NovelToon NovelToon

Melahirkan Di Rumah Mertua

Melahirkan

#Melahirkan_di_Rumah_Mertua

"Bang, kata Bu bidan posisi dede bayi udah bagus, udah masuk jalan lahir. Kayaknya, minggu ini juga si Dede bakalan launching," Aku berbicara pada suamiku sambil melipat baju. Dia yang sedang mengunyah mie rebus dengan mata fokus pada layar TV mengalihkan pandangannya ke arahku.

"Terus, kapan kita ke rumah Ibu?"

"Maksud kamu?

"Ya, kata Ibu, nanti kamu lahirannya di rumah Ibu biar ada yang ngurus," ucap Bang Rafi.

Sejak tahu bahwa bayi yang ku kandung ini kemungkinan besar perempuan, ibu mertuaku sangat antusias. Dia ingin aku melahirkan di rumahnya. Sebenarnya aku ingin menolak, aku dan mertuaku belum begitu dekat, selalu ada dinding pemisah antara kami, setiap kata yang keluar dari mulutnya selalu bernada sindiran dan penghinaan.

"Aku sih pengen lahiran di tempat Mamah, Bang," usulku.

"Janganlah, Ning. Kasihan Ibu udah nyiapin semua keperluan dede bayi di sana. Ini juga kesempatan kamu buat lebih akrab sama Ibu," tutur lelaki yang mempersuntingku setahun lalu itu. Aku hanya diam tanpa berniat mengiyakan atau menolak permintaan suamiku.

Kamis pagi aku merasakan sesuatu yang lain di perut besarku, terasa kencang dan mulai berkontraksi tapi masih timbul tenggelam. Bang Rafi yang sudah terlanjur berangkat bekerja aku kabari lewat chat. Aku juga menghubungi Mamah, berharap beliau bisa menemaniku di saat aku berjuang antara hidup dan mati.

"Ning, kamu mau melahirkan?" Suara Bang Rafi terdengar panik di sebrang telepon.

"Ya, Bang. Sepertinya begitu."

"Abang pulang sekarang," tandas Bang Rafi sebelum memutus sambungan telepon.

Rupanya Bang Rafi menjemput Ibu mertuaku sebelum dia pulang ke kontrakan kami. Aku, Bang Rafi dan Ibu berangkat bersama ke klinik bersalin di dekat rumah Ibu.

Keringat sebesar biji jagung mulai bermunculan di atas kening, perut semakin kencang dengan sensasi panas disekitar pinggang. Saat Bu Bidan melakukan cek dalam aku sudah pembukaan lima.

"Ibu miring ke kiri ya, supaya bayinya cepat turun, atau kalau masih kuat boleh jalan-jalan dulu," usul Bu Bidan.

Aku mencoba berdiri, dari beberapa artikel yang kubaca berjalan-jalan membuat proses persalinan menjadi lebih cepat. Tapi, kontraksi yang datang dan datang lagi membuat kakiku lemas, aku tak sanggup.

Aku berbaring sambil meremas tangan Bang Rafi saat kurasakan sesuatu menekan di perut bagian bawah. Sakitnya menjalar hingga ke pangkal paha, aku menggigil. Satu jam, dua jam, tiga jam pembukaan masih belum lengkap. Air mataku sudah tumpah, tak kuat menahan sakit.

"Jangan nangis, ini masih belum seberapa Ning, nanti akan ada yang lebih sakit," ucap Ibu mertuaku tanpa perasaan. Dia hanya keluar masuk ruang bersalin tanpa sedikit pun menyentuhku.

Aku terus menangis tanpa memperdulikan larangan Ibu, ini benar-benar sakit, semakin lama semakin sakit. Aku mulai tak sabar, aku berteriak sambil menangis.

"Jangan begitu Bu, nanti tenaga Ibu habis." Bu Bidan cantik itu menghampiriku dan mengusap-ngusap punggungku.

"Lebih baik Ibu dzikir ya, minta pertolongan pada Allah."

Ada yang keluar dari jalan lahir, diikuti rasa ingin mengejan. "Bu Bidan, saya mau buang air, Bu," ucapku pada Bu Bidan.

"Sebentar, saya cek dulu ya." Setelah menyatakan pembukaan telah lengkap aku dipersilahkan untuk mengejan.

"Heee ... Heee ...." Aku mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa.

"Bukan Bu, bukan begitu. Coba Ibu lihat ke puser, ngejannya gak usah bersuara. Ayo tarik napas dulu."

Aku mengikuti setiap intruksi yang diberikan Bu Bidan, tapi masih belum berhasil mendorong bayiku. Bu Bidan memasang alat infus kemudian menyuntikan sesuatu ke dalamnya.

"Kalau mau ngejan lagi, Ibu ngejan yang kuat ya."

"Saya gak kuat Bu ...." Aku mulai kehilangan semangat, rasanya tak sanggup melanjutkan perjuangan ini.

Bang Rafi mengusap keningku kemudian mengecupnya, "Ayo Ning, yang kuat. Kamu pasti bisa, ingat anak kita."

"Mamah ... Mamah ... hu ... hu ...." Aku menangis seperti anak kecil.

Seberkas harapan kembali muncul saat kulihat Mamah masuk dari arah pintu. Dia menghambur dan menciumiku.

"Maafkan Ning Mah, maaf ...." Aku menggengam erat tangan Mamah.

"Mamah ridho, Mamah maafin semua salah Ning. Ayo, Nak, kasihan cucu Mamah sudah pengen ketemu kamu dan ayahnya." Kata-kata Mamah membuat energiku bangkit, aku bersiap mengejan.

"Yaa bunayya ukhruj, biidznillah ...." ucap Bu Bidan sambil menahan kedua pahaku.

Plok ...

Bayiku keluar perasaan lega, haru, bahagia membuncah memenuhi hati. Dan luar biasa, sakit yang berjam-jam kurasakan hilang begitu saja, tak tersisa.

Bayi perempuan cantik dan sempurna diletakkan di atas dadaku sesaat setelah tali ari-ari yang menghubungkan raga kami diputus.

"Sebentar ya, Bu. Ini harus dijahit dulu."

"Dijahit dok?" Ibu mertua yang baru masuk langsung menghampiriku dengan tatapan mengintrogasi.

"Ibu kan udah bilang, kalau ngeden jangan ngangkat punggul!" Serunya dengan tatapan menghakimi.

Aku hanya memalingkan wajah sambil menjatuhkan air mata sepuasnya.

Menjadi Ibu

#Melahirkan_di_Rumah_Mertua

#Part_2

Aku tak peduli dengan apa yang dilakukan Bu Bidan dengan benang dan jarumnya. Juga tentang nyinyiran Ibu yang seolah menganggap aku tidak lulus ujian dalam melahirkan. Hatiku terlanjur penuh dengan rasa haru dan bahagia.

Makhluk kecil yang sebelumnya menghuni rahimku, kini tengah menggeliat di atas dada. Kulitku yang bermandi peluh, menyentuh kulitnya yang masih membawa sisa-sisa ketuban dan darah, air mataku masih belum terbendung.

Gerakan halusnya membuat rasa tegang di perut perlahan menghilang. Mulut kecil si cantik itu bergerak-gerak mencari sesuatu yang telah dikenalnya sejak dalam kandungan. Dia mulai menghisap. Aku menyentuh punggungnya yang begitu halus dan licin.

"Ya Allah ... Ya Allah ...." Sungguh tak ada yang lebih membahagiakan dari ini.

"Sudah. Sekarang giliran dedenya," ucap Bu Bidan sambil membetulkan penutup tubuhku.

Bayi kecilku dibersihkan Bu Bidan. Ibu sangat bersemangat menyiapkan pakaian yang akan dikenakan dan menyerahkannya pada Bu Bidan. Setelah dibedong, Bang Rafi menggendong dan mengadzani dengan berurai air mata, kami semua diliputi haru.

Bayiku cantik. Kata Mamah matanya percis mataku. Mata biji kenari. Ibu sangat bangga mengakui hidung dan dagu lancipnya seperti dirinya. Ibu mengambil alih bayiku dan menimangnya. Tampak raut bahagia di wajah Ibu yang jarang sekali tersenyum.

"Coba disusui lagi, Bu," pinta Bu Bidan. Ibu menyerahkan bayiku dengan enggan.

Aku duduk bersandar pada tiga buah bantal yang disusun di atas tempat tidur. "ASInya belum keluar dok," keluhku.

"Gak apa-apa, Bu. Sering-sering aja dikasih ke dedenya nanti juga keluar. Gak usah khawatir kalau ASInya sedikit, perut dede bayinya masih sebesar kelereng jadi gak perlu minum banyak-banyak. Kalau belum keluar selama beberapa hari juga gak akan bahaya, insya Allah dedenya masih kuat karena punya cadangan makanan di tubuhnya. Ingat ya, Bu, hanya berikan ASI saja sampai usia enam bulan." Bu Bidan berkata sambil mengusap kepala bayiku, kemudian berlalu membawa peralatan yang telah selesai dia gunakan.

Setelah dipastikan kondusiku stabil dan tidak terindikasi adanya pendarahan atau sesuatu yang berbahaya, aku diperbolehkan pulang. Jarak antara klinik dan rumah Ibu cukup dekat hanya sekitar seratus meter.

Ibu menggendong bayiku dan Mamah memayungi keduanya dengan berjalan di samping mereka. Aku dibonceng Bang Rafi naik motor. Setelah mengucapkan terima kasih dan membayar biaya persalinan, kami pun pamit.

Kamar besar telah disiapkan Ibu. Sebuah kasur bayi lengkap dengan bantal-bantal kecil berwarna merah jambu, tumpukkan pakaian, popok, handuk, pernel, perlak, bedak, kayu putih dan peralatan mandi telah tersedia. Jauh-jauh hari Ibu melarang kami membeli apapun karena Ibu yang akan membelikannya.

Bayiku adalah cucu perempuan pertama yang didambakan Ibu setelah dua cucu dari Kakak Bang Rafi semuanya laki-laki. Bang Rafi adalah bungsu dari tiga bersaudara yang juga semuanya laki-laki. Ibu begitu peduli dengan bayiku, tapi abai dengan aku yang melahirkannya.

Setelah mandi wajib, dan berganti pakaian aku merasa lebih segar. Tapi, kurasakan sakit yang berdenyut pada luka jahitan. Mungkin efek obat pereda nyerinya telah habis. Perutku pun perih, terasa asam sampai ke mulut.

"Mah ...," Aku menarik lengan Mamah. Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku.

"Ning lapar," bisikku.

Mamah tampak gelagapan, aku tahu dia sungkan meminta pada Ibu. Melihat dan mengambil makanan sendiri di rumah ini jelas dia tak berani.

"Rafi, Ning sudah waktunya minum obat. Tapi dia harus makan dulu," ucap Mamah beralasan.

Bang Rafi mengangguk dan berlalu dari kamar. Tak lama, dia kembali dengan wajah masam.

"Gak ada nasi, Ning. Ibu belum masak," jelas Bang Rafi.

Air mataku menggenang, kalau tak ingat dengan statusku yang telah menjadi seorang ibu, ingin rasanya aku menangis sambil berguling-guling. Aku lapar, sangat lapar. Dulu Ibu selalu berkelakar, orang baru lahiran, lihat nasi sebakul saja takut tidak kenyang, nyatanya memang begitu.

Bang Rafi menghampiriku dan membelai pucuk kepalaku. "Jangan nangis, sebentar Abang belikan dulu ya, Ning mau makan apa?"

"Apa aja ...," jawabku dengan pandangan yang mengabur terhalang genangan air mata.

Setelah beberapa menit Bang Rafi datang menenteng plastik berisi beberapa bungkus nasi. Ia mengambil piring dan mulai menyiapkan nasi beserta lauknya. Nasi putih hangat dengan asap yang masih mengepul, balado ikan patin dan sayur capcay membuat perutku semakin tak sabar.

Suapan pertama masuk ke mulut dengan begitu nikmat. Tiba-tiba Ibu datang dari arah pintu, berjalan cepat karena melihat isi dalam piring yang tengah dipegang Bang Rafi untuk menyuapiku.

"Makan apa itu, Ning?"

Ya Allah ... cobaan apalagi ini?

Di Rumah Mertua

#Melahirkan_di_Rumah_Mertua

#Part3

Aku memasukkan nasi bertabur garam ke dalam mulut dan mengunyahnya dengan cepat, setelah Ibu mengambil paksa ikan patin balado yang katanya pantang dimakan orang yang baru melahirkan. Capcay pun dirampasnya, karena Ibu yakin bumbunya memakai kemiri yang juga katanya akan membuat luka pada rahimku susah sembuh.

Aku pasrah, tak punya energi untuk berdebat dengan Ibu, aku sangat lapar. Seharusnya Ibu ikut juga kelas ibu hamil sepertiku agar dia tahu pendapatnya tentang makanan yang dilarang itu hanya mitos, warisan kaum feodal agar ibu dan bayi kekurangan gizi.

Bang Rafi tak banyak membantu, dia hanya bisa menatap dengan iba saat aku mengunyah nasi garam dengan air mata menggenang.

Dan kejadian horor pasca melahirkan ternyata belum sepenuhnya terlewati. Malam hari aku kebelet ingin BAB. Aku membangunkan Mamah yang berbaring di sampingku. Kamar yang kami tempati berukuran 3X4 meter dengan kasur menggelar langsung di atas lantai.

Mamah memapahku berjalan melewati kamar Ibu menuju kamar mandi di samping dapur. Aku berjalan dengan pelan dan hati-hati, selain menahan rasa sakit yang masih terasa. Juga takut membangunkan Ibu.

Dengan luka jahitan yang masih terasa ngilu aku mencari posisi yang pas di kamar mandi. Hal sesederhana ini menjadi begitu rumit. Keringatku mengucur menahan sakit, nasi garam jelas tak cukup menyediakan serat hingga konstipasi yang kuaalami membuat penderitaan di kamar mandi itu begitu menyiksa.

Setelah perjuangan itu selesai aku terduduk lemas di depan pintu kamar mandi. Bang Rafi yang ikut terbangun membopong tubuhku ke tempat tidur.

Di kamarku telah ada Ibu yang tengah menggendong bayi cantikku, ia terbangun dan menangis kencang hingga membuat Ibu turun tangan.

"Susui dulu, Ning!" perintah Ibu dengan tatapan tak bersahabat.

Mamah membenahi tempat dudukku. Disusunnya beberapa bantal di belakang punggungku. Kemudian mengambil Marisa, bayi kecilku dari gendongan Ibu dan menyerahkannya padaku. Ibu kembali ke kamarnya.

Bayiku menghisap dengan kencang, kembali menggugah rasa sakit hingga aku menyusuinya sambil menggigit bibir bawah. Tapi, semakin lama rasa sakitnya menghilang, Marisa menyusu dengan nyaman hingga aku dan dia terlelalap ditemani Mamah dan Bang Rafi yang setia menjaga.

Dua hari Mamah menemani di rumah Ibu. Semua keperluanku dia yang membantu. Air hangat untuk mandi, makanan sehat yang disetujui Ibu, juga membantu mencucikan pakaian aku dan bayiku. Aku merasa terlindungi saat ada Mamah di sisiku. Sayangnya, Mamah harus pulang juga.

"Mah, Ning ikut ya?" Aku memohon sambil memegang lenganya.

"Nanti Mamah sama Bapak jemput kalau Marisa sudah agak besar. Kasihan jalan ke rumah kita kan jauh dan jelek," tutur Mamah sambil mengusap lembut tanganku.

Aku melepas kepergian Mamah dengan risau di hati. Seperti apa hidupku selanjutnya di rumah ini?

****

Setelah tak ada Mamah, aku menguatkan diri untuk segera pulih dan beraktivitas dengan normal. Kini tak ada lagi yang bisa aku andalkan selain diriku sendiri. Bang Rafi bekerja di sebuah pabrik yang mengharuskannya berangkat setiap pukul setengah tujuh pagi dan pulang pukul lima sore. Jika lembur, dia akan ada di rumah selepas isya.

Ibu mertuaku adalah seorang single parent, ia memiliki sebuah toko pakaian di pasar dia pun selalu berangkat pagi dan pulang sehabis dzuhur. Dia meninggalkanku dengan rumah yang belum disapu dan piring yang belum dicuci. Jika aku sehat, tentu tak masalah dengan pekerjaan rumah semacam itu. Tapi, aku yang mengurus diri sendiri dan bayiku saja masih kewalahan apalagi memikirkan pekerjaan lain.

Ibu memang tak pernah melewatkan memasak setiap pagi. Setengah liter beras dengan lauk yang habis sekali makan untuk kami bertiga. Setiap hari dia makan siang di pasar dan tak memasak lagi hingga malam. Itu sudah menjadi kebiasaannya, seharusnya aku dan bayiku menjadi alasannya untuk memasak lebih banyak tapi nyatanya tidak begitu.

Sering kali aku mengganjal perut dengan mie instan saat nasi habis dan tak menemukan persediaan beras yang bisa dimasak.

Aku memaksakan diri mencuci piring sambil berdiri saat Marisa terlelap. Kemarin, pulang dari pasar Ibu menggendong Marisa sambil berkata, "Ibumu kaya bukan perempuan aja, gak bisa ngurus rumah. Nanti kalau kamu sudah besar jangan kaya dia ya, Mar." Aku hanya menahan sakit hati tanpa berani membalas ucapannya.

Aku mengajak Bang Rafi pulang ke kontrakan atau ke rumah Mamahku di kampung. Tapi dia memintaku untuk bersabar, tak tega katanya meninggalkan aku dan bayiku di kontrakan yang bersebelahan dengan kuburan. Nyatanya, di rumah ini ada sosok yang lebih menakutkan dari hantu.

Semakin hari berat badanku semakin menurun, aku lelah lahir batin. Lelah dengan pekerjaan yang memaksa dikerjakan, Bang Rafi yang tak jua peka dengan kesulitanku, juga dengan waktu bersama Marisa yang sering dirampas Ibu. Setelah Ibu ada di rumah, Ibu akan mengajak marisa bersamanya dan hanya memberikannya padaku jika Marisa ingin menyusu.

Lelah dengan pekerjaan rumah aku tertidur sehabis asar. Dan tersentak saat Ibu mengguncang tubuhku dengan kasar.

"Ning, ini bayimu pingin mimi!" sentak Ibu

Kepalaku pusing, telinga berdenging. Aku mendorong tubuh Ibu yang tengah menggendong Marisa dengan keras.

"Aaahhh ...." Ibu menjerit, dia terduduk dengan tangan mendekap erat Marisa. "Kamu gila!" teriak Ibu.

Aku limbung, merasa hampa dan sangat sedih. Memeluk lutut yang gemetar. Badanku panas, betisku kebas karena setiap hari turun naik tangga untuk menjemur pakaian di atas loteng. Perutku sangat lapar. Tak kuhiraukan lagi sumpah serapah yang keluar dari mulut Ibu, aku meringkuk seluruh sendiku lemas bagai tak bertulang.

Terdengar tangis Marisa yang melengking, mugkin dia lapar, mungkin dia sakit karena ikut terjatuh. Tapi, aku juga lapar, aku juga sakit, dan itu karena dia, karena Marisa.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!