Aisha segera menutup laptopnya ketika dia mendengar suara pintu diketuk, dia segera berdiri kemudian berjalan mendekati pintu untuk membukanya.
"Kakak dipanggil Abah," ucap Maryam, adiknya.
Aisha mengangguk pelan.
"Sebentar, kakak ambil niqab kakak dulu," ucap Aisha sambil berjalan mendekati mejanya, diikuti oleh sang adik di belakangnya.
Aisha mengambil cadar lalu segera memakainya.
"Kakak," ucap Maryam yang berdiri di belakang Aisha.
"Hmm.." jawab Aisha yang sedang merapikan cadar yang baru dipakainya.
"Kakak akan menikah?" tanya Maryam pelan, ada nada kesedihan dalam pertanyaannya.
Aisha segera membalikkan badannya, melihat Maryam yang kini tertunduk lesu.
Aisha tersenyum, dia memegang wajah adik bungsunya dengan lembut.
"Seperti Kak Siti, Kak Lela, dan Kak Zainab, kakak juga pasti akan menikah sayang."
Mendengar jawaban Aisha, Maryam segera memeluknya dengan erat.
"Terus Maryam akan sendirian di rumah ini?"
Aisha tersenyum.
"Kok sendiri? Kan ada Ummi dan Abah?" jawab Aisha sambil mengusap lembut punggung adiknya.
Maryam menggelengkan kepalanya.
"Ada Ummi saja, Abah jarang ada dirumah." Maryam menjawab dengan cemberut.
Aisha tersenyum.
"Udah. Katanya Abah memanggil Kakak, nanti Abah marah loh." Aisha melepaskan pelukan adiknya lalu menariknya berjalan keluar kamar untuk menemui sang ayah di pendopo pesantren yang berada tak jauh dari rumah.
****
"Tanggal pernikahanmu sudah ditetapkan nak," ucap Abah mengagetkan Aisha.
Namun sekaget apapun Aisha masih menundukkan wajahnya di hadapan sang ayah, dia hanya menjawab dengan anggukan kecil saja.
"Minggu depan kamu akan menikah sayang." Ummi yang duduk di samping Aisha mengusap lembut punggung putrinya.
Aisha melirik sang ibu di sampingnya, dengan senyuman kecil dibalik cadarnya yang entah terlihat atau tidak Aisha lagi-lagi mengangguk pelan.
"Persiapkan dirimu Nak, sebentar lagi kamu akan segera menjadi seorang istri, mudah-mudahan ilmu dan ajaran agama yang Abah dan Ummi tanamkan padamu sejak kecil bisa menjadikanmu istri yang shalihah," ucap Abah.
"Iya Abah," jawab Aisha pelan.
Zainab sang kakak mendekati Asha lalu memeluknya erat.
"Kamu akan pergi dari sini, seperti Kak Siti dan Kak Lela, kamu akan ikut suamimu, kamu tahu sebenarnya kakak sedih karena harus berpisah dengan kalian, tapi seperti apa kata Abah dan Ummi, fitrah seorang perempuan adalah bersama suaminya."
***
Setelah selesai Aisha berjalan bersama Maryam menuju rumah mereka, sepanjang jalan banyak santri wanita yang menyapanya dengan memberi salam.
Aisha tampak menjawab salam mereka dengan ramah, sebagai salah seorang putri dari pimpinan pondok pesantren tempat mereka belajar, Aisha sudah pasti dikenal oleh seluruh santri wanita disana, apalagi dia yang selalu aktif mengikuti seluruh kegiatan dan bahkan sesekali Aisha menjadi pembimbing bagi santri disana.
Sesampainya di rumah, Aisha segera masuk ke dalam kamarnya, dia lalu membuka niqabnya sambil duduk perlahan di atas kasurnya.
Aisha mengingat kembali perkataan sang ayah jika Minggu depan dia akan segera menikah.
Aisha merebahkan tubuhnya di atas kasur.
"Akhirnya hari itu datang juga, Minggu depan aku akan menikah dan akan meninggalkan tempat ini," gumam Aisha pelan.
Aisha mencoba mengingat kembali calon suami yang hanya baru sekali dia temui, dan itupun sudah sangat lama sekali kira-kira 3 tahun yang lalu, dari pertemuan itu dia tidak begitu jelas melihat wajah calon suaminya, bahkan bisa dibilang kalau dia sama sekali tidak melihatnya, selain karena dia selalu menundukkan kepalanya waktu itu, melihat wajah seorang pria bukan mahramnya tidak pernah dan tidak berani dia lakukan.
Tentu saja, Aisha tumbuh dan berkembang di lingkungan pesantren, ajaran agama telah diajarkan padanya di usianya yang sedini mungkin, dia tumbuh di lingkungan yang ketat akan aturan dan ajaran agama, apalagi sang ayah yang menjadi Pimpinan Pondok Pesantren lebih mengajari semua anak-anaknya sendiri dengan aturan yang lebih ketat lagi keras. Tak heran jika kesemua anaknya tumbuh dengan bekal ilmu agama yang melekat pada diri mereka dengan kuat.
Hasil dari didikan itulah ketiga kakak laki-laki Aisha kini mengikuti jejak sang ayah, semuanya menjadi ustadz yang membantu sang ayah membimbing para santri laki-laki disana sementara ketiga kakaknya yang perempuan sudah menikah namun ada masih aktif menjadi pembimbing bagi para santri wanita, seperti Zainab yang dinikahkan ayahnya dengan salah seorang ustadz yang juga pembimbing di pesantrennya, sementara Lela dan Siti ikut suaminya, Lela dipinang oleh salah seorang hafidz Qur'an dan kini ikut suaminya ke Mesir, sementara Siti menjadi menantu dari salah satu sahabat baik ayahnya seorang alim ulama yang juga pimpinan Pondok Pesantren di luar daerah.
Lalu bagaimana dengan nasib Aisha?
Nasib Aisha sama seperti kesemua kakak-kakaknya, menikah karena dijodohkan, sang ayah telah mencari dan memilihkan jodoh terbaik untuk putra-putrinya, ingin agar semua calon menantunya mempunyai dasar ilmu agama yang kuat, karena itu hampir semua menantunya juga sama-sama putra atau putri dari Kyai atau ustadz yang tak beliau ragukan lagi kadar keilmuannya akan agama.
Namun kali ini berbeda dengan Aisha, rupanya dia akan dinikahkan bukan dengan anak seorang Kyai atau ustadz sama seperti yang lainnya, melainkan anak dari sahabatnya sedari kecil.
"Nikahkan salah satu putrimu dengan putraku satu-satunya, aku ingin sekali berbesan denganmu."
"Aku ingin mempunyai menantu yang shalihah, menantu yang nantinya melahirkan cucuku dan mendidiknya menjadi anak-anak yang juga shalih shalihah."
"Aku yakin jika kriteria menantu idamanku ada pada semua putrimu, karena itu aku ingin melamar salah satu dari mereka untuk putraku."
Permintaan sahabat Abah itu telah diutarakannya beberapa tahun yang lalu, waktu itu kesemua putrinya belum ada yang menikah, namun Abah tidak bisa menikahkan Siti, Lela atau Zainab pada putra temannya karena mereka semua sudah ada yang meng-khitbah jauh jauh hari.
Akhirnya demi untuk memperpanjang tali silaturahmi, juga untuk merekatkan hubungan kekerabatan mereka, Abah memilih Aisha untuk dinikahkan dengan putra sahabatnya itu. Walaupun sebenarnya sang calon menantu tidak sesuai kriterianya
"Anakku seorang seorang dokter, dia akan lulus program spesialisasinya 2 tahun lagi, tadinya aku ingin segera menikahkannya dengan putrimu sesegera mungkin, tapi ternyata dia ingin menyelesaikan kuliahnya dulu."
"Tidak apa-apa, tidak usah terburu-buru lagi pula, putriku juga masih terlalu dini untuk dinikahkan sekarang, usianya baru 17 tahun."
"Kalau begitu pas sekali, tiga tahun lagi setelah anakku selesai program spesialisasinya dan putrimu genap berusia 20 tahun, mari kita nikahkan mereka."
Abah menyetujuinya.
Betapa senangnya sahabat Abah waktu itu, dia tak menyangka jika lamarannya akan diterima, sahabatnya itu berkenan menikahkan salah satu putrinya dengan putra satu-satunya.
Tentu saja siapa yang tidak senang mendapatkan seorang besan seperti Haji Bakar At-Thayyib, seorang pimpinan Pondok Pesantren yang cukup terkemuka, pesantrennya terbilang cukup besar walaupun berada di pinggiran kota. Putra-putrinya juga dikenal menjadi anak yang berbakti, shalih dan shalihah.
Sementara itu, walaupun diliputi sedikit keraguan karena akan menikahkan Aisha dengan seorang dokter yang sama sekali bukan kriterianya, namun Abah menyerahkan semuanya kepada Allah SWT dan yakin jika ini adalah jalan takdir-Nya, kemudian beliau yakin jika dokter juga adalah pekerjaan mulia, syiar agama tidak melulu harus berdakwah dan mengajar, tapi bisa juga dengan membantu sesama dan menjadi dokter salah satunya.
Dan hal lain yang juga membuatnya yakin adalah beliau sudah sangat mengenal Haji Daud, sahabatnya itu orang yang sangat baik, mereka berteman sejak masih kecil, saat keduanya menuntut ilmu di pesantren yang sama, persahabatan mereka tak lekang oleh waktu, masih terus terjaga baik hingga saat ini, Haji Daud seringkali menyambangi pesantrennya demi untuk mempererat tali silaturahmi, tak jarang beliau juga seringkali memberikan bantuan atau sumbangan untuk kemajuan pesantren. Sehingga Abah yakin jika putranya juga pasti orang yang baik dan layak untuk dijadikan suami Aisha.
Alvian merenung di balkon, sibuk dengan pikirannya, berkali-kali membasuh wajahnya dengan kasar.
"Ibu tahu apa yang kamu pikirkan." Alvian dibuat kaget dengan kedatangan ibunya yang tak disadarinya, saking sibuk dengan pikirannya yang kalut.
"Kamu akan menikah besok, bukan dengan wanita pilihanmu sendiri tapi pilihan orang tuamu." Ibu berdiri di samping Alvian, putra satu-satunya.
Alvian tak menjawab dia hanya kembali menatap kosong pemandangan langit malam yang terang karena rembulan.
Ibu melirik Alvian di sampingnya.
"Yakinlah jika pilihan kami pasti yang terbaik untukmu."
Alvian tak segera menjawab, dia hanya menarik napas dalam lalu membuangnya kasar.
"Semoga saja demikian," jawabnya kemudian dengan datar.
***
"Calon suamimu adalah seorang dokter, setelah menikah kamu akan ikut dengannya ke kota, kamu akan tinggal di lingkungan baru dengan suasana baru yang pastinya sangat berbeda dengan disini, Ummi hanya berharap kamu bisa tetap istiqamah dengan apa yang sudah Abah dan Ummi ajarkan padamu, dan terutama jadilah istri yang shalihah." Ummi memegang tangan putrinya.
Aisha menatap wajah sang ibu.
"Aisha akan mengingat semua nasihat Ummi dan Abah."
Ummi mengangguk sambil tersenyum lalu kemudian memeluk putrinya.
"Satu persatu anak Ummi pergi ikut suaminya, sebagai seorang ibu tentu saja Ummi sangat bersedih harus berpisah dengan kalian." Ummi mencoba menahan tangisnya.
Aisha mengeratkan pelukannya.
"Aisha akan sering mengunjungi Ummi nanti."
Ummi melepaskan pelukannya.
"Tidak nak. Suamimu seorang dokter, dia pasti sangat sibuk dengan pekerjaannya, jangan memintanya untuk sering-sering datang kesini, jangan merepotkannya. Datanglah jika dia yang mengajaknya."
Aisha terdiam.
"Setelah menikah, prioritas utama seorang wanita adalah suami dan keluarganya, bukan lagi orang tuanya dan ingat Istri yang shalihah yaitu yang taat pada suaminya, ingat itu baik-baik nak, Ummi sudah seringkali mengajarkan itu pada semua putri Ummi."
Aisha mengangguk.
Ummi tersenyum kemudian mengelus kepala Aisha.
"Besok hari pernikahanmu. Ummi yakin jika kamu sudah siap."
***
Aisha digandeng oleh sang ibu mertua menuju ke sebuah kamar.
"Ini kamar suamimu," ucap ibu dengan sumringah.
Aisha melihat pintu di depannya.
Ibu lalu membuka pintu kamar dan mempersilahkan Aisha untuk masuk.
"Masuklah, kamar mandinya ada di sebelah sana. Gantilah baju dan istirahatlah."
Aisha melihat sekeliling kamar.
"Dengar, jangan sungkan, ini rumahmu sekarang." Ibu berjalan mendekati Aisha.
"Kamu juga putriku sekarang, anggap ibu seperti ibumu sendiri." Ibu memegang tangan Aisha, senantiasa disertai dengan senyumannya yang hangat.
"Iya bu..Terima kasih."
"Baiklah ibu tinggal dulu, mandilah dan istirahat, oh iya Alvian mungkin masih mengobrol dibawah karena banyak saudara-saudaranya yang datang," ucap ibu sembari berjalan meninggalkan kamar.
Aisha mengangguk.
Sepeninggal ibu mertuanya, Aisha kembali melihat sekeliling, mengamati seisi kamar yang terlihat sangat rapi dan bersih. Matanya kemudian terhenti pada sebuah foto yang terletak di atas nakas di samping tempat tidur, Aisha berjalan mendekatinya.
Aisha mengambil bingkai foto itu, dia mengamati sosok orang di dalam foto yang tak lain adalah Alvin, pria atau lebih tepatnya orang asing baginya tapi kini berstatus sebagai suaminya.
Aisha terus mengamati wajah di foto itu dengan seksama, karena baru kali ini dia bisa melihat wajah suaminya dengan jelas, hingga dia tahu jika benar apa yang dikatakan oleh teman-teman santrinya jika suaminya mempunyai wajah yang tampan.
Selama acara pernikahan tadi siang, Aisha sama sekali tidak berani menatap atau bahkan melihat wajah suaminya, walaupun mereka disandingkan di atas pelaminan dan saling berdekatan, namun tentu saja rasa canggung teramat sangat Aisha rasakan, hingga untuk mencuri pandang saja dia tidak berani melakukannya.
Setelah acara yang diselenggarakan secara sederhana itu selesai, Aisha langsung diboyong keluarga suaminya untuk langsung ikut ke rumah mereka, tentu saja dengan diiringi isak tangis terutama Maryam yang terlihat sangat bersedih, Aisha pergi meninggalkan rumah tempat dia dibesarkan.
Mengingat itu rasa sedih kembali dirasakannya, namun segera dia mencoba menguasai perasaannya, dia tidak ingin terlihat sedih apalagi di hadapan suaminya nanti.
Mengingat suami, Aisha teringat akan sesuatu, dia lalu melirik beberapa koper miliknya yang rupanya sedari tadi sudah ada di dalam kamar itu.
Aisha mendekati koper itu, lalu mendorongnya menuju ke dalam kamar mandi.
***
Aisha berjalan keluar dari kamar mandi dengan perlahan, walaupun dengan sedikit ragu-ragu disertai perasaan yang bercampur aduk, dia terus memberanikan diri berjalan mendekati sesosok pria yang tak lain adalah suaminya tengah sibuk menelepon di balkon kamar mereka.
Sebelum semakin dekat, Aisha menghentikan langkahnya, dia kemudian melihat dirinya pada pantulan kaca yang berada tak jauh dari sana.
Aisha bergidik sendiri melihat tubuhnya kini hanya berbalut baju tidur yang tipis nan menerawang, yang seumur hidupnya baru kali ini dia mengenakannya, tidak seperti biasanya yang selalu berbalut baju syar'i lengkap dengan niqabnya, malam ini dia membiarkan tubuhnya terekspos sempurna.
Sudah pasti karena ini malam pertama pernikahan baginya dan sang suami, dia yang sudah dibekali cukup ilmu agama tahu jika kini saatnya dia harus melayani sang suami, siap tidak siap, mau tidak mau dia harus melakukannya karena itu adalah kewajibannya sebagai seorang istri.
Aisha kembali melangkahkan kakinya mendekati pintu menuju balkon yang sedikit terbuka, walaupun sudah semakin dekat, suaminya tetap tak menyadari kehadirannya karena masih sibuk dengan teleponnya.
"Aku tidak akan menyentuhnya, aku tidak mungkin menyentuhnya karena aku hanya mencintaimu."
Seketika Aisha menghentikan langkahnya, dia tertegun sejenak ketika tak sengaja mendengar percakapan suaminya dengan seseorang di ujung telepon.
"Aku tidak akan menyentuhnya walaupun dia istriku sekarang. Aku janji."
Sekali lagi Aisha mendengarnya dengan jelas, membuat hatinya begitu hancur, berkeping-keping.
Sontak Aisha berjalan mundur dengan perlahan, dia tidak ingin Alvian tahu jika dirinya tak sengaja mendengar percakapannya Aisha terus mundur sambil menahan isak tangisnya, menahannya sekuat mungkin agar Alvian tidak menyadari kehadirannya, dia tak ingin suaminya itu melihat dirinya dengan baju yang dikenakannya, karena itu akan sangat membuatnya malu.
Malu karena dirinya terlalu percaya diri jika suaminya menginginkannya malam ini.
Akhirnya Aisha sampai di dalam kamar mandi tanpa diketahui oleh Alvian yang masih sibuk dengan teleponnya.
Aisha menangis tersedu, dia mencurahkan kesedihannya mengetahui jika suaminya ternyata mencintai wanita lain.
"Ummi...," ucap Aisha pelan di sela-sela tangisnya.
Alvian menyudahi pembicaraannya di telepon, dia lalu membalikkan tubuhnya, sedikit mendongakkan kepala ke dalam kamar untuk mencari Aisha yang tidak nampak olehnya, dia lalu melihat pintu kamar mandi yang masih tertutup.
Alvian tak peduli walaupun sebenarnya dia tahu ini sudah terlalu lama bagi istrinya itu berada disana, tapi sekali lagi dia tak peduli karena sekarang yang ada di pikirannya hanya sang kekasih yang saat ini sedang hancur hatinya.
Ya. Saat ini wanita yang dicintainya pasti tengah merasa hancur karena Alvian telah menikahi wanita lain.
Demi baktinya pada orang tua membawanya pada kepasrahan untuk dijodohkan, bersedia menikahi wanita yang bahkan melihat wajahnya saja Alvian tak pernah.
Menolak perjodohan sudah pernah dia coba utarakan, namun seperti biasanya keputusan sang Ayah bersifat mutlak, tidak bisa diubah atau di ganggu gugat.
Alvian ingin sekali memberontak tapi lagi-lagi rasa baktinya mengalahkan gejolak penolakan di hatinya, hingga kepasrahan menjadi titik terakhirnya menerima perjodohan paksa ini.
Padahal bukan wanita ini yang dia inginkan, ada wanita lain. Ya! Wanita lain yang sangat dicintainya yang sebenarnya dia inginkan untuk menjadi pendamping seumur hidupnya.
Ceklek.
Alvian mendengar pintu kamar mandi terbuka.
Wanita itu akhirnya keluar juga, pikirnya.
Alvian tersenyum kecut, ketika dia melirik Aisha keluar dengan pakaian syar'i lengkap dengan cadarnya.
Cadar!
Alvian menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Aisha tetap memakai cadar di malam hari seperti ini, bahkan di dalam kamar disaat tidak ada orang lain selain dirinya yang notabenenya kini adalah suaminya, orang yang sudah halal bukan hanya melihat wajahnya saja tapi bahkan seluruh tubuhnya jika dia mau.
Tapi sejurus kemudian dia kembali tak peduli, ketika Alvian melihat Aisha berjalan mendekati tempat tidur pun dia tampak acuh.
Alvian hanya bergegas memasuki kamar mandi, segera menutup pintunya dengan sedikit kasar hingga membuat Aisha kaget.
Di balik cadar yang dikenakannya, bulir-bulir air mata Aisha kembali mengalir, sembari mengambil satu bantal di atas tempat tidur, Aisha menahan kesakitan yang teramat dalam.
Aisha merutuki nasibnya, bukan saja akan diabaikan, apalagi berharap untuk diterima sebagai istri dan dicintai, suaminya justru memperlihatkan sikapnya yang dingin dan kasar.
Beberapa saat kemudian.
Mendapati Aisha sudah berbaring di sofa ketika dia keluar dari kamar mandi membuat Alvian merasa lega, seolah wanita itu tahu akan keinginannya jika malam ini tidak akan terjadi sesuatu.
Bukan! Bukan hanya malam ini, Alvian memastikan jika tidak akan pernah terjadi sesuatu diantara mereka juga di malam-malam berikutnya, dia sudah berjanji pada Anita jika istrinya tidak akan pernah disentuhnya. Semuanya dia lakukan sebagai bukti cintanya pada Anita dan bukti bahwa pernikahan ini bukanlah kehendaknya.
Lagi pula, sebenarnya bagaimana dia bisa menyentuh Aisha, ikatan pernikahan saja yang menyatukan mereka, hingga membuat keduanya berstatus suami istri, namun baginya wanita itu adalah orang asing yang tidak dikenalnya.
Alvian menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur, dengan cepat memiringkan badannya membelakangi Aisha.
Hingga malam itu, tidak ada sepatah katapun perbincangan di antara keduanya semenjak mereka telah sah menjadi suami istri.
Mereka terlalu sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Alvian sibuk memikirkan Anitanya.
Sementara Aisha dengan kesedihannya.
***
Keesokan harinya.
Pada saat sarapan, Alvian berbicara kepada kedua orang tuanya jika dirinya harus segera kembali ke kota.
Tentu saja orang tuanya kaget karena sepengetahuan mereka masa cuti putranya belum habis.
"Rumah sakit membutuhkanku, tiba-tiba banyak pasien yang harus menjalani operasi," jawab Alvian ketika ibu menanyakan alasan kepulangannya ke kota dipercepat.
"Baiklah. Cepatlah kembali ke kota kalau seperti itu." Ayah ternyata cukup mengerti.
Alvian terlihat senang. Dia langsung berdiri dari duduknya.
"Aisha. Sebelum pergi sebaiknya sekarang kalian pergi dulu ke Pondok Pesantren, pamitan kepada Ummi dan Abah." Ayah melihat Aisha yang sedari tadi hanya terdiam saja.
Alvian terlihat kaget mendengar perkataan ayahnya, dia kembali duduk sambil melihat sang ayah dengan tidak percaya.
"Kenapa?" tanya Ayah melihat kekagetan putranya. "Jangan katakan kalau kamu tidak berniat mengajak istrimu ke kota."
Alvian terlihat gelagapan.
"Iya ayah, aku pikir Aisha sebaiknya tinggal disini saja bersama kalian. Jarak dari sini ke kota hanya sekitar dua jam saja, aku akan pulang seminggu sekali."
Ayah mengerutkan keningnya.
"Bagaimana bisa seperti itu, kalian suami istri tapi akan tinggal berjauhan?" tanya Ayah dengan nada sedikit meninggi.
Alvian terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat untuk dijadikan alasan pada sang ayah agar Aisha bisa ditinggalkannya disini.
"Iya Nak. Jangan seperti itu, kalian suami istri harus selalu bersama-sama, lagi pula kamu juga ada yang mengurus jika Aisha ikut bersamamu ke kota," ucap ibu yang sependapat dengan suaminya.
Aisha yang diperdebatkan hanya bisa terdiam dengan rasa sakit mengetahui jika suaminya sendiri enggan untuk mengajaknya tinggal bersama dan dia tahu pasti alasan dibalik semua itu.
"Tapi ibu. Aku hanya merasa kasihan pada Aisha, pekerjaanku sangat banyak, waktu kerjaku tidak tentu, aku akan sering menghabiskan waktu di Rumah Sakit, kalau seperti itu, Aisha akan sendirian di rumah, jadi lebih baik dia disini bersama kalian."
Apapun alasan Alvian, kedua orang tuanya tetap tidak setuju, mereka ingin agar Alvian mengajak Aisha bersamanya.
Akhirnya, Alvian menyerah. Dia mengikuti kemauan ayah dan ibunya walaupun dengan berat hati Alvian memutuskan untuk mengajak Aisha ke kota.
***
Walaupun jarak antara rumah mertuanya dan Pondok Pesantren tidak begitu jauh, namun Aisha memilih untuk berpamitan kepada Ummi dan Abah melalui telepon saja.
Dia tak ingin bertemu sang ibu, karena dengan melihat wajahnya saja, ibunya akan tahu akan kesedihan yang sedang dirasakannya.
Sudah setengah perjalanan dan keduanya terus diam membisu, tetap tak ada sepatah katapun yang keluar diantara suami istri itu.
Sementara Alvian sibuk menyetir, Aisha yang duduk di sampingnya hanya terus melihat ke arah jendela di sampingnya.
"Satu tahun," ucap Aisha tiba-tiba tanpa melihat sang suami di sampingnya.
Alvian terlihat kaget, dia melirik Aisha, tidak mengerti dengan maksud ucapannya.
"Setelah satu tahun mari kita bercerai," ucap Aisha datar dengan tatapan kosongnya melihat jendela mobil di sampingnya.
Alvian terlihat lebih kaget lagi, dia langsung menepikan mobilnya.
"Apa maksudmu?" tanya Alvian sembari mencoba melihat wajah istrinya yang tertutupi oleh cadar.
"Orang tua kita akan mengerti, pernikahan karena perjodohan banyak yang tidak berhasil," jawab Aisha dengan tenang masih tanpa melihat suaminya.
Alvian termenung sejenak.
Kini dia sedikit mengerti, rupanya bukan dirinya saja yang merasakan keterpaksaan pernikahan ini, namun nyatanya Aisha juga merasakan hal yang sama sepertinya.
"Baiklah kalau begitu," jawab Alvian kemudian sambil menghidupkan mesin mobilnya dan melajukan kembali kendaraannya, kembali menyetir dengan perasaan sedikit lega dan senang tentunya, karena keputusan Aisha barusan seperti memberikan angin segar untuk hubungannya dengan sang kekasih.
Sementara itu dibalik cadarnya, Aisha sedari tadi berusaha nampak tenang dan tegar, walaupun pada kenyataannya hatinya sangatlah rapuh dan pedih.
Pedih karena akan banyak hati yang terluka akan keputusannya ini, sudah terbayangkan olehnya bagaimana reaksi kedua orang tuanya ketika mengetahui perceraian mereka nanti, ayahnya akan merasa bersalah karena kegagalan perjodohan ini, sementara ibunya akan terluka karena putrinya menjadi seorang janda.
Tapi keputusannya ini sudah dipikirkannya secara matang, dan menurutnya ini yang terbaik, karena bagaimana bisa mempertahankan rumah tangga jika salah seorang diantara mereka mencintai orang lain.
Di sisa akhir perjalanan mereka, dihabiskan kembali dengan kesunyian, setelah di sela dengan percakapan pertama mereka yang justru membicarakan tentang perceraian.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!