NovelToon NovelToon

Alvina

•Ardhina Devi•

"Assalamualaikum, Kak ...." Aku berteriak mencari keberadaan Kak Dhina.

"Waalaikumsalam, Al." Kak Dhina dengan kursi roda dan semangkuk salad di pangkuannya.

"Mau sampai kapan Kak Dhina manjain aku terus?" Aku suapkan potongan pepaya dari mangkuk saladnya.

"Darimana?" Gantian Kak Dhina yang memasukkan melon ke mulutku. "Sudah dapat apa yang kamu cari?" Semanis mungkin aku tersenyum lalu menggelengkan kepalaku. Dia mendengkus.

"Ini, Al!" Dia menunjukkan sebuah selebaran dari kampus terfavorit di Surabaya. Aku mengambilnya, meskipun sebenarnya sama sekali tidak tertarik.

"Jika kamu berfikir aku terbebani dengan biaya kuliahmu, cobalah ikut program beasiswa itu!" imbuhnya.

"Tapi Kak, dengarkan aku! Aku bisa kuliah tahun depan. Saat ini, aku ingin memastikan Kak Dhina ada di sampingku. Aku ingin selalu berbagi kebahagiaanku dengan Kakak. Saat ini aku ingin fokus dengan kesembuhan Kak Dhina. Semua itu butuh biaya, aku hanya ingin meringankan beban Kak Dhina. Izinkan aku kerja Kak ...."

"Kamu bicara seolah-olah aku akan mati." Nada bicaranya terdengar sangat kesal.

"Bukan seperti itu maksudku, Kak." Aku taruh mangkuk salad di atas meja. Aku genggam tangannya, tapi dengan kasar dia melepas genggaman tanganku. Aku berusaha meraih tangannya lagi, tapi dengan cepat dia memundurkan kursi rodanya. Aku jatuh tersungkur. Dengan cepat aku bangun dan mengejarnya yang mendorong kursi rodanya dengan kedua tangannya sendiri.

"Pergilah! Cari apapun yang kamu inginkan. Kembalilah padaku saat kamu sudah menemukannya," sarkas Kak Dhina.

Apa yang aku lakukan? Aku membuatnya kecewa.

"Kak ...." Aku letakkan kepalaku di pangkuannya.

"Pergilah!" Kak Dhina mengangkat kepalaku. Dia benar-benar marah. Aku mencium tangannya.

"Aku pergi, tapi restui aku dengan senyummu, Kak." Aku dengan wajah penuh harap. Kak Dhina melengos. Mungkin sebaiknya aku harus pergi.

"Assalamualaikum ...." Bahkan aku tidak dengar dia menjawab salamku.

#######

Namanya Ardhina Devi. Setelah kecelakaan lima belas tahun lalu yang menewaskan kedua orang tuaku, dia mengadopsiku. Dia iba melihatku yang terlantar di rumah sakit, tidak ada seorang pun yang datang mengaku sebagai keluargaku. Dia bilang, cukup dia yang merasakan bagaimana rasanya jadi yatim piatu.

Dia merawatku, dia membesarkanku, dia memberi pendidikan yang layak buatku. Dia penuhi semua kebutuhanku. Dia beri apapun yang aku inginkan tanpa aku memintanya. Dialah segalanya bagiku. Aku masih belum sanggup jika dia meninggalkanku, apalagi untuk selamanya.

Sejak sakit gagal ginjal yang dia derita, kehidupanku dan Kak Dhina sedikit sulit. Aku harus bolak balik mengantar Kak Dhina ke rumah sakit, apalagi enam bulan yang lalu, tubuh bagian bawah Kak Dhina mendadak lumpuh.

Aku mulai berpikir untuk meringankan beban Kak Dhina, bukankah biaya rumah sakit sudah cukup berat, lalu bagaimana mungkin aku malah memberatkannya dengan biaya kuliahku nanti?

Ya Allah, andai Kak Dhina pahami itu.

Aku lihat lagi selebaran beasiswa yang Kak Dhina beri padaku. Apa emang ini jalan keluarnya?

Aku minum air mineral. Hembusan nafasku mulai terasa berat. Bingung. Jam di tanganku menunjukkan angka satu. Panas matahari mulai terasa menyengat. Aku bangun dari dudukku. Kampus itu tujuanku.

Lah, mana kunci motorku? Aku cari dengan teliti dalam tasku. Dimana ya? Kok nggak ada?

"Maaf, apa ini yang kamu cari?" Suara cowok, di tangannya gantungan berbentuk Doraemon, itu seperti milikku. Aku pastikan, setelah ada inisial 'A' di kantong ajaib Doraemon itu, sudah pasti itu milikku. Aku mengangguk. "Ini tadi jatuh disana." Dia menunjuk di tempat aku duduk tadi.

"Makasih ya ...." Aku mulai perhatikan cowok itu. Tampan. Dia mengangguk sambil tersenyum, manis banget!

Ponselnya berbunyi. Dia berjalan menjauh dariku. Aku nggak harus nungguin dia ngobrol dengan orang di seberang sana kan? Toh aku sudah bilang makasih. Jadi, maafkan aku harus pergi.

•Jatuh•

Aku kembali ke arah parkiran. Setelah menunggu setengah jam, aku dapatkan formulir pendaftarannya. Aku isi lalu aku serahkan lagi ke panitia seleksi.

Aku harus cepat-cepat pulang. Aku tinggal Kak Dhina di rumah sendiri dalam keadaan marah.

Tiba-tiba ada pintu mobil terbuka di depanku, karena kaget aku banting setir motorku. Dan sialnya aku gagal fokus dan tidak bisa mengendalikan motorku. Akhirnya ....

'Brak ... brak ... brak!'

Aku berusaha berdiri, tapi separuh badanku tertindih motor. Pergelangan tanganku juga sakit banget, kayaknya keseleo.

"Maaf, maaf, maafin aku ... Astaghfirullah, apa kamu nggak apa-apa?" Cowok itu terlihat bingung. Cowok tampan ini yang tadi menemukan kunci motorku.

Dengan cepat dia membantuku bangun. Badanku gemetar. Aku raba mukaku, syukurlah hanya lutut dan sikutku yang terluka. Cowok itu menyodorkan air mineral.

"Makasih ...." Aku berusaha tersenyum.

"Kamu ... cewek tadi itu kan?" Dia memastikan kalau dia nggak salah orang.

"Kamu nggak apa-apa?" Aku mengangguk.

Apa kamu terluka?" Dia mencari luka di tubuhku dengan wajah khawatir. Aku sedikit risih dengan perlakuannya yang berlebihan.

"Aku nggak apa-apa." Aku berusaha berdiri, entah karena tubuhku masih gemetar atau luka di lututku, tubuhku hampir jatuh ke tanah, tapi dengan cepat dia menangkap tubuh mungilku.

"Duduklah sebentar, sampai rasa sakitmu hilang." Dia melihat ke arah lutut dan sikutku.

"Tapi aku sedang terburu-buru."

"Biar aku antar." Aku menggeleng. Sekuat tenaga aku coba berdiri, tertatih-tatih aku berjalan ke arah motorku.

"Jangan membuatku merasa bersalah, aku yang sudah buat kamu jatuh. Aku harus tanggung jawab." Dia memaksa.

"Ada apa? Kamu nabrak dia?" Tiba-tiba dua temannya yang tanpa sengaja lewat menghampiri.

"Bawa mobilku. Aku mau antar dia pulang." Dia serahkan kunci mobil ke salah satu temannya.

"Aku nggak apa-apa, aku masih bisa pulang sendiri!" Nggak bayangin gimana reaksi Kak Dhina nanti.

Cowok itu memberikan isyarat kepada kedua temannya untuk pergi.

"Ayo ...." Aku masih bergeming.

"Kamu bisa jalan kan? Apa perlu aku gendong?" Cowok itu lagi. Mataku terbelalak. Cowok itu tersenyum geli.

"Ikatkan sabuk pengamanmu di sini!" Dia menepuk perutnya.

"Maksudnya?" Alisku bergabung. Dari kaca spion motor, aku lihat senyumnya mengembang.

"Kemana?" Tanyanya.

"Pulang!" Jawabku singkat

"Ke rumahku?" Nadanya bertanya.

"Apa?" Seruku kaget plus heran. Dia tertawa pelan. Guyonannya nggak lucu banget!

Dia tarik kedua tanganku dan melingkarkan di perutnya. Aku berusaha menarik lagi tanganku, tapi dia genggam erat pergelangan tanganku yang keseleo. Rasanya sakit. Semakin berusaha aku menarik tanganku, rasanya semakin sakit.

"Duduklah dengan tenang!" Suaranya terdengar melembut. Akhirnya aku biarkan tanganku melingkar di perutnya. Sepanjang perjalanan tangan kirinya terus menggenggam tanganku, memastikan aku aman di belakangnya.

"Kita sudah sampai?" Tanyanya.

"Heem." Jawabku singkat.

Dia lepaskan genggaman tangannya. Rasanya pergelangan tanganku sakit banget.

"Apa aku terlalu erat menggenggamnya?" Dia bantu aku melepas helmku. Aku gelengkan kepalaku untuk menghilangkan kekhawatirannya yang berlebihan.

Saat turun dari motor, lututku yang terluka tidak bisa menahan tubuhku. Aku hampir terjatuh, tapi untung saja dia tangkap tubuh mungilku. Dan tanpa bertanya dia menggendongku.

"Hei turunkan aku!"

"Hush! Diam saja! Kalau tidak, teriakanmu akan membuat semua orang melihat ke arah kita."

Dan lagi-lagi aku menuruti perintahnya.

"Tekan belnya!"

Aku ketuk pintu rumah karena memang nggak ada bel di rumah.

"Assalamualaikum ...." Aku dan cowok itu bareng. Agak lama pintu terbuka.

"Waalaikumsalam ... Ya Allah, kamu kenapa Al?" Suara Kak Dhina terdengar khawatir.

Aku yang dari tadi memandanginya melihat perubahan wajahnya saat melihat Kak Dhina. Tatapan iba terpancar.

"Turunkan dia di kamarnya saja!" Kak Dhina membatalkan niatnya menurunkanku di sofa.

Dia terlihat takjub melihat kamarku. Serba biru, serba Doraemon. Matanya beredar pada furniture kamar yang serba Doraemon. Lalu pandangannya berhenti dan tertuju pada bingkai foto besar di atas ranjangku.

"Cantik ...."

•Namanya Fathir•

Dia rebahkan tubuhku di atas tempat tidurku. Matanya itu nggak bisa lepas dari foto berpose manjaku.

"Aw ...." Rambutku tersangkut di kancing tangan jaket jeans nya. Reflek aku angkat kepalaku lagi, tapi dia justru membungkukkan tubuhnya. Bibirnya menyentuh pipiku. Tingkahku jadi nggak jelas karena salah tingkah. Aduh ... ni sakit banget! Rasanya rambutku seperti dicabut dari kepalaku. Aku lihat ekspresi bingungnya.

"Diamlah dulu! Jangan banyak bergerak!" Dia menekan kepalaku ke dadanya, tanpa menyakitiku dia melepas rambutku.

"Kamu jatuh dari motor Al?" Kak Dhina datang membawa kotak obat.

"Biar saya saja Tante." Dia menawarkan diri untuk mengobati lukaku.

"Tante?" Kak Dhina mengernyitkan dahinya.

"Anda bukan Ibunya?" Kak Dhina menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.

"Aku Dhina, dia memanggilku Kakak." Kak Dhina sambil menunjuk ke arahku.

"Aku Fathir Kak ...." Dia mengulurkan tangannya, Kak Dhina menyambutnya. Dia lalu mengulurkan tangannya kepadaku

"Kalian belum saling kenal?" Kak Dhina heran. Fathir yang jawab dengan senyumannya. Dan aku gelengkan kepalaku.

"Alvi." Aku menyambut uluran tangannya.

"Alvi ...." Gumamnya.

Fathir beranjak duduk di pinggir tempat tidurku. Kak Dhina memutar kursi rodanya hendak keluar. Dia pasti ingin membuatkan sesuatu untuk tamunya.

"Kak, nggak usah kemana-mana, disini saja!" Fathir tarik kursi roda Kak Dhina.

"Mau ambil air saja, nggak pantes kalau tamu nggak disuguhin apa-apa." Kak Dhina bersikeras.

"Aku minta senyum itu aja" Fathir menunjuk fotoku. Alisku bergabung, omongannya mulai membuatku risih.

"Aku becanda Kak ...." Dia nyengir.

"Nggak lucu!" Ketusku.

Fathir pegang tangan kiriku. Genggamannya makin erat saat aku berusaha menarik tanganku. Fathir mulai mengobati luka di sikutku.

"Aduh ...." Tetesan Betadine terasa perih. Dengan lembut Fathir meniup lukaku.

"Masih terasa perih?" Penuh perhatian dia bertanya, aku gelengkan kepala. Aku baru kenal, tapi dia penuh perhatian. Fathir lanjutkan ke lututku. Setelah selesai ponselnya berdering, tapi dia biarkan ponselnya berdering.

"Kak, aku pamit dulu ya ...." Fathir berdiri dari tempat tidurku.

"Kamu yakin nggak mau minum teh dulu?" Sekali lagi Kak Dhina menawarkan minum. Fathir menggelengkan kepalanya.

"Makasih Kak ... Lain kali aku main kesini, pasti nggak nolak."

"Ngapain main kesini?" Tukasku.

"Alvi, hush!" Kak Dhina meletakkan telunjuknya di bibirnya sendiri.

"Makasih ya Fathir, sudah antar Alvi pulang ke rumah." Kak Dhina beranjak keluar kamar Alvi.

"Aku harap kita bisa ketemu lagi." Fathir membungkukkan badannya. Dia dekatkan wajahnya ke wajahku. Apa yang akan dia lakukan? Aku palingkan wajahku, agar bibirnya tak menyentuh pipiku lagi.

Ternyata, dia hanya menarik ikatan rambutku. Lalu dia lingkarkan di tangannya.

"Aku tunggu senyum itu." Dia menunjuk fotoku. Lalu menyusul kak Dhina keluar. Dasar nggak jelas!

####

"Doain aku ya Kak ... Moga ujian seleksi beasiswaku lancar." Aku ikatkan tali sepatuku.

"Bagaimana dengan lukamu? Kalau masih sakit jangan di paksa." Kak Dhina terlihat cemas.

"Udah nggak apa-apa kok Kak." Aku menyakinkan Kak Dhina.

' Tok tok tok tok'

"Assalamualaikum ...." Suara cowok. Aku buka pintunya.

"Leh, ngapain pagi-pagi sudah disini?" Fathir berdiri dengan senyum culun.

"Alvi, bukan begitu cara menyambut tamu. Jawab salamnya ...." Kak Dhina berteriak menegorku dari dalam kamarnya.

"Waalaikumsalam ... Ayo masuk!" Jawabku dengan malas. Lagi-lagi dia tersenyum. Aku jengah melihat senyumnya.

"Fathir sudah sarapan? Sarapan dulu yuk ...." Kak Dhina menyapanya. Aku masuk ke kamar, aku ambil tasku, dan dua roti isi.

"Makasih Kak, lain kali saja. Ayo Al, nanti kamu telat."

Aku berikan satu roti isi pada Fathir.

"Kak, Alvi berangkat dulu. Doain Alvi ya ...." Aku mencium tangan Kak Dhina. Kak Dhina cium keningku lalu kedua mataku, kedua pipiku dan terakhir bibirku. Itu kebiasaanku dan Kak Dhina sebagai ganti restu dan doa.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam ...." Aku pergi keluar.

Fathir berdiri menunggu di samping mobilnya. Jujur, pria berperawakan Arab ini terlihat perfect.

"Gimana keadaanmu?" Tanyanya sebelum masuk ke mobil.

"Alhamdulillah, lebih baik dari kemarin." Jawabku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!