serak.
"Is... Kamu kenapa?" tanya Sang mertua padanya.
"Ngga papa. Ibu tunggu aja, nanti Isti ke rumah." jawabnya, lalu mematikan telepon.
"Is.... Jangan ke rumah Ibu, Is. Jangan, aku mohon." gumam Fikri, ketika taxi yang dikendarai Isti masuk ke dalam perumahan yang ditinggali Sang ibu, dan akhirnya berhenti tepat di depan rumah ibunya.
Ia pun melihat Isti akhirnya masuk kedalam rumah Ibunya dengan begitu tergesa-gesa.
Fikri keluar, dan berlari menyusul Isti dibelakangnya.
"Is, mana Fikri?" tanya Ibu laksmi padanya.
"Sebentar lagi dia masuk." ucap Isti dengan nada datar, membuat hati Inu laksmi cemas.
"Assalamualaikum.." ucap Fikri, yang lagi-lagi kepalanya tertunduk malu.
Ia kemudian duduk bersebramgan dengan Isti, mendengarkan dengan gamblang semua cerita mengenai apa yang Isti temukan hari ini pada Ibunya.
Sesuai perkiraan, Ibu Laksmi benar-benar syok mendengar semuanya. Apalagi, bukti yang ditunjukan oleh Isti benar-benar kongkrit, dan Fikri tak bisa membantah apapun yang Isti utarakan padanya.
Ibu Laksmi menghampiri Fikri, langkahnya terhuyung meski akhirnya tiba tepat di hadapan wajah putra tunggalnya itu.
Plak... Plak.... Plak....!
Ibu Laksmi menampar wajah tampan putranya itu berkali-kali tanpa jeda. Sakit yang Fikri rasakan, tapi tak mampu berucap atau memberi sanggahan sama sekali pada kedua wanita itu. Ibu, dan istrinya.
Hati Ibu Laksmu hancur, tak kalah hancurnya dengan perasaan Isti saat ini. Ia lebih malu lagi, karena anaknya dengan tega mengkhianati istri yang begitu sempurna itu.
"Apa... Apa kurangnya dia bagi kamu, Fikri. Apa? Wanita yang begitu sempurna ini sudah mau menemanimu sekian lama, dari saat kamu ada di titik ter rendah dalam hidupmu, hingga sekarang. Apalagi, kurangnya dia?" ucap Bu Laksmi, yang menangis sejadi-jadinya sekarang.
"Tak ada yang kurang, bahkan Isti begitu sempurna untukku. Tak ada celah sedikitpun, yang bisa menunjukkan kelemahan dirinya." jawab Fikri.
"Lalu... Apa, yang membuatmu bisa bersamanya sekian lama?" Isti menyambung pertanyaan.
"Aku nyaman dengannya. Ketika kamu, bisa melakukan dan mendapatkan apapun yang kamu inginkan sendiri, dia tidak. Kamu sangat mandiri, bahkan terlalu mandiri, Is. Tidak seperti dia yang manja, dan selalu ingin perhatian dariku. Begitu bahagia rasanya, saat dia melampiaskan kemanjaannya itu padaku" jawan Fikri, yang akhirnya buka suara.
"Kenapa kamu jadi seprti ini, Fikri! Kenapa? Apa kami tak pernah belajar pada Ayahmu, tentang sebuah arti kesetiaan? Apa kamu tak pernah ingin mencontoh ayahmu, yang setia dengan Ibu, hingga akhir hayatnya? Ya Allah, Nak... Ibu kecewa sama kamu." tangis Ibu Laksmi semakin menjadi-jadi.
"Bukti lengkap, pengakuan sudha diutarakan dengan gamblang. Besok, Isti akan menuntut cerai Mas Fikri ke pengadilan." ujar Isti.
"Tidak, aku tidak mau. Laki-laki berhak memiliki Dua istri, bahkan lebih. Aku tak mau kita cerai."
"Lelaki memang berhak memiliki bahkan Empat orang istri. Tapi, itu terjadi ketika istri lainnya dengan siap dan ikhlas menerima madunya. Tapi itu tidak dengan aku, Mas. Aku ngga mau di madu." jawab Isti.
"Is... Mengurus perceraian itu sulit, semua prosesnya berbelit-belit. Belum lagi masalah harta gono gini."
"Aku tak mau hartamu. Ambil saja, yang penting, Zalfa bersamaku."
"Is... Zalfa butuh kasih sayang kedua orang tuanya secara utuh. Dia akan terkena beban mental, ketika tahu jika orang tuanya....."
"Lantas, apa dia akan tetap tersenyum ketika tahu bahwa ayahnya memiliki wanita lain tanpa dinikahi? Itu akan semakin menyakitan untuk jiwanya, Mas."
Perdebatan demi persebatan mewarnai hari mereka saat ini. Tak ditemukan titik terang, karena tetap pada argumentnya masing-masing. Dan semakin alot, ketika memperdebatkan mengenai anak semata wayang mereka.
Mereka sibuk dengan dunianya, tanpa menghiraukan Ibu Laksmi yang tengah lemah dengan nafas tersengal dan terus memegangi dadanya.
"Fikri, Isti... Tolong Ibu, dada Ibu sa-kit...." ucap Ibu laksmi, lalu terjatuh pingsan.
"Ibu...!" pekik Fikri dan Isti bersamaan.
Dalam keadaan ini, amarah mereka sejenak mereda. Fokus beralih ke Bu Laksmi yang sepertinya mengalami nyeri jantung yang memang sering Ia derita.
"Gendong Ibu ke mobil, kita bawa ke Rumah sakit untuk penanganan yang lebih cepat." pinta Isti.
Fikri mengangguk, lalu dengan sigap menggendong tubuh Ibunya yang kurus itu. Mereka lalu membawanya ke Rumah sakit terdekat, tempat Isti bekerja.
.
.
.
Sebuah brankar yang di dorong oleh beberapa petugas menyambut mereka di ruang IGD. Fikri kembali menggendong Sang Ibu untuk menaikinya, dan langsung di bawa ke ruang tindakan agar segera di tangani dengan tepat.
Mereka berdua menunggu, duduk bersama di kursi yang ada di sana.
"Is..."
"Jangan bicara sekarang."
"Tapi, Is. Lihatlah Ibu, tidakkah kau kasihan pada Ibu? Beliau bisa lebih parah dari ini nati, Is."
"Kalau kau perduli, dan faham kondisinya, harusnya tak pernah kau lakukan sejak awal."
"Tapi harus bagaimana lagi? Dia sudah...."
"Dia hamil?" tanya Isti.
"Tidak... Tapi tak mungkin, jika aku memutuskan hubungan seperti ini saja. Tak akan mau dengan gadis, yang sudah tak perawan. Harga dirinya sudah hilang, Is."
"Kau berharap? Aku membeli harga dirinya? Kau menjijikkan." umpat Isti pada suaminya itu.
Ingin sekali rasanya mencabik-cabik tubuh Fikri saat itu juga. Tapi Ia sadar, sedang berada dimana. Tak mungkin mempermalukan dirinta sendiri, demi sebuah kata marah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!