Hari ini Gavin Danendra bangkit dari tidurnya dengan penuh semangat. Sembari mengerjap-ngerjapkan kedua matanya, ia mengambil ponselnya dan melihat sebuah pesan teks yang dikirim oleh Mawar, calon tunangannya.
Bibirnya yang sensual melukis senyum manis. Ini masih sangat pagi, meski badan terasa malas untuk bangkit. Namun, ia harus tetap semangat.
Bagaimana tidak, sang papa telah memberikan seluruh aset perusahaan kepada putranya. Berharap kelak, perusahaan akan meningkatkan income yang lebih saat dipimpin oleh Gavin Danendra.
Dengan begitu, Gavin dengan siap siaga memimpin perusahaan itu dengan baik dan tegas. Selain wajahnya rupawan, ia juga menjadi sang idola kaum hawa di perusahaannya.
Akan tetapi, banyak wanita yang sengaja untuk mendekatinya selalu ia tolak. Karena hatinya telah mempunyai seseorang yang akan menjadi istrinya.
Mawar Jingga, putri dari keluarga konglomerat yang akan menjadi calon tunangannya. Selain cantik, Mawar juga memiliki antusias yang tinggi untuk memiliki Gavin.
Sementara dengan Gavin, ia hanya bisa mengikuti apa kata hatinya. Ia mencintai Mawar secara suka rela, tanpa paksaan dan tanpa berlebihan.
Menurutnya, Mawar adalah wanita yang sangat penting baginya. Ia menganggap Mawar telah mengorbankan nyawa untuk menyelamatkan dirinya.
"Gavin … kau tidak bersiap-siap untuk ke kantor?" terdengar suara wanita separuh baya. Wanita itu adalah Kelly, Mama tiri Gavin.
Sejujurnya, Gavin merasa tidak nyaman dengannya. Wanita itu hanya baik di depan saja, nyatanya di belakang ia sangat kejam.
"Sebentar lagi saya ke kantor," balas Gavin singkat.
Wajahnya tampak cuek bebek, menatap layar ponsel. Tanpa sedikit pun memperhatikan wanita itu.
Meski usianya saat ini memasuki dua puluh tujuh tahun, Gavin justru lebih cendrung bersikap mandiri. Mungkin karena sejak kecil ia dibesarkan tanpa seorang ibu, membuat dirinya terbiasa dengan keadaan.
Morina Thomas, ibu Gavin Danendra yang telah lama meninggal karena kecelakaan. Kejadian itu terjadi ketika Gavin berusia sepuluh tahun. Ia merasa curiga, sepertinya ada seseorang yang sengaja mencelakai ibu kandungnya sendiri.
Walau kejadian itu sudah sangat lama, ia tak pernah membiarkan hal itu berlalu begitu saja. Ia tetap mencari bukti akurat bahwa kecelakaan itu terjadi disengaja.
Selain sikapnya yang jutek, Gavin juga terkenal dengan sikap angkuhnya. Ia merasa dirinya yang paling benar. Meski dirinya bersalah. Sepertinya sikapnya itu diturunkan dari sang Ayah.
***
"Tuan Muda … sepertinya ada berita buruk yang sedang heboh di kantor. Di sana banyak wartawan yang mencari anda," ujar Hans, asisten Gavin.
Hans sendiri sudah dianggap seperti kakak sendiri. Sikapnya juga baik dan pengertian terhadap Gavin.
"Berita?
Berita apa, Asisten Hans? Kau jangan mengada-ngada," cetus Gavin sambil merapikan jas yang dikenakan.
"Benar Tuan Muda, Berita mengenai hubungan Tuan dengan Cecilia," balas Hans.
Gavin menarik napas. Matanya menatap ke arah Hans. Ia tersenyum dan melangkahkan kakinya menuju teras depan. Mau tak mau, Hans membuntutinya di belakang. Gavin melempar kunci mobil ke arah asistennya dan mengedipkan mata.
"Hari ini aku akan tetap ke kantor. Kau tidak perlu cemas, bawa aku," sahut Gavin, lalu melangkah masuk ke dalam mobil.
"B-baik, Tuan Muda." ucap Hans, sambil masuk ke dalam mobil dan menstater mobil tersebut. Sesaat, mobil berlalu pergi meninggalkan halaman rumah yang besar itu.
Tepat di depan perusahaan, Mobil berhenti. Gavin turun dari mobil. Penampilannya terkesan menawan dan memikat hati para karyawan lainnya.
Semua penjuru mata menatap ke arahnya. Begitu juga dengan para wartawan lainnya, mereka berkerumun berlari menghampiri Gavin. Segala pertanyaan ini itu mereka lontarkan demi mendapatkan informasi yang akurat.
Gavin hanya santai menerobos masuk dan menghiraukan wartawan itu. Langkahnya diikuti oleh asistennya yang bernama Hans.
"Tuan Gavin … tolong jelaskan, apakah benar isu itu? Apakah benar Tuan Gavin menjalin hubungan dengan Nona Cecilia?"
Segala pertanyaan yang keluar dari para wartawan, tak satu pun di antaranya mendapat gubrisan oleh Gavin.
Hal itu membuat para wartawan merasa kesal dan ingin menerobos masuk. Namun karena sekuriti dan keamanan perusahaan dijaga ketat, mereka semua dicegah masuk oleh tim keamanan tersebut.
***
Arrrghhhh!
"Jam berapa ini?" seorang gadis manis baru bangun dari tidurnya. Matanya menatap ke arah jendela. Dilihatnya mentari telah bersinar terang. Ternyata sudah siang.
"Kau bangun kesiangan terus? Bagaimana bisa kau akan sukses, Anyaa," suara wanita separuh baya itu mengejutkan gadis cantik yang bernama Anya.
"Ibuuu … aku tadi bermimpi, aku dan ibu mendapatkan emas batangan banyak. Ini pasti pertanda bahwa aku akan sukses nantinya," ujar Anya sembari meregangkan otot-otot tubuhnya.
"Kau jangan bermimpi terus. Kalau bisa buktikan pada Ibu kalau kau bisa sukses,"
Anya pun bangkit dari tidurnya. Segera beranjak menuju Ibunya yang tengah memasak di dapur. Lalu mendekap tubuh ibunya itu.
"Ibuu … aku akan buktikan, bahwa aku bisa sukses. Aku akan mencari pekerjaan yang lebih baik lagi. Jujur, aku juga capek tiap hari harus keliling mengantar pakaian pelanggan, Bu," ucap Anya.
Ia mencoba membuat ibunya merasa bahwa dirinya bisa seperti yang lain. Saat ini Anya hanya bekerja membantu ibunya mencuci pakaian. Yah! Hanya membuka usaha laundry kecil-kecilan.
Dikarenakan perekonomian mereka juga sangat rendah. Jadi tak mampu untuk membangun toko besar. Setiap hari ia harus membantu ibunya mencuci, menyetrika dan mengantar pakaian. Ini sudah menjadi rutinitasnya setiap hari.
"Kau yakin bisa sukses? Sedangkan kau sekolah hanya tamatan sekolah menengah saja. Bagaimana bisa kau mendapatkan pekerjaan yang lebih baik?"
"Ibuu … biarkan aku berusaha, ya? Ibu jangan khawatirkan itu."
Anya pun memberikan senyuman kepada ibunya. Meski kehidupan mereka sangat sederhana, akan tetapi segala kasih sayang dan perhatian mereka saling tercurahkan.
Belum tentu kehidupan yang terlihat mewah itu bahagia, bahkan kadang malah sebaliknya. Oleh karena itu, Anya tetap bersikap apa adanya. Ia tak pernah menuntut kepada ibunya, selalu bersyukur dengan kehidupan yang Tuhan berikan.
###
Gavin berjalan menyusuri koridor perusahaan miliknya itu. Langkahnya santai dengan diikuti oleh Hans asistennya. Semua karyawan lainnya memberi sapaan dan salam hormat kepada atasannya itu.
"Wah! Tuan Muda tampan sekali … andai aku jadi pacarnya, pasti aku akan menjadi orang yang paling beruntung," ujar Naomi, salah satu karyawan yang terkenal bar-bar. Ia sangat blak-blakan mengakui bahwa ia menyukai Tuan Muda Gavin.
Gavin terus berjalan, setiap sapaan karyawan tersebut hanya ia balas dengan anggukan kecil. Sikapnya sangat jutek, dan cuek. Tak begitu banyak berbicara dan terkesan serius.
Ia sangat berbeda dengan adiknya, Bian Danendra. Adik kandung se-Ayah tapi beda ibu. Akan tetapi, Bian saat ini masih berada di luar negeri, menyelesaikan kuliahnya di sana.
Entah karena berbeda ibu, Gavin tak begi akrab dengan Bian. Berbicara saja jarang, hanya sesekali saja jika ada kepentingan.
"Tuan Gavin, bagaimana bisa berita itu muncul di media? Bukankah hubungan anda dengan Nona Cecilia sudah mantan," ujar Hans saat tiba di ruangan Gavin.
Kedua mata Gavin menatap asistennya. Ia merenung dan berpikir.
"Sepertinya, berita ini beredar karena ulah Cecilia sendiri. Ia sengaja menyebarkan berita hoax kepada tim media, karena ia sudah saya tolak," balas Gavin.
"Tuan, kalau begitu bagaimana jika Nona Mawar mengetahui berita ini?"
Gavin menarik napas. Tangannya menyeret kursi dan duduk di sana. Salah satu kakinya, ia naikkan di atas lutut. Wajahnya sangat tampan dan mempesona dengan setelan jas berwarna navy.
"Urusan itu, aku bisa mengatasinya. Aku rasa Mawar akan mempercayaiku, bagaimana pun juga selama ini aku selalu mempercayainya," balas Gavin.
"Baiklah, Tuan Muda. Semoga anda berhasil meluluhkan Nona Mawar,"
Gavin mengangguk.
Kemudian tangannya mengambil beberapa proposal di atas meja. Lalu menyerahkan kepada asistennya.
"Ini proposal mengenai pemindahan lahan di desa Bendungan Hilir. Tolong kau berikan kepada Manajer Fan untuk acara meeting nanti,"
Hans menerima proposal tersebut.
"Baik, Tuan Muda. Saya permisi dulu,"
Gavin hanya mengangguk dan mempersilahkan asistennya beranjak pergi dari ruangan tersebut.
Kini matanya menatap ke arah ponsel yang berdering. Dilihatnya pada layar kaca monitornya, ternyata calon tunangannya yang memanggil. Gavin pun segera menjawab panggilan tersebut.
"Hallo, Mawar," ucapnya.
"Hallo, Gavin … aku ingin kita bertemu nanti siang di tempat biasa. Ada hal penting yang perlu aku bicarakan," balas Mawar di seberang sana.
Gavin terdiam, ia berpikir sejenak. Sepertinya Mawar ingin membahas mengenai hubungannya dengan Cecilia.
"B-baiklah."
Panggilan pun berakhir. Gavin meletakkan ponselnya di atas meja. Ia menatap layar laptop di depannya, di sana ia membuka sebuah file yang berisi surat pernyataan. Mengenai pemindahan lahan di desa Bendungan Hilir untuk pembukaan lahan pertamina.
Sebelum sang Ayah risain dari jabatan CEO, beliau telah memberi kesepakatan kepada kelurahan tersebut mengenai pemindahan lahan. Kini Gavin sendiri yang harus turun tangan dan menyelesaikan proyek tersebut.
***
Di desa Bendungan Hilir, tampak seorang gadis berkeliling mengendarai sepeda motornya dengan sebuah keranjang yang berisi pakaian. Seperti biasanya, gadis itu harus mengantar pakaian hasil laundry ke rumah setiap pelanggan.
Terkadang ada juga pelanggan yang jauh, ada pula pelanggan yang selalu komplain dengan hasil laundry tersebut. Itu sangat membuat hati gadis yang bernama Anya merasa teriris.
Ini adalah pelanggan yang terakhir, Anya sudah stand by di depan rumah yang cukup mewah. Beberapa tanaman hias terpajang di halaman depan rumah. Anya menatap sekitar rumah dengan terpana. Ia sangat kagum dengan keadaan rumah tersebut.
Seorang pria bertubuh tinggi dan tampan, dengan mengenakan t-shirt putih dan celana boxer muncul di atas balkon. Mata pria itu menuju ke arah Anya.
"Woiiii! Tukang rongsokan. Ngapain kau di situ? Kau tau, di sini tidak menerima tamu seperti kau." sahut pria tersebut yang tak lain adalah Gavin Danendra.
Sepertinya hari ini Gavin pulang dari kantor lebih awal, karena ia memiliki janji temu dengan Mawar, calon tunangannnya.
"Tuan, saya bukan tukang rongsokan. Saya di sini ingin mengantar pakaian laundry milik Nyonya Harumi. Apakah kau putranya?" ujar Anya dengan jelas. Sedikit pun ia tak mengambil hati perkataan kasar yang dilontarkan oleh pria itu.
"Ohh? Jadi kau tukang laundry … keliling pakai motor butut itu kau bisa apa?!"
Mendengar ejekan itu, Anya merasa geram. Ia berjalan menuju teras depan rumah. Suasana rumah terlihat sepi, sepertinya tidak ada siapa-siapa. Ia pun mengetuk pintu dan berharap pemilik rumah tersebut membukakannya.
Krrrrkkkk
Anya tersentak melihat seorang pria yang tadi di atas balkon. Ia menatap wajah pria tersebut. Memang sangat tampan. Akan tetapi, ketampanannya tertutupi oleh sikap sombongnya itu. Anya menyodorkan bingkisan pakaian itu ke tangan Gavin.
"Ini pakaian Nyonya," ucap Anya.
"Kenapa kau memberikannya padaku?" tanya Gavin dengan mengernyitkan alisnya.
"Sepertinya nyonya tidak ada di rumah, ya? Kau kan putranya, jadi aku harus menitipkan pakaian ini sama kau. Oh iya, untuk upahnya sepertinya harus saya naikin, karena perjalanan dari rumah ke sini sangat jauh. Jadi perlu ongkos yang cukup," sahut Anya dengan menyodorkan telapak tangannya, untuk meminta upah.
"Dasar pemeras! Kau cuma laundry keliling dan motor kau itu butut, masih juga berani memeras saya? Pokoknya saya tidak mau membayar lebih. Lagian ini juga pakaian nyokap, jadi saya tidak perlu membayarnya. Kau tunggu saja nyokap saya yang membayar nanti."
Sesaat pintu rumah pun ditutup. Gavin mengunci pintu tersebut dari dalam. Sementara, Anya hanya diam tak berkutik. Ia merasa kesal terhadap perlakuan pria itu yang dengan seenaknya saja.
"Pokoknya, saya akan tagih hutang anda kapan pun itu!" ancam Anya, lalu beranjak pergi meninggalkan halaman rumah tersebut. Matanya tampak berlinang, air matanya sesaat membasahi kedua pelipisnya.
Jujur, ia sebenarnya sudah bosan melakukan pekerjaan itu. Setiap hari ada saja pelanggan yang bersikap seenaknya saja. Jika bukan karena ibunya, ia pun takkan mau melanjutkan rutinitas mengantar pakaian itu.
Sambil mengemudi motor, pikiran tertuju pada ibunya. Ia tak tau harus berkata apa saat ibunya meminta hasil upah pakaian tersebut. Matanya terus menangis sambil sesekali tangan kirinya menyeka air matanya.
###
"Dasar pria sombong! Seenaknya saja memperlakukan anak saya seperti itu. Anya … pokoknya kalau kau bertemu dengan pria tersebut, kau harus menagih hutangnya. Kalau begini terus, bisa-bisa usaha kita bangkrut," tampak wanita paruh baya itu mengomel.
Anya hanya bisa diam mendengar omelan ibunya itu. Sesaat ia menarik napas dan mengelus dada wanita paruh baya tersebut.
"Ibu … tenanglah, jangan emosi begini. Aku janji akan menagih hutang itu jika bertemu pria sombong tersebut, Bu, sekarang Ibu istirahatlah. Biar aku yang melanjutkan menyetrikanya," ujar Anya.
Sebenarnya, di dalam hati ia benar-benar menyimpan dendam kepada pria sombong itu. Meskipun wajahnya sangat tampan jika tidak memiliki attitude sama sekali semua takkan berarti apa-apa.
"Kau juga harus banyak istirahat, jangan kau paksa terus untuk membantu Ibumu ini, ya?"
"Ibu … ini sudah menjadi kewajibanku membantu Ibu. Jadi Ibu tak perlu mengkhawatirkan aku, sudah ya Ibu istirahat saja."
Tampak wanita paruh baya itu tersenyum melihat putrinya. Sejak kecil Anya telah banyak membantu wanita itu. Meskipun dirinya sudah tau bahwa ia bukan putri kandung wanita itu. Akan tetapi, Anya tetap menyayangi wanita itu layaknya Ibu kandungnya.
Di dalam Rumah, Gavin telah siap dengan pakaian kemeja dan jeans berwarna Navy. Entah mengapa, sejak kecil ia menyukai warna tersebut. Menurutnya warna tersebut memiliki arti tersendiri.
Kelly, Ibu tirinya duduk di depan televisi. Matanya menatap ke arah Gavin. Ia mendengkus napas dan meletakkan majalah yang dibacanya.
"Kau mau ke mana, Gavin?" tanya wanita itu.
Gavin berjalan menuju pintu, matanya melirik ke arah Kelly.
"Memangnya kalau saya mau pergi, harus bilang dulu kepada Mama?" sahut Gavin dengan wajah datar.
"Gavin … kau ini lancang sekali bicara sama Mama. Aku ini Mamamu, Gavin .…"
Gavin menatap sinis.
"Kau itu tidak pantas menggantikan Ibuku. Kau itu hanya menginginkan harta dari Papaku, iya kan?"
"Gaviin ….!" seorang pria berbadan gempal tinggi, berjalan sambil membenarkan kacamatanya. Ia menatap Gavin dengan tajam.
"Papa …." ujar Gavin.
"Lancang sekali kau bicara dengan Mamamu. Dia itu Mamamu, pengganti Ibumu. Kau harus menghormatinya, Gavin …!" tegas pria itu bernama Jeff.
Mendengar ucapan itu Gavin hanya diam dan tersenyum kecut.
"Pa … sudahlah. Biarkan saja Gavin seperti itu. Mungkin dia perlu waktu untuk menerima kehadiranku," ucap Kelly dengan menghela napas.
"Dasar Munafik!" cetus Gavin.
"Gaviin ….!" gertak Jeff kepada Gavin.
Pria itu tampak tidak bisa menahan amarahnya. Emosinya tampak meluap-luap ketika mendengar ucapan putranya.
"Kenapa Pa? Ha … Papa selalu saja membelanya, karena dia istri Papa, kan? Dia juga jauh lebih cantik dari Ibu, tapi aku tak pernah bisa menerima kehadirannya. Dia tak pantas menggantikan Ibu, Papa ngerti?!"
Usai berkata demikian, Gavin berlalu pergi meninggalkan pangan itu. Kelly berdiri dari duduknya dan menghampiri Jeff. Matanya menatap sinis ke arah Gavin yang telah berada di luar sana.
"Pa, sudahlah. Jangan dengarkan perkataan Gavin. Mama tidak apa-apa kok, Mama juga mengerti, sikap Gavin tidak sama persis dengan Bian," ucap Kelly dengan tenang.
Pria itu mendengkus napas dan duduk di sofa. Kelly menyodorkan segelas teh hangat kepada suaminya itu.
"Minum dulu Pa, tehnya,"
Jeff menerimanya dan meneguk teh itu.
"Gavin ini memang dari dulu tidak pernah berubah, Papa sudah lelah memperingatkannya, Ma. Tolong Mama jangan ambil hati ya perkataan Gavin,"
Kelly menatap ke arah Jeff.
"Mama juga mengerti, Pa. Lagipula Mama sudah biasa mendapat perlakuan seperti itu."
Tampak Kelly memeluk tubuh suaminya. Ia memasang wajah memrlas, berharap suaminya dapat mengerti perasaannya.
***
Di sebuah Cafe yang cukup jauh dari rumahnya, Gavin berjalan masuk ke dalam. Sepasang matanya menatap seluruh penjuru ruangan tersebut. Ia tersenyum menatap wajah gadis cantik yang tengah meneguk minuman dalam gelas.
Mawar Jingga, calon tunangannya yang telah membuat janji temu kepada Gavin. Wanita itu menatap ke arah Gavin dengan pandangan datar. Rambutnya yang terurai panjang sebahu itu membuatnya terlihat cantik.
"Duduklah." pinta Mawar kepada Gavin.
Dengan segera, Gavin pun menghempaskan pantatnya dan duduk di kursi. Kini posisi mereka tampak berhadapan.
"Maaf, ya? Aku sedikit terlambat," ucap Gavin.
"Tidak papa, aku mengerti." balas Mawar santai.
Gavin mencoba mengatur napasnya, ia menatap ke arah gadis itu.
"Mawar … Sebenarnya kau mau bicara hal penting apa?" tanya Gavin.
Sesaat gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah luar. Bibirnya melukis senyum tipis pada bibir sexynya itu.
"Sebenarnya … aku hanya ingin mengetahui satu hal, kurasa kau mau berkata jujur padaku," jawab gadis itu lalu memandang Gavin.
Gavin mengernyitkan alisnya. Ia telah menduga-duga bahwa Mawar akan bertanya tentang berita yang beredar di media kemarin lusa.
"Bicaralah, aku akan menjawabnya,"
"Siapa Cecilia itu?" tanya Mawar.
Gavin menarik napas dan membenarkan posisi duduknya. Kedua matanya menatap ke arah gadis tersebut. Perlahan tangannya menggenggam tangan gadis itu.
"Mawar, kau harus percaya padaku. Cecilia itu hanya mantan, berita yang sempat beredar itu hanya hoax. Hubunganku dengan Cecilia hanya mantan, kami sudah lama putus," jawab Gavin mencoba untuk membuat Mawar percaya padanya.
Seketika, gadis itu tersenyum kecut dan melepas genggaman itu.
"Omong kosong! Kau tidak perlu berbohong, Gavin. Aku ini calon tunanganmu, apakah layak kau membohongiku?!" tegas Mawar dengan nada tinggi.
"Mawar, tolong percaya. Aku tidak berbohong. Aku berkata jujur padamu,"
"Apa kau punya bukti? Kalau kau sudah putus dengan Cecilia? Berikan bukti itu padaku, Gavin,"
"Aku memang tidak mempunyai bukti, tapi aku sudah putus dengannya. Aku jujur, Mawar. Cecilialah yang mengejarku,"
Mawar tampak bangkit dari duduknya. Terlihat semua pelanggan cafe menatap keduanya. Gavin tak memperdulikan itu.
"Aku tidak percaya! Jika kau tak memberikanku bukti, aku tak akan bisa mempercayaimu."
Lalu Mawar pun beranjak pergi dan meninggalkan Gavin. Sementara Gavin hanya menghela napas dan beranjak bangkit.
"Mawar. Please! Jangan keras kepala." teriak Gavin sambil menatapi kepergian Mawar.
Ia sendiri merasa bingung harus melakukan apa? Apa yang harus dibuktikan kepada Mawar supaya dia mempercayainya? Pertanyaan itu terus melambung-lambung di dalam otaknya. Pikirannya diselimuti oleh rasa bingung yang kian meronta.
"Cecilia …." ungkapnya.
Sesaat itu kedua matanya berbinar, sepertinya ia mempunyai ide yang cemerlang. Ide apa itu??
###
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!