Lily memandangi album foto pernikahannya enam bulan lalu. Raut bahagia terlukis di wajah semua orang yang ada dalam foto. Kecuali satu orang. Dante, suami Lily.
Saat itu Lily tidak tahu apa yang sebenarnya ada dalam pikiran Dante. Yang dia tahu, mereka berdua menikah tanpa saling mencintai sebelumnya. Tapi, tidak bisakah Dante memasang wajah bahagia di hari pernikahannya? Walau hanya pura-pura.
"Mas Dante, mau ke mana?" tanya Lily saat melihat suaminya berjalan melewatinya yang sedang duduk di ruang keluarga.
Dante tidak menjawab dan terus berjalan menuju pintu depan. Lily berdiri untuk mengejarnya.
"Mas, mau ke mana?" tanya Lily sekali lagi saat dia berhasil menangkap tangan suaminya yang hendak membuka gagang pintu.
Dante menatap kesal pada tangan Lily yang memegangi tangannya. Dia lalu menarik tangannya dengan paksa untuk terlepas dari tangan Lily.
"Aku mau ke apartemen Laura," kata Dante dengan suara yang sangat dingin.
Laura adalah wanita idaman Dante, kekasih Dante sejak bertahun-tahun sebelum pernikahannya dengan Lily.
"Tapi ini sudah malam." Lily tahu tentang perempuan lain yang ada dalam hati suaminya itu. Tapi Lily berusaha diam, walau sebenarnya hatinya sangat sakit.
Dante tidak peduli, dia tetap menekan gagang pintu.
"Mas apa kata orang kalau kamu mendatangi tempat wanita lain malam-malam begini? Besok masih bisa, Mas." Lily memohon agar suaminya tetap tinggal di sini. Menghabiskan malam di rumah besar mereka ini. Walau mereka tak pernah tidur sekamar.
"Kamu tidak punya hak untuk melarangku mengunjungi Laura kapan pun aku mau." Dante melotot dan mendesis tajam pada Lily. "Ingat! Kamu itu cuma penganggu dalam hubunganku dan Laura." Dante menunjuk kasar di depan wajah Lily sebelum Dia membuka pintu secara kasar lalu pergi dari rumah.
Malam ini cerah dengan taburan ribuan bintang, tapi tidak bagi Lily. Lily merasakan gemuruh petir mengisi ruang di kepalanya. Seperti ada badai besar juga dalam dadanya yang membuatnya sesak nyaris sulit untuk bernafas.
Aku tidak tahu apa yang kulakukan ini salah atau benar. Aku masih bertahan di rumah besar ini, bertahan menjalani hidup sebagai seorang istri yang tak pernah dicintai suaminya sendiri.
Kukira enam bulan cukup untuk membuat Mas Dante menerima kenyataan bahwa akulah istri sahnya. Bukannya Laura.
Sejak malam itu, ini adalah malam ketiga Mas Dante tidak pulang ke rumah. Pernah aku mencoba menghubunginya, namun yang kudapat hanya omelan dan cacian dari suamiku sendiri.
Salahkah aku menanyakan keadaannya? Salahkah aku menanyakan keberadaannya?
Aku berusaha tenang, tapi aku tidak bisa tenang. Bagaimana seorang istri bisa tenang jika dia tahu bahwa suaminya pergi berhari-hari ke apartemen wanita lain?
Kupandangi ponselku yang menampilkan nomor kontak mas Dante di layar.
"Telepon tidak, ya?" Aku bergumam sendiri dengan suara pelan.
Lama aku terdiam menatap kosong pada ponselku. Berharap Mas Dante menghubungiku. Tapi rasanya sangat tidak mungkin.
Enam bulan kami bersama, Mas Dante tidak pernah meneleponku sama sekali saat kami sedang tidak bersama. Bayangkan! Tidak usah bertanya bagaimana komunikasi kami yang terjalin saat kami bersama-sama dalam rumah ini. Juga hampir tidak ada pembicaraan berati. Dia lebih banyak diam, sekalipun aku berusaha membuka percakapan dengannya atau sekedar berbasa-basi menanyai tentang 'bagaimana hari yang dilaluinya’.
Akan kuceritakan sedikit bagaimana kami bisa menjadi pasangan suami-istri.
Mas Dante menikahiku karena sebuah paksaan dari ayahnya. Dulu Ayah Mas Dante punya perusahaan yang lagi collapse. Beliau ditipu habis-habisan oleh rekan bisnisnya, sementara hutang-hutangnya pada para investor terus membengkak. Ayah Nas Dante hampir dijebloskan ke penjara karena dianggap melakukan penipuan.
Lalu papahku yang waktu itu sedang di anugerahi rezeki yang berlimpah karena hasil kerja kerasnya, dengan suka rela menawarkan pinjaman uang yang sangat besar pada ayah Mas Dante. Uang itu cukup untuk membayar hutang ayah Mas Dante kepada para investor, juga cukup untuk modal ayah Mas Dante memulai kembali usahanya.
Sekarang usaha yang dirintis ulang oleh ayah mas Dante kembali berjaya. Mas Dante diberi kekuasaan penuh oleh ayahnya untuk mengelola perusahaan real estate yang sekarang sangat berkembang pesat.
Dari situ, ayah Mas Dante merasa sangat berhutang budi pada papah. Padahal ayah Mas Dante sudah membayar secara penuh nominal uang yang dulu dipinjamkan papah pada beliau. Namun ayah Mas Dante masih merasa itu tidak cukup untuk membalas betapa besarnya jasa papah pada keluarga mereka.
Jadilah, beliau memaksa Mas Dante untuk menikahiku. Awalnya aku juga tidak terima, aku kesal sekali saat tahu kalau aku dijodohkan. Aku bukan wanita introvert yang tidak bisa mencari cowok sendiri, aku sama saja seperti wanita kebanyakan, hanya saja memang waktu itu aku terlalu fokus dengan study S2-ku sehingga aku melupakan urusan percintaan. Mungkin saat itu papah dan mama mengira aku tidak laku. Atau entahlah.
Kami tidak saling mencintai sebelumnya. Saat itu aku mengerti kalau pernikahan kami akan terasa sulit. Tapi aku tidak pernah menyangka akan sesulit dan semengerikan ini.
Ditambah lagi dengan kenyataan sekarang aku mulai mempunyai rasa cinta pada Mas Dante. Sedangkan dia? Dia masih sibuk dengan kekasihnya yang bertahun-tahun dia cintai jauh sebelum mengenalku.
Suara bel dari pintu depan rumah menyadarkanku dari lamunan tentang Mas Dante.
Aku terlonjak kaget. Siapa itu yang datang malam-malam begini? Apakah Mas Dante? Kuharap itu Mas Dante.
Aku bergegas keluar dari kamar dan menuruni anak tangga dengan tergesa. Dengan semangat aku berlari menyusuri rumah besar kami. Sudah tidak sabar rasanya untuk bertemu Mas Dante, tidak sabar untuk melihat wajah tampan suamiku.
Saat aku membuka pintu, aku kecewa ternyata bukan suamiku yang berdiri di baliknya. Melainkan dua lelaki besar, yang satu tampak garang dengan jaket kulit hitamnya dan yang satu lumayan tampan dengan seragam berwarna coklat.
Polisi? Untuk apa polisi ke rumahku malam-malam begini?
"Selamat malam, dengan ibu Lily Rose?" tanya laki-laki berjaket kulit.
"Iya saya sendir," jawabku dengan ekspresi bingung.
"Apa benar Bapak Ardante Mahendra adalah suami Ibu?"
Aku merasakan kegugupan menyergapku. "Ya, benar. Itu nama suami saya."
"Kalau begitu Ibu bisa ikut kami sekarang?"
Aku terkejut, maksudnya apa? Aku mau dibawa ke mana? Suamiku kenapa?
"Ke ... ke ... napa? A ... ada ... apa? Sss ... su ... suami saya mana?" tanyaku terbata-bata. Aku seperti merasakan cekikan hebat di leherku sampai sulit sekali rasanya untuk berkata-kata.
"Mobil suami Ibu mengalami kecelakaan tunggal dan jatuh ke jurang. Sekarang suami Ibu dan teman wanitanya sudah dievakuasi ke rumah sakit. Mari ikut kami sekarang."
Aku merasakan lantai yang kupijak berubah menjadi cair. Aku kehilangan keseimbangan untuk mempertahankan posisi berdiri. Aku merosot ke lantai. Rasanya ingin berteriak dan menangis. Tapi aku tidak bisa.
Dua polisi itu membantuku berdiri dan menuntunku berjalan menuju mobil.
Di perjalanan, aku masih tidak mampu menemukan kata-kata. Aku ingin bertanya banyak hal, tapi tidak bisa merangkainya menjadi sebuah kalimat. Yang kulakukan hanya diam dengan ketakutan yang menyelimuti sepanjang jalan.
Waktu kami sampai di rumah sakit, rasanya kakiku masih lemas untuk bisa berjalan dengan benar. Polisi yang berseragam coklat itu memegangiku sepanjang jalan koridor rumah sakit. Sedangkan yang berjaket kulit berjalan selangkah di depan kami sebagai penunjuk jalan.
Aku dibawa ke ruang Operasi. Di sana aku bisa melihat Ayah dan Ibu mas Dante duduk di kursi dengan wajah tak kalah khawatir. Mata ibu mertuaku juga sembab, sepertinya beliau habis menangis.
Dengan tergesa aku menghampiri ibu mertuaku, dan duduk di sampingnya "Mas Dante mana, Ma?" tanyaku dengan suara bergetar.
Ibu mertuaku langsung membawaku ke dalam pelukannya. Beliau memelukku erat, beliau menangis terisak-isak di dalam pelukanku.
"Maafkan Dante, Ly. Maafkan dia ... Mama mohon maafkan suamimu?"
Aku tidak mengerti kenapa beliau berkata demikian.
"Dante pergi bersama Laura. Laura itu ...." Beliau tidak mampu melanjutkan perkataannya.
Apa beliau ingin memberi tahu kepadaku kalau Mas Dante punya hubungan dengan Laura? Aku sudah tahu. Bukan itu yang ingin kubahas, aku cuma ingin tahu bagaimana keadaan suamiku.
"Mas Dante di mana?" tanyaku sekali lagi.
Ibu mertuaku tidak bisa menjawab, dia menangis terisak-isak.
"Dokter sedang menanganinya." kata ayah mertuaku. "Semoga dia berhasil melewati masa kritisnya agar dia bisa membayar kesalahannya padamu."
"Maksudnya?" tanyaku bingung.
Ayah mertuaku tidak menjawab pertanyaanku lagi, dia hanya menggeleng frustrasi sambil menekan dahinya.
Lama kami menunggu sampai akhirnya lampu yang menujukan bahwa operasi telah selesai menyala.
Kami bertiga langsung berdiri, menunggu dokter keluar dari ruangan operasi dengan tegang.
Dokter keluar, dia lalu menghampiri kami dan bicara pada kami tentang keadaan mas Dante.
"Pasien mengalami cedera leher dan kepala. Yang paling parah di bagian kepala, lebih tepatnya cedera di bagian otaknya. Kemungkinan pasien akan kehilangan ingatannya atau amnesia. Untuk amnesia jenis apa, nanti bisa kita ketahui setelah pasien sadar. Saat ini pasien sedang mengalami koma, kami akan membawanya ke ruang ICCU untuk mendapatkan penanganan yang tepat."
Aku merasakan seperti ada petir menyambar dalam kepalaku. Suamiku mengalami koma? Yang aku tahu koma adalah situasi di antara kehidupan dan kematian. Tidak-tidak! Suamiku tidak boleh mati, aku belum membahagiakannya. Tuhan tolong jangan ambil suamiku, kami belum sempat bahagia, Tuhan ku mohon.
Saat mas Dante dibawa keluar dari ruang operasi, aku bisa melihat wajah tampan mas Dante yang di penuhi luka-luka memar. Di kepalanya ada luka yang sepertinya mengeluarkan darah, aku bisa melihat dari bercak darah pada perban yang membelit dahi sampai belakang kepala mas Dante.
Aku ikut mendorong ranjang mas Dante sampai ke ruang ICCU.
Di ruang ICCU, perawat memasangkan banyak sekali selang-selang dan kabel-kabel di tubuh mas Dante. Satu selang dimasukkan ke dalam mulut mas Dante. Katanya ini untuk membantu mas Dante makan.
Kabel-kabel yang menempel pada dada mas Dante tersambung pada sebuah monitor. Monitor yang di pakai untuk melihat apakah masih ada kehidupan pada diri mas Dante. Tentu saja ada, mas Danteku masih hidup, dia pasti akan bangun secepatnya.
Aku sangat terkejut saat perawat memintaku membantu memasakan kateter ada saluran kemih mas Dante. Aku ingin menolak, tapi tidak bisa. Dengan kegrogian dan kegugupan yang luar biasa, aku membantu perawat memasangkan kateter itu.
Setelah 6 bulan pernikahan kami. Ini adalah kali pertama aku melihatnya.
Aku menghembuskan nafas lega saat proses pemasangan kateter itu selesai. Aku benar-benar gugup dan grogi, sampai-sampai aku merasakan ada gelitik aneh di perutku.
***
Dalam ruangan ini, cuma boleh ditunggui 1 orang saja. Aku dan kedua mertuaku bergantian untuk duduk di samping ranjang perawatan menemani mas Dante. Begitu terus sampai berhari-hari.
Sudah 5 hari mas Dante tidak kunjung sadar. Dia juga tidak menunjukkan perkembangan yang berarti. Hampir tidak ada gerakan sama sekali yang di buatnya.
Setiap giliranku yang menemani mas Dante, aku berbicara banyak hal padanya. Aku menyentuh tangannya, aku juga menciumi pipinya. Kumanfaatkan kesempatan ini untuk menunjukkan padanya betapa aku menginginkannya, terkadang aku menyandarkan kepalaku di bahunya. Setelah dia bangun, aku tidak akan bisa melakukan ini lagi.
"Mas, aku tidak tahu apa aku harus senang atau sedih dengan keadaanmu seperti ini. Aku senang karena aku bisa menyentuhmu seperti ini," Aku menggenggam tangannya lalu menempelkannya ke pipiku. "Tapi aku juga sedih karena melihatmu menderita dengan banyak kabel-kabel di tubuhmu. Kamu jadi terlihat seperti robot." aku tersenyum sambil menitikkan air mata.
Aku mengecup tangannya yang tadi ku tempelkan di pipi. "Menurutmu aku harus bagaimana, Mas?" aku tersenyum getir padanya.
Tiba-tiba aku merasakan jari telunjuk mas Dante yang ku pegang bergerak. Aku langsung berteriak memanggil suster. Ini gerakan pertamanya setelah 5 hari dia diam bagai mayat.
Suster datang untuk memeriksa keadaan mas Dante.
Aku di minta keluar ruangan dan melihat dari balik kaca.
Mertuaku datang, dia panik melihat mas Dante yang digerumbungi para petugas medis begitu.
"Dante kenapa?" tanya ibu mertuaku.
"Tadi telunjuknya bergerak, Ma. Pas aku cium tangannya."
Ibu mertua kumenangis, beliau lalu memelukku. Beliau lagi-lagi mengucapkan maaf untuk mas Dante berulang-ulang kali.
Untuk apa?
"Lily, anakku. Kumohon apa pun yang terjadi pada Dante saat dia bangun nanti, kamu jangan meninggalkannya ya. Kumohon jangan tinggalkan dia."
Aku menatap lekat pada ibu mertuaku. "Aku tidak akan meninggalkannya Ma. Tapi bagaimana jika dia yang meninggalkanku? Bagaimana jika dia tetap memilih wanita itu? Apa aku harus tetap bertahan?" Ah ... akhirnya keluar juga unek-unek yang aku pendam selama ini?
"Kamu tahu tentang hubungan Dante dan Laura?" kata ibu mertuaku dengan nada shock.
"Aku tahu, Ma, aku tahu semuanya. Sejak awal pernikahan kami, mas Dante bilang kalau dia tidak mencintaiku dan tidak akan pernah mencintaiku. Dia mencintai Laura."
Ibu mertuaku memelukku lagi, dan menangis tersedu-sedu lagi. "Maafkan anakku, maafkan Dante." katanya berulang-ulang.
"Aku selalu memaafkannya, Ma, aku memaafkannya setiap hari,” kataku sambil menghapus air mata beliau dengan jariku. "Ma, boleh aku bertanya sesuatu?"
"Silakan sayangku."
"Bagaimana keadaan Laura? Di mana dia sekarang? Apa dia masih hidup?"
~Bersambung~
Aku sama sekali tidak mencintai istriku. Aku membenci istriku. Aku bahkan tidak ingin menganggapnya sebagai istri. Kehadirannya membuat hubunganku dengan Laura berantakan.
Laura adalah satu-satunya wanita yang kucintai. Aku rela melakukan apa saja untuk bisa memperbaiki hubunganku dengan Laura yang terlanjur hancur karena kehadiran Lily.
Enam bulan sudah aku terjebak dalam pernikahan ini. Sudah berbagai cara kulakulakan untuk membuat Lily membenciku dan mengajukan gugatan cerai untukku. Aku tidak pernah menyentuhnya, aku tidak pernah memakan masakannya. Aku tidak penah menelponnya. Aku tidak pernah menanyakan keadaannya.
Kalau aku harus bicara padanya. Itu karena keterpaksaan yang teramat sangat.
Aku tidak mengerti kenapa Lily masih mau bertahan denganku. Padahal begitu jelas kutampakan kebencianku dan ketidak sukaanku padanya.
Lily terus menanyakan bagaimana kabarku, meski aku tidak pernah menjawabnya. Lily selalu memasak untukku, walau aku tak pernah memakan masakannya. Lily selalu mempersiapkan segala kebutuhanku, mencuci bajuku, menyetrika bajuku walau sudah kutegaskan dia tidak perlu melakukan itu karena ada asisten rumah tangga yang bisa menghandle semuanya.
Lily benar-benar wanita yang keras kepala. Kekeras kepalaannya itu semakin membuatku membencinya.
Dia selalu berusaha melarangku untuk bertemu dengan Laura, walaupun kukatakan berkali-kali padanya kalau dia sama sekali tidak berhak untuk melakukan itu. Seperti yang terjadi malam itu.
Malam itu Laura menelponku. Dia bilang dia sakit, dia meminta tolong padaku untuk membelikannya obat dan menemaninya di apartemen. Tentu saja dengan senang hati aku akan melakukannya untuk Laura.
"Mas mau kemana?" tanya istri sialanku saat aku akan keluar dari rumah besar yang kurasa seperti neraka.
Lily, berusaha menahanku untuk tidak pergi. Tapi sungguh aku tidak peduli meski dia memotong urat nadinya agar aku tidak pergi. Aku akan tetap pergi. Laura lebih penting daripada kematiannya sekalipun.
***
Laura demam tinggi, dia bilang dia terlalu memikirkan tentang hubungan kami yang semakin tidak jelas ini sampai harus menahan tekanan batin yang teramat sangat.
Aku katakan padanya kalau aku akan terus berusaha mencari cara agar Lily menggugat ceraiku. Lauraku menangis putus asa atas takdir buruk pada hubungan kami ini.
Aku menenangkannya, aku menemaninya, aku melakukan sesuatu pada Laura yang tidak pernah ku lakukan pada Lily. Biasanya Laura akan senang.
Tiga malam aku tidak pulang ke rumah. Aku menghabiskan malam-malam penuh cinta bersama Laura, seperti yang biasa kami lakukan sebelum aku menikah dengan Lily.
Malam itu Laura merasa lebih sakit dari sebelumnya. Dia muntah-muntah hebat. Aku berinisiatif membawanya ke dokter.
"Selamat, Ibu Laura positif hamil. Usia kehamilannya sekitar 5 minggu." kata dokter saat dia selesai melakukan pemeriksaan pada Laura.
Dia menyalami aku dan Laura dengan senyum mengembang. Sementara aku membalas senyumannya dengan ekspresi tak percaya.
Lauraku menangis histeris di sepanjang perjalanan pulang. Dia memaksaku untuk segera bercerai dengan Lily dan menikahinya secepat mungkin.
Aku binggung sekali. Aku ingin sekali menikahi Laura dan meninggalkan Lily. Tapi, ayahku akan membunuhku atau menendangku dari kerajaan bisnisnya kalau aku yang menceraikan Lily.
"Aku menunggu Lily menggugat cerai, Sayang,” ucapku berusaha menenangkan Laura yang terus menangis.
"Menunggu? Sampai kapan? Sampai anak ini lahir? Apa kata orang-orang kalau melihatku hamil tanpa suami? Orangtuaku akan membunuhku karena hamil di luar nikah seperti ini."
"Aku akan bertanggung jawab, Sayang." aku menyentuh kepalanya, mengusap rambutnya. Berharap dia tenang dan bisa mengerti.
"Aku tidak mengerti kenapa sih sesulit itu untuk meninggalkannya? Kamu hanya perlu keluar dari rumah itu dan menceraikannya." kata Laura frustasi.
"Tidak semudah itu, Sayang. Orang tuaku terlanjur menyayangi Lily. Mereka akan marah besar kalau aku yang meninggalkannya."
"Kamu menyayanginya juga?" tanya Laura dengan suara tajam.
"Tentu saja tidak. Astaga, apa yang kamu pikirkan?"
Laura menangis, tangisannya sekarang berubah menjadi raungan. "Aku takut kamu jatuh hati padanya dan pergi meninggalkanku. Aku akan membunuh kalian berdua kalau sampai itu terjadi!"
"Kamu berpikir terlalu jauh. Aku tidak mungkin meninggalkanmu untuknya!"
"Kalau begitu tinggalkan dia sekarang juga!"
"Aku akan meninggalkannya, Laura! Tapi tolong beri aku waktu! Tolong bersabar sebentar lagi!"
"Bersabar? Harus berapa lama lagi aku bersabar? Kamu pikir mudah bertahan sebagai wanita simpanan suami orang selama 6 bulan ini? Kamu pikir itu mudah, huh? Harus bersabar seperti apa lagi aku? Katakan harus sabar seperti apa lagi? Aku hamil anakmu! Aku tidak bisa bersabar lebih lama lagi! Aku tidak bisa melalui kehamilan ini tanpa suami! Aku tidak bisa!" Laura memukul-mukul bahu dan dadaku.
"Kalau begitu gugurkan kandunganmu! Gugurkan janin dalam perutmu itu kalau kamu tidak mau bersabar!" Aku mulai tersulut emosi.
"Apa kamu bilang?" Laura menatapku tajam. Aku berpaling ke arahnya, aku bisa melihat kemarahan dalam matanya. Aku kembali memalingkan wajahku ke depan mencoba fokus pada jalanan.
Tapi tiba-tiba Laura mengamuk, dia memukuli bahu dan dadaku sambil terus meraung-raung menyumpahiku.
"Apa kamu bilang? Gugurkan? Keparat kamu Ardante, bajingan sialan." Dia terus meronta-ronta memukuliku, menarik-narik kemejaku sampai kancing depannya terlepas.
"Laura hentikan aku sedang menyetir!"
"Bangsat kamu! Sialan lelaki keparat! **** you *******! **** you mothorfucker!" Dia menghardik berulang-ulang, dia terus memukuliku. Sekarang dia menampari wajahku dan menjambak rambutku.
Aku tidak bisa menahan emosiku lagi. Aku menangkap tangannya yang memukul kepalaku. Aku menggenggam pergelangan tangannya dengan keras, berharap semoga dia mengerti akan kemarahanku.
Aku melotot tajam ke arahnya.
Tiba-tiba sebuah silau masuk melalui kaca mobilku, cahaya silau itu beriringan dengan suara rintihan tajam klakson sebuah mobil besar di hadapanku. Sialan, aku masuk ke jalur berlawanan.
"Dante awas!" Laura berteriak.
Refleks aku membanting setir untuk membawa mobilku kembali ke jalur seharusnya. Tapi sayangnya aku membanting setir terlalu kencang sehingga membuat mobilku keluar dari jalan aspal. Lalu meluncur ke bawah jalanan yang miring, menabrak semak belukar. Laura berteriak histeris ketakutan. Mobil kami terus turun sampai akhirnya aku merasakan ban mobilku menabrak batu besar, mobilku terbalik dan berputar 360° derajat. Kemudian semuanya berubah menjadi gelap.
***
Kupikir aku sudah mati. Kupikir aku sudah tidak bisa membuka mata. Kupikir aku tidak akan bangun. Tapi ternyata aku bangun dan membuka mata.
Kupikir aku akan merasakan kesakitan yang teramat sangat. Ternyata pas aku sadar aku tidak merasakan sakit sama sekali.
Ini Aneh.
Aku berada di tempat yang seluruhnya gelap. Tempat ini seperti tidak mengenal massa dan waktu. Aku melayang.
Seberkas sinar kelabu menyinariku. Tidak menyilaukan. Hanya sebuah cahaya redup. Aku mendekati sumber cahaya itu.
Semakin dekat dan semakin dekat hingga aku merasa ada sebuah kaca pemisah antara sisi gelap tempatku berada dan cahaya abu-abu itu.
Aku melihat laki-laki terbaring dengan banyak kabel menempel di tubuhnya. Siap itu, aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Sosoknya hanya berupa bayangan blur di tengah cahaya abu-abu yang suram. Di sebelahnya ada wanita yang mulutnya terus bergerak. Wanita itu seperti bicara sesuatu. Aku tidak bisa mendengar.
Wanita itu terus bicara dan bicara meski laki-laki yang terbaring itu tidak pernah meresponsnya sedikit pun. Aku merasa kasihan padanya. Rasanya ingin aku saja yang mengajaknya bicara. Tapi sayangnya aku tidak bisa mengeluarkan suaraku di tempat ini.
Aku senang melihat wanita itu terus bicara, aku senang melihat wanita itu menyentuh tangan laki-laki yang terbaring itu. Aku selalu melihat adegan yang menurutku romantis itu.
Aku ingin sekali melihat wajah wanita itu secara jelas. Tapi tidak bisa. Wanita lain datang. Sepertinya lebih tua dari wanita yang banyak bicara tadi.
Wanita yang banyak bicara itu lalu pergi. Tidak, jangan pergi. Aku masih ingin melihatmu berbicara. Tapi dia tetap pergi.
Kini hanya wanita yang terlihat lebih tua yang duduk di samping pembaringan laki-laki yang tidak bergerak itu. Wanita tua itu tidak banyak bicara seperti wanita sebelumnya. Wanita tua itu lebih banyak mengelus rambut laki-laki diam itu. Wanita tua itu lebih banyak menangis daripada bicara.
Tidak masalah, aku juga suka melihat adegan ini. Rasanya sesuatu yang hangat menyelimuti tubuhku yang beku di tempat tanpa masa dan waktu ini.
Ada laki-laki datang. Laki-laki tua. Perawakannya tinggi sepertiku. Tapi aku juga tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Laki-laki tua itu memeluk wanita tua. Lalu membawanya keluar. Tunggu kalian mau ke mana?
Tersisa laki-laki diam itu saja di ruangan. Aku tidak suka pemandangan ini. Sepi. Aku ingin melihat wanita yang banyak bicara atau wanita tua tadi berada di samping pembaringan laki-laki yang diam itu.
Lama, akhirnya ada yang datang. Laki-laki tua ternyata yang datang. Dia tidak banyak bicara, dia juga tidak banyak menyentuh si laki-laki diam. Dia duduk saja di samping ranjang memandangi laki-laki diam itu dengan lekat.
Wanita yang banyak bicara, wanita tua dan lelaki tua bergantian datang menemani si laki-laki diam. Aku menikmati pemandangan itu. Rasanya nyaman sekali memandangi mereka, walaupun aku tidak tahu mereka itu siapa. Aku ingin selamanya memandangi mereka.
"Sayang."
Aku mendengar suara perempuan. Suaranya jelas bergema di tempat ini. Apa itu suara si wanita yang banyak bicara? Kurasa bukan. Wanita yang banyak bicara itu suaranya tidak terdengar. Tapi yang ini terdengar jelas.
Aku berpaling. Aku melihat bayangan siluet wanita.
"Sini." Bayangan itu melambai padaku.
Aku melangkah mendekatinya.
Tiba-tiba dari arah berlawanan, di arah cahaya abu-abu itu berasal, aku mendengar suara wanita yang banyak bicara itu berteriak. Kurasa teriakannya sangat kencang sampai bisa terdengar ke tempat ini. Aku berpaling, aku melihat tubuh lelaki diam itu sekarang tidak diam lagi. Dia bergerak, bergetar, kejang-kejang. Aku ingin berbalik mendekati bayangan abu-abu itu.
"Sayang ayo sini. Datang padaku." Siluet wanita itu memanggilku.
Aku bingung harus mendatangi yang mana.
Panggilan dari siluet wanita dan teriakan wanita yang banyak bicara itu bersahutan. Membuatku bingung.
"Sayang ayo kesini, ini anak kita." Tiba-tiba di tangan siluet wanita itu muncul seorang bayi.
Aku penasaran. Aku mendekatinya perlahan. Semakin dekat dan semakin dekat, aku mulai melihat wajah wanita yang menggendong bayi ini, wajahnya tidak asing, aku seperti sering melihatnya. Tapi aku tidak tahu dia siapa.
"MAS DANTE BANGUUUUN!" Suara raungan dari wanita yang banyak bicara itu mengagetkanku. Apa yang terjadi? Aku ingin berlari ke arahnya untuk melihat apa yang terjadi pada wanita yang banyak bicara dan si laki-laki diam tadi. Tapi tiba-tiba bayangan abu-abu itu menjauh dan semakin jauh dan semakin jauh sampai hilang ditelan kegelapan.
oOo
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!