NovelToon NovelToon

Miss Jomblo (Almira)

1. Anak Kejepit

"Miraaaaaa!"

Teriak seorang wanita yang tak lain dan tak bukan adalah sang nyonya rumah. Matanya melotot, tangannya berkacak pinggang. Mulutnya berkoar-koar semangat 45 kalau sudah menyangkut anak 'kejepitnya'.

Kenapa kejepit? Karena Mira anak nomor dua. Kejepit bukan mengandung makna yang negatif seharusnya, tapi nasib menjadi anak dengan faktor 'kebobolan', membuat Mira merutuki nasibnya sebagai anak tengah.

Yahh ... sang ibu Pertiwi–Mama Mira– sewaktu hamil Mira dulu karena 'kebobolan', dimana kakak Mira baru saja berumur tiga bulan tapi mamanya sudah hamil lagi. Dan itu yang membuat sang Mama terkesan menyalahkan Mira yang hadir tanpa permisi dan mengambil hak ASI sang kakak.

Gimana rasanya? Perih, sodara-sodara! Andai dia bisa permisi dulu buat datang kedunia ini, 'kan?! Biar Mamanya gak selalu menyindirnya, tetapi begitu memaklumi kakaknya.

Sebenarnya yang patut disalahkan di sini adalah sang Papa. Ya, nggak sih?! Si Papalah yang menyosor Mama padahal Mama baru aja selesai nifas waktu itu. Salah Mama juga yang buka gawang padahal dia baru aja turun mesin. Tapi mereka egois, si anak tak berdosa inilah yang menanggung kesalahan akibat bobolnya gawang sang Mama.

Kemudian, mungkin karena faktor 'tau diri' yang membuat sang Papa akhirnya lebih menyayangi Mira dibandingkan dua anaknya yang lain. Pengen deh suatu saat Mira mengkampanyekan '**** bebas' buat kedua orang tuanya. Bukan. Bukan bebas dalam artian berganti pasangan, tapi bebas dalam artian waktu saja. Supaya ada jarak yang cukup antara satu anak dengan anak yang lainnya.

Plis, Pa ... jangan ganggu gawang yang habis turun mesin! Papa dilarang keras sebebas itu bila akibatnya merugikan ... si benih yang telah tercetak menjadi anak.

"Bangun, Mir!"

Mira menutup telinganya dengan bantal. Tapi sebentar saja bantal itu sudah melayang ke angkasa. Langit-langit kamar maksudnya, dan mendarat entah di mana.

"Iya, Ma, iya. Mira bangun."

Sebelum kamarnya porak poranda karena amukan sang ibu Pertiwi, mending Mira langsung tancap gas ke kamar mandi.

Setengah jam kemudian Mira sudah berada di meja makan bersama dengan seorang Papa yang selalu tersenyum penyesalan –di mata Mira doang loh ya–karena menurut manusia lain senyum Papa yah biasa aja. Ada juga seorang adik laki-laki yang duduk di sana, adik Mira yang cool tapi nyinyir. Jangan lupakan sang ibu Pertiwi yang sedang bersih-bersih dapur setelah selesai membuat sarapan.

Shelia. Kakak Mira itu sedang menginap di rumah temannya. Anak pertama keluarga Chandrawilaga itu adalah seorang gadis cantik, tinggi, langsing, dan jago masak. Bakatnya alami. Sempurna. Pemberian Tuhan langsung sejak dalam rahim, sepertinya. Sudah jelas sih, kalau Shelia tuh menuruni bakat sang ibu Pertiwi yang memang jago masak.

Pengennya, sedikit aja bagi-bagi bakat itu buat Mira, supaya martabat Mira seenggaknya naik sedikit juga. Mimpi doang sih, nyatanya Mira sama sekali gak bisa masak.

Ghani Chandrawilaga. Itu adik Laki-lakinya Mira. Ya emang cuma Ghani adik Mira satu-satunya. Anak kesayangan orang tuanya. Usianya beda 2 tahun dengan Mira. Entah bakat dari mana, si Ghani–best friendnya Tayo–ini terlahir jenius. Sumpah, si Ghani tuh sejak sekolah kelas satu SD sampai sekarang SMA kelas satu, itu selalu juara satu. Bayangkan ... kecerdasan itu turun dari Tuhan melewati Mira sebagai anak kedua, dan bersemayam di Ghani sebagai anak ketiga. Ghani juga termasuk tampan. Paket sempurna deh buat ukuran cowok. Tapi kalau buat Mira, Ghani hanya seorang adik tengil yang tak menganggapnya sebagai kakak. Mau tau alasannya? Karna otak Mira tak selevel dengannya. Sial.

"Kamu pergi bareng Papa atau bareng Diva, Mir?" tanya papa sambil menyuap nasi gorengnya.

"Diva."

Sudah pasti. Diva itu sahabat Mira sejak kecil. Baik-baik jahat sih orangnya. Mulutnya tuh manis asem asin. Kalo lagi baik ya baiiiiiiiiiik banget sama Mira. Tapi seringkali mulut tajamnya bisa jahaaaaatt banget hingga menusuk ke hati.

Diva tuh cantik, manis, dan seksi. Rambutnya hanya sebahu. Hidungnya mancung, matanya bulat, dan kulitnya putih bersih. Ada tahi lalat kecil di bawah mata kirinya yang membuat Diva semakin manis saja. Aiiih, Mira serasa tinggal di kahyangan saking banyaknya cewek cantik.

Tak lama terdengar suara klakson mobil. Itu sudah pasti Diva. Maka Mira bergegas menyelesaikan sarapannya, lalu pamit pada Mama Papa, dan berangkat.

"Mir, besok kita ke toko buku yuk! Bilangin Mami gue ya, kalo lo juga ikut," pinta Diva sesaat setelah Mira masuk ke dalam mobil.

Oh iya, yang bawa mobil bukan Diva ya, tapi kakaknya Diva yang mau berangkat kerja.

"Iya, Div."

Rumah Diva tak jauh dari rumah Mira. Mereka tetanggaan sejak kecil. Selama sekolah SMU mereka selalu dianter mobil Irwan–kakaknya Diva–atau kadang Papa Mira, atau Papa Diva. Dan Diva itu anak kesayangan Maminya. Saking sayangnya, Diva tak boleh pergi main jauh kalau Mira pun gak ikut. Nah, itulah mengapa Mira selalu menjadi bayangan Diva. Layaknya asisten yang dampingin artisnya. Nasib Mira selalu menjadi figuran! Serius, Mira bukan tokoh utama.

"Jangan bohong lo, Div! Awas lo ya main jauh, gue bilangin Mami," ancam Bang Irwan. Kemudian cowok itu menoleh kepada Mira, "Mir, kasih tau Abang ya kalo Diva keluyuran sendirian."

Bang Irwan, yang usianya beda lima tahun dengan Diva, pun dengan Mira, adalah kakak satu-satunya Diva. Dia seorang manager di sebuah perusahaan. Orangnya baik, tampan, dan sayang adik.

"Iya, Bang."

iya aja gue si

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

bersambung.

Mestinya ini cerita syedih.... tapi entah kenapa malah jadi cerita konyol... 😂

2. Mira hari ini

Mira sebenarnya bukan anak yang lemah lembut. Suer, dia tuh aslinya tomboi dan bringasan. Sejak kecil kerjaannya seperti power ranger, yakni selalu menumpas kejahatan. Siapa penjahatnya? anak-anak yang selalu gangguin Shelia dan Diva. Mira bakalan jadi jagoan dalam melindungi dua cewek itu, yang ternyata keterusan sampai sekarang dalam melindungi Diva. Huh!

Di SMA ini untungnya Mira gak sekelas sama Diva. Dia pun memiliki teman-teman yang lain, tapi tanpa pernah meninggalkan statusnya sebagai bodyguard Diva, ekor Diva, bayangan Diva.

Begitulah nasib Mira sebagai orang yang gak pernah jadi tokoh utama. Ya sih, dia emang gak cantik. Serba pas-pasan lah tampangnya sebagai cewek. Ralat, sebagai asisten Diva.

"Heh, Mirasantika! Lo budeg level berapa sih, dipanggil gak nyaut-nyaut?"

Seorang cowok mentoyor kepala Mira dengan songongnya. Siapa lagi kalo bukan Ryosuke? Bocah blesteran Jepang itu sekelas sama Diva. Berhubung nasib yang mengkondisikan diri Mira sebagai babunya Diva, maka otomatis tiap dirinya ketemu Diva di kelasnya, maka akan selalu ada si bocah songong, Ryo, yang juga dia temuin. Mira yakin, si Ryo gak pernah melihat dirinya sebagai seorang cewek.

Oke, gak masalah. Mira, 'kan cuma tokoh gak penting.

"Apa lo, Yo? Kepala gue yang mahal disentuh-sentuh gak beradab! Durhaka lo ya!" dia gak terima.

"Sejak kapan lo jadi nyokap gue?" Maksud Ryo, kenapa dia harus durhaka, ye, 'kan?!

"Sejak lo lahir, nyaho! Gue nih emak tiri lo ... eh–" masa iya gue jadi emak tirinya Ryo? itu artinya gue jadi selir bapaknya gitu?

"Bokap gue gak bakal mau kawin sama Mirasantika begini ...," Ryo berdecak meremehkan.

"Siyalan! Ya udahlah, gue masih waras. Gue ngalah. Dah minggir lo, gue mau nyari Diva." Mira menyingkirkan Ryo yang menghalangi jalannya di depan pintu kelas.

"Diva lagi ke kantin kayaknya sama Bayu," ucap Ryo yang membuat Mira menghentikan langkahnya.

yailah, tadi dia minta dibeliin minuman, sekarang dia malah udah pergi ke kantin juga.

Dasar gue babu!

Tanpa Mira duga, Ryo sudah merampas botol minum dari tangannya yang dibawanya sejak tadi. Padahal dia sedang ngedumel sebentar doang, di dalam hati pula ngedumelnya. Kok ya Ryo gercep banget?

"Bayar!" tangan Mira mengadah ke bocah songong yang sudah mulai menenggak minuman itu. "Itu minuman harganya tujuh ribu, pajak jalannya tiga ribu, jadi lo harus bayar sepuluh ribu. Bayar!"

Ryo mengangkat kedua alisnya. "Gue bayar pake tubuh gue boleh gak, Mir?" godanya.

Mira menatap Ryo sebentar sebelum menyahut, "Ntar dulu ya, gue cari pisau dulu,"

"Buat?" Ryo melongo.

"Ya kata lo mau bayar pake tubuh lo? Ntar gue cari pisau dulu buat mutilasi bagian tubuh lo yang mau lo pake buat bayar gue."

Ryo bergidik. "Parah lo, Mir. Lo abis berguru sama penjahat mana sih? Dah ah, gue masih pengen hidup."

Cowok itu hendak melangkah hendak pergi, tapi Mira berhasil menahan lengannya. "Bayar gak lo! Kabur aja maunya,"

Ryo terkekeh. Cowok itu sengaja menggoda Mira. Tapi kemudian dia berkata, "Iya iya. Nih! kembaliannya ambil buat lo," Ryo mengalah.

...----------------...

Mira sedang berjalan santai mengiringi artisnya a.k.a Diva. Sekolah baru saja bubar, dan mereka menelusuri jalan dari lingkungan sekolah menuju halte. Entah mau naik angkot, ojol, atau apa, yang penting nongkrong dulu sebentar di halte. Gitu, 'kan anak sekolah?!

"Mir, tadi Bayu nembak gue loh." Diva memberitahu Mira seperti biasa, kerap kali ada cowok yang nembak dirinya.

"Trus, lo terima?"

"Nggak. Gak sreg gue sama Bayu."

For your information, Diva tuh banyak yang suka. Ya pastilah ya, cewek secantik Diva mana mungkin lewat dari mata cowok-cowok normal. Banyak yang nembak, banyak yang perhatian, banyak yang sok kenal sok dekat.

"Ohh ..." Mira hanya ber'oh'ria. Tugas Mira, 'kan ya gitu, menjadi pendengar yang baik untuk cewek bak artis itu. Apa saja cerita Diva bakalan Mira dengar, tampung, dan telan. Keadaan sudah berjalan selama berabad-abad lamanya. Kurang lebih begitu yang ada di otak Mira, maklum, saking lamanya ia menjadi bodyguard.

Baru saja diomong, cowok yang katanya habis nembak Diva, yaitu Bayu, kini sudah menepi ke arah mereka. Senyum cowok itu terkembang merekah, seirama dengan wajahnya yang manis. Namun sayangnya, tinggi badan Bayu hanya sejajar Diva, yang tingginya beda dua senti di bawah Mira.

"Div, mau langsung pulang nih?" tanya Bayu mensejajari langkah cantik Diva. Serius, saat sedang melangkah saja Diva nampak cantik.

Cowok itu gak lihat sama sekali keberadaan Mira, yang padahal setiap harinya ada di ekor Diva. Suer, peran Mira sebagai bayangan tuh sempurna banget. Hitam dan gak kelihatan.

"Iya, Bay. Lo katanya masih ekskul ya?"

"Iya, nih. Pulangnya ntar sorean. Oh iya, jangan lama-lama ya kasih jawaban ke gue nya. Gue tunggu secepatnya." Bayu pergi setelah melemparkan kedipan sebelah matanya kepada Diva. Dia gak tau kalau ada satu manusia yang sejak awal tadi berdiri di samping Diva, memperhatikan mereka berdua bicara.

"Gue kirain lo udah nolak Bayu?" tanya Mira yang mulai melanjutkan langkahnya. Begitu pun dengan Diva.

"Belum sih. Biarin ajalah."

Lain deh ya cewek populer mah, bebas mau gantungin banyak cowok juga.

Lah gue?

Cuma seorang bayangan yang bahkan gak keliatan di mata makhluk berjenis cowok.

Hiks

...----------------...

"Assalamu'alaikum! Aku pulang!" seru gadis itu begitu sudah sampai di rumah.

Setelah melongok ke sana kemari, sang ibu Pertiwi yang dicarinya, ternyata tak ada. Ini beneran kok, nama nyokap Mira tuh Pertiwi gemah ripah loh jinawi. Ups, gak deh. Pertiwi Indah Permai. Nama macam apa tuh? Untungnya Mira gak dikasih nama Asri Sejuk Damai. Mira bersyukur pikiran Mamanya terbawa arus zaman juga. Tapi satu orang yang paling menyesal diantara anak-anaknya Mama, yaitu Ghani. Cuma Ghani-lah yang merasa paling sial atas nama pemberian sang ibu Pertiwi. Karena dengan boomingnya kartun Si Tayo, maka Ghani pun ikut tenar. Sebagai sosok best friendnya Tayo, Ghani –si adik Mira– mendadak benci sama namanya sendiri. Mira sih udah nyaranin, gimana kalo nama panggilan Ghani jadi Ani aja?

Sebuah buku melayang ke kepala Mira sebagai jawaban adiknya waktu itu. Kemudian sahutan Ghani yang cool sekaligus nyinyir itu hanyalah, "Otak cetek!" tuh bahasanya seorang adik yang memiliki kakak yang memang takdirnya. .. lemot.

Ketika Mira gak mendapati sang Mama di rumah, Mira malah mendapati Ghani yang sedang menikmati makanannya di meja makan sambil membaca buku. Dasar kutu buku!

"Gan, Mama kemana?" tanya Mira.

"Pergi."

"Ke?"

"Depan,"

"Depan mana?"

"Rumah."

"Rumah siapa?"

"Sakit."

"Ha? Rumah sakit mana?"

"Jiwa."

"Ha? siapa yang sakit?"

"Lu."

******.

Ni bocah kalo bukan adek kandung gue, udah gue mutilasi lidahnya.

Mira beranjak ke kamar sambil melemparkan tatapan kutukan, semoga suatu hari nanti otak mereka bisa tertukar.

...----------------...

Tok tok.

Pintu kamar Mira diketuk. "Buka pintu, Mir!"

Suara ibu Pertiwi tuh melengking, seolah Mira sedang berada di sebrang lautan. Selalu teriak kalau memanggil Mira. Lain cerita kalau yang dipanggil Mama tuh Ghani atau Shelia, maka akan tercipta drama penuh cinta dan sayang seolah Ghani dan Shelia adalah barang pecah belah yang mudah remuk kalo kena getaran suara keras.

Mira membuka pintu.

"Kamu ngapain? Pulang sekolah malahan mengeram di kamar. Udah menetas belum tuh telur?" cecar Mamanya seperti biasa.

"Telur apa, Ma?"

"Telur kodok. Dah, sini keluar cuci piring. Bantuin Mama kenapa sih. Orang lain mah pulang sekolah pada punya kegiatan. Ada yang ekskul, jalan-jalan, pacaran. Lah kamu? Bersemedi di kamar. Ngapain coba?"

"Nonton tv, Ma."

"Nonton tv mulu. Belajar gitu kayak adik kamu, Ghani. Biar pinter, biar jenius. Kayak Shelia gitu kek, jago masak. Diva juga bisa masak tuh. Udah cantik tapi masih suka bantu Maminya masak."

Sebenernya kata-kata Mama itu keterlaluan dan bikin sakit hati. Mira selalu dibanding-bandingin sama manusia lain. Tapi berhubung itu kata-kata sudah kelewat sering diperdengarkan ke telinga Mira, makanya Mira jadi kebal. Udah gak ngefek, Ma!

Tanpa banyak protes, Mira segera beranjak ke dapur untuk mulai mencuci beberapa peralatan dapur yang kotor, yang sepertinya baru saja dipakai sang ibu Pertiwi untuk membuat kue.

"Ma!"

Mira memanggil mamanya yang sedang menghias blackforest di atas meja. Kue yang baru saja dibuat oleh Mamanya itu terlihat menggiurkan di mata Mira. Yeah, Mira selalu hobi makan. Apalagi itu hasil karya ibu Pertiwi dan Shelia. Mira pasti suka banget deh.

"Hm?" Mama menyahut tanpa mengalihkan matanya dari kue.

"Mama dari rumah sakit jiwa??"

"Hah?"

Pletak.

Sebuah sendok melayang ke kepala Mira. Dia meringis sambil menggosok-gosok kepalanya, dan mencuci senjata yang baru saja melukainya, sendok.

"Kamu mau Mama gila? Iya sih, punya anak kayak kamu bikin Mama stress. Keahlian kamu tuh cuma makan doang. Kakak kamu yang bakalan jadi Chef, adik kamu yang bakalan jadi dokter ... lah kamu? Kamu jadi apa, Mir? Jadi apa? Makanya kalau belum waktunya hadir ke dunia tuh jangan datang dulu. Kasian Shelia yang kurang ASI."

Begitulah ibu Pertiwi. Kalau Mira ngomong satu kalimat, maka akan dibalas seribu kalimat.

Beginilah nasib seorang Mira. Mirana banget deh.

Prang.

Satu piring pecah.

Mampus. Bakal panjang kali lebar deh ceramah Mama Pertiwi. Alamat bakal lama gue kembali ke sarang gue, ke markas gue, ke istana gue, kamar.

Mira menoleh penasaran dengan reaksi Mamanya setelah ia menghancurkan satu piring. Namun, Mamanya terlihat masih sibuk menghias kue, tapi mulutnya tambah ... nge'rap.

"Boro-boro masak ya, cuci piring aja gak becus. Kamu tuh cuci piring apa buang piring? Mana ada sih anak kayak kamu, Mir ... Bener-bener bikin stress ... bla bla bla ..."

 

 

 

Ceritain nasib Mira kayaknya gak kelar-kelar... Nasibnya aja udah buruk, gak perlu konflik juga udah sengsara. 😂

Thanks for reading...

3. Hari Babu

Hari Minggu, hari babu.

Sebagai anak sekolah yang libur sejak kemarin, dan kemarin Mira sudah dikasih kesempatan sang mama buat main dan bermalasan, maka hari Minggu saatnya kerja rodi.

Shelia, sang kakak tercinta sedang siap-siap mau pergi. Katanya dia ada lomba masak entah di planet mana, terserah deh!  Bukan Mira gak mau tau, tapi Mira gak ada waktu buat nyari tau. Sekarang Mira lagi jadi asisten mama bikin kue. Lagi-lagi babu yang dibahasa haluskan menjadi 'asisten'. Soalnya tugas Mira tuh gak jauh-jauh dari terima perintah sang mama.

Pesenan kue kali ini cuma 300 pcs risoles buat pukul 11 siang. Itu sudah termasuk kategori sedikit, biasanya pesanan kue mama Mira tuh di atas 500. Kalau Mira libur, maka Mira sebagai 'asabu' (asisten a.k.a babu). Tapi kalau pesanan datangnya di hari Mira sekolah, maka mama akan dibantu tetangga.

Kembali ke Shelia. Sekarang tuh Shelia udah kuliah dengan jurusan yang berhubungan sama hobinya masak itu, entah apa namanya. Mira lupa.

Ingetnya beberapa bulan yang lalu begitu lulus SMA Shelia tuh kepengen banget kuliah di le..cordon.. Apalah gitu. Yang ada di negerinya pangeran charles.

Sory, Shel.. Papa yang cuma karyawan biasa gak mampu membiayai. Emang enaaakk..!

"Yang bener dong, Mir.. Itu risolesnya bentuknya kok seksi gitu, ada bodynya segala..." Shelia, kakaknya Mira yang sudah cantik dan siap pergi itu masih sempet-sempetnya bikin ide materi omelan mama buat Mira.

"Ini sengaja, tau!  Bosen risolesnya lempeng atau segitiga mulu, sekali-kali ada pinggangnya kan cantik..aww!! "

Sebuah sendok mendarat di kepala Mira. Pelakunya ya pasti sang mama. "Yang bener kamu, jangan bikin berantakan kerjaan mama. Kalo kamu berani kamu hancurin, maka selama sebulan kamu puasa jajan, puasa kuota. Paham?!"

Mama mah gitu, ancemannya jajan sama kuota mulu.. Gak asik ih!

"Sheli pergi dulu ya, ma.."

Kakaknya itu pamitan dan tak lupa melemparkan senyum yang artinya 'kasian deh lo..' pada Mira.

Selesai bantu mama bikin pesanan, sekarang waktunya cuci piring. Soalnya mama lanjut bikin pesanan bolu lagi buat tetangga yang mau acara lamaran. Belom lagi ada pesanan puding dan brownies juga. Ini mama apa wonderwoman ya, gak selesai-selesai dia bikin pesanan. Giliran kecapean aja, Mira lagi yang jadi sasaran.

"Mama gak cari asisten aja, ma? Buat bantu-bantu mama." saran Mira sambil cuci piring. Sedangkan mama saat ini sedang mengumpulkan bahan untuk membuat bolu di meja.

"Kan ada kamu, Mir! Kamu tuh asisten mama."

"Aku kan masih muda, ma. Mama gak kasian apa sama aku yang kurang gaul ini?"

"Emangnya kamu pernah gaul apa selain ngintilin si Diva?? Kamu tuh gak sadar apa kalo kamu itu anak muda pengangguran. Gak punya pacar, gak punya kegiatan. Dari  pada nonton tv sama tidur, mending bantu mama dapet pahala, dapet jajan. Bener, kan..?!"

Mira cuma mengehela nafas. Bener sih, dia emang jomblo. Sekalinya pergi kegiatan keluar rumah ya itu, cuma sebagai bodyguard  Diva.

Mira menghentikan tangannya yang sedang sibuk cuci piring, matanya memandang langit-langit.

Ya Tuhan.. Mira kan bukan cinderella ya, kasih Mira pacar  kek Tuhan, biar masa muda Mira tuh indah. Biar gak jadi asisten atau babu terus..

Sekali-kali Mira pengen jadi artisnya. Pengen jadi tokoh utamanya. Yang punya cerita cinta..

Boleh ya Tuhan..

Tuhan.. Kirimkanlah aku..

Kekasih yang baik hati..

Yang mencintai aku...

Apa adanya...

Aamiin.

Plak.

Sebuah keplakan mendarat di kepala Mira.

"Ngapain kamu ngeliatin  ke atas begitu??  Dikira pacar bakal turun langsung dari langit? Tuh piring urusin. Jangan ngayal mulu!"

"Mama titisannya mama loren ya?! Kok bisa tau pikiran aku sih?"

"isi otaknya orang jomblo ya cuma itu, pasti minta pacar kan sama Tuhan? Makanya ketularan cantik gitu kayak Diva, biar gak susah cari pacar. Dah-dah, abis ini kamu anter bolu yang udah jadi tuh ke rumah bu Wirda di RT sebelah."

"Bukannya mama baru mau bikin ya bolunya? Kok udah jadi aja sih, ma?"

"Ini yang mama bikin tadi, sebelum bikin risoles."

                           🍔🍔🍔🍔

Sekarang saatnya jadi kurir.

"Ghaniiiiiiiii....!!!!!" teriak Mira sekuat tenaga begitu melihat adiknya itu sudah siap menggunakan motor. Padahal dia mau nganter kue tuh pake motor. Jadi berhubung motor cuma ada dua, sedangkan anak di rumah ada tiga, maka satu motor itu selalu jadi rebutan Mira dan Ghani. Sedangkan yang satunya lagi punya Shelia, special buat anak yang jatah ASI nya diambil Mira.

Oya, si papa lagi keluar kota. Kalo ada mobil papa, masih mending, jadi Shelia bisa bawa mobil. Sebenernya di sini nasibnya yang kurang beruntung lagi-lagi si Mira. Motor pertama buat Shelia kuliah, dan motor kedua buat Ghani sekolah. Otomatis Ghani merasakan hak yang lebih besar terhadap motor itu. Dan Mira...

Udahlah, nasib Mira emang gak pernah bagus disegala aspek kehidupan.

"Gue mau anter kue dulu, motornya jangan dibawa dulu!"

"Aduh, Mir.. Elu tuh kan punya kaki, gue buru-buru nih. Ada urusan!"

"enak aja lo! Masa gue disuruh bawa kue sambil jalan kaki ke Rt sebelah? Tengah hari gini, Yang bener aja lo sebagai adek yang kurang ajar. Ini kan kue punya emak kita, Bukan emak gue doang."

"Yaudah yaudah buruan. Gpl. Gue anter!"

Ghani pun mengantar Mira ke rumah orang yang pesen kue sama mama mereka. Setelah sampai, Mira segera turun dan mengetuk pintu rumah bu Wirda, sang customer.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam." sahutan dari dalam rumah. Lalu keluarlah seorang wanita seumuran ibu Pertiwi lah kurang lebih. "Eh, Mira.. Sini masuk dulu Mir..!"

"Iya, tante."

Mira pun melangkah masuk mengikuti si empunya rumah menuju dapur, sambil membawa bolu dan meletakkan di meja makan bu Wirda.

"Bilang ke mama kamu ya, Mir. Nanti malem ada pengajian di rumah tetangga bu Wirda. Kalo sempet dateng gitu."

"Japri aja deh tante ke mama!"

"Udah, tapi belom dibaca tuh. Lagi sibuk ya?!"

"Ooh.. Iya sih emang lagi sibuk. Mama tuh kayak punya tangan laba-laba aja, pesenan ini itu dijabanin, padahal tangannya cuma dua."

"Heh, mama kamu sendiri loh!"

"Hehe.." Mira nyengir kuda.

"makanya kamu bantuin, Mir."

"Lah ini emang apa tante, kalo bukan bantuin?"

"iya iya. Kan kamu satu-satunya anak Pertiwi yang nganggur."

Anak SMA dibilang pengangguran...

Berlaku cuma buat gue doang tuh..

"Hallo tante, Wiiiirrr..!!!"

Saat Mira masih mengobrol ringan, masuklah seseorang yang gak asing di mata Mira. Si bocah tengil, si bocah rese, si bocah  usil yang gak pernah anggap Mira seorang cewek.

"Elo."

"Elo."

Ucap Mira dan cowok itu berbarengan. Mereka sama-sama tak menyangka bakal ketemu.

"Ngapain lo di sini???" pertanyaan itu datang dari Ryosuke. Temen sekelas Diva, yang suka ngeresein Mira.

"Lah elo sendiri? Ngapain di sini?" balas Mira tak mau kalah. Kenapa bisa-bisanya ketemu bocah rese itu di luar sekolah.

"eh..eh.. Kalian saling kenal?" Bu Wirda menengahi.

"Ngga."

"ngga."

Lagi-lagi mereka menjawab berbarengan. Bu Wirda bengong tak tahu harus ngomong apa sama dua bocah yang sebenernya sifatnya gak jauh beda. Yang satu anak sahabatnya, yang satu keponakannya.

"Tante, aku pulang dulu deh." kata Mira sambil mencium tangan Bu Wirda.

Mira melewati Ryo sambil mengacungkan kepalan tangannya. Sedangkan Ryo membalas dengan menjulurkan lidahnya.

Mira dengan Ryo tuh gak pernah akur. Selain karna Ryo yang memperlakukan Mira kayak anak cowok, si Ryo itu juga rajin ngejailin Mira. Dan peristiwa terakhir yang bikin Mira murka adalah, waktu Mira lewatin lapangan, sebuah bola yang berasal dari tendangan Ryo berhasil mendarat di mukanya Mira tepat. Sampai Mira terjatuh duduk. Sebenernya Ryo gak sengaja sih. Dan yang bikin Mira murka tuh,  si Ryo sempet ketawa terbahak-bahak dulu ngeliat muka Mira kena bola. Kan Mira malunya kayak apa itu...

--

Lupain si sipit tengil itu, sekarang masalahnya Ghani udah gak ada berikut sama motornya. Dan Mira harus jalan kaki yang lumayan di tengah hari begini dengan kondisi perut laper karna belom sempet makan siang.

"Ghaniiiiiii....!!!!"

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Tbc.

Thanks for reading.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!