NovelToon NovelToon

Berbagi Cinta: Suami Pilihanku

Jodohku?

Seorang gadis cantik bernama Anjani saat ini tengah berkutat. Karena, sudah 2 tahun semenjak ia lulus SD, ia hanya berdiam diri di rumah sambil sesekali membantu pekerjaan orang tuanya.

Tidak ada teman yang bisa ia ajak main, teman-teman sebayanya sibuk menunjang pendidikan SMP di desa sebelah.

Keadaan ekonomi mereka cukup baik, tapi orang tuanya pikir pendidikan tidaklah begitu penting.

'Dengan lulus sekolah dasar saja itu sudah cukup.' Pikir mereka.

Anjani menerima nasibnya itu tanpa keberatan. Meskipun ia tidak melanjutkan sekolah formal, ia sudah merasa bahwa dirinya itu pintar. Itu memang terbukti, karena sewaktu SD, Anjani memanglah seorang anak yang sering meraih peringkat kelas.

Gadis pintar itu tinggal di sebuah gubuk kayu berdinding anyaman bilah bambu. Rumah yang kecil dan sederhana itu menjadikan suasananya begitu hangat.

Tapi kehangatan keluarga saja tidak cukup, ia merasa dikekang. Dirinya ingin menjadi dewasa dan hidup dengan bebas. Mungkin saat ini hanya adiknya lah yang bisa menemaninya. Anjani pikir, daripada ia tinggal di rumah lebih baik ia mencari uang dan menemukan hal baru.

"Mak, Teteh pengen kerja," pinta Anjani kepada emaknya.

"Kerja dimana?" Tanya Emak.

"Teteh pengen kerja di kota Mak. Katanya di kota itu gajinya besar-besar." Jelas Anjani dengan antusias. Ia tahu info itu dari tetangga-tetangganya yang sempat merantau ke kota.

"Memang Teteh mau kerja apa di kota?" Tanya Abah.

"Hehe.. belum tau sih. Tapi Teteh yakin, Teteh pasti bakalan langsung dapet kerja!" Anjani meyakinkan kedua orang tuanya. Matanya menunjukkan sikap kesungguhannya.

Kedua orang tuanya khawatir jika membiarkan seorang anak gadis keluyuran sendirian ke kota. Apalagi saat ini Anjani belum punya lowongan yang pasti.

Tapi Anjani itu orangnya baik, mandiri, dan memiliki pendirian teguh. Anjani pasti akan bisa menjaga dirinya baik-baik. Memang, sudah saatnya mereka membiarkan Anjani mencari uang sendiri.

Karena sudah mendapat doa dan restu dari orang tuanya, Anjani berangkat dan diberi uang. Anjani berjanji akan segera mengganti uang itu setelah ia mendapatkan gaji pertamanya.

Di kota bandung tepatnya, gadis berusia 14 tahun itu merantau seorang diri dari kampungnya yang berada jauh di pelosok desa. Meskipun ia masih berusia 14 tahun, tapi ia memiliki postur tubuh yang sempurna layaknya gadis SMA.

Karena penampilannya yang terlihat baik, tak lama Anjani langsung mendapat pekerjaan sebagai seorang pengasuh anak.

Anjani memberikan kasih sayangnya kepada anak asuhan itu layaknya seorang keluarga. Majikannya pun merasa tenang, sudah hampir 2 tahun lamanya Anjani dipekerjakan di sana.

Terkadang, Anjani mengirim surat dan sejumlah uang untuk emak dan abahnya yang berada di kampung. Tapi suatu hari, Anjani mendapatkan sebuah balasan yang mengharuskan dirinya untuk pulang ke kampungnya.

Tertulis:

'Teh, pulang atuh. Sudah hampir 2 tahun Teteh di kota, Emak sama Abah kangen.'

Anjani yang membaca surat itu merasa hatinya sedikit berat.

'Ya Allah, Anjani sebenernya masih betah di sini.' Gumam Anjani.

Anjani takut jika ia hidup di kampung, nasibnya akan membosankan seperti dulu. Ia sudah merasa senang hidup di kota, karena di kota ia bisa mencari uang untuk dirinya dan untuk keluarganya sendiri.

Selama di kota, Anjani tak pernah risau dengan keadaan keluarganya di kampung, karena Anjani selalu mengirim surat dan mendapatkan balasannya.

Tapi, karena ini adalah permintaan orang tuanya, Anjani memutuskan untuk segera pulang. Ia juga sudah terlalu lama di kota dan merasa rindu kepada keluarganya. Lantas, Anjani meminta izin kepada majikannya untuk pulang.

"Bu, punten, saya dapet surat dari keluarga di kampung." Anjani menjelaskan maksudnya dan meminta izin untuk berhenti bekerja.

Saat mendengar permintaanya, tentu saja majikannya itu merasa kehilangan, tapi untungnya majikannya itu mengerti dan mengizinkan Anjani untuk pulang.

"Ya sudah Neng, hari ini kita pergi belanja dulu ya."

Sebagai hadiah perpisahan, majikannya itu membawa Anjani ke pusat perbelanjaan dan mempersilahkan Anjani untuk membeli barang-barang yang ia mau. Tapi Anjani tahu diri dan tidak mengambil barang-barang yang terlalu mahal. Karena Anjani tidak meminta lebih, majikannya itu juga memberikan Anjani beberapa bonus.

Gadis muda itu berpamitan dan pulang membawa hasil yang besar. Entah bagaimana ia mengatur keuangannya. Setiap bulan ia mengirim uang kepada keluarganya di kampung, dan saat ia pulang pun dengan ikhlasnya ia memberikan semua hasil kerja kerasnya kepada kedua orang tuanya.

"Mak, Teteh pengen kerja lagi." Pinta Anjani yang saat itu sedang disambut riang oleh keluarganya.

Emak yang mendengar hal itu merasa terkejut, padahal baru saja Anjani pulang tapi ia sudah mau pergi lagi.

"Teteh mau ke kota lagi?" Tanya Emak.

"Nggak Mak, tadi sebelum pulang, Teteh ke pondok dulu. Teteh pengen mondok di pesantren, abahnya (pemilik pesantren) juga nyariin Teteh pekerjaan Mak, jadi Teteh gak bakalan nganggur."

Anjani menjelaskan dan meyakinkan kedua orang tuanya bahwa kepergiannya itu tidak akan membuat orang tuanya terbebani. Anjani juga bilang bahwa tempatnya itu tidak jauh dari kampungnya, dan hanya melewati beberapa desa saja.

Emak merasa terharu, ternyata anaknya ini masih ingin menimba ilmu pendidikan. Karena niat baiknya, Emak mengizinkan Anjani untuk pergi lagi meninggalkan rumah.

Esoknya Anjani langsung berangkat, ia berangkat sendiri diantarkan oleh sopir ojeg. Melalui beberapa kampung dan jalanan berkebun, sampailah Anjani di sebuah kampung yang strategis dengan fasilitas sosial.

Sudah hampir 6 bulan lamanya Anjani mondok di pesantren sambil bekerja. Pagi hari Anjani keluar dari pondok untuk pergi bekerja dan kembali saat petang. Ia hanya perlu berjalan kaki beberapa puluh meter dari pondok pesantren menuju rumah sang majikan.

Saat itu, Anjani sedang mengerjakan pekerjaannya. Ia mencuci pakaian sang majikan menggunakan mesin cuci.

"Neng, ke sini sebentar!" Teriak Sang Majikan.

"Iya Bu."

Anjani yang merupakan seorang pembantu, langsung berlari kecil menghampiri sang majikan yang tengah berada di ruang tamu. Terlihat ada seorang tamu yang sedang duduk di sofa.

"Neng, sini duduk," majikannya itu mempersilahkan Anjani untuk ikut duduk di sofa. Lantas Anjani duduk sesuai dengan perintah majikannya.

"Ada apa ya Bu?" Tanya Anjani ragu-ragu.

"Ini tetangga kita Neng, katanya dia pengen kenalan sama Neng," jelas majikannya.

Anjani yang merupakan seorang pembantu merasa tidak enak. Bagaimana bisa pria seperti dia ingin berkenalan dengan seorang pembantu seperti Anjani.

"O-oh, iya Bu,"

Ada perasaan buruk yang masuk ke dalam hati Anjani. Pria yang dikenalkan oleh majikannya itu terlihat sudah cukup tua. Anjani merasa tidak nyaman, tapi ia tak mau dicap tidak sopan di hadapan sang majikannya itu.

"Saya Ghandi Neng. Neng ini siapa namanya?" Tanya pria tua itu sambil mengulurkan tangannya.

"Saya Anjani Pak," dengan ragu Anjani membalas uluran tangan pria tua itu.

Sejak hari itu, Pak Ghandi sering muncul di hadapan Anjani dan mengajak Anjani untuk mengobrol. Sang majikan juga membiarkan Anjani untuk bersantai dengan tetangganya itu.

Tapi obrolannya itu semakin lama semakin mendalam. Yang membuat Anjani terkejut adalah perkataannya saat itu.

"Neng, saya pengen kenal lebih deket sama Neng. Boleh gak kalo saya bertemu dengan keluarga Neng?" Pinta Pak Ghandi.

Anjani mencoba untuk berpikir positif, ia takut salah pengertian dan mencoba menanyakannya.

"Untuk apa ya Pak?" Tanya Anjani ragu-ragu.

"Mungkin Neng sudah tahu sejak awal, saya ini sebenarnya suka sama Neng. Saya pengen lebih serius sama Neng. Kalau boleh, saya pengen ketemu sama orang tua Neng, dan ngelamar Neng secepatnya," jelas Pak Ghandi tanpa ragu.

Anjani Pulang

Anjani yang sudah mengetahui tujuan jelas pria tua itu langsung mendongak, tapi saat ini dirinya belum tahu harus bagaimana. Anjani tidak tahu kalau Pak Ghandi itu baik untuknya atau tidak. Lantas Anjani mengulur waktu dan mencoba mencari tahu tentang pria tua itu.

Menurut sang majikan dan orang-orang sekitar, Pak Ghandi memanglah orang yang baik. Karena Pak Ghandi sempat mengajak Anjani ke rumahnya, Anjani memberanikan dirinya untuk ikut.

Selama ini Anjani belum tahu dimana letak rumah Pak Ghandi. Anjani sama sekali tidak penasaran karena sedari awal ia tidak pernah tertarik dengan seorang pria tua.

Mereka berdua berjalan kaki dan sampai di sebuah rumah besar yang bahkan lebih besar dari rumah majikannya Anjani. Rumah dengan gaya klasik berlantai 2, dan terlihat pula sebuah mobil terparkir di halamannya.

Tak diragukan lagi, bahkan isi rumahnya sangat berbeda jauh dengan isi rumah Anjani. Barang-barang elektronik, hiasan-hiasan antik begitupun sejenisnya berjejeran dan juga terpampang rapi.

Terlihat ada seorang anak laki-laki yang sedang duduk di sofa. Pak Ghandi duduk di samping anak itu dan mempersilahkan Anjani untuk ikut duduk juga.

"Ini anak saya Neng, sekarang dia mau naik ke kelas 2 SMA." Ucap Pak Ghandi memperkenalkannya kepada Anjani.

'Ya ampun! Itu anaknya kok seumuran sama saya?! Itu mah temen saya atuh!'

Saat itu, Anjani sudah menginjak usianya yang ke 16 tahun, dan jika Anjani melanjutkan sekolahnya, harusnya ia sudah mau naik ke kelas 2 SMA.

Yang ada di pikiran Anjani, sepantasnya Pak Ghandi itu adalah bapaknya Anjani, bukan suaminya Anjani.

'Kok bapak ini gak malu ya? Aku aja malu.' Gumam Anjani merasa semakin tidak nyaman.

Memang, sejak awal Anjani tidak ingin dekat-dekat dengan Pak Ghandi. Tapi karena pepatah mengatakan bahwa cinta itu tidak memandang usia, ia tak tahu keputusannya akan berakibat baik atau buruk nantinya.

Tanpa mempertimbangkannya kembali, dengan cepat Anjani membulatkan tekadnya. Meskipun Pak Ghandi itu orangnya baik, tapi saat ini ia masih muda dan masih perawan, dirinya berhak mendapatkan calon yang lebih baik (lebih muda) dari Pak Ghandi.

Kunjungan itu berakhir tanpa kejelasan dari Anjani. Anjani juga sama sekali tidak tergiur dengan harta kekayaan yang dimiliki oleh duda tua itu. Yang ada di pikiran Anjani sekarang dirinya harus menolak Pak Ghandi. Anjani pikir Pak Ghandi yang merupakan orang baik itu juga akan mengerti.

"Neng, tadi bapakmu dateng ke sini," ucap Sang Majikan yang tengah berada di depan halaman rumahnya. Saat itu Anjani baru pulang, ia pulang sendirian dari rumah Pak Ghandi karena tidak mau diantar.

"Beneran Bu? Terus Abah saya kemana?" Tanya Anjani antusias.

"Baru saja pulang Neng." Ucap Sang Majikan membuat Anjani merasa sedih.

"Katanya Neng disuruh pulang, Emak sakit," lanjut majikannya.

Seketika Anjani langsung merasa senang, bukan karena mendengar kabar emaknya yang sedang sakit, tapi karena ia akan pergi meninggalkan tempat ini.

"Kalau begitu saya boleh pulang Bu?" Tanya Anjani ragu-ragu.

"Iya boleh Neng," majikannya itu tersenyum kepada Anjani.

Betapa senangnya hati Anjani saat ini, ia akan segera bebas dari duda tua itu dan ia langsung memutuskan untuk segera pulang hari ini juga.

Tak lupa ia memberi kejelasan kepada Pak Ghandi. Tapi ia tidak berani berbicara langsung, jadi ia menitipkan pesan itu kepada majikannya.

Anjani menjelaskan bahwa dirinya tidak bisa menerima lamaran Pak Ghandi. Majikannya itu pun menerima penjelasan Anjani dengan baik, ia juga mengerti jika dirinya sedang berada di posisi Anjani. Pak Ghandi pastinya sangat kecewa, tapi ini adalah hak Anjani sendiri.

***

Setelah beberapa hari di kampung.

"Eh, Anjani, kemana aja? Katanya kamu udah kerja ya?" Ratih yang sedang nongkrong di depan warung, baru melihat lagi wajah temannya yang sudah lama tidak ia temui.

"Hehe.. iya, udah tiga hari aku disini." Jawab Anjani yang kebetulan akan berbelanja di warung itu.

"Pantesan aja gak pernah nongol nongol. Dimana nih? Kerja apa emang An?" Tanya Ratih, penasaran.

"Deket kok, cuma bantu-bantu pekerjaan rumah. Sekalian aku mesantren di sana." Jawab Anjani.

"Wahh.. enak ya udah bisa dapet uang sendiri," Ratih merasa iri, ia tidak bisa bekerja karena saat ini ia sedang mengayomi pendidikan di sebuah SMK.

Sebenarnya Anjani menyembunyikan bahwa dirinya bekerja di dekat sekolah Ratih. Tepatnya, sekolah itu masih satu yayasan dengan pondok pesantren yang ditempati oleh Anjani.

Setiap harinya Anjani selalu berhati-hati agar tidak ada kenalannya yang melihat dirinya berkeliaran di sana.

"Hehe.. iya Rat,"

Meskipun Anjani sudah merasa pintar, tapi ia yang saat itu hanyalah lulusan SD merasa tidak nyaman ketika mengobrol dengan seseorang yang memiliki pendidikan lebih tinggi darinya.

"Kalo gitu kita ke rumahku yuk! Udah lama kita gak ketemu!" Ajak Ratih dengan penuh semangat.

Anjani pikir, Ratih akan sama dengan teman-temannya yang lain. Mereka enggan bergaul dengan Anjani karena sudah memiliki teman baru di sekolahnya masing-masing.

Karena itu, Anjani tidak mau terlalu terbuka kepada Ratih. Ia tidak ingin akrab dengan seseorang yang tidak setia dengan dirinya.

Tapi agaknya Ratih tidak seperti yang Anjani pikirkan. Dari sikapnya, ia bukanlah orang yang membedakan suatu ras berdasarkan tingkat pendidikannya.

Dengan perasaan senang, Anjani menerima ajakan temannya itu. Tapi hari ini ia sedang sibuk di rumah, menggantikan pekerjaan emaknya yang sedang sakit. Anjani berjanji akan pergi ke rumah Ratih ketika emaknya sudah sembuh. Setelah ia selesai berbelanja, ia berpamitan dengan temannya itu lalu pulang ke rumah.

Sampailah di ujung kampung, Anjani masuk ke dalam gubuk sederhana milik keluarganya. Gubuk itu dikelilingi oleh pohon-pohon rimbun, dan di belakang rumahnya hanya ada kebun kebun liar yang jarang diurus.

Meskipun ia memiliki rumah yang sederhana, tetapi kebutuhan hidupnya sudah memenuhi kata cukup. Mereka memiliki sawah dan kebun untuk kebutuhan pangannya. Semua itu sudah sepatutnya mereka syukuri.

Emaknya Anjani sudah sakit selama 5 hari, saat itu juga keluarganya sedang kerepotan karena ini adalah musim panen. Abahnya setiap hari pergi ke sawah untuk memanen padi. Abah mengerjakan semua pekerjaan itu sendirian. Biasanya ia ditemani oleh Emak, tapi saat ini Emak sedang sakit.

Terkadang, Abah selalu mendapat permintaan dari tetangganya untuk mencangkul sawah maupun mengarit rumput untuk hewan ternak, jadi ia selalu pulang terlambat.

"Mak, ini makan dulu. Habis itu minum obatnya ya." Anjani selesai memasak, ia masuk ke kamar dan membawakan makanan untuk emaknya.

"Teh, Indri juga pengen makan atuh," pinta adik perempuan Anjani yang saat itu masih berusia 7 tahun.

"Ehh.. ngambil sendiri atuh, kamu kan udah gede," Anjani enggan mengambilkan makanan agar adiknya itu bisa mandiri.

Tapi, adiknya itu hanya diam dan memasang wajah cemberut. Apa boleh buat, akhirnya Anjani pergi ke dapur dan membawakan makanan untuk adiknya.

Setelah makan dan meminum obat, Emak terlihat sudah tertidur pulas. Anjani memandangi wajah emaknya sambil duduk di atas kursi kayu.

'Emak itu hebat sekali ya, bertahun-tahun lamanya Emak sabar ngurus Anjani sama sekeluarga.' Anjani merasa simpati melihat emaknya yang sedang sakit.

Anjani terus memandangi wajah emaknya itu sambil tersenyum. Ia bergumam tentang perjuangan emaknya sampai-sampai ia ikut tertidur juga.

Tak terasa, senja pun tiba. Abah baru saja sampai di depan rumah saat ba'da Maghrib.

"Assalamualaikum," Abah mengucapkan salam sambil membukakan pintu.

Saat itu, ketiga penghuni rumah terlihat sedang tertidur pulas. Lantas Abah membangunkan mereka untuk menunaikan ibadah shalat maghirb.

"Eh Abah, jam segini baru pulang?"

Anjani yang ketiduran di atas kursi bersama adiknya melihat pemandangan gelap yang masuk melewati jendela. Lantas Anjani langsung bangkit, menyalakan lampu damar dan menutup jendelanya dengan tirai.

"Iya Teh, abis nyangkul di sawah Pak Mamat. Terus Abah abis ngarit dulu buat kambing tetangga."

'Kasihan Abah, tiap hari kerja tak henti-henti. Semoga Abah sehat selalu,' batin Anjani.

Setelah kepulangan Abah, suasana rumah menjadi semakin hangat. Mereka berbincang-bincang di malam hari itu sedangkan Indri tengah belajar ditemani oleh lampu damar.

Terlihat serius, tapi keseriusannya itu menggelitik perut. Hidung Indri terlihat hitam pekat. Sepertinya ia terlalu dekat dengan lampu damar dan menghirup asap hitamnya.

Dahulu, kejadian itu sering dialami juga oleh Anjani. Sampai sekarang, di kampungnya masih belum ada listrik. Maka penerang yang mereka gunakan di malam hari adalah lampu damar atau obor.

***

Esoknya, seperti biasa, Anjani harus bangun pagi hari dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ia selesai mencuci dan menyimpan ember cuciannya di dapur.

Pukul 7 pagi itu sinar matahari belum juga datang. Abah sudah pergi dan berangkat menuju ladang, sebelum itu Anjani sudah menyiapkan bekal untuk abahnya.

"Teh, padi kita kok gak ada satu karung ya? Apa jangan-jangan... ada yang maling?" Tanya Emak yang saat itu sedang menyapu di dapur karena sudah merasa mendingan.

"Ah masa, Emak ini salah ngitung kali," Anjani merasa tidak percaya jika ada maling yang masuk ke dalam rumahnya.

Tiba-tiba ia teringat, "Astagfirullah! Teteh lupa gak masukin padinya ke dalem!"

3 hari sebelumnya, Anjani disuruh oleh Emak untuk mengangkat jemuran padi terakhir yang sudah kering. Anjani selesai memindahkan padi itu ke dalam karung, tapi ia membiarkan karung padi itu di luar karena berat untuk memindahkannya ke dalam.

Apalagi, musim ini hujan sering turun dari ba'da isya sampai pagi hari. Artinya, sudah tiga hari tiga malam padi itu kehujanan.

Semua orang yang ada di rumah juga tidak menyadarinya, tidak ada seorangpun yang lewat ke sana selama 3 hari ini. Mereka juga sudah mempercayakan sekarung padi itu kepada Anjani.

Dimarahi Emak

Anjani yang lupa dengan sekarung padi itu langsung kena marah oleh emaknya.

"Apa?!" Emak terkejut saat mendengarnya.

"Punya anak tidak berguna sekali!"

Tanpa pikir panjang, Emak yang sedang memegang sapu itu langsung memukul-mukul punggung Anjani.

"Buk! Buk! Buk!"

"Abahmu capek-capek ngarit padi tapi kamu malah membuangnya?! Kamu tau padi itu berat?! Abah sendiri yang manggul padi itu dari sawah ke rumah!"

Anjani langsung terjongkok mendapat pukulan itu. Tak henti Emak berbicara dan menyentak-nyentak Anjani.

"Abah mu itu kerja sendirian gak ada yang ngebantuin!"

"Buk! Buk! Buk!"

Seperti orang yang tengah mencuci pakaian dengan cara membanting-tingkannya ke batu, Emak sama sekali tidak peduli dengan rasa sakit yang tengah dirasakan oleh Anjani.

Emak sangat marah, sudah pasti padi itu membusuk karena sudah 3 hari 3 malam terkena hujan dan tidak dijemur lagi.

"Hiks.. Hiks.."

Anjani hanya bisa menangis, sejak dulu emaknya itu memang selalu bersikap kasar dalam mendidik dirinya. Tapi berbeda jika emak mendidik adiknya, Indri.

"Hiks.. hiks.." Anjani tak berani melawan, ia hanya menerima nasibnya itu.

Setelah beberapa saat, tak disangka, Indri yang masih berusia 7 tahun melihat kejadian itu secara langsung. Ia tertegun di tempat dan memandang histeris ketakutan.

Emak yang menyadari hal itu langsung berhenti mengayunkan sapunya. Ia mengajak anak bungsunya itu untuk pergi ke kamar dan meninggalkan Anjani. Indri hanya terlihat diam dan pergi menuruti perkataan emaknya.

'Emak kok kasar sekali sama Anjani?' Air mata Anjani tak henti-hentinya menetes.

'Kalau lupa ya mau dibagaimanakan lagi?'

Anjani merasa emaknya sudah keterlaluan, manusia mana yang tidak pernah khilaf dan berbuat salah? Kejadian seperti ini juga tidak hanya terjadi sekali saja.

Dulu, saat Anjani masih duduk di bangku sekolah dasar, ia pernah mengalami hal yang serupa. Alasannya karena ia lupa memberikan rantang makanan kepada neneknya dan malah bermain bersama teman-temannya.

Dadanya terasa sesak dan sakit. Selama ini Anjani bekerja keras hanya untuk membahagiakan kedua orang tuanya. Ia sendiri juga sudah membantu menjemur padi, tapi Anjani merasa, hanya karena 1 kesalahan saja jasanya itu tidak pernah dianggap sama sekali.

Entah apa yang ada di pikiran Emak, mungkin Anjani harus jadi manusia yang sempurna, yang tidak mengenal kata lupa. Sedangkan Indri, ia tak pernah sekalipun terlihat diperintah ini itu oleh Emak.

'Mungkin emak memang lebih sayang sama Indri. Mungkin selama ini yang lebih berguna adalah Indri.'

"Hiks.. hiks.."

Meskipun Emak terlihat lebih sayang kepada Indri, tapi Anjani sama sekali tidak membenci adiknya itu.

Saat ini punggung Anjani memerah dan terasa sangat sakit. Berjam-jam lamanya Anjani hanya duduk sendirian di dapur sambil meratapi kesedihannya. Tak ada seorangpun di sana yang datang menghampirinya.

'Kalau ada Abah, pasti tidak akan terjadi hal seperti ini.'

Abah anjani memang selalu bersikap baik. Ia juga selalu terlihat menunjukkan kasih sayangnya kepada Anjani. Tapi saat ini Abah sudah pergi ke ladang, Anjani rindu sosok Abah yang berada di sisinya.

Akhirnya Anjani bangkit, menyudahi air matanya dan pergi membersihkan diri. Hatinya merasa sakit, ia berniat untuk pergi dari rumahnya ini.

'Tapi kemana?'

Sebagai seorang gadis, ia terlalu takut untuk pergi sendirian. Apalagi di pelosok desa yang penuh dengan hutan seperti ini.

Anjani terpikirkan sesuatu, ia masih punya Ratih. Sebelumnya Ratih sudah pernah mengajak Anjani ke rumahnya. Lantas Anjani pergi dari rumah tanpa memberitahu siapapun.

Ia tidak berniat untuk kabur, hanya saja ia ingin tahu apakah orang tuanya akan mencarinya atau tidak. Jika orang tuanya memang tidak mencarinya, dengan senang hati ia akan meninggalkan kampung itu.

Anjani berjalan kaki dari ujung kampung ke tengah kampung. Pemandangan yang ia lewati sepanjang jalan begitu amat sejuk dipandang. Kampungnya yang berada jauh dari perkotaan itu juga jauh dari kata polusi.

Karena ia berada di dataran tinggi, ia bisa melihat pemandangan desa-desa lain yang nampak hijau seperti bukit. Apalagi saat ia melewati sebuah jalan setapak yang diantara kedua sisinya adalah jurang, kurang lebih tingginya 20 meter.

Jalan itu disebut Pasir Urug atau dalam bahasa Indonesianya adalah pasir longsor. Meskipun dinamai seperti itu, jalan yang berdiri di tengah-tengah jurang itu sangat kokoh dan umum dilalui orang-orang.

Saat menoleh ke kanan, ia bisa melihat sungai dan sawah-sawah yang berada di bawah jurang. Sementara di sebelah kirinya terlihat rumah-rumah penduduk yang berjarak agak jauh dari jurang itu.

Setelah berjalan sekitar 3 menit dari sana, akhirnya Anjani sampai di depan rumahnya Ratih.

"Assalamu'alaikum! Ratih..." Panggil Anjani dari luar.

"Iya! Wa'alaikumsallam," Terlihat sosok Ratih yang membukakan pintu.

"Anjani? Ayo, ayo masuk!" Ratih terlihat begitu ramah.

Hari ini adalah hari sabtu, Anjani tahu bahwa sekolah Ratih libur pada hari sabtu. Jadi ia mencoba mengunjunginya untuk menghilangkan sedikit kesedihannya.

"Emak kamu sudah sembuh An?" Ratih membawakan segelas air putih dan meletakkannya di atas meja.

"Belum," jawab Anjani jujur. Wajahnya tidak menampakkan rasa sakit yang saat ini sedang ditahannya.

Anjani bingung mau berbicara apa, saat ini hatinya tengah diselimuti oleh kesedihan. Ia butuh seseorang yang dapat menghibur dirinya. Tapi apakah Ratih akan mengerti dan bisa meredakan rasa sakitnya?

"An, kok diam saja? Hehehe.. apa disini membosankan ya?" Tanya Ratih, merasa tidak enak.

"Ah, tidak kok! Justru aku ke sini karena merasa kesepian," tatapan Anjani terlihat kosong, Ratih merasa ada yang aneh dengan Anjani.

"An..."

Tiba-tiba terdengar suara motor yang mengalihkan perhatian Ratih. Sudah pasti suara motor itu berasal dari seseorang yang ia kenal.

"Assalamu'alaikum!" Setelah beberapa saat, suara sahutan terdengar dari luar.

"Sebentar ya aku lihat dulu," ucap Ratih sambil bergegas menuju pintu.

"Wa'alaikumsallam. Eh? Darma? Kirain gak bakalan ke sini." Ratih membukakan pintu, ia terlihat malu-malu. Ia mempersilahkan pacarnya, Darma untuk masuk.

"Loh? Ada temen kamu?" Tanya Darma yang melihat Anjani sedang duduk di kursi.

"Iya hehe, udah lama kita gak ketemu." Jawab Ratih sambil tersenyum.

Darma datang bersama 1 orang temannya. Mereka tinggal di perbatasan kota yang jaraknya lumayan jauh dari desanya Ratih.

Tepat di depan pintu, Adwi yang merupakan temannya Darma langsung membelalak melihat seorang gadis cantik nan anggun yang sedang duduk di atas kursi.

Adwi tertegun di depan pintu dan bingung harus berjalan kemana. Ekspresinya itu membuat Ratih dan Darma yang merupakan sepasang kekasih menjadi keheranan.

Seketika mereka berdua langsung paham, sepertinya Adwi sedang jatuh cinta pada pandangan pertamanya.

"Nak Adwi, silahkan duduk Nak," Darma mempersilahkan Adwi untuk duduk di samping Anjani, ia berlagak layaknya orang tua.

Tapi sebelum itu Darma sudah membisikkan sesuatu ke dalam telinga Adwi. Mengetahui kedatangan 2 orang tamu, Anjani bahkan tidak menolehkan pandangannya sama sekali. Ia hanya terlihat menunduk malu.

"Ha-hai, apa kamu mau menjadi pacarku?" Tanpa basa-basi Adwi yang baru saja duduk di samping Anjani langsung menyatakan perasaannya kepada Anjani.

Bagaimana bisa Adwi mengatakan hal yang seperti itu? Ini pertama kalinya mereka bertemu. Apalagi mereka belum saling mengenal nama masing-masing.

Anjani yang mendengar pertanyaan itu langsung mendongak, ia tidak percaya akan hal ini. Anjani langsung melihat wajah dari seseorang yang memiliki pertanyaan itu. Jantungnya seketika berdebar kencang.

Tampan..

Putih..

Dan, sepertinya ia serius..

"I-iya!" Anjani langsung terpikat oleh Adwi yang sama sekali belum ia kenal.

Entah mengapa Anjani langsung melontarkan jawabannya tanpa pikir panjang. Yang ia rasakan adalah, rasa sakit yang ia bawa dari rumah perlahan mulai menghilang. Adwi bagaikan seorang malaikat penyembuh bagi dirinya.

Tuan rumah dan kekasihnya terlihat mesem-mesem. Anjani merasa malu, tapi ini bukan kali pertamanya ia berpacaran. Ratih dan Darma menghiraukan Adwi dan Anjani, membiarkan mereka untuk lebih saling mengenal.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!