NovelToon NovelToon

Penggoda Dalam Rumah

Part 1 Wanita Pilihanku

Terinspirasi dari sebuah kisah nyata yang ternyata banyak terjadi di kehidupan ini.

☘️☘️☘️

Namaku Adarga Handanu, orang-orang biasa menyapaku Danu. Orang bilang wajahku termasuk dalam kategori tampan, kulit bersih, dan juga perawakan yang atletis. Saat kuliah saja aku bisa memacari empat cewek sekaligus.

Saat ini, wanita yang beruntung memilikiku adalah Arini. Sebenarnya, dia bukanlah wanita cantik tapi entahlah ... justru hatiku tertambat padanya.

Arini, wanita mandiri yang mampu membuatku bertekuk lutut mengemis cinta dan mengabaikan gadis-gadis cantik lainnya. Wanita berkulit kuning langsat tinggi semampai namun tak pandai merias diri. Selain itu, dia juga kaku dalam urusan ranjang.

Ah, khusus urusan satu itu aku juga baru tahu setelah delapan bulan ini menikah dengannya. Sudah aku berikan tontonan film yang mungkin bisa untuk belajar, tapi tetap saja ia menolak dengan alasan malu.

Arini memang begitu polos, ia juga tak suka neko-neko. Delapan bulan menikah denganku, tak pernah aku dengar ia menuntut hal-hal yang di luar kemampuanku. Dia juga bukanlah gadis manja yang suka bergelayut dan merengek, sungguh ia berbeda dengan gadis-gadis yang dulu dengan mudah aku pacari.

Menilik latar belakang kehidupan Arini, wajar saja ia mandiri. Sejak kecil ia ikut paman dan bibinya, sedangkan ibunya pergi entah kemana semenjak cerai dengan ayah Arini. Didikan yang keras membentuknya menjadi wanita yang begitu tegar.

"Mas, Ibu akan datang besok," ucapnya pagi ini ketika sarapan.

Aku menghentikan suapan, dengan heran kutatap ia lekat. Sejak kapan ia berhubungan dengan ibunya? Bahkan saat pernikahan pun ibunya tak datang meski kami mencoba mencari keberadaannya untuk memberi kabar.

"Kenapa? Mas keberatan kalau ibu ke sini?" Wanitaku itu kembali berkata dengan ekspresi polosnya.

"Kamu yakin ibu akan ke sini?" Dahiku mengeryit tak yakin.

"Ibu kemarin telepon ke Paman Sam, dia bilang mau pulang. Tapi Mas kan tahu, ibu sudah nggak ada rumah di sana. Jadi, Paman Sam menyarankan untuk tinggal bersama kita." Panjang lebar Arini mencoba menjelaskan.

"Ya, terserah. Ini kan rumah kamu, semua keputusan ada di tangan kamu."

"Bukan begitu, Mas. Mas suami aku, jadi aku memberitahu Mas Danu." Nada suara Arini seolah menyiratkan rasa tidak nyaman karena jawabanku.

"Sayang ... dia ibumu, itu artinya juga ibuku. Jadi, tak ada masalah jika ibu mau tinggal di sini." Aku rengkuh jemarinya, berharap rasa canggung yang sempat menyambangi segera berlalu.

"Terimakasih, Mas." Kembali senyum wanitaku menyembul dari bibir tipisnya.

***

Bel di dekat pintu berbunyi saat tubuhku masih basah oleh guyuran air dari shower. Terpaksa ritual mandi besar aku batalkan dan bergegas menyambar handuk dan kaos.

Bola mataku membeliak ketika membuka pintu bersitatap dengan makhluk seksi dengan penampilan yang sungguh menggugah naluri kelelakianku. Bibir yang penuh itu berpoles lipstik merah terang, kulit wajahnya begitu mulus dan licin.

"Maaf, ini benar rumah Arini?" tanya wanita yang menurut perkiraanku berusia 35 tahunan itu.

"I-iya, benar. Mbak ini siapa?" Aku tergagap karena berusaha menghalau perasaan aneh yang sempat hadir.

"Aku ibunya Arini. Apa kamu suaminya?"

Aku terhenyak. Bagaimana mungkin wanita itu ibunya Arini? Sangat jauh berbeda dengan Arini yang begitu bersahaja dan terkesan biasa saja.

"Arini ada?" tanya wanita itu sembari melongok ke dalam.

"Di-dia masih belanja, Bu. Mari masuk."

Tanpa menjawab ia melenggang masuk menarik koper hingga ke ruang tengah.

"Di mana kamarku?"

"Kamar?" Netra ini sedikit mendelik karena tetiba pikiran agak kacau melihat tubuh sintal nan molek di hadapanku.

"Iya, kamarku. Bukankah Arini sudah tahu aku akan tinggal di sini?"

"Oh, mungkin kamar ini, Bu. Karena Arini tidak berpesan apapun tadi. Dia kira Ibu datang agak siang."

"Baiklah." Wanita itu kembali melenggokkan tubuh seksinya, meninggalkan aku yang hanya bisa menelan ludah.

***

Semenjak kedatangan ibu mertua, ketenanganku terusik. Jujur, penampilannya lebih menarik dari Arini. Imajinasiku menjadi liar tatkala memandang tubuh sintal itu meski dari belakang.

Degub jantungku tak beraturan ketika harus makan semeja dengannya. Bagaimana tidak? Ia mengenakan siluet belahan rendah, memamerkan bulatan besar yang pastinya tak dimiliki Arini.

Hari ini genap lima bulan ibu mertuaku di sini. Ia jarang bicara dengan Arini, mungkin karena ikatan batin antara anak dan ibu itu tak terjalin kuat sejak Arini kecil. Ibu lebih suka menghabiskan waktu dengan menonton TV dan gawainya.

Pernah aku berusaha stalking akun facebook yang ia penuhi dengan foto selfie dan dibanjiri like dari kaum adam yang memuji kecantikan ibu mertuaku. Wanita yang ternyata berusia 44 tahun itu makin terlihat muda dengan hasil jepretan kamera jahat.

"Danu, bisa bantu Ibu?" panggilnya dari dalam kamar.

Aku yang hendak membuka pintu lemari es menjadi urung, padahal tenggorokan sudah ingin disiram air dingin. Tak ayal langkah ini bergegas menghampiri pintu kamar.

"Ada apa, Bu?" tanyaku masih di ambang pintu.

"Bantu Ibu menggeser lemari ini. Bosan dengan tatanan kamar ini. Kamu tahu kan, Arini seleranya nggak banget." Celotehnya sembari memegang sisi lain lemari.

Sebenarnya tubuhku lelah, baru saja pulang dari kantor sudah harus mendorong lemari. Tapi tak enak juga menolak permintaan ibu mertua. Mau tak mau, akhirnya aku menggeser lemari kayu pintu dua itu.

Tak hanya lemari, tempat tidur dan meja rias tak luput dari pemindahan. Bahkan memasang beberapa figura yang menampilkan koleksi gambar pose seksi ibu mertua, pose yang membuatku menelan ludah berulangkali.

"Danu, Arini pulang jam berapa hari ini?" Suara lembut itu tiba-tiba sudah ada di dekat telinga dengan hembusan napas yang menggoda.

Aku yang hendak memasang figura terakhir langsung terpegun bagai patung. Debaran itu semakin menjadi tatkala jemari itu menyentuh pipi, bibir, kemudian leherku.

"Ka-kata dia mau mampir belanja bulanan ke supermarket dulu, Bu." Aku masih tergagap dan memejamkan mata tak berani menatap wanita yang sedang menghembuskan aroma penuh goda.

"Danu, kenapa kamu nggak buka mata. Apa kamu takut?" Kali ini aku rasakan tangan lembutnya sudah bergelayut manja di leherku.

Dengan degup jantung yang semakin memompa kencang, kuberanikan untuk membuka mata perlahan. Ya, Tuhan ... begitu dekat hembusan napas itu. Naluriku sebagai lelaki bergejolak, tetapi hati kecil ini menarikku kembali ke otak warasku.

"Assalamualaikum," terdengar suara Arini yang menyelamatkan kesetianku.

Bergegas kuhampiri Arini, menyambut wanita sederhana itu dengan hangat. Mengambil alih belanjaan berat di tangannya sembari kucuri cium pipi yang disambut tawa kecil cerianya.

Sementara itu, sekilas kulihat tatapan aneh dari pemilik netra penuh goda saat melintas depan kamar yang hampir saja meluluhlantakkan kesetiaanku.

Part 2 Kegelisahanku

PEKANBARU - SP (26) tertangkap basah istrinya DR (21) saat sedang indehoi dengan NUR (36) yang tidak lain adalah ibu kandung korban. Pengakuan keduanya, bahwa perselingkuhan ini sudah dilakukan sejak lama.

"Antara SP dan ibu mertuanya sudah berhubungan layaknya suami istri sejak 4 tahun lalu," kata Kanit Reskrim Polsek Lima Puluh, Pekanbaru, Riau, Senin (6/3/2017).

Perbuatan amoral itu selalu dilakukan mereka saat kondisi sepi. Kondisi NUR yang di rumah sendiri, membuat hubungan terlarang keduanya bisa berlangsung lama. Tubuh molek NUR membuat SP keranjingan dan menyukai mertuanya.

Tangan ini dengan kasar melipat asal dan membanting koran yang baru saja aku baca. Berita yang justru menambah resah gelisah pikiranku.

Bayang wanita dengan kerling nakal itu terus saja menari di pelupuk mata, seolah melambai mengajakku menyelami lautan asmara bersama.

"Sial!" umpatku sembari menyapu dengan kasar wajah lelahku, menghela napas dalam\-dalam dan melepasnya sekuat mungkin.

Kutilik penunjuk waktu di pergelangan tangan, pukul 15.45 itu artinya lima belas menit lagi alarm pulang akan mengingatkan hati ini untuk mempersiapkan benteng iman yang lebih kuat jika tak ingin dirobohkan oleh iblis cantik itu.

\*\*\*

Aku sengaja berlama\-lama di mushola dekat rumah, menunggu sekalian magrib tiba. Terpaksa sudah satu minggu ini aku mandi sore di mushola dan menunggu hingga waktunya Arini pulang.

Ah, entahlah ... aku ini pengecut atau apa. Tapi yang pasti aku hanya lelaki normal yang terkadang bisa saja khilaf dalam bertindak. Aku hanya berusaha menghindari ibu mertua yang sekarang tak malu\-malu lagi bergelayut manja di bahuku.

Setiap dekat dengan wanita itu, detak jantungku berpacu kencang. Hembusan napasnya yang sengaja ia perdengarkan dekat telingaku penuh desahan manja, desahan yang mampu membangunkan hasrat lelakiku.

\[Mas, kamu belum pulang?\] Sebuah pesan masuk ke gawai yang sedari tadi tergeletak di atas tas kerja yang aku letakkan di sisi kanan tempat aku duduk.

Arini, dia mungkin sudah pulang lebih awal. Tapi kenapa tidak bilang dari tadi pagi kalau dia tidak ada lembur? Biasanya dia selalu memberitahu, entah siang saat ia istirahat ataupun pagi saat mau berangkat kerja.

Siang tadi dia juga tumben tidak menyapaku. Biasanya saat dia istirahat pasti akan mengingatkanku untuk makan atau salat. Atau mungkin hari ini dia terlalu sibuk sehingga tak sempat?

\[Mas Danu, cepet pulang donk. Udah nunggu, nih.\] Kembali pesan masuk, tapi tak biasanya Arini mengirim pesan seperti ini.

Atau memang dia sudah pulang lebih awal dan lama menungguku di rumah? Ah, segera saja aku pulang. Mungkin hari ini dia ingin bermanja denganku.

\[Iya, Sayang. Ini Mas langsung pulang, tunggu sebentar, ya.\] jawabku dengan emotikon cium berjajar.

Aku tersenyum, kembali teringat masa saat pacaran dengan Arini. Setelah empat bulan aku berusaha meluluhkan hatinya, alhasil dia menerima cintaku dan setiap hari kurajut kisah indah bersamanya.

Kulajukan motor segera menuju rumah bercat ungu muda dengan perpaduan kuning dan ungu tua, rumah cantik bergaya klasik hasil desain dari Arini. Rumah yang berhasil ia beli dengan jerih payahnya selama ia bekerja di sebuah bank.

Meski ia cicil dan sekarang belum lunas, namun rumah itu mampu memberiku kenyamanan. Aku tak perlu repot untuk memikirkan tempat tinggal untuknya.

Banyak hal yang sebenarnya aku suka dari Arini. Dia sangat perhatian, dia melayaniku tanpa mengeluh meski aku tak mampu memberinya materi yang cukup. Dia juga bukan istri cerewet yang suka ngomel\-ngomel, Ariniku lebih suka diam jika marah atau merasa tak suka dengan sikapku.

Hanya butuh waktu sepuluh menit untuk sampai di rumah ungu itu. Aneh, pintu pagar masih tertutup dan motor Arini tak ada di sana.

Pandanganku sejenak mengedar, tak kutemukan tanda\-tanda Arini sudah ada di dalam. Rak sepatu dekat pintu tak menunjukkan keberadaan sepatu yang Arini pakai tadi pagi.

'Apa mungkin Arini membawa masuk sepatunya? Ah, mungkin saja. Besok kan hari Sabtu, mungkin dia ingin mencucinya.'

Masih saja pikiranku sibuk menduga meski kini langkah ini telah tiba di depan pintu. Perlahan kudorong gagang pintu, seperti maling yang hendak mengetahui kondisi rumah korban.

Dengan bergegas aku menuju kamar, berharap Arini ada di sana. Zonk! Tak kutemukan wanitaku. "Arini, kamu di mana, sih?" gumamku dengan mengibas\-kibaskan tangan. Entah kenapa tetiba udara menjadi panas.

Sedikit berjingkrak aku menuju ruang tengah untuk mencari keberadaan Arini. Sepi. Tak kutemukan ia di sana, bahkan dapur dan kamar mandi juga tak ada.

"Cari siapa, Danu?" Tiba\-tiba suara itu mengejutkanku, membuatku segera membalik badan dan kembali gugup menyerang.

"Kamu ini kenapa, sih? Aku perhatikan sudah seminggu ini pulang telat terus. Apa sengaja membiarkan ibu sendirian?" Perlahan wanita itu mendekat dan jemarinya mulai bermain\-main di dadaku.

"Sa\-saya ada lembur, Bu. Jadi, pulangnya telat terus." Tak terasa keringat dingin keluar membasahi muka.

"Kamu ini lucu, dengan ibu mertua sendiri saja sampai keringetan begini."

"Udara panas, Bu. Habis pulang kerja pula. Oh ya, Arini di mana, Bu?" Kembali aku mengibaskan tangan dan berusaha menghindar dari wanita yang harusnya aku hormati layaknya seorang ibu.

"Arini belum pulang," jawabnya enteng sembari duduk di kursi meja makan, memamerkan bagian kaki atasnya yang tanpa cela.

"Lho, tadi dia chat saya, Bu." Aku memandang lekat ke wanita bernama Bu Hera itu, kernyit keheranan melipat di atas dahi.

"Gawai Arini ketinggalan, tadi Ibu yang chat. Kalau nggak begitu kamu nggak akan cepat pulang." Masih dengan santai ia menjawab.

Seandainya ada cermin, mungkin saat ini dapat kulihat jelas bagaimana memerahnya wajah ini. Aku merasa dijebak, dan entahlah ... kali ini aku sanggup atau tidak untuk menolaknya.

"Danu, aku tahu kalau kamu sering mencuri pandang menikmati kemolekan tubuh ini. Apa kamu hanya puas dengan memandang saja?" Kini ia berdiri, berjalan mengitariku dengan memamerkan lekuk tubuhnya.

"Ma\-maaf, Bu. Saya tidak bermaksud kurang ajar."

"Tenang saja, Danu. Aku tahu, kok, apa yang kamu rasakan. Kalau kamu mau, sekali saja coba bermain mandi kucing denganku." Dengan desahan menggoda ia kembali merayuku.

"Mandi kucing?" Tanyaku heran.

"He\-em." Angguknya dengan kerlingan mata indah.

"Tapi Arini tidak memelihara kucing, Bu. Dia tidak suka dengan kucing, katanya nggak baik buat dia karena bakalan susah punya anak."

"Kamu jangan bercanda, Danu. Aku tahu kamu sering nonton film\-film blue. Jadi, pasti tahu yang aku maksud."

Ya Tuhan ... semakin berani ia merayuku. Baiklah, aku Adarga Handanu siap menghadapi wanita kesepian yang entah berapa lama merindukan belaian lelaki.

"Kita ke kamar, yuk, Bu." Ajakku setelah mengatur napas dan menetralisir kacaunya seluruh saraf yang membuatku tegang.

"Wow ... akhirnya kamu mengerti yang aku mau, Danu." Senyum itu menyiratkan penuh kemenangan dan puas karena berhasil menjeratku.

Aku tersenyum tatkala ia menggamit lenganku dan melangkah menuju peraduannya. Setiba di kamar yang dipenuhi dengan koleksi gambar\-gambar menantang itu, harum minyak wangi menguar menusuk indra penciuman.

Sepertinya ia telah menyiapkan semua rencana ini untuk menjebakku agar jatuh ke dalam pelukannya. Ia mulai beraksi, naik ke ranjang sembari menyibak kain yang menutup kaki.

"Sebentar, Bu. Saya kunci pintu dulu."

"Ah, kamu tahu saja agar kita aman." Tawa kecilnya berderai.

Aku bergegas melangkah ke pintu, mengambil anak kunci yang menggantung. Sejenak terdiam, mencoba menatap kembali wanita bertubuh seksi itu. Dengan senyum menyembul, kumantapkan hati keluar dari kamar dan menguncinya.

Tak berselang lama kudengar iblis yang berwujud ibu mertua itu menggedor\-gedor pintu dan berteriak histeris. Dan aku segera lari kembali ke mushola, menunggu Arini kembali menyelamatkan hatiku.

Part 3 Dilema

Dewi malam telah menyambut, bulan separuh menggantung cantik di langit gelap menggantikan tugas sang bagaskara. Kulirik penunjuk waktu di pergelangan tangan yang menampilkan angka digital 19.55, itu artinya Arini sebentar lagi akan pulang.

Sengaja aku menunggu di warung kopi tepat di tikungan jalan dekat rumah. Sembari menikmati kopi hitam dan gorengan, pikiranku melayang kembali ke kejadian sore tadi.

Bagaimana jika Arini tahu aku mengunci ibunya di kamar? Apa alasanku akan ia terima? Apakah Arini akan percaya dengan perkataanku? Bagaimana jika wanita iblis itu memutarbalikkan fakta? Apakah Arini akan lebih percaya pada ibunya?

Terlampau banyak pertanyaan berputar dalam otakku, membuat kepala ini terasa pening. Sudah lama aku ingin mengusulkan agar Arini mengontrakkan rumah untuk ibunya, atau mencarikan suami agar wanita itu tidak kesepian.

Namun, semua ide itu hanya sebatas ide yang terpendam dalam pikiran tak tersampaikan tanpa keberanian untuk mengungkap. Entahlah ... aku hanya memikirkan perasaan Arini, aku takut ia akan salah paham. Tapi jika seperti ini terus menerus, aku yang tersiksa dengan godaan yang sulit ditolak.

'Baiklah, malam ini aku harus mencoba bicara ke Arini,' gumamku dalam hati mencoba menegaskan langkah yang akan aku ambil.

Aku bergegas pamit pada teman-teman nongkrong. Kupikir aku harus segera pulang sebelum Arini tahu aku mengurung ibunya. Paling tidak aku tidak menjadi tersangka percobaan penganiayaan mertua.

Suasana hening. Lengang tak ada suara teriakan itu lagi. Mungkin saja wanita itu kelelahan berteriak. Segera kuputar anak kunci perlahan agar tak terdengar olehnya. Tapi baru saja tangan ini memutar, sebuah suara lagi-lagi mengejutkan aku.

"Menantu kurang ajar!"

Sontak aku berbalik. Wanita bergaun merah dengan belahan dada rendah itu sudah ada di hadapanku dengan berkacak pinggang. Sepertinya ia marah, tapi biarlah ... yang penting aku selamat dari jeratan setan terkutuk ini.

"Kamu pikir mempermainkan aku itu bagus?" tanyanya dengan nada kesal.

"Maaf, Bu. Aku nggak ada maksud begitu. Oh ya, sebentar lagi Arini pulang. Sebaiknya ibu masuk kamar dan ganti pakaian yang lebih tertutup," ucapku dengan sedikit senyum yang kupaksakan.

"Awas kamu!" ancam wanita itu seraya berlalu dari hadapanku menuju kamar, dentuman pintu yang dibanting keras cukup membuatku kaget dan mengelus dada.

Kutarik napas lega, kemudian menghempaskan tubuh ke atas sofa di depan TV. Tak berselang lama kudengar suara motor Arini. Dengan hati penuh bunga kusambut bidadari tak bersayap itu. Sengaja tak kubiarkan diri ini jauh darinya hingga waktu menjelang tidur.

"Mas ini kenapa, sih? Akhir-akhir ini setiap aku pulang pasti romantis habis," tanya Arini saat kupijat kaki jenjangnya.

Kutatap netra teduh milik Arini. Ingin sekali aku jujur mengungkapkan semua, tetapi lidah ini begitu kelu. Akan ada luka yang menikam hati, kecewa sudah pasti akan menjalar membunuh setiap rasa.

"Dek, boleh nggak Mas bicara?" tanyaku dengan hati-hati.

"Mas ini kayak dengan orang lain aja. Mas mau bicara apa?"

"Tapi janji jangan tersinggung, ya?" Aku menghentikan pijatan dan mengubah posisi lebih dekat dengannya.

"Nggak akan tersinggung asalkan jangan bicara tentang wanita lain." Tawa kecil Arini menyertai kalimatnya.

"Anu, Dek ... ehm ... begini." Kebingungan justru melanda, bagaimana aku harus memulai mengutarakan semua ke Arini.

"Mas Danu baik-baik aja, kan?" Mata bulat Arini menyelidik, membuatku makin tak yakin untuk melanjutkan kata-kata.

"Ya sudah, Dek. Kita tidur saja."

"Mas yakin?"

Aku hanya menganggukkan kepala sembari tersenyum. Kurebahkan badan dan merengkuh kepala Arini, kukecup puncak kepalanya dengan lembut.

"Mas yakin nggak mau sesuatu malam ini?" Kepala Arini mendongak ke arahku, manik bening dengan kerlingan nakal itu menggodaku.

Aneh, kenapa tiba-tiba Arini jadi agresif? Imajinasiku kembali ke Bu Hera, wanita bertubuh sintal yang begitu menggoda. Imajinasi yang liar membuatku bergairah saat memadu kasih dengan Arini.

****

Suara adzan subuh menyentuh gendang telinga, membangunkanku dari mimpi. Saat mata ini terbuka, tepat di hadapanku wajah Arini yang masih lelap dalam tidurnya.

Netraku menelusuri setiap inci wajah halus nan bersih itu, wajah yang terlukis dalam sanubariku. Wajah yang tak mampu kutepis saat jatuh cinta dengannya.

Arini, kehidupan keras telah kamu jalani dari kecil. Aku tak ingin hatimu terluka oleh ibu kandungmu sendiri. Tapi aku butuh bantuanmu, aku takut tak mampu menahan setiap bisik rayuan yang terus mengikis pertahanan hati ini.

Aku bangkit, duduk di tepi ranjang. Kubenamkan wajah dalam telangkupan tangan. Mencoba menepis gejolak nafsu saat teringat kemolekan tubuh wanita kesepian itu.

"Mas," panggilan Arini dengan tepukan di bahu membuatku terhenyak dari lamunan.

"Mas ini kenapa? Pagi-pagi kok sudah gelisah. Ada masalah?"

"Nggak apa-apa, Dek. Mas hanya lagi mikir."

"Mikir apa? Kayaknya serius banget." Tatapan Arini makin membuatku tak nyaman.

"Kita mandi terus salat subuh dulu, ya? Setelah itu Mas mau ngomong."

Tanpa banyak bicara Arini tersenyum dan mengangguk, kemudian berjalan menuju kamar mandi. Beruntung kamar ini terdapat kamar mandi dalam, sehingga aku tak perlu repot-repot bersitatap dengan wanita pemilik tubuh semlohai itu di pagi buta.

Setelah menunaikan dua rakaat subuh, aku memantapkan hati untuk mengutarakan ide yang telah kurancang beberapa hari ini.

"Dek, bagaiman kalau ibu kita carikan kontrakan saja?"

Arini yang sedang melipat mukena menghentikan gerakan tangannya, kembali netra itu menatapku seolah minta penjelasan.

"Mas keberatan kalau ibu tinggal di sini?"

"Bu-bukan begitu, Dek."

"Lalu?"

Aku terdiam. Bingung. Salah tingkah. "Mas jadi nggak nyaman kalau ada ibu di sini," lanjutku, namun segera kusesali ucapanku.

Semakin bingung dan kacau tingkahku, tak tahu lagi menyusun kata yang baik agar tak menyinggung.

"Kenapa Mas baru bilang kalau merasa tak nyaman jika ibuku di sini?  Apa dia merepotkan Mas?"

"Bu-bukan begitu, Dek. Haduuh ... Mas bingung ngomongnya." Aku garuk kepala yang gatal dengan kasar.

"Apa ibu menyinggung perasaan Mas? Atau mungkin ibu berkata kasar ke Mas Danu?"

"Nggak, Dek."

"Lalu?" Arini semakin menekanku, sungguh ia tak tahu bencana apa yang  tengah mengancamnya.

"Kenapa ibu tidak menikah lagi, Dek? Kalau dia menikah lagi, pastinya akan punya kehidupan sendiri." Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Jadi, maksud Mas Danu ... ibu selama ini mencampuri urusan kita?"

"Duuuh ... salah lagi." Kutepuk jidat ini, menyesal dengan ucapan yang kulontarkan.

"Mas Danu ini kenapa, sih? Heran, deh!" celoteh Arini seraya tangannya meneruskan melipat mukena dan meninggalkan aku sendiri dengan sejuta kebingungan.

Kecemasan kian melanda, sekuat-kuatnya batu karang pasti lama kelamaan akan terkikis pula oleh deburan ombak. Apalagi nafsu yang mengendap dalam diri, tak selamanya akan mampu dikekang.

Arini, aku berharap secepatnya kamu bisa memahami apa yang terjadi. Abang tak sanggup lagi menahan seorang diri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!