*Aku membuka kotak peninggalan Kaisar, anakku yang bekerja menjadi seorang arkeolog. Dan saat aku buka, ternyata di dalamnya hanya ada beberapa pecahan artefak*.
*Kemudian aku menyusun artefak itu, karena penasaran. Dan akhirnya aku berhasil menyusun artefak itu menjadi utuh. Saat susunan artefak itu telah sempurna, keluar cahaya dari garis-garis pecahan itu. Kemudian cahaya terang menyelimuti diriku*.
*Aku pun terbangun dari tidurku, dan betapa terkejutnya aku. Saat aku terbangun yang pertama kali kulihat adalah aku berada di kamarku jaman dahulu, saat aku masih sekolah*.
*****
Beberapa jam sebelum menyusun artefak,
*Pagi hari yang mendung dan hujan gerimis yang mengguyur bumi. Seakan menggambarkan suasana hatiku saat ini. Ku tetap berdiri di depan makam anak pertamaku yang baru saja dikebumikan. Putraku satu-satunya yang aku punya kini meninggalkan aku juga seorang diri*.
Di samping makam putraku ada makam mendiang istriku, yang sudah lama sekali meninggal. Dan makam putra kedua aku yang belum pernah bisa melihat indahnya dunia pun berada di samping makam istriku.
Ketiga makam orang-orang yang aku cintai dan sayangi, kini berjajar rapi di hadapanku. Aku selalu meratapi kebodohan diriku, yang tidak pernah memahami keadaan keluargaku.
Putra kedua aku yang terlahir prematur, karena kesehatan istriku yang terganggu. Akibat kelelahan bekerja dan mengurus rumah. Dan aku yang saat itu sedang ada jadwal operasi pasien aku. Aku lebih memilih melakukan operasi itu, dari pada memberikan dukungan moral untuk istriku.
Akibat dari kehilangan putra kedua kami. Istriku jadi seorang yang suka murung dan menyendiri. Lagi-lagi aku mendiamkannya nggak mempermasalahkan perubahan sikapnya itu. Karena aku pikir, dia masih sedih karena telah kehilangan anak yang selalu dinantinya.
Bahkan saat putra pertamaku, yang selalu membutuhkan kehadiranku dalam proses tumbuh berkembang dirinya. Aku limpahkan kepada adik laki-laki ku. Setiap ada kegiatan sekolah yang melibatkan orangtua, maka adik bungsuku yang akan menggantikan aku.
Apakah aku menyesal? Iya, itulah jawaban yang akan aku berikan. Aku menyesali semua tindakan yang aku ambil untuk keluargaku. Aku menyesal karena telah menelantarkan mereka, disaat mereka membutuhkan diriku. Aku menyesal disaat mereka mengalami kesulitan dalam menjalani kesehariannya. Aku menyesal tidak bisa berbagi suka maupun duka dengan orang-orang yang aku sayangi.
Apakah ini hukuman dari Tuhan untuk aku, karena telah mengabaikan keluargaku. Sehingga Dia mengambil kembali orang-orang yang telah diadakannya untuk diriku. Mungkin aku adalah orang yang tidak bisa dipercaya untuk menjaga makhluk ciptaan-NYA. Seandainya waktu bisa diputar kembali, maka aku tidak akan menyia-nyiakan keberadaan mereka di dekatku.
Air mata yang membasahi pipiku bercampur dengan air hujan. Sehingga tidak tahu mana air mata dari tangisan diriku, dan air hujan yang membasahi tubuhku. Kini hujan turun dengan derasnya menggantikan hujan gerimis tadi. Tapi aku masih diam terpaku di tanah pemakaman keluargaku.
Ku alihkan pandanganku tak jauh dari makam putra keduaku. Disana ada deretan makam kedua orang tuaku yang telah lama meninggal. Dan makan adik perempuanku yang aku sesali kematiannya. Serta makam adik laki-laki aku yang sudah menggantikan peranku sebagai ayah untuk putra pertamaku.
Di hadapan aku kini terlihat jelas deretan makam seluruh orang-orang yang pernah mewarnai kehidupanku. Seandainya Tuhan mau memberikan aku kesempatan. Maka aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.
Entah berapa lama aku berdiri disini, yang jelas hujan telah berhenti. Dan matahari pun sudah berani memancarkan sinarnya. Aku dapat merasakan hangatnya sinar matahari itu, di tubuhku yang sudah basah kuyup.
Aku menengadahkan wajahku menghadap langit. Awan kelabu yang tadi memenuhi langit kini telah hilang, dan digantikan dengan awan yang berwarna putih seperti kapas. Kulihat ada pelangi yang menghiasi langit di pagi hari ini. Warnanya yang indah telah menggantikan warna gelap dari awan kelabu yang tadi memenuhi langit sejak fajar tadi.
" Pak Dokter!"
Kudengar seseorang memanggilku dari kejauhan. Aku layangkan pandanganku mencari sumber suara itu. Dilihatnya pembantu di rumahku yang telah memanggil aku.
" Ada apa Maria?" Tanyaku saat perempuan paruh baya itu menghampiri ku.
" Ada tamu yang mencari Pak Dokter." Dengan napas yang masih terputus-putus Maria memberitahu kepada kalau ada tamu yang ingin menemui ku.
" Siapa?" Tanyaku lagi.
" Tidak tahu, Pak. Tapi sepertinya dari kantor pusat tempat Den Kaisar bekerja." Jawab Maria.
" Baiklah kalau begitu, ayo kita pulang sama-sama.
*****
*Aku melihat sebuah mobil berwarna putih yang terparkir di halaman rumahku. Dan saat aku masuk ke dalam rumah, disana ada dua orang yang sedang duduk di sofa. Yang satu orang adalah lelaki berusia lanjut, usianya sekitar enam puluh lima tahunan. Dan yang seorangnya lagi lelaki paruh baya, yang mungkin sekitar seumuran dengan aku*.
" Selamat pagi, Pak." Salam mereka kepadaku.
" Selamat pagi." Aku juga membalas salam mereka.
" Maaf, kedatangan kami pagi ini, telah mengganggu waktu Bapak." Kata lelaki yang seumuran dengan ku.
" Tidak apa-apa, kebetulan waktu saya juga sedang luang." Jawabku sambil tersenyum.
" Silahkan diminum tehnya, selagi masih hangat." Perintah ku kepada mereka berdua, saat Maria menyuguhkan tiga gelas air teh hangat untuk kami.
Dan aku tidak menyia-nyiakan itu, karena tubuhku sudah merasa kedinginan. Aku bahkan langsung menghabiskan air teh hangat itu dalam sekali minum. Dan aku lihat juga kedua tamuku itu meminum air tehnya juga.
" Ada keperluan apa, anda berdua mencari saya?" Tanyaku begitu mereka meletakkan gelasnya di atas meja.
" Kami hanya ingin mengantarkan barang-barang milik Kaisar yang dia bawa ke tempat kerja, saat kecelakaan itu terjadi." Kata lelaki yang telah berusia lanjut itu.
Kemudian lelaki yang seumuran dengan aku, menyerahkan tas milik Kaisar yang sering dia bawa ke tempat kerjanya saat di lapangan. Dan satu kotak peti yang berukuran sedang. Aku Pun menerima barang-barang peninggalan putraku itu.
" Kami turut berbela sungkawa, atas meninggalnya Kaisar anak Bapak." Lanjut lelaki berusia lanjut itu.
" Terima kasih, Pak. Ini sudah menjadi takdir anakku, Kaisar yang memiliki umur pendek." Jawab aku dengan suara rendah.
" Kalau begitu kami mohon undur diri." Kata lelaki paruh baya yang seumuran denganku.
" Baiklah. Hati-hati di jalan." Jawab aku dan mengantar mereka ke depan teras rumah.
*****
*Setelah selesai mandi, aku memasuki kamar milik Kaisar. Aku lihat barang yang tadi diantarkan oleh kedua orang itu, berada di atas meja belajar miliknya. Aku pun berjalan ke arah meja yang sudah menemani Kaisar belajar sejak duduk di sekolah menengah pertama itu*.
Aku membuka kotak peti yang sejak tadi sudah mencuri perhatian aku. Kotak peti itu ternyata dikunci, dan aku membutuhkan kuncinya untuk bisa membukanya.
Aku teringat kalau saat Kaisar meninggal dia menggunakan kalung yang ada kunci kecil yang menjadi gantungannya di sana. Aku pun mencari kunci itu di meja laci di ruangan milik Kaisar yang sering dipakainya untuk meneliti benda-benda bersejarah.
*Aku pun membawa kotak peti itu ke ruang bawah tanah. Ke tempat Kaisar sering menghabiskan waktunya. Aku pun duduk di kursi kebanggan Kaisar semasa hidupnya. Aku simpan kotak peti itu diatas meja, dan aku membuka lacinya untuk mencari kunci yang lima hari lalu aku simpan disana*.
Aku buka kotak peti itu menggunakan kunci yang aku dapat dari laci. Dan ternyata itu benar, kalau kunci itu adalah pasangan dari gembok kotak peti. Dan saat aku buka, ternyata di dalamnya hanya ada beberapa pecahan artefak.
Kemudian aku menyusun artefak itu, karena penasaran. Dan akhirnya aku berhasil menyusun artefak itu menjadi utuh. Saat susunan artefak itu telah sempurna, keluar cahaya dari garis-garis pecahan itu. Kemudian cahaya terang menyelimuti diriku.
*****
"Raja!"
" Raja!"
" Raja cepat bangun nanti kamu kesiangan berangkat ke sekolahnya!" Terdengar suara familiar yang sangat dirindukannya.
Aku pun terbangun dari tidurku, dan betapa terkejutnya aku. Saat aku terbangun yang pertama kali kulihat adalah aku berada di kamarku jaman dahulu, saat aku masih sekolah. Ada kertas yang tertempel di dinding dekat meja belajarku.
*****
" Raja cepat bangun nanti kamu kesiangan berangkat ke sekolahnya!" Terdengar suara familiar yang sangat aku rindukan.
Perlahan aku membuka kelopak mataku, saat semua nyawaku sudah terkumpul. Kulayangkan pandanganku ke sekeliling kamar. Aku merasa tidak asing dengan suasana kamar ini. Aku pun mengerutkan keningku, saat melihat kalender yang tergantung di dinding dekat meja belajar.
Aku pun berjalan ke arah kalender itu, mungkin saja ada yang salah. Dan betapa terkejutnya aku saat melihat wajahku di cermin yang digantung dekat kalender.
" Kenapa wajah ku menjadi muda kembali?"
" Apa aku sedang bermimpi?"
" Kenapa tanggal di kalender ini menunjukan waktu tiga puluh tahun yang lalu!" Aku terus saja bermonolog di dalam kamarku.
Aku periksa semua barang-barang milikku. Dan benar saja semua barang milikku ini adalah barang kepunyaan aku di kehidupan aku terdahulu.
Untuk memastikan semuanya, aku cepat-cepat mandi. Dan memakai seragam sekolah ku. Karena di samping kiri dinding kalender, ada jadwal pelajaran harian. Aku tidak kesulitan saat membereskan buku untuk mata pelajaran hari ini.
Ku turuni anak tangga, dan berjalan ke arah ruang makan. Yang biasa sudah ada sarapan di atas meja. Aku lihat Ibu yang sedang memasak nasi goreng andalannya. Hatiku bergemuruh sangat kencang, melihat sosok wanita yang sudah lama sekali aku rindukan.
" Ibu?" Aku memanggilnya dengan ragu-ragu.
" Ayo cepat sarapan Raja! Ini sudah siang." Kata ibu sambil mengalihkan pandangannya sesaat kepadaku yang masih berdiri di dekat meja makan.
Aku bukannya duduk di kursi untuk sarapan. Tetapi aku malah menghampiri ibuku. Dan memeluknya dari belakang. Tangisku pecah saat itu juga, karena bisa kembali merasakan wangi tubuh Ibu yang khas. Dan tubuhnya yang masih sehat dan berisi.
" Raja, kamu kenapa?" Ibu membalikan badannya dan memegang wajahku.
" Katakan pada Ibu, ada apa?" Tanyanya lagi dengan nada yang begitu mengkhawatirkan aku.
Aku hanya menangis, tak bisa menghentikannya. Sesak rasa di dadaku, tak sebanding dengan rasa bahagia aku yang sedang ku rasakan.
" Ibu…. Aku senang bisa melihat Ibu lagi!" Kataku dengan menahan suara tangis.
" Apa kamu semalam mimpi buruk?" Ibu menghapus air mata ku yang masih saja mengalir di pipiku.
Aku menganggukkan kepalaku, sebagai jawaban dari pertanyaan ibuku.
" Hmm, anak ibu mimpi apa sampai nangisnya seperti ini?" Tanya Ibu lagi.
" Aku mimpi ibu, ayah, Ratu, dan Sultan. Pergi meninggalkan aku." Jawabku setelah berhasil menguasai diriku ini.
" Hehe…. Ada-ada saja kamu!" Ibu mengelus kepalaku seperti biasa yang dia lakukan saat hidupnya dahulu.
" Ho…. Kak Raja, kenapa menangis?" Tiba-tiba terdengar suara cempreng adik perempuanku yang masih memakai seragam putih biru.
" Kakakmu, semalam mimpi buruk!" Kata ibu dengan nada suara yang sedang menggoda aku, agar aku kembali tersenyum.
" Ratu, Kakak sayang kamu."
Aku pun memeluk tubuh adik perempuanku, Ratu. Seperti yang ingin sekali aku lakukan kepada adik-adikku, saat dulu.
" Iya, Ratu juga sayang sama Kakak." Ratu membalas pelukanku walau dengan kaku.
" Sultan juga sayang sama Kak Raja, dan Kak Ratu." Suara milik adik bungsuku terdengar di balik tubuhku.
" Sultan, adik Kakak yang paling baik. Kakak juga sangat…. Sayang sama kamu." Kataku sambil memangku adikku yang baru berusia enam tahun. Usia kami lumayan terpaut jauh.
" Ayo cepat sarapan, sudah siang. Jangan sampai kalian terlambat datang kesekolah." Perintah Mamaku.
" Kak Raja, ayo cepat kita selesaikan sarapan ini dan kita berangkat bersama." Ratu tersenyum penuh bahagia.
******
Aku langkahkan kaki ku menuju gerbang sekolah. Aku melihat sudah banyak murid-murid yang datang. Aku melangkahkan kaki masuk ke dalam kelas, dan di sana anak-anak laki-laki sedang heboh memainkan permainan Ludo.
Suasana kelas yang ramai, kini begitu sangat ku rindukan. Berbeda dengan dahulu, aku tidak suka suasana kelas yang ramai. Makanya aku sering menyendiri di perpustakaan, atau di halaman belakang sekolah.
" Hai, Radit. Selamat pagi!" Salamku untuk teman sebangku yang selama ini aku kurang peduli padanya. Padahal di masa depan aku sering ditolong olehnya.
" Selamat…. Pagi!" Radit agak ragu-ragu saat menjawab salamku. Padahal dia sering memberi salam kepada teman-teman yang lainnya.
" Apa kamu sudah menyelesaikan tugas matematika yang diberikan oleh guru, Minggu lalu?" Radit bertanya kepadaku dengan wajah yang terlihat cemas. Sepertinya dia lupa akan tugasnya itu.
Aku pun mengeluarkan buku matematika milikku. Dan memeriksanya, ternyata aku sudah mengerjakan tugasku.
" Sudah, nih kalau kamu mau mencontek. Cepatlah sebentar lagi, bel masuk akan berbunyi." Kataku sambil menyerahkan buku tugasku.
Terlihat ekspresi wajahnya yang terkejut. Aku tahu kenapa dia bisa seperti itu. Karena aku paling anti memberikan contekan hasil tugasku kepada teman-teman yang lain.
" Cepat salin! Nanti keburu masuk." Aku mengulangi lagi perkataanku.
Dan Radit pun cepat-cepat menyalin tugas milikku. Ternyata teman-teman yang lainnya juga ikut-ikutan mencontek. Aku biarkan saja mereka melakukan itu.
Aku bertekad akan merubah sifatku yang dianggap buruk oleh orang-orang disekitarku dahulu. Seperti tidak peka terhadap orang lain. Lebih suka menyendiri daripada berbaur dengan orang lain. Kurang peduli dengan lingkungan sekitarku. Dan aku kurang bisa mengekspresikan apa yang aku rasakan.
" Hai, Nino. Apa kamu juga lupa mengerjakan tugas Matematika milik mu?" Tanya aku saat melihat ketua kelas juga ikut-ikutan mencontek.
" Hehehe…. Iya, aku lupa." Tawanya yang khas itu sekarang terasa tidak aneh bagiku. Kalau dulu aku sering merasa aneh saat mendengar suara tawanya itu.
" Apa kamu masih aktif ikutan olahraga basket?" Tanyaku, karena selain menjadi ketua kelas, Nino juga ketua klub basket sekolah.
" Masih, kenapa? Apa mau ikutan gabung!" Tanyanya padaku.
" Bolehkah aku ikut bergabung denganmu?" Aku balik bertanya.
" Tentu saja boleh, walau sekarang kita sudah kelas tiga. Tapi masih bisa ikutan bermain." Jawabnya dengan penuh semangat.
Aku pun tersenyum bahagia. Kini saatnya aku mencari teman-teman seusiaku dan menghabiskan banyak waktu bersama mereka menikmati masa-masa menyenangkan di sekolah.
Aku membuat beberapa perencanaan yang menyangkut diriku terlebih dahulu. Aku menulisnya di selembar kertas. Rencana apa saja yang ingin aku lakukan dalam hidupku.
Setelah selesai dengan rencana kehidupan pribadiku. Aku kemudian mengambil kembali kertas kosong. Kali ini aku mencoba mengingat kembali kejadian-kejadian di masa laluku yang ingin aku ubah. Aku menulis serangkaian kejadian yang terjadi pada keluargaku, kenalanku, dan teman-teman ku.
Aku urutkan kejadian berdasarkan waktunya. Aku menulis kejadian apa yang kira-kira sebentar lagi akan terjadi. Yang kiranya bisa aku ubah.
Dalam ingatanku kejadian yang diperkirakan akan terjadi dalam waktu dekat adalah teman sekelasku yang tertabrak motor saat akan menyebrang jalan di depan sekolahan. Dia mengalami patah tulang, sehingga sampai hari kelulusan pun dia belum bisa berjalan
*****
Ketika jam pulang sekolah berbunyi, aku tidak langsung ikut membubarkan diri bersama teman-teman yang lainnya. Aku duduk menunggu Aris keluar dari kelas. Aku memperhatikan temanku yang sifatnya tak beda jauh dariku dulu. Suka menyendiri dan menghindari keramaian.
Aku beranjak dari kursi, saat kulihat Aris juga beranjak dari kursinya. Aku ikuti dia beberapa langkah di belakangnya. Aku melangkahkan kakiku dengan cepat saat langkah kaki Aris berjalan dengan cepat.
Mataku tak lepas dari teman sekelasku itu, aku jangan sampai kecolongan. Aku harus mencegah dia mengalami kecelakaan itu.
Saat Aris keluar gerbang sekolah, aku sejajarkan langkah kami. Dan benar saja dari arah kanan jalan ada sepeda motor yang dikendarai dengan kecepatan yang sangat tinggi.
" Awas!!!"
Aku tarik tangan Aris, agar mundur kembali ke tepi bahu jalan. Jantungku berdebar dengan sangat kencang. Takut terlambat saat kutarik tangannya. Seluruh tubuhku bergetar dan telapak tanganku langsung berkeringat dingin.
" Kamu tidak apa-apa?" Tanyaku pada Arus yang terduduk di tanah, karena kuatnya tarikan ku tadi.
" Ah, iya. Aku tidak apa-apa. Terima kasih, sudah menolongku." Kata Aris dengan suara bergetar. Aku yakin kalau dia itu pasti sangat terkejut, akan kejadian barusan.
" Lain kali hati-hati, ya. Kalau mau menyebrang jalan sebaiknya lihat kanan-kiri dulu!" Ucapku pada Aris sambil menarik tangannya membantunya berdiri.
" Kenapa kamu seperti terburu-buru begitu?" Tanya ku sambil melihat Aris yang sedang menepuk-nepuk celananya yang kotor oleh debu.
" Aku harus pergi ke rumah sakit. Karena nenekku masuk rumah sakit tadi pagi. Dan aku belum sempat menjenguknya." Aris memberitahu aku alasan dia, harus cepat-cepat pergi.
" Kalau begitu ayo, aku antarkan!" Ajakku sambil menarik tangan Aris ke arah sepeda aku terparkir di dekat pintu gerbang.
Di bawah terik sinar matahari yang membakar kulit. Aku dan Aris berboncengan naik sepeda menuju rumah sakit, tempat neneknya dirawat. Hampir setengah jam aku mengayuh sepeda menuju rumah sakit ANUGRAH.
Ternyata tempat neneknya Aris dirawat adalah tempat ayah bekerja. Jadi aku sudah tahu seluk beluk tempat-tempat di sana. Mau pergi ruang bagian apa saja aku tahu tempatnya. Dan sekarang aku dan Aris berjalan ke ruang MELATI tempat kamar inap para pasien yang mendenderita organ dalam.
Aku lihat kondisi nenek Aris sedang terbaring tak sadarkan diri, di atas brankar kamar kelas ekonomi. Aris, menangisi keadaan neneknya yang tak sadarkan diri. Aku hanya bisa mengusap punggungnya Aris. Mencoba memberikan kekuatan kepada Aris.
" Aris, kamu yang sabar, ya." Kataku berempati dengan keadaan Aris. Dan aku lihat Aris menganggukan kepalanya.
" Terima kasih ya, Raja. Kamu sudah membantuku." Aris melihat ke arahku dengan matanya yang sembab.
" Ya, kamu jangan sungkan kalau, membutuhkan bantuanku!" Kataku sambil menepuk bahu Aris.
" Aku pulang dulu, ya!" Aku pamit kepada Aris karena tadi langsung datang ke rumah sakit, tanpa memberitahu kepada orang di rumah.
" Hati-hati dijalan! Semoga kamu selamat sampai rumah." Kata Aris dengan senyum manisnya.
" Iya, terima kasih."
Aku pun pergi meninggalkan Aris dan neneknya.
*******
Aku sampai kerumah, dengan selamat. Dan saat sampai di halaman rumah, kulihat Sultan sedang bermain sendirian.
" Sultan!" Panggilku. Dan Sultan memalingkan wajahnya melihatku.
" Kak Raja, kok baru pulang!" Sultan berjalan ke arahku.
" Kakak barusan mengantar teman ke rumah sakit, neneknya tadi masuk rumah sakit." Kataku sambil menuntun tangan Sultan masuk kedalam rumah.
" Sultan sudah makan?" Tanyaku saat melihat menu makan siang sudah tersaji di meja makan.
" Belum!" Sultan menatap mataku.
" Kalau begitu, ayo kita makan bersama. Biar Kakak yang suapin kamu!" Ajakku.
" Nggak, ah. Sultan sudah besar, bisa makan sendiri!" Katanya dengan bibirnya yang mengerucut, lucu sekali.
" Ah, ternyata sekarang Sultan sudah besarnya? Berarti tidurnya juga harus sudah sendiri!" Godaku padanya, karena Sultan masih tidur dengan ayah dan ibu. Nggak mau tidur di kamar terpisah.
" Nggak kalau tidur sendiri belum berani." Kepala Sultan di geleng-gelengkan.
Aku dan Sultan makan bersama, dan saat itu datang Ratu yang baru masuk ke dalam rumah.
" Ratu kamu habis dari mana?" Tanyaku saat Ratu mengambil air minum dan meminumnya dengan sekali teguk.
" Habis dari rumah teman, kak!" Jawab Ratu dan melihat ke arahku dan Sultan.
" Kamu sudah makan siang?" Tanyaku lagi.
" Belum, nggak lapar." Jawabnya sambil menyimpan gelas bekasnya di wastafel.
" Jangan dibiasakan seperti itu, nanti kamu sakit. Ayo sini, kita makan bersama!" Ajakku, dan Ratu pun ikut makan bersama.
Selama di meja makan, kami bertiga terlibat obrolan yang lumayan seru. Aku tak menyangka akan semenyenangkan ini bicara dengan kedua adikku itu. Hal yang dulu tidak pernah aku alami.
******
Saat hari sudah sore, aku dan Sultan main bola di halaman depan rumah. Dulu aku iri saat melihat anakku, Kaisar dan Sultan menghabiskan waktu senggang dengan bermain bola di halaman depan rumah. Sungguh aku ingin sekali mencobanya bermain bola dengannya. Dan hari ini aku, baru bisa kesampaian keinginanku itu.
Ada suara klakson mobil yang meminta di bukakan pintu pagar besi. Kuarahkan pandanganku kesana, dan ada mobil ayah yang akan masuk ke pekarangan rumah.
Aku pun berlari ke arah pintu pagar besi, dan mendorongnya ke samping agar ayah bisa memasukan mobilnya.
" Selamat datang kembali, Ayah!" Salamku saat berpapasan dengan wajah ayah.
" Ya, terima kasih Raja!" Balasnya kepadaku. Dan aku sangat senang mendengar itu.
Dulu ayah adalah sosok yang tegas dan tidak suka di bantah. Senang kalau anak-anaknya bisa berprestasi. Tidak suka saat mendengar suara tangisan. Dan sifat kaku milikku itu turunan darinya. Walau begitu ayah suka menolong orang yang membutuhkan bantuannya. Tanpa memandang siapa yang meminta tolong.
Ayah yang berprofesi sebagai dokter, kadang sebulan sekali pergi ke pinggiran kota atau ke desa. Membantu warga yang sedang sakit. Di kehidupanku yang dulu, ayah meninggal karena terjatuh ke jurang saat mengunjungi sebuah desa di pinggiran kota. Karena cuaca sedang musim hujan. Jalanan yang licin, membuat ayah kehilangan keseimbangan saat berjalan. Apalagi ayah pakai sepatu kerjanya, bukan sepatu boot.
" Sultan ayo kita mandi bersama!" Ajakku.
" Kakak nggak malu?" Tanyanya sambil mengerutkan sebelah alisnya.
" Ngapain malu, kita sama-sama saudara laki-laki." Jawabku sambil menggandeng tangannya. Dulu Sultan sering mengajak mandi bareng Kaisar. Dan aku sering mendengar mereka tertawa riang. Maka sekarang saatnya aku membuat Sultan senang dengan melakukan berbagai kegiatan yang dulunya Sultan lakukan dengan Kaisar.
*****
" Ayah mau Raja pijat bahunya?" Tawarku saat kulihat ayah duduk di kursi ruang keluarga.
Semua orang yang ada di sana langsung melihat ke arahku. Terlihat jelas wajah mereka yang terheran-heran mendengar ucapanku barusan.
" Ayah mau coba, pijatan kamu itu. Apa seenak pijatan Ibu!" Katanya sambil membenarkan posisi duduknya.
Aku pun berdiri dibelakang ayah, dan memijat bahunya. Kulihat ayah tersenyum.
" Wah, ternyata pijatan kamu lebih enak dari Ibu. Tenaganya lebih berasa!" Puji ayah untukku, dan aku sangat senang.
" Benarkah? Kalau begitu Ibu juga mau!" Pinta Ibu kepadaku sambil tertawa. Mendengar ucapan ibu barusan, kami semua tertawa. Keluarga kami dulu tak pernah tertawa lepas seperti ini.
*****
JANGAN LUPA KLIK LIKE, FAV, HADIAH, DAN VOTE NYA JUGA YA.
DUKUNG AKU TERUS DENGAN MEMBERIKAN JEMPOL YANG BANYAK.
BUNGA ATAU KOPI JUGA BOLEH ITU MEMBUAT AKU MAKIN SEMANGAT LAGI.
TERIMA KASIH.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!