NovelToon NovelToon

Sengketa Hati (CALYA)

Cinta yang Telah Terikat

"Ini rumah yang akan kita tempati selama kita tugas di sini Cal," kata Dirga seraya membuka pintu rumah dinas itu dengan kunci yang ada di tangannya.

Calya masuk ke dalam rumah itu mengikuti langkah suaminya yang terlebih dahulu masuk sembari membawa dua buah koper besar milik mereka. Sesampai di dalam Calya memandangi setiap sudut ruangan di rumah itu. Ada ruang tamu, dua kamar tidur, dapur dan kamar mandi. Ini adalah rumah dinas ke empat di empat kota yang mereka tempati setelah dua tahun silam Dirga menikahi Calya.

"Lumayanlah Ga, tinggal kita beresin dan isi dengan barang-barang," sahut Calya.

"Kamu lelah ya Cal harus pindah-pindah terus gara-gara jadi isteriku?"

"Kenapa lelah? Aku kan isteri abdi negara yang tugasnya memang pindah-pindah. Dengar ya Ga, sampai kapanpun aku akan selalu mendampingimu! Bahkan kalau tempat tugasmu di ujung dunia pun, aku pasti akan ikut. Buktinya aku rela berhenti kerja supaya kita bisa selalu bersama kan?"

"Kamu memang isteri terbaik deh." Dirga membelai rambut Calya, isteri yang dicintainya itu.

***

Dirga sudah berangkat ke kantor, kesempatan untuk Calya pergi ke pasar membeli beberapa kebutuhan rumah. Ember, panci, keranjang dan berbagai peralatan dapur kini berada di kedua tangan Calya.

"Aduh tukang ojek mana sih, kok gak ada yang lewat. Sudah ah naik angkot saja. Nyeberang sedikit ke depan gak papa."

Criiiitttttt...

"Awggghhhhh...!!!"

Cengklang... Cengkleng... Klenteng... Tek dung...

Baru juga dua langkah Calya akan menyeberangi jalan, tiba-tiba ada sebuat motor yang mengerem mendadak. Calya berteriak diikuti dengan suara barang-barang yang dibawanya jatuh berantakan di aspal.

"Hei..kamu! Naik motor itu pelan-pelan dong. Gak liat apa ada orang mau nyeberang?" Dengan wajah yang masih panik Calya memarahi pengemudi motor itu.

Pengemudi motor itu memarkir motornya, lalu turun dan menghampiri Calya. Dibukanya helm yang menutupi kepala dan wajahnya itu. Raut wajah seorang pria nampak di hadapan Calya. Tatapan matanya tajam senada dengan alisnya yang tebal dan hidungnya yang mancung.

"Lho kok malah Mbak yang marah-marah. Harusnya kan Mbak yang hati-hati kalau mau menyeberang jalan. Tadi Mbak tidak tengok-tengok dulu, langsung nyeberang saja." Pria itu membela dirinya.

"Ehh..jangan mentang-mentang situ naik motor terus saya jalan kaki ya terus jadi saya yang salah gitu. Kalo tadi sampai terjadi apa-apa sama saya apa situ mau tanggung jawab?"

"Ya tinggal dipanggilin ambulans, gitu aja kok repot."

"Ihh...dasar, kamu ya."

Piiipppp... Piiipppp... Piiippp...

Suara klakson mobil dan motor seketika menyadarkan Calya dan Praba. Motor dan mobil itu berhenti karena jalan raya terhalangi barang-barang belanjaan Calya yang berserakan di aspal. Secara spontan Calya dan Praba bersama-sama memunguti barang-barang itu, kemudian menepi di pinggir jalan.

"Nih, barang-barang kamu! Lain kali kalau mau menyeberang hati-hati lihat-lihat dulu." Praba menyerahkan bungkusan besar plastik berisi barang-barang yang sudah dipungutnya tadi kepada Calya.

"Ish...masih saja nyalahin aku. Kalau suamiku ada di sini, pasti sudah habis deh kamu."

"Ya udah pulang sana laporin ke suamimu, kalo perlu lapor ke pak RT, pak lurah, pak camat atau kemana saja."

"Baik!!! Ingat baik-baik wajahku ya, suatu hari nanti kita pasti akan bertemu lagi, dan saat itu suamiku pasti berada di sampingku, dan kamu pasti akan dimarahi habis-habisan sama suamiku!" Calya berkata sambil mengangkat barang-barang bawaannya, menahan angkot dan berlalu meninggalkan Praba yang masih terpaku memandang kepergiannya.

***

"Cal... Sudah siap belum? Ayo dong sebentar lagi acara pelantikan Pak Kasie Pidsus yang baru dimulai nih." Dirga yang duduk di ruang tamu memanggil Calya yang tak kunjung keluar dari kamar.

"Sedikit lagi Ga, tinggal cepolin rambut nih." Calya menjawab sembari sibuk menggulung rambut sebahunya dengan pita penggulung rambut. "Nah sudah selesai, ayo kita berangkat Ga." Calya keluar kamar dengan seragam dharma wanita sambil menenteng sebuah tas berwarna hitam.

Setiba di kantor Dirga dan Calya segera menuju ruangan aula tempat berlangsungnya pelantikan itu. Dirga lalu bergabung di barisan para pegawai, sedangkan Calya bergabung di barisan para isteri. Acara itu nampak sudah akan mulai, MC telah membacakan bahwa kepala kantor dan pejabat yang akan dilantik memasuki ruangan.

Nampak dua sosok pria berjalan beriringan. Satu orang mengambil tempat di depan menghadap ke arah peserta upacara, dialah bapak kepala kantor. Seorang lainnya berdiri di hadapan bapak kepala, membelakangi peserta upacara. Calya tak begitu memperhatikan ketika pria yang akan dilantik menjadi atasan langsung suaminya masuk, dan kini ia hanya dapat memandang punggung pria itu saja.

"Demikianlah acara pelantikan Bapak Praba Satya Nugraha sebagai Kepala Seksi Pidana Khusus. Selanjutnya adalah pemberian selamat. Kepada Bapak Praba Satya Nugraha dipersilahkan mengambil tempat di depan menghadap ke arah peserta upacara." Terdengar suara MC membacakan acara selanjutnya. Ketika Praba membalikkan badannya, Calya yang menatap tepat ke arah Praba seketika itu langsung tersontak.

"Astaga! Dia? Aduh...matilah aku!" Calya memukul-mukul kepalanya sendiri.

"Bu Dirga ada apa?" Bu Dito menegur Calya yang terlihat aneh.

"Oh tidak apa-apa Bu Dito, ini kepala saya gatal, hehe."

"Oh..hayuk Bu Dirga kita merapat ke suami kita masing-masing terus maju salaman ke Pak Kasie yang baru." Bu Dito menarik lenganku berjalan ke arah suami mereka berada.

Calya menghampiri Dirga dan segera memegang erat lengan Dirga. Mereka berjalan menghampiri Praba. Saat Dirga tepat berada di hadapan Praba, Calya menyembunyikan wajahnya di belakang tubuh suaminya.

"Selamat ya Praba, sudah jadi Kasie, atasanku lagi." Dirga mengulurkan tangannya kepada Praba dan disambut oleh Praba sekaligus dengan saling berpelukan.

"Thankyou Dir, semoga kamu juga segera menyusul jadi Kasie. Kita kan seangkatan, lama tak jumpa ternyata bertemu di sini, sekantor, seruangan pula."

"Iya Prab, namanya juga takdir, hehe. Oh iya ini isteriku." Dirga memperkenalkan isterinya kepada Praba, Calya pun perlahan memunculkan wajahnya dari balik punggung Dirga.

"Kamu? Eh...oh...Ibu Dirga ya?" Praba nampak kaget melihat wajah Calya.

"Ya, ampun dia masih mengenaliku." Calya berkata di dalam hatinya.

"Iya Pak, saya Ibu Dirga. Selamat ya Pak." Calya mengulurkan tangan pada Praba, yang disambut jabatan tangan Praba.

"Senang berjumpa dengan Ibu, apalagi didampingi suaminya." Praba berkata lagi sambil tersenyum dan mengangkat satu alisnya.

"Astaga...dia masih ingat kata-kataku tempo hari. Hffhh...tenang Calya tarik napas dan santailah." Calya berkata di dalam hatinya berusaha menenangkan dirinya sendiri.

"Oh iya sudah yuk kita lanjut Ga, yang ngantri di belakang masih banyak nih." Calya mendorong tubuh suaminya agar berjalan menyudahi percakapan itu.

Acara terakhir dari pelantikan tersebut adalah makan siang bersama. Calya tentu saja tak bisa menikmati makanannya. Lirikan Praba dengan senyum penuh kemenangan terus mengintainya.

***

"Ga... isteri bos baru kamu itu kok gak kelihatan sih? Apa belum ikut suaminya ke sini?" Tanya Calya kepada Dirga setelah mereka pulang ke rumah.

"Praba duda, Cal."

"Duda? Semuda itu sudah cerai?"

"Bukan cerai. Istrinya sudah meninggal."

"Meninggal? Lalu anaknya?"

"Istrinya tuh meninggal gak lama setelah mereka nikah, mereka belum punya anak. Praba sudah duda setahun ini."

"Oh, kasihan ya masih muda sudah jadi duda. Semoga saja dia bisa segera ketemu isteri baru."

"Kalo aku yang ketemu isteri baru lagi gimana Cal?"

"Hus...ngomong apaan sih kamu? Coba saja kalau berani!"

"Memangnya mau kamu apain aku?" Dirga mendekatkan wajahnya pada wajah Calya.

"Aku...aku akan melakukan sesuatu yang akan membuatmu menyesal sudah menduakanku."

"Apa itu?" Dirga semakin mendekatkan wajahnya pada wajah Calya.

"Ga... Dirga..." Suara Calya memelan, kecupan hangat dari suaminya membungkamnya kini.

***

Cling...cling...cling

Telepon genggam Dirga terus berbunyi pertanda banyak pesan whatsapp yang masuk. Calya menggapai gawai itu, diliriknya pintu kamar mandi, suara guyuran air masih terdengar. Dirga masih mandi.

Perlahan dibukanya gawai milik suaminya itu, rupanya pesan whatsapp itu dari sebuah grup whatsapp. Alumni Hukum 2003 begitulah nama grup itu. Calya mulai membaca isi pesan yang ada di grup itu. Nama Dirga disebut-sebut, seperti sedang dihubung-hubungkan dengan seseorang lainnya yang ada di grup itu "Haira".

Seketika Calya tersontak. Bagaimana tidak, Haira adalah nama yang diketahuinya. Tentu Calya belum melupakan kejadian di malam pertama pernikahannya dengan Dirga. Kala itu Calya menangis setelah mendapati Dirga masih sering berhubungan dengan Haira melalu pesan facebook. Ya, Haira adalah mantan kekasih Dirga semasa kuliah.

Tangan Calya bergetar menggenggam gawai suaminya. Haira bukan hanya sekedar ada di grup itu tapi juga ada di daftar kontak gawai Dirga.

"Tidak...aku tak boleh marah. Bukankah Dirga sudah pernah bilang Haira hanyalah masa lalunya. Aku tak boleh cemburu! Untuk apa aku cemburu pada masa lalu? Bukan aku adalah masa kini dan masa depan Dirga? Bukankah cintaku dan cinta Dirga telah terikat dalan janji sakral pernikahan kami?" Calya berkata di dalam hatinya mencoba menenangkan pikiran dan perasaannya yang kini berkecamuk.

BERSAMBUNG

Kehadiran Masa Lalu

Malam semakin larut, hening... Seolah seluruh penghuni kota ini telah terlelap dalam tidurnya. Suara binatang malam pun tak lagi terdengar. Hanya bulan purnama yang masih nampak menjaga malam, dan mungkin juga menjaga sesosok wanita yang masih terjaga di sudut kamarnya.

Calya...pikirannya masih melayang mengingat kejadian sore tadi. Perkataan Dirga seperti masih menjadi tanya yaang menyesakkan dadanya dan membuatnya tak dapat terlelap.

"Ini apa Ga?" Tanya Calya sambil menyodorkan telepon genggam Dirga yang memperlihatkan sebuah chat grup di dalamnya.

"Mereka memasukkanku ke grup alumni, ya apa salahnya berada di grup itu. Toh hanya untuk menjalin silahturahmi dengan teman-teman semasa kuliah." Dirga menjawab datar.

"Bukan soal kamu berada di dalam grup itu. Tapi isi grup ini banyak membahas tentang kamu dan dia."

"Dia? Maksud kamu apa sih Cal?"

"Kamu dan mantan kekasihmu Dirga!" Calya melantangkan suaranya.

"Aku tak dapat melarang siapapun yang ada di grup itu untuk membahas atau tak membahas hal apapun. Mereka hanya mengenang cerita-cerita kala kami kuliah. Toh itu hanya masa lalu."

"Kamu menyimpan kontaknya Ga." Calya memelankan suaranya kini, namun matanya mulai nampak berkaca.

"Aku menyimpan kontak seluruh kawanku yang ada di grup itu, apa salahnya? Mungkin saja sewaktu-waktu aku membutuhkannya. Teman-temanku bekerja di berbagai kantor pemerinta dan swasta, dan tidak menutup kemungkinan suatu saat aku harus berkomunikasi dengan mereka yang berhubungan dengan pekerjaanku. Sudahlah Cal, jangan terlalu posesif nanti malah kamu stres sendiri."

Dirga berjalan memasuki kamar, menutupnya dengan keras meninggalkan Calya berdiri di sudut ruang tamu rumah dinas itu. Air mata kini menetes dari kedua sudut matanya.

Bagaimana tidak, Dirga yang begitu lembut sejak dia mengenalnya, kini telah bersuara lantang hanya untuk mempertahankan alasannya menyimpan kontak Haira, wanita di masa lalunya. Batin Calya berkecamuk, ada rasa ketakutan di sana. Calya sangat takut, masa lalu Dirga hadir kembali seolah akan menjadi bayangan hitam pernikahannya.

Seandainya saja Dirga tak membuat argumen dan langsung menghapus kontak Haira, mungkin Calya akan mendapatkan ketenangan hatinya, tak perlu mengurai pedihnya dengan air mata.

Air mata Calya kembali berlinang malam ini. Tak ada yang mendengarnya karena Dirga tak berada di rumah hingga selarut ini. Sejak percakapan sore itu Dirga pergi dan belum kembali.

"Aku ke kantor, ada kerjaan yang harus ku selesaikan, mungkin sampai malam." Hanya perkataan itu yang diucapkan Dirga sambil berlalu tanpa sedikitpun memandang wajah Calya.

***

Pagi ini udara terasa sejuk. Calya sudah bangun dan mengerjakan tugasnya sebagai isteri. Sudah seminggu berlalu sejak pertengkarannya dengan Dirga. Calya sudah berniat tak akan lagi menanyakan tentang Haira. Dia ingin semua kembali seperti semula. Secangkir kopi susu dan sepiring roti bakar dihidangkan di hadapan suaminya tepat saat suaminya sedang mengangkat panggilan telepon di gawainya.

"Halo. Ya. Apa?! Hmm tunggu sebentar." Dirga melangkah keluar rumah, berbicara di telepon itu beberapa saat lalu kembali masuk menghampiri isterinya.

"Aku harus ke Jakarta sore ini Cal, tolong siapin pakaianku untuk tiga hari."

"Ke Jakarta? Kok mendadak Ga, ada kegiatan apa?"

"Ada kegiatan penting, dan ini memang mendadak." Dirga hanya menjawab seadanya sambil berlalu ke kamar mandi.

Calya tak dapat bertanya lebih banyak lagi, segera dilakukan perintah suaminya. Tugas mendadak seperti itu memang sudah biasa terjadi.

"Aku berangkat ya Cal, kamu baik-baik di rumah, tak perlu mengantarku sampai bandara." Dirga mengelus rambut isterinya dengan lembut.

"Kamu hati-hati Ga, segera kabari aku kalau sudah sampai."

"Pastilah sayang."

Dirga mengangkat kopernya, berjalan keluar rumah, namun sesampainya di depan pintu, ia kembali membalikkan badannya.

"Aku mencintaimu Calya Janalin."

"Aku mencintaimu juga Dirga Mahendra." Calya tersenyum kecil memandangi suaminya. Sungguh Calya merasa lega karena suaminya tak lupa mengucapkan kata-kata itu seperti yang biasa dilakukannya saat hendak bepergian.

Dirga berlalu menaiki taksi yang akan membawanya ke bandara. Calya mengikuti langkah suaminya hingga ke pagar rumah. Tak sedetikpun pandangannya berpaling hingga raga suaminya benar-benar tak tampak lagi dari penglihatannya.

***

Pintu kedatangan bandara Jakarta petang itu sangat ramai. Nampak kerumunan orang yang menunggu keluarnya penumpang yang baru mendarat dari pintu itu. Dirga keluar menarik kopernya, sembari menengok ke kiri dan ke kanan seolah mencari seseorang yang akan menjempunya.

"Mas Dirga!" Suara seorang perempuan mengagetkan Dirga dan membuatnya menoleh pada arah datangnya suara itu.

"Hai Mir. Kita langsung ke rumah sakit kan?"

"Mas Dirga gak lelah? Gak mau makan dulu?"

"Nanti aja Mir, kita langsung ke rumah sakit saja."

Dirga dan Mirna berjalan ke parkiran menuju tempat terparkirnya mobil Mirna. Mirna mengendarai mobilnya menuju rumah sakit tempat kakaknya, Haira sekarang dirawat.

"Maafkan aku Mas, kemarin menghubungimu dan memintamu untuk datang ke sini. Kami sekeluarga tak tahu harus berbuat apa, Kak Haira sedang dalam masa krisis melawan penyakit jantungnya. Hanya nama Mas Dirga yang selalu disebutnya. Kami takut ini adalah permintaan terakhirnya untuk bertemu Mas Dirga, sehingga Mama dan Papa memintaku menghubungi Mas Dirga memakai handphone Kak Haira kemarin." Mirna memulai percakapan sambil terus menggerakkan setir di tangannya.

"Sejak kapan Haira krisis?"

"Dua hari lalu Kak Haira sesak napas, kami membawanya ke rumah sakit dan ternyata kondisinya semakin buruk. Tapi untuk penyakit Kak Haira sudah didiagnosis dokter sejak dua tahun lalu. Kak Haira stres setelah mendengar kabar pernikahan Mas Dirga."

"Stres? Bukankan tak lama setelah aku menikah, Haira juga menikah?"

"Iya, tapi pernikahannya tak lama. Kak Haira menggugat cerai Mas Tora hanya enam bulan setelah mereka menikah. Aku yakin Kak Haira menikah dengan Mas Tora hanya sebagai pelarian karena stres mengetahui Mas Dirga menikah."

"Iya, aku tahu Haira sudah bercerai tapi aku tak tahu bila diriku menjadi alasan atas apa yang terjadi padanya."

"Kak Haira masih merasa bersalah padamu Mas, dan Kak Haira sebenarnya masih mencintaimu. Itu yang ku tahu."

Dirga hanya diam mendengar ucapan terakir Mirna. Ingatannya kembali ke beberapa tahun silam kala ia masih kuliah. Gadis paling cantik di angkatannya menjadi kekasihnya. Tiga tahun menjalin kasih, Dirga dan Haira menjadi pasangan fenomenal di kampus mereka.

Sang pria adalah mahasiswa terpintar dan sang wanita adalah mahasiswi tercantik dan juga kaya. Ingatan Dirga terus melayang hingga ke hari itu, hari dimana hatinya hancur setelah mendapatkan kekasihnya telah menghianatinya. Haira kekasih yang dicintainya telah berselingkuh dengan Isman senior mereka di kampus.

Dengan matanya sendiri Dirga mendapati Haira dan Isman sedang berduaan di dalam kamar kos dalam keadaan terkunci. Yang lebih menyakitinya adalah kebisuan Haira saat Dirga bertanya padanya apa yang telah dilakukannya. Hari itu Dirga pergi meninggalkan Haira, memutuskan segala komunikasinya, tak pernah mau bertemu dengannya lagi. Hatinya hancur, namun ia tak memungkiri rasa cintanya pada Haira terlalu besar hingga Dirga memerlukan waktu lama untuk melupakannya.

Hingga takdir mempertemukannya dengan Calya, wanita yang dijumpainya di kota tempatnya pertama bertugas setelah lulus sebagai aparat sipil negara. Calya gadis yang selalu bertingkah konyol senantiasa mengisi hari-harinya dengan kebahagiaan hingga akhirnya membuatnya melupakan Haira.

Hanya enam bulan setelah menyatakan perasaannya pada Calya, Dirga melamarnya menjadi isterinya. Hal yang tak mudah mendapatkan Calya yang kala itu juga baru saja dilanda patah hati setelah berpisah dengan Raindra kekasihnya, membuat Dirga semakin yakin untuk menjadikan Calya sebagai isterinya.

Kini Haira kembali hadir dalam hidupnya. Sejak bertemu kembali melalui grup alumni mereka di whatsapp, Dirga seperti mengalamai dejavu. Masa-masa indahnya bersama Haira seperti muncul kembali membayang-bayangi ingatannya. Sampai pada hari itu ketika Haira mengiriminya pesan whatsapp yang menanyakan kabar Dirga.

Sebuah rasa berkecamuk di benak Dirga. Ada rasa takut, rasa benci, namun rasa keingintahuannya tentang Haira saat itu membuatnya akhirnya membalas pesan Haira dan kemudian menyimpan namanya dalam kontak telepon genggamnya. Dan hari ini Dirga akan menemui Haira, entah bertemu sebagai apa? Mantan kekasih atau teman? Atau mungkin sebagai dewa penolong untuk Haira yang sedang kritis?

"Apa isteri Mas Dirga tahu bila Mas Dirga akan menemui Kak Haira?" Pertanyaan Mirna seketika menyentakkan Dirga dari lamunannya.

"Isteri? Ohh... Emm..." Dirga pun teringat pada isterinya, yang hari ini telah dibohonginya.

Calya... Maafkan aku. Suara hati Dirga hanya mampu mengucapkan kata-kata itu saat mengingat apa yang telah dilakukan pada Calya hari ini, untuk pertama kalinya Dirga telah berbohong pada Calya.

"Mas Dirga?"

"Oh, Calya tidak tahu. Aku tak bilang padanya, aku kuatir dia tak mengijinkanku bertemu Haira, sementara kamu bilang kondisi Haira sedang kritis."

Mirna tersenyum mendengar jawaban Dirga, ada sebuah arti dari senyumannya seperti sebuah kelegaan dan harapan akan sesuatu.

***

Dirga mengikuti langkah Mirna menyusuri lorong rumah sakit itu hingga mereka sampai di depan sebuah kamar.

"Tunggu di sini sebentar Mas, aku akan masuk memberi tahu Mama dan Papa, mereka ada di dalam."

Mirna membuka pintu kamar dan masuk ke dalam. Tak lama kemudian Mirna keluar bersama Mama dan Papanya.

"Nak Dirga, sebelumnya Om ucapkan terima kasih karena Nak Dirga bersedia datang ke sini untuk menemui Haira."

"Sama-sama Om. Sekarang bagaimana keadaan Haira?"

"Haira sudah menunggu kamu sejak tadi. Dia sangat senang saat kami mengatakan bahwa Nak Dirga akan datang. Tolong bantulah kami Nak Dirga, hanya Nak Dirga yang kami harapkan dapat membantu kami untuk Haira. Keadaannya saat ini sedang kritis, dan perlu segera dioperasi, tapi Haira selalu menolak, dia tak mau dioperasi sebelum bertemu Nak Dirga. Haira selalu bilang lebih baik mati daripada dioperasi tanpa bertemu dulu dengan Nak Dirga. Om mohon atas nama Haira, maafkanlah kesalahan Haira di masa lalu yang pernah menyakiti Nak Dirga." Pak Broto tak mampu menahan kesedihannya hingga matanya kini berkaca-kaca. Bagaimanapun dia telah mengenal Dirga sejak masih menjalin hubungan dengan Haira puterinya, dan ia tahu apa yang telah terjadi antara Dirga dan Haira.

"Saya sudah memaafkan Haira, Om. Semua hanyalah masa lalu, dan sekarang saya datang sebagai kawan. Bila kedatangan saya bisa merubah keputusan Haira dan bersedia menjalani operasi, tentu saya akan sangat senang karena bisa membantu."

"Baiklah Nak Dirga, sekali lagi Om ucapkan terima kasih. Sekarang masuklah, Haira sudah menunggu."

Dirga menganggukkan kepalanya lalu melangkah ke arah pintu kamar itu, membukanya dan kini ia berdiri di dalam kamar itu memandang seorang wanita yang sedang terbaring dengan jarum infus di tangannya serta selang oksigen di hidungnya.

"Dirga... Kamu sudah datang?" Suara lemah dari wanita yang sedang terbaring itu membuat Dirga melangkahkan kakinya mendekati tepi tempat tidur itu.

"Iya Haira, ini aku."

"Terima kasih Dir. Aku tak akan tenang bila belum bertemu denganmu. Aku kritis Dir, mungkin sebentar lagi aku akan pergi."

"Tidak Ra, kamu tidak boleh bicara begitu. Kamu harus kuat, kamu pasti sembuh."

"Hanya kamu yang bisa menguatkan aku Dir. Aku minta maaf untuk kesalahanku dulu."

"Aku sudah memaafkanmu, tak perlu lagi merasa bersalah untuk hal itu."

"Tapi semuanya sia-sia kini. Aku....aku butuh kamu Dir." Kata terakhir Haira keluar diiringi suara sesenggukan tangisannya.

Dirga segera memegang tangan Haira berusaha meyakikannya untuk tenang dan berhenti menangis.

"Dua tahun lalu ketika kamu menghubungiku lewat chat facebook, aku sangat senang Dir. Aku mengira bahwa kamu berniat untuk kembali padaku. Ternyata saat itu kau sudah bersama wanita lain."

Hayalan Dirga pun kembali ke masa itu. Setelah tiga tahun tak berkomunikasi dengan Haira setelah mereka putus, mereka bertemu di facebook setelah Haira meminta pertemanan.

Kala itu sudah dua tahun sejak mereka lulus kuliah dan Dirga sudah bekerja sebagai aparat negara. Walaupun berteman di facebook tetapi mereka tak rutin berkomunikasi, hanya sekali saja Haira menanyakan apakah mereka boleh berteman di facebook, dan Dirga hanya mengiyakannya, hingga suatu hari Haira memasang sebuah foto profil yang menunjukkan dirinya kini telah berhijab.

[Kamu cantik banget dengan hijab Ra.] Begitulah isi pesan facebook Dirga kala itu.

"Selama kita berteman di fb aku selalu ingin meminta maaf padamu, tapi aku selalu takut melakukannya. Dan saat kamu mengirimi pesan yang mengatakan aku cantik dengan hijab, saat itu aku sangat senang, dan aku mengira kamu masih menyukaiku. Namun saat ku tanyakan kabarmu saat itu, ternyata kamu sedang mempersiapkan pernikahan dengannya. Saat itu aku hancur sekali. Aku menyesal mengapa tak meminta maaf padamu sejak lama. Aku masih mencintaimu sampai sekarang dan sampai kapanpun Dir. Bila kau bertanya tentang apa yang ku lakukan dulu, itu adalah kebodohanku. Aku menghianatimu tanpa berpikir itu akan menyakitimu. Aku hanya berpikir untuk kesenanganku. Aku mengira kau terlalu mencintaiku sehingga kau takkan marah dengan perbuatanku. Aku diam tak menjawabmu kala itu, karena ku pikir kau tak mungkin meninggalkanku. Aku begitu sombong dengan kepopuleranku, hingga aku melupakan tentang hatiku, tentang cinta sejatiku. Setelah kau tinggalkan aku, baru ku sadari bahwa aku mencintaimu, aku membutuhkanmu untuk terus bersamaku Dirga..."

"Tenanglah Ra. Tenangkan dirimu, kondisimu belum stabil, emosimu hanya akan memperburuk keadaanmu. Aku sudah memaafkanmu tanpa perlu ucapan permintaan maaf darimu. Semuanya hanyalah masa lalu, bagian dari takdir hidup kita. Sekarang kita adalah kawan. Dan aku ke sini untuk memberimu support, kamu harus kuat dan harus sembuh." Dirga mempererat genggaman tangannya berharap Haira akan lebih tenang dari emosinya.

"Kawan? Hanya kawan Dir?"

"Iya Ra, kita sekarang adalah kawan. Bukankah itu lebih baik daripada tak ada hubungan?"

"Umurku tak lama lagi Dir. Aku tak mau meninggal hanya sebagai kawanmu. Anggap saja ini permintaan terakhirku."

"Maksudmu bagaimana Ra?"

"Bila kau hanya menganggapku kawan, aku tak akan mau dioperasi besok. Untuk apa lagi aku berjuang untuk hidup?"

"Ra, ada keluargamu yang masih menginginkanmu ada."

"Aku ingin cinta sejati menjadi alasanku untuk hidup "

"Cinta sejati?"

"Iya Dir. Cinta sejatiku adalah kamu. Aku mau menjadi isterimu sebelum aku pergi untuk selamanya."

Dirga seketika tersentak. Dilepaskannya genggaman tangannya dari tangan Haira. Tubuhnya terasa seperti tersengat aliran listrik hingga otaknya berhenti berpikir. Dirga berdiri tegak seperti patung dengan pandangan kosong.

Inikah alasan keluarga Haira memintanya datang? Haira ingin menjadi isteri Dirga? Tapi Dirga bukanlah seorang pria bujang, dia telah beristeri. Calya adalah isterinya. Dirga sangat mencintai Calya. Dirga telah memilih Calya sebagai pendamping hidupnya.

Namun kini wanita dari masa lalunya datang kembali, memohon sebuah permintaan demi nyawanya. Tubuh Dirga kini terasa lemas, dia berjalan ke arah westafel di dalam kamar itu, memutar kerannya dan membasuh wajahnya dengan air yang telah mengalir. Wajahnya kini terasa segar, dan ia berharap otaknya pun segera mencair dari kebekuannya.

BERSAMBUNG

Pengorbanan Hati

Jam dinding menunjukkan pukul 21.00 WIT. Calya nampak gelisah menatap layar ponselnya. Beberapa kali dipencetnya nomor Dirga namun hanya suara operator yang didengarnya bahwa nomor tersebut sedang tidak aktif.

Bagaimana Calya tak gelisah, seharusnya saat ini Dirga sudah tiba di Jakarta dan semestinya sudah memberinya kabar. Hatinya yang resah membuat udara malam ini terasa panas baginya. Calya pun melangkahkan kakinya keluar ke teras rumah. Ditatapnya langit berharap bintang-bintang dapat menghiburnya malam ini.

Criiitttt.... Pip ... pip... pip....

Suara rem sepeda motor disertai bunyi klaksonnya tiba-tiba mengagetkan Calya dari lamunannya. Calya pun menengok ke arah sepeda motor itu. Sesosok pria turun dan kemudian membuka helmnya.

"Hai Ibu Dirga, kok malam-malam begini melamun di teras sendiri sih?" Pria itu menyapa Calya.

"Kamu?! Eh...maaf Bapak?" Calya nampak salah tingkah setelah menyadari yang datang adalah pria yang pernah beradu mulut dengannya di jalanan, yang ternyata adalah atasan bidang suaminya di kantor. "Saya tidak melamun kok, hanya di dalam agak panas jadi cari angin di luar."

"Tapi kok nyari anginnya sendiri aja? Dirga gak nemenin?"

"Dirga kan sedang dinas ke Jakarta, Pak."

"Dinas ke Jakarta? Dalam rangka apa ya? Kok aku gak tahu sih?"

"Lho masa sih Bapak gak tahu? Tapi katanya sih memang mendadak, tadi pagi dapat telepon terus sorenya berangkat."

"Oh begitu ya." Praba nampak mengernyitkan keningnya, seperti ada sesuatu yang mengganjal di benaknya, namun ia tak ingin melanjutkan obrolan tentang kepergian Dirga ke Jakarta.

"Bapak sendiri ngapain malam-malam ke sini?"

"Ibu Dirga ini masih sinis saja ke saya. Saya mau ngecek rumah sebelah, mulai besok saya pindah ke rumah itu biar lebih dekat ke kantor. Rumah dinas saya yang sekarang agak jauh, lagipula saya kan sendiri, jadi kalau tinggal di sini bisa ada teman ngobrol."

"Sinis? Perasaan Bapak saja kali. Saya biasa saja kok, lagian saya juga sudah lupa dengan kejadian waktu itu."

"Sudah lupa tapi kok disebut? Ya sudah Bu Dirga, saya mau masuk ke rumah itu dulu, mau ngecek kondisinya dulu." Praba berkata sambil berlalu menuju rumah dinas yang berada persis di sebelah rumah yang ditempati Dirga dan Calya.

"Hati-hati lho Pak, rumah itu sudah lama kosong. Biasanya rumah kosong itu banyak penampakannya." Calya berbicara sembari melirik ke arah Praba yang sedang berjalan. Mendengar ucapan Calya, seketika Praba memalingkan wajahnya pada Calya. Terkejut mendapat tatapan dari Praba, Calya segera membalikkan badannya dan masuk ke dalam rumah serta menutup pintunya. Praba kemudian tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Calya yang sudah berada di dalam rumah sejenak mengintip dari tirai jendela, dilihatnya Praba sudah masuk ke dalam rumah itu, lampu-lampu di dalamnya pun sudah tampak menyala. Calya kembali menatap layar ponselnya, dipencetnya kembali nomor telepon Dirga, tetapi tetap saja hanya suara operator yang didengarnya.

***

"Awww... Ahh..." Haira nampak memegang dadanya, suara nafasnya seperti tersengal-sengal.

"Haira! Haira... Kamu kenapa? Haira!!!" Dirga segera berlari dari arah westafel ke tempat tidur Haira. Suara teriakan Dirga yang agak keras terdengar hingga ke luar kamar. Pak Broto, Bu Broto dan Mirna segera masuk ke dalam kamar.

"Ada apa Nak Dirga? Haira kenapa?" Tanya Pak Broto.

"Astaga, Mirna cepat tekan tombolnya, panggil dokter kemari." Bu Broto kaget setelah melihat Haira yang kesusahan bernafas. Mirna segera menekan tombol yabg berada di sisi atas tempat tidur. Tak lama kemudian seorang pria berpakaian dokter dan seorang wanita berpakaian perawat masuk ke dalam kamar.

"Dokter, tolong lihat Haira dia seperti sesak nafas lagi." Kata Pak Broto saat melihat dokter dan perawat itu masuk.

"Coba saya cek. Baiklah, Bapak dan Ibu semua tolong keluar sebentar, Saya akan memeriksa kondisi pasien dulu."

Mereka semua yang berada di dalam kamar itu pun keluar kecuali dokter dan perawat tadi. Sekitar lima belas menit dokter dan perawat itu melakukan pemeriksaan dan tindakan kepada Haira, dan kini mereka pun keluar dari kamar itu.

"Dokter bagaimana keadaan anak Saya?" Pak Broto nampak tergesa mengajukan pertanyaan itu ketika melihat dokter telah ada di hadapannya.

"Haira kembali mengalami sesak karena emosinya tidak stabil. Sepertinya baru saja ada kejadian yang membuat emosinya menjadi seperti itu. Saya minta kepada keluarganya untuk saat ini bisa menjaga emosi Haira supaya tetap stabil, bila perlu lakukan hal-hal yang bisa membuatnya bahagia. Untuk operasi Haira, kami beri waktu 3 hari dari saat ini. Kondisi jantung Haira harus segera dioperasi, kami mohon agar Bapak dan Ibu bisa meyakinkan Haira untuk menjalani operasi itu. Tadi kami sudah melakukan tindakan untuk menenangkannya. Sekarang biarkan dia istirahat dulu."

"Baik Dok. Kami pasti akan melakukan apapun untuk kesembuhan anak kami. Terima kasih Dok."

Dokter dan perawat itu pun berlalu meninggalkan mereka.

"Nak Dirga, apakah yang terjadi tadi?" Pak Broto berpaling pada Dirga yang sedari tadi diam terpaku.

"Haira bilang... Dia... Dia ingin menjadi isteriku sebelum dia meninggal, Om."

"Lalu apa kata Nak Dirga?"

"Saya tak berkata apapun, Saya tidak tahu harus bilang apa, Om. Tadi Dirga hanya mencuci muka karena merasa penat. Tiba-tiba Haira sesak nafas."

"Nak Dirga. Om rela menukar harta benda Om dengan nyawa dan kebahagiaan Haira. Tolonglah..."

"Maksud Om? Tolong?"

"Nak Dirga mengerti maksud Om. Tolong nikahi Haira."

Tatapan lekat Pak Broto membuat jantung Dirga berdetak cepat. Dirga diam terpaku tak tahu harus berkata apa. Seperti makan buah simalakama, hanya itu yang ada di benaknya. Di satu sisi Dirga ingin menolong Haira, tapi di sisi lain permintaan Haira tak bisa dipenuhinya. Dirga tak ingin menyakiti Calya. Bila menikahi Haira itu artinya Dirga berpoligami. Tidak, Calya pasti tak pernah mau dipoligami. Calya pasti akan pergi meninggalkan Dirga.

"Tidaaak!" Memikirkan Calya akan pergi meninggalkannya Dirga seketika berteriak.

"Nak Dirga. Nak Dirga!" Pak Broto menghentak-hentak tubuh Dirga.

"Om, tidak mungkin saya menikahi Haira, saya sudah punya isteri."

"Poligami tak dilarang dalam agama."

"Saya seorang aparat negara Om."

"Bila isterimu menyetujui tentu takkan masalah."

"Setuju? Calya tak mungkin menyetujuinya. Saya tak mau dan takkan mampu menyakiti Calya. Saya tidak ingin kehilangan dia, Om."

"Tapi tak lama lagi kita semua akan kehilangan Haira. Om, hanya ingin memberinya kebahagiaan di saat terakhirnya."

"Tante akan menemui isterimu Nak Dirga." Tiba-tiba Bu Broto yang sedari tadi diam berbicara.

"Menemui Calya?" Dirga bertanya dengan keraguan.

"Iya, besok pagi kita ke kota tempat tugasmu. Tante akan menemui isterimu dan berbicara dengannya. Bila wanita dengan wanita berbicara, Tante yakin dia akan mampu menerima dan memberikan persetujuannya. Sekarang semua tergantung dari Nak Dirga, apakah Nak Dirga sendiri bersedia untuk menikahi Haira?"

Dirga menarik nafasnya lalu mulai menjawab pertanyaan itu. "Baiklah Tante, Saya datang untuk membantu Haira, bila ini menjadi permintaan terakhirnya akan Saya penuhi, tapi hanya jika Calya menyetujuinya."

Mendengar jawaban Dirga senyuman mengembang di wajah Pak Broto, Bu Broto dan Mirna. Setidaknya secercah harapan untuk kebahagiaan Haira telah terpancar.

***

Dirga dan Bu Broto telah tiba di kota tempat tugas Dirga. Mereka datang dengan pesawat subuh dari Jakarta. Taksi yang mereka tumpangi kini melaju membawa mereka ke rumah dinas Dirga.

"Tante tunggu di taksi dulu. Saya masuk duluan untuk menemui Calya. Bila saya sudah keluar rumah dan memanggil, Tante baru masuk." Dirga berkata pada Bu Broto sebelum turun dari taksi yang dibalas dengan anggukan dari Bu Broto.

Dirga berjalan menyusuri halaman rumah itu dan setibanya di depan pintu, Dirga langsung mengetuknya.

"Assalamualaikum... Sayang, buka pintunya."

"Waalaikumsalam... Sayang? Kamu sudah kembali?" Calya nampak kaget setelah membuka pintu dan mendapati suaminya berdiri di hadapannya kini. Dengan cepat Calya memeluk tubuh suaminya yang dibalas pelukan erat dari Dirga. "Aku hubungi kamu dari semalam, hp kamu gak aktif-aktif. Aku kuatir kamu kenapa-kenapa. Tapi kok sekarang malah sudah kembali? Katanya perginya tiga hari?"

"Kita masuk dulu yuk Cal, masa ngobrolnya di depan pintu gini."

"Iya sayang, aku buatkan teh hangat dulu ya." Calya berpalu ke dapur, mengambil cangkir dan mulai membuat teh hangat.

Dirga berjalan mengikuti Calya, tiba-tiba dipeluknya tubuh Calya dari belakang. Calya yang sedang mengaduk teh pun terkaget.

"Aduh kok langsung peluk sih Ga? Kamu kangen ya? Padahal sehari saja perginya. Nih minum dulu." Calya membalikkan tubuhnya lalu menyodorkan cangkir berisi teh hangat itu.

Dirga meraih cangkir itu dan menyerutupnya. Dirga menarik nafas setelah seteguk teh hangat mengalir di tenggorokannya.

"Calya... Maafkan aku."

"Maaf? Ohh karena semalam hp kamu gak aktif? Itu pasti kamu terlalu sibuk dengan kegiatanmu sampai gak sempat aktifin hp kan? Gak apa-apa sayang, yang penting kan sekarang kamu sudah pulang. Aku tahu pasti kegiatanmu sudah selesai tadi malam, terus subuhnya langsung cepat-cepat balik. Kamu kan paling gak tahan pisah lama-lama sama aku." Calya berkata sambil melingkarkan tangannya ke leher suaminya. Dirga menyambut tubuh Calya dan mendaratkan kecupan di keningnya.

"Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu. Sekarang dia sedang menunggu di luar."

"Hah? Siapa? Kamu datang dengan siapa?"

"Tunggu sebentar, aku akan membawanya masuk."

Dirga berjalan ke arah luar rumah, Calya mengikutinya dari belakang hingga di pintu rumah. Dirga terus berjalan hingga ke luar pagar, dan tak lama ia telah datang kembali bersama seorang wanita paruh baya.

"Mari Tante, silahkan masuk." Dirga mempersilahkan wanita yang datang bersamanya itu masuk ke dalam rumah. Calya sudah menunggu di sana. Disambutnya tamu yang datang itu dengan senyuman manisnya.

"Silahkan duduk Tante, maaf rumahnya hanya seperti ini. Tante datang bareng Dirga dari Jakarta ya?"

"Terima kasih Nak. Iya Saya datang bersama Dirga tadi."

"Oh, Tante dan Dirga memang sudah saling mengenal?" Calya bertanya dengan wajah yang sedikit bingung karena dia sama sekali belum pernah bertemu dengan wanita itu.

"Iya kami sudah lama saling mengenal."

"Oh begitu, baik Tante duduklah sebentar, Saya buatkan minuman dulu, Tante pasti lelah setelah perjalanan tadi." Calya lalu beranjak ke dapur membuat secangkir teh hangat untuk tamunya. Tak lama kemudian dia kembali dan menyuguhkan minuman yang sudah dibuatnya itu, lalu ia pun duduk di samping Bu Broto.

"Terima kasih Nak Calya."

"Wah Tante sudah tahu nama saya ya?"

"Iya tante tahu dari Nak Dirga."

Sesaat kemudian Bu Broto memegang wajah Calya, diusapnya pipi wanita di hadapannya itu. "Ternyata kamu sangat manis, dan kau juga wanita yang baik. Namamu Calya yang artinya sempurna. Sungguh orang tuamu tak salah memilih nama, kamu wanita yang sempurna. Tante kini tahu mengapa Nak Dirga memilihmu."

"Tante bisa saja. Tapi... sebenarnya hubungan Tente dan Dirga apa ya? Apa tante ini tantenya Dirga? Ga, kamu kok gak pernah cerita sih?" Calya mengalihkan pandangannya pada Dirga, namun Dirga tak menjawab sepatah katapun, Dirga hanya menunduk.

"Ga...! Ditanya kok diam saja sih?"

"Nak Calya, tante dan Dirga tidak ada hubungan kekeluargaan."

"Lho...jadi? Tante dan Dirga?"

"Tante adalah mamanya Haira."

"Haira?!" Mata Calya terbelalak. Nama itu, Haira adalah nama yang tak asing baginya. Ya, Haira mantan kekasih Dirga, suaminya. Lalu mengapa Mama Haira kini ada di sini, di rumahnya, di hadapannya. Jantung Calya berdegup tak beraturan, seperti sebuah firasat akan terjadi sesuatu padanya hari ini.

"Iya Nak Calya. Tante adalah Mama Haira, mantan kekasih Dirga. Nak Calya mungkin bertanya-tanya untuk apa tante datang ke sini dan mengapa tante datang bersama Dirga. Tante akan menjelaskan semuanya, tapi sebelumnya tante mohon agar Nak Calya mau mendengarkan tanpa emosi."

"Iya Tante, Calya butuh penjelasan."

"Haira sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Kondisinya kritis, dia menderita penyakit kelainan jantung. Dokter mengharuskan untuk segera dilakukan operasi. Akan tetapi Haira selalu menolak, Haira merasa sudah tak ada alasan untuk hidup lagi, namun setiap hari nama yang selalu disebutnya adalah nama Nak Dirga. Kami sebagai orang tua pasti akan melakukan apapun untuk kesembuhan anak kami, makanya kami menghubungi Nak Dirga dan memintanya datang ke Jakarta untuk menemui Haira. Kami berharap Nak Dirga bisa membantu kami membujuk Haira untuk mau menjalani operasi."

"Apa? Dirga ke Jakarta untuk menemui Haira?" Pandangan Calya beralih ke arah Dirga. Dirga masih tak mampu memandang wajah Calya. "Jadi ini maksud kata maafmu tadi Ga?" Dirga masih menunduk dan diam membisu.

"Nak Calya tolong janganlah marah kepada Nak Dirga. Dia hanya berniat membantu kami. Dengarkanlah Nak, bagaimanapun dokter sudah memvonis umur Haira takkan lama. Dokter hanya memberi kami waktu tiga hari untuk Haira menjalani operasi ini. Jika tidak..." Bu Broto tak mampu melanjutkan kata-katanya, hanya suara sesenggukan yang keluar kini.

"Baiklah Tante, Calya sudah memaafkan kebohongan Dirga bila memang seperti itu. Calya turut prihatin atas apa yang terjadi pada Haira. Berarti setelah kedatangan Dirga untuk menemui Haira, sekarang Haira sudah dioperasi?"

Bu Broto menggelengkan kepalanya. Calya memahami arti bahas tubuh Bu Broto.

"Belum, kenapa? Tante sampai datang kemari bersama Dirga meninggalkan Haira, tapi kenapa Haira belum dioperasi? Bukankan tante ke sini untuk menjelaskan tentang kedatangan Dirga ke Jakarta agar aku tak marah pada Dirga?"

"Haira belum mau menjalani operasi sebelum keinginan terakhirnya dipenuhi oleh Dirga."

"Keinginan terakhir?" Calya mengerutkan keningnya.

"Haira ingin menjadi isteri Dirga."

"Apa?! Isteri?"

"Nak Calya tolonglah tante. Ini adalah keinginan terakhir Haira. Setidaknya operasi ini akan memperpanjang sedikit usianya. Kami ingin lebih lama lagi bisa bersama Haira, namun bila tak dilakukan operasi, umur Haira hanya dalam hitungan hari saja. Nak Dirga hanya akan menikahi Haira secara siri. Kamu tetaplah isteri sahnya. Nak Calya adalah seorang perempuan sama seperti tante, pasti memahami perasaan tante saat ini. Bagaimana anak bagi seorang ibu adalah segalanya."

Anak? Calya seakan tercekik mendengar kata itu. Anak adalah hal yang belum diberikannya untuk Dirga selama dua tahun pernikahan mereka. Calya kembali menatap wajah Dirga yang masih saja menunduk. Ada banyak tanya yang ingin diungkapkan pada suaminya itu, tapi tidak di sini.

"Ga, aku mau bicara sama kamu. Kita ke belakang sebentar. Tante tolong tunggu di sini dulu." Calya beranjak menarik tangan suaminya. Dia terus berjalan melewati dapur dan keluar di pekarangan belakang rumah mereka.

"Dirga Mahendra, tataplah wajahku!"

Dirga mengangkat wajahnya, menatap wajah Calya yang sedang menatapnya dengan sorot mata tajam.

"Kamu pergi ke Jakarta setelah membohongi aku, lalu kini kamu kembali dengan membawa sembilu untuk menoreh luka yang lebih dalam lagi. Kamu sadar gak Ga? Kenapa kamu diam? Apa karena kamu sudah memberikan janji kepada mereka? Kamu menjanjikan pernikahan itu? Kamu menginginkannya? Apa kamu masih mencintainya? Jawablah Dirga Mahendra!" Emosi Calya tak terbendung lagi, suaranya terdengar bergetar dan lantang. Dirga merengkuh tubuh Calya, dipeluknya erat tubuh isterinya yang kini bergetar karena isakan.

Praba yang sedang berada di dapur mendengar suara lantang Calya tadi pun berjalan keluar rumah, di balik pagar bambu yang membatasi rumahnya dengan rumah Dirga dan Calya, ia dapat melihat jelas apa yang terjadi.

"Dirga sudah datang? Calya kenapa dia menangis? Ah mungkin mereka sedang bertengkar." Praba membalikkan badannya hendak masuk ke dalam rumah, namun saat suara lantang Calya kembali terdengar, Praba tersentak dan terpaku di tempatnya berpijak.

"Kamu akan menikahinya Ga? Jawab!" Calya berusaha melepaskan pelukan Dirga.

"Haira butuh operasi itu Cal. Dan hanya jika aku menikahinya dia bersedia dioperasi."

"Kamu bukan malaikat Dirga. Hidup mati manusia itu sudah ditentukan. Bukan karena kamu menikahinya lalu dia akan sembuh dan hidup kembali."

"Hidup mati memang sudah ditentukan, tapi semua ada jalannya, ada ikhtiar, ada jalan takdir. Mungkin ini sudah takdir kita diperkenankan untuk menolong Haira."

"Menolongnya dengan menyakitiku?"

"Aku tak pernah ingin menyakitimu Cal. Setelah menikah dengannya dan dia dioperasi, aku akan kembali padamu. Dia akan kembali ke keluarganya. Setidaknya keinginan terakhirnya sudah dilaksanakan, dan bila itu membuatnya bahagia, bukankah akan menjadi pahala untuk kita terutama untukmu Cal. Hanya wanita yang kuat yang bisa melakukan ini, dan mungkin Allah memilih kamu karena Dia tahu kamu bisa. Poligami ini hanya untuk menolong Haira dan keluarganya. Tak ada sedikitpun niatku untuk meninggalkanmu. Aku pun tak akan bisa hidup tanpa kamu Calya."

"Kamu janji Ga? Kamu janji setelah dia dioperasi kamu akan segera kembali padaku? Kamu janji tidak akan ada hubungan yang lebih antara kalian walaupun kalian telah menikah? Kamu janji tidak akan meninggalkanku karena dia? Kamu janji Ga?"

Suara isak tangis Calya membuat tiap kata yang keluar dari mulutnya seperti suara rintihan yang pilu.

"Aku janji Cal. Aku janji." Dirga kembali memeluk isterinya, namun kali ini sembari membawa Calya masuk ke dalam rumah.

Praba yang sedari tadi terpaku di balik pagar bambu menarik nafasnya sambil menepuk kepalanya sendiri. "Poligami? Dirga akan berpoligami? Calya..."

***

"Tante, ayo kita pergi. Kita bisa terbang dengan pesawat sore ini kembali ke Jakarta." Dirga berkata pada Bu Broto setelah dirinya dan Calya kembali ke ruang tamu.

"Maksud Nak Dirga? Kita kembali ke Jakarta dan Nak Dirga...?"

"Iya Tante, dan Dirga akan menikah dengan anak tante." Calya menjawab pertanyaan Bu Broto.

"Apa? Alhamdulillah. Terima kasih Nak Calya. Sungguh hatimu sangat besar. Semoga Allah membalas kebaikanmu, memberimu kebahagiaan berkali-kali lipat dari kebahagian yang akan dirasakan oleh Haira."

"Aamiin. Sama-sama Tante. Kebahagiaan saya adalah suami saya, dan saya berharap dia tidak akan lupa pada janji-janjinya." Calya menatap Dirga dan Dirga membalasnya dengan anggukan kepalanya.

"Kami pergi dulu ya Cal. Kamu baik-baik di rumah. Aku akan segera kembali bila semuanya telah selesai." Dirga mengecup kening Calya yang disambut dengan pelukan Calya.

"Segeralah kembali."

"Tante permisi ya Nak Calya, sekali lagi terima kasih. Tante dan keluarga tidak akan pernah melupakan kebaikan Nak Calya." Bu Broto berjalan menghampiri Calya, dijabatnya tangan Calya lalu dipeluknya tubuh wanita itu.

Dirga dan Bu Broto berjalan keluar memasuki taksi yang masih menunggu sejak tadi. Calya mengikuti hingga ke halaman. Dia berdiri memandangi kepergian taksi yang membawa raga suaminya itu hingga tak tampak lagi dari pandangannya.

Namun Calya terus berdiri dengan tatapan nanar yang mungkin kini telah kosong dan perlahan menjadi gelap. Sekilas dirasakannya tubuhnya terhuyung ke belakang dan sesosok manusia sigap menangkapnya. Dalam cahaya samar dipandanginya sosok itu, namun penglihatannya semakin redup dan akhirnya ia tak dapat melihatnya lagi. Calya tak sadarkan diri. Pingsan.

BERSAMBUNG

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!