NovelToon NovelToon

Kepingan Hati

Pandangan Pertama

Devan menetralkan hati, diliriknya gadis itu yang tengah kebingungan sendiri. Lalu dengan sedikit garis senyuman, ia bergumam pelan. Bahkan nyaris tak terdengar, "cantik."

Ia lalu tanpa membuang waktu, langsung mengambil kesempatan. Untuk tebar pesona, pada gadis yang masih ketakutan di sampingnya.

"Devan," Ia mengulurkan tangan sambil memasang muka semanis mungkin.

Gadis itu masih diam seribu bahasa, pias di mimik wajah belum hilang sepenuhnya.

"Oh, ayolah, kamu masih ragu ini mobilku?" tanya Devan memastikan.

Kemudian diambilnya sebuah dompet kulit dalam saku celana, mengeluarkan sebuah kartu di dalamnya.

"Nah liat baik-baik, ini foto sama orangnya, sama kan?" Di tunjuknya muka sendiri dengan telunjuk tangan kanan, bergantian dengan kartu yang ternyata adalah sebuah SIM.

"I...iyah, maaf," gadis itu menjawab gugup, sembari kedua tangannya memilin kerudung hitam yang ia kenakan.

"Ya, ya, ya." Kembali Devan memasukkan kartu ke dalam dompetnya. Lalu menyandarkan punggungnya di kursi mobil.

"Jadi, mbak cantik namanya siapa?" Ia menoleh ke arah gadis itu, saat kedua matanya bersitatap. Devan mengerlingkan sebelah matanya genit.

Gadis itu terhenyak kaget.

"Astaghfirullah, Mas godain saya?" ujarnya kemudian.

Devan mengernyit, baru kali ini kerlingan matanya di tolak gadis. Biasanya gadis-gadis yang ia beri kedipan mata, mengulum senyum sendiri di bibir. Malu. Tapi reaksi yang gadis ini berikan sangat berbeda, dan itu membuatnya semakin tertantang. Sejauh mana gadis ini mampu menolak pesona yang ditebarnya.

Oke, jurus kedua!

Ia melepas sabuk pengamannya sendiri, lalu memajukan muka, menatap lekat kedua mata gadis itu.

"Kalau emang ngegoda kenapa?"

"Plakk!" sebuah tamparan keras mendarat di pipi Devan

"Kamu jangan kurang ajar, yah!" teriak gadis itu sembari menatap Devan nyalang.

Belum sempat tangan itu kembali dari pipi Devan, ia dengan sigap mencengkeram pergelangan gadis itu. Bekas tamparan yang meninggalkan rasa panas, bukan menyisakan rasa sakit, melainkan membuat Devan semakin tertarik.

Dengan jarak yang sangat dekat, ia bisa melihat kepanikan di paras gadis itu. Begitu natural, tapi tetap cantik.

Terkadang ada satu wajah yang terlihat sangat cantik meski tanpa riasan apapun.

Dan kepanikannya membuat Devan semakin gemas.

"Lepasin! kita bukan mahram!!" Sekuat tenaga gadis itu berontak. Berbagai cara ia lakukan agar terlepas dari cengkeraman Devan, bahkan dengan cara yang cukup extrim.

"Arrrrgggghhhhh, kamu gila yah!"

Tanpa di sangka, gadis itu menggigit punggung tangan Devan dengan sangat keras.

Devan meringis, ia mengerang kesakitan.

* * * * *

Gadis bermata jeli, bulu mata lentik dan kedua alisnya yang tersusun rapi, hidung mungil dengan bibir yang tipis.

Pias wajah ketakutannya kian terbayang di benak Devan, entah kenapa membuatnya semakin terlihat cantik.

Wajah itu, ekspresi nya itu. Semakin terbayang kala kedua mata Devan terpejam.

Devan memandang langit-langit kamar rumah singgah, di manapun Devan memandang. Wajah gadis cantik itu selalu terbayang.

Ia lalu tersenyum kala mengingat gadis itu bersyahadat, atau kala ia ber istighfar karena godaan Devan.

Godaan dan pesona yang ditebar ternyata sama sekali tidak mempan. Gadis itu terang-terangan menolaknya. Bahkan sempat menceramahinya sepanjang perjalanan kembali ke Desa.

"Asal mas tahu yah, kita nggak boleh berduaan kayak gini! bukan mahram tau! juga gak ada urusan bersama. Jadi berdosa kalo seperti ini!"

"Berarti mbaknya berdosa juga dong, kan berduaan sama saya." Devan menarik turunkan alis. Dengan masih menatap menggoda.

"Kan, Mas yang maksa saya masuk! Mas yang nyulik saya, awas saja nanti saya laporin sama pak Kades!"

"Laporin apa?"

"Masnya nyulik saya,"

"Ada saksi nggak?"

Gadis itu diam.

"Kalo tadi mbaknya nggak teriak maling, saya juga nggak akan panik!kalo saya digebukin massa gimana?mbak mau tanggung jawab?" tanyanya sambil fokus memandang jalanan di depan.

"Lagian nih yah, mana ada orang nyulik dibalikin lagi, hahahaha." Devan tertawa renyah, gadis itu kemudian malu dengan tingkah konyolnya yang sempat menuduh Devan maling.

Keduanya lalu terdiam. Seperti sedang berkutat dengan fikiran masing-masing.

Meski tak dimunafikkan, keduanya sama-sama menyadari. Ada debar-debar yang menggema di dalam dada.

Gadis itu berusaha menutupi. Selain menjaga kehormatan dirinya, ia juga tidak berani berfikir lebih jauh. Karena faham dengan norma-norma agama yang ia percaya. Tak boleh menjalin hubungan lebih antara lelaki dan perempuan yang bukan mahram. Kecuali untuk hal pernikahan.

* * * * *

"Ngelamun aja, Bro," hardik Beni kala melihat Devan senyam-senyum sendiri.

"Ahahahaha, kayaknya lagi kesambet tuh si Devan. Udah dua hari bengong, ngelamun mulu," Rudi menimpali.

"Apaan sih." Dilemparnya kedua temannya itu dengan kacang kulit yang tergeletak tak jauh dari tempat Devan berbaring.

"Lagi naksir cewek, yah?" Beni mendekat. Ia duduk tepat di samping ranjang Devan.

"Nggak, lah."

"Tapi kodenya sih kayak yang lagi lope lope," Goda Beni lagi.

"Berisik." Devan menutup muka dengan bantal. melipat kedua tangannya di atas perut. Memilih tidur daripada meladeni Beni.

"Lagi naksir Rani kan?" Beni berbisik tepat di dekat telinga Devan.

Devan lalu menarik bantal, sebuah nama yang belum ia dengar dari sederet gadis-gadis yang di kenalnya, mampu membuatnya penasaran.

"Rani siapa?"

"Gadis yang waktu itu di dalem mobil."

Devan mengernyit, apa ia melupakan sesuatu?

"Dia di rumah pak Kades, cepet samperin," ujar Beni lagi.

Devan masih belum mengerti maksud yang dikatakan Beni.

"Nuraeni Maharani, cucu pemilik rumah singgah ini. Baru keluar mesantren, delapan belas tahun, bro!" papar Beni panjang lebar

Devan tersenyum simpul. Ia lalu ingat, Beni memang paling bisa di andalkan.

"Thanks, Bro." Devan lalu menyambar jaket hoodie dan menggunakannya. Sebelum beranjak pergi, tak lupa ia menyelipkan selembar kertas bermawar merah pada Beni.

* * * * *

Gadis berkerudung hijau muda, dengan gamis ungu terong berada di deretan kursi paling depan. Tubuh mungilnya terlihat paling kecil di antara kebanyakan gadis yang lain. Pakaian tertutup yang ia gunakan, menunjukkan ciri khas tersendiri. Ia tampak berbeda.

Devan lupa, jika beberapa temannya sedang melakukan penyuluhan program di rumah pak kades hari ini. Dan sebagian besar peserta berasal dari desa Ambengan. Yang salah satunya adalah Rani.

Kesempatan untuk bisa kembali bertemu. Sejak kejadian di mobil itu, Devan tak pernah lagi menjumpai Rani di masjid.

Ah ternyata Beni lebih peka dengan masalah Devan. Sekali lagi ia berterima kasih dalam hati, Beni memang bisa di andalkan.

* * * * *

"Rani!" seru Devan ketika melihat gadis itu berjalan berlawanan.

Langkah kaki Rani terhenti, kedua matanya mengamati sosok laki-laki di depannya. Tangan kanan diselipkan ke saku jaket, sedangkan tangan satunya membuka kupluk jaket penutup kepala.

Rani terhenyak, demi melihat wajah yang tampak setelah kupluk itu dibuka. Wajah yang sangat di kenalnya.

Ia lalu kembali melangkah, bersikap acuh dan tidak mempedulikan Devan yang terus memanggil-manggil namanya.

Devan mengejar, kini mereka berjalan beriringan.

"Maaf," ucap Devan.

Rani tak bergeming, ia fokus berjalan.

"Oh, hey! Maaf," kembali Devan mengulang.

Rani semakin cepat berjalan.

"Apakah aku sebegitu kotornya sampai maaf aja nggak di kasih?"

Kali ini Devan setengah berteriak, tepat di depan gadis itu ia membalik badan. Menatap lurus ke arah Rani.

"Apa kalian, yang pakai pakaian tertutup begini menjadikan kalian sombong?" tanya Devan sekaligus menyindir.

Rani menghela nafas, ia lalu menangkupkan kedua tangannya di depan dada.

"Sudah dimaafkan, dan tolong jangan ganggu aku lagi," ucap Rani tanpa sedikitpun memandang Devan. Ia belajar untuk menjaga pandangan.

Ia lalu mengambil langkah ke kiri, menyimpang dari arah Devan menghadang.

Tak putus asa, Devan mengekorinya dari belakang.

Risih, merasa di ikuti. Rani kemudian berbalik sebelum masuk halaman rumah mbah Kakungnya.

"Masnya jangan ngikutin terus," hardik Rani.

"Yee geer banget, mau ke Malika, Iyah Malika, Hey!" Devan melambai, memandang gadis yang tengah menyapu halaman. Malika tersenyum, lalu menyambut lambaian tangannya.

Devan tidak menyangka, jika dikemudian hari akan ada beberapa hati yang terlibat. Dan pengharapan yang berlebihan, membuat hati yang terbakar bisa menjadi gelap mata. Dan kemudian mampu menghancurkan.

* * * * *

Lamaran Pertama

Langit malam tampak cerah, bertabur bintang dengan rembulan pucat yang menggantung di sana.

Dari balik jendela bilik kamar, Devan memandang Rani sedang berdiri di dekat pagar rumah. Menatap ke atas langit. Kedua manik hitam gadis itu, memandang jauh ke dalam kegelapan malam. Dia seperti sedang memikirkan sesuatu.

Untuk sesaat, Devan merasa sakit di sekujur tubuhnya seketika memudar. Ketika melihat Rani terpejam dengan garis melengkung yang membentuk sabit di bibirnya. Kerudung kuningnya meliuk-liuk di terpa angin malam. Memberi kesan elok bagi siapa yang memandang.

Pemandangan yang indah itu mampu meringankan sedikit rasa sakitnya, setelah dua hari lalu Devan terjatuh, saat ia memanjat pohon mangga di depan rumah singgah.

Karena cedera dan luka serius yang di alaminya cukup parah, ia terpaksa di rawat di rumah Mbah Karjo, yang merupakan dukun pijit sekaligus mbah kakungnya Rani.

Sebenarnya Beni sudah membujuk Devan untuk kembali ke kota. Agar ia mendapat perawatan yang terbaik demi kesembuhannya. Namun Devan menolak. Ia memilih di rawat di rumah mbah Karjo saja. Selain ia bisa lebih dekat mengenal Rani, ia juga lebih nyaman di sini.

Terbayang sudah jika ia kembali ke kota. Kedua orang tuanya yang sama-sama gila bekerja.

* * * * *

"Adudududuh, sakit mbah." Devan merintih, kaki kanannya sedang di urut mbah Karjo.

"Pemuda kota memang jarang dipijit yo, Le?" Tanya si Mbah sambil terus mengurut kaki Devan yang sakit.

Devan meringis menahan sakit. Ia bahkan hampir menangis. Tanpa sadar tangannya yang juga cedera mengepal sendiri. Menepuk-nepuk dinding ruangan bilik mbah Karjo. Dengan kedua mata yang terpejam.

"Sakitiiit, mbah!" Devan memekik, tak tahan rasanya.

"Weleh, orang cuman di pijit dikit aja kok," Mbah karjo kemudian tergelak, ia melihat Devan lucu.

Devan tidak menyadari, di ambang pintu ruangan ada Rani yang sedang menahan senyuman.

"Dasar orang kota," ujar Rani seraya meletakkan air putih di atas meja kecil samping dipan dimana Devan terbaring.

Seketika Devan menoleh ke arah sumber suara.

'Astaga, dia disini. Mana belum mandi, acak-acakan gini, badan bau lagi!' Devan membatin. Ia merasa pesona ketampanannya hilang.

"Assalamualaykum Rani," sapa Devan dengan salam. Ia lalu tersenyum, meski menahan sakit yang teramat sangat.

Rani menoleh, memandang pemuda yang mengucap salam padanya. Keningnya berkerut, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya.

"Jawab, tho cah ayu," Mbah Karjo mengingatkan Rani.

"Eh, wa alaykumussalam warahmatullah," Jawabnya kemudian berlalu meninggalkan ruangan.

Meski hanya sekedar ucapan salam. Saat kedua pandangan itu bertemu, ada listrik tak kasat mata yang menyetrum di hati keduanya. Mengalirkan desiran halus, yang kemudian berpuncak menjadi debaran. Ibarat magnet yang kekuatannya sama-sama kuat. Kedua sisi itu saling tarik menarik. Menunjukkan sifat alaminya.

"Mbah," seru Devan ketika Rani sudah pergi.

"Iyah?"

"Dia?" Seolah paham, mbah Karjo menoleh fokus ke arah Devan. Di hentikkannya pijitan di kaki yang biru-biru lebam.

"Oh, nak Rani?"

Kikuk, Devan salah tingkah mendapat tatapan dari mbah Karjo.

"Dia cucu mbah dari anak nomer dua," papar si mbah kemudian.

"Orang tuanya?"

"Masih ada, Le. Mereka di Surabaya."

"Surabaya?" Itu artinya satu kota denganku? Sambung Devan dalam hati.

"Iyah, Surabaya. Kedua orang tuanya memilih tinggal di kota, tapi Rani ndak mau ninggalin mbah," ucap lelaki tua itu seraya menyeka sudut-sudut matanya yang mulai berair.

"Dia gadis yang baik," ujar mbah Karjo.

'Tapi galak!' Seru Devan dalam hati.

"Di sini, mbah kesepian Le. Cuman Rani yang nemenin mbah," mbah Karjo mulai menerawang. Lelaki tua itu seperti merasa nyaman, mengobrol berdua dengan Devan.

Dan di sisi yang sama, Devan pun merasakan hal yang sama. Ia nyaman berbincang dengan lelaki sepuh itu. Ia seolah mendapat banyak perhatian, yang tidak ia dapatkan dari kedua orang tuanya.

Mereka lalu tertawa bersama, membahas sesuatu yang lucu. Devan dan mbah Karjo bertukar cerita. Bagaimana kehidupan Devan selama di kota, dan bagaimana pula kehidupan mbah Karjo sebelum ini.

Devan mengangguk memahami. Sedikit banyak ia mendapat informasi, tentang gadis yang selama ini di kaguminya. Rani.

* * * * *

Rumah besar mbah Karjo di isi beberapa orang. Ada mbah Karjo, kedua orang tua Malika yang merupakan bibi dan paman Rani, Bagas sang adik lelaki Malika, Malika dan juga Rani.

Dan kini harus menampung satu orang lagi yaitu Devan. Yang ruangannya sedikit terpisah dari Rumah utama. Berupa satu ruangan seperti kamar yang terbuat dari kayu bambu. Tempat biasa mbah Karjo mengurut warga yang membutuhkan bantuannya.

Rani, gadis yang memilih tinggal untuk merawat mbah Kakungnya. Karena sejauh Devan memperhatikan, kedua orang tua Malika jarang di rumah, keduanya sibuk menggarap ladang dan juga perkebunan. Tak jarang mereka tidur di rumah sewa di areal perkebunan.

Sedangkan Malika, gadis yang sering bangun terlambat. Malas mengerjakan pekerjaan rumah. Kini semakin sering bersolek saat mengetahui Devan di rawat di rumah mbah Kakungnya.

* * * * *

"Mas," suara panggilan lembut membuyarkan lamunan Devan.

"Iyah?" Tanyanya pada gadis yang berdiri di depan pintu bilik ruangan.

"Ini, kata mbah Kakung harus di minum," gadis itu menyodorkan segelas susu berwarna kuning kepada Devan.

"Ini apa, Malika?"

"Itu susu kunyit, Mas. Biar lukanya cepet sembuh dari dalam," terang Malika.

"Oh, iyah. Taruh di atas meja aja. Makasih yah," Devan tersenyum. Membuat gadis itu salah tingkah.

"Tapi, kata mbah Kakung Malika harus liat Mas Devan minum. Harus langsung dihabiskan," ucapnya lagi malu-malu.

"Iyah, tapi," Devan mencoba bangkit dari posisi tidurnya. Lalu bersandar di dinding ruangan.

"Biar Malika bantu, Mas," sahut Malika cepat.

Lalu meminumkan segelas susu kunyit bercampur madu kepada Devan.

Gadis itu bersemu merah, ada debaran di dalam dadanya yang membuncah. Di satu sisi ia merasa gugup dan di satu sisinya lagi ia merasa senang. Ada dua rasa dalam satu keadaan.

"Glek, huweeekkk..." Devan tersedak. Ia tidak siap menerima cairan yang rasanya aneh itu. Ia memuntahkan ke badannya sendiri. Kedua alisnya bertaut, melipat muka yang merasa tidak nyaman.

"Duh, maaf yah. Aku nggak bisa minum beginian," Nyaris Devan menyembur Malika tadi, beruntung kepalanya langsung menunduk. Susu yang termuntahkan mengenai perban di perutnya.

Sigap Malika menghindar.

"Iyah, Mas nggak papa," ujar Malika seraya mengelap tumpahan susu kunyit di badan Devan.

"Ini harus di ganti perbannya, Malika panggilin mbak Rani dulu," ujarnya kemudian berlalu membawa gelas yang masih tersisa sedikit susu kunyit di dalamnya.

"Rani?artinya bisa berduaan barang sebentar disini," gumam Devan pelan.

Tak selang beberapa saat kemudian, Rani datang dengan beberapa barang di tangannya. Seperti perban, gunting, kapas, cairan pembersih luka juga obat tetes.

"Ehm, maaf Mas." Rani mencoba membangunkan Devan yang sedang tidur sambil bersandar.

Baru juga sebentar Malika keluar dari kamar. Begitu Rani masuk, Devan pura-pura tertidur.

"Mas," panggil Rani lagi. Devan lalu mengerjapkan kedua matanya pelan.

"Maaf, ini perbannya sudah harus diganti," ucap Rani datar. Lalu ia menarik meja kecil agar lebih dekat kepada posisi dia mengganti perban.

Kemudian Rani duduk di pinggir dipan. Saling berhadapan.

"Maaf, tadi saya buka pintunya lebar. Biar ndak timbul fitnah. Jendelanya juga saya buka," kata Rani menjelaskan.

Perlahan ia lalu membuka ikatan perban di tangan Devan. Di susul menguliti perban yang lain di bagian perut dan punggung.

Ia, meski sudah terbiasa membantu mbah Kakungnya merawat orang yang cedera di tempat ini. Tetap saja, ada rasa yang berbeda kala ia harus merawat Devan, sang pemuda kota.

"Rani," ucap Devan lembut. Setelah beberapa menit waktunya ia habiskan menikmati pemandangan di depannya itu. Wajah cantik Rani yang begitu fokus mengerjakan pergantian perban.

"Iyah?" Tanya Rani sambil tetap fokus pada pekerjaannya.

"Nikah, yuk?" Ujar Devan setelah sebelumnya ia mencoba menetralkan debaran di hatinya.

"Hah?" Rani memandang Devan. Kedua alisnya bertaut.

"Iyah, kita Nikah yuk?" Ajak Devan lagi.

Rani tersenyum geli, ia menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri. Untuk sejenak tadi ia sempat menghentikan tangannya mengelap bagian tubuh Devan yang luka.

"Perasaan lukanya ndak nyampe kepala, kok yah jadi ngelantur," ujar Rani lalu menyiapkan kapas dan obat tetesnya.

"Aku serius," Devan kembali meyakinkan. Ia tidak sedang bercanda.

"Kamu nggak mau pacaran, kan? Kalo gitu kita nikah, yuk?" Tanya Devan lagi. Mengulang pertanyaan yang sama.

Ia meski sering bermain-main dengan perasaan wanita, tak pernah sampai mengajak kepada hubungan yang lebih serius yakni pernikahan.

"Kamu masih ragu? Atau berfikir masalah pekerjaanku nanti?"

Devan masih saja meyakinkan. Ia tidak sedang bercanda.

"Udah selesai," ujar Rani acuh.

"Apanya?"

"Perbannya."

"Rani, aku serius." Devan setengah berteriak.

"Dih, nikah saja sama yang lain," ketus Rani menanggapi. Ia mengumpulkan bekas perban yang kotor lalu memasukkannya ke kantong kresek warna hitam.

"Rani!"

"Hm."

"Rani!" Devan gemas di acuhkan, sebelum gadis itu pergi. Tangan kirinya meraih tangan Rani.

"Mas," gadis itu mrnghardik. Devan tetap menggenggam.

Keduanya lalu saling pandang. Nafas seakan tercekat, di iringi debar-debar kencang dalam dada.

"Bagaimana mungkin baru kenal saya sebentar, masnya terus-terusan ngajakin nikah, sudah jangan bercanda. Pernikahan bukan buat bahan candaan." Rani menepis kasar tangan Devan. Ia lalu beranjak pergi.

* * * * *

Sekeras apapun Rani mengajarkan hatinya, agar tak selalu berdendang setiap berada di dekat Devan. Tetap saja, gemuruh di dalam sana tak juga kunjung sirna.

Ia berusaha meminimalisir pertemuan atau bahkan telah berusaha untuk menjaga pandangan.

Alih-alih ia bisa mendiamkan hati, justru terpampang dengan jelas bayangan wajah pemuda yang bernama Devan itu.

Kadang ia jadi tidak sadar, sulit membedakan antara bayangan dengan kenyataan.

"Nikah, yuk." Atau "Mau nggak nikah sama aku?"

Kedua pertanyaan yang sering ia dengar dari mulut Devan. Pikirannya selalu saja melayang pada pemuda itu.

Rani memeras pakaian yang baru di cucinya dengan sangat keras. Hingga air menetes-netes menciprat ke gamis dan kerudung yang ia kenakan. Sesaat setelah ia melihat, pemuda yang dari tadi melintas di benaknya itu tertawa renyah bersama Malika, sepupu Rani.

Bagaimana mungkin pemuda itu mengajakku menikah tetapi tertawa bersama gadis lain? gumam Rani dalam hati.

Ia lalu melanjutkan pekerjaannya menjemur pakaian. Selanjutnya memilih pergi dari melihat pemandangan yang menyakitkan hati.

Lama ia di dapur, membersihkan serakan bekas makan mbah Kakung.

"Rani!" tiba-tiba sebuah suara memanggil namanya, membuat Rani terhenyak kaget.

Baru saja ia berbalik dari dapur hendak menuju kamar. Tiba-tiba sudah melihat Devan di depan pintu dapur. Ia bahkan tidak tau jika Devan mengikutinya ke dalam rumah.

"Ngapain kesini?" Rani kesal. Perbuatan Devan sudah sangat lancang. Masuk rumah tanpa izin.

"Lha, mau ambil air kok, kenapa? Nggak boleh?"

"Dih, alesan," jawab Rani ketus.

Ia memilih tak meladeni pemuda itu. Setelah ingat bahwa Devan masih tinggal bersama di rumah mbah Kakungnya.

Gemas ia lalu memutar bola mata, menatap jengah pada Devan dan meninggalkannya sendiri.

"Rani," Devan memanggilnya lagi dengan nada yang dipelankan. Mendadak ada desiran halus dalam hati Rani. Ia menghentikan langkah kakinya.

"Aku selalu serius sama ucapanku, untuk menikah nggak pernah ada yang namanya bercanda," ujar Devan kemudian.

Rani tak menjawab. Ia masih melanjutkan langkahnya.

"Nanti sore orang tuaku kesini, mereka jadi saksi ucapanku!" Teriak Devan setelah Rani berjalan semakin menjauh.

Gadis itu seketika menoleh, ia mengernyitkan dahinya.

"Apa, aku hendak dilamar?"

-Flashback off-

Masa Lalu

Derap langkahnya terdengar menjauh. Aku tanpa sadar, luruh jatuh di depan pintu kulkas. Tersedu, menikmati gejolak dalam dada yang bergemuruh.

Menangis dalam diam. Sakit di hati tercabik begitu dalam.

Rasa haus yang tak kunjung dibasahi, mendadak hilang. Berganti dengan rasa yang entahlah, sulit untuk digambarkan.

"Dia, bahkan ingat dengan ulang tahunku." Aku membungkam mulutku dengan kedua tangan sendiri. Setelah menyadari, ada sepasang mata sedang menatapku penuh curiga.

"Rani?"

"Mas Rahman?" Aku menelan saliva. Apa tadi dia melihatku bersama Devan? Batinku khawatir.

Mas Rahman tergesa menghampiriku. Ia lalu membantu berdiri.

"Kamu kenapa?" Tanyanya khawatir.

"A...aku, haus, Mas," jawabku setengah terbata.

"Kok nangis?" Ia memandang lekat ke dua mataku. Kemudian mengusap sisa air yang tertinggal.

"Mas, huhuhu..." aku meraih pinggul mas Rahman. Memeluknya erat, membenamkan muka di kedua dadanya yang bidang. Menangis sejadi-jadinya.

"Dek, kamu kenapa?" Kudengar suaranya sedikit panik.

Aku tak peduli. Yang kubutuhkan saat ini hanyalah ketenangan darinya.

"Ada apa, dek? Tenang yah, mas selalu ada buat adek," ucapnya mencoba menenangkanku. Bisa kurasakan jemari mas Rahman mengusap-usap punggungku.

Ia lalu melepaskan pelukan. Mendudukkanku di kursi dapur. Mengambilkan segelas air, untuk kemudian ku teguk sampai habis.

Ia menyeret kursi, membaliknya dan duduk menghadapku.

"Kenapa nggak ngebangunin mas?" Tanyanya dengan masih memandang lekat.

"Tadi tidurnya lelap banget, mau bangunin tapi nggak tega," ucapku lirih.

"Ouh nggak tega?" Ia menarik hidungku gemas.

"Udah yuk, balik lagi ke kamar." ajak mas Rahman seraya menarik tanganku.

"Nanti, mas." Tolakku halus.

"Emang kenapa? Masih haus?" Tanyanya memastikan.

"Enggak, ehm... tapi kesemutan," ujarku sambil mengusap betis kanan. Setidaknya menunggu beberapa menit dulu agar bisa kembali berjalan.

Ia lalu celingukan. Menoleh ke kiri dan ke kanan. Seolah mencari sesuatu. Apa ada maling? Tanyaku dalam hati.

Mas Rahman kemudian menundukkan kepalanya. Mengulurkan tangan kiri di bawah lutut ku. Selanjutnya tangan kanan meraih punggung.

"Mau apa, mas?" Tanyaku panik.

"Jangan berisik," ucapnya pelan.

Hah? Dia menggendongku?

"Mas, turunin. Kalo ada yang liat gimana!" Ujarku sambil menengok kiri kanan. Takut kalau ada yang melihat.

"Emang siapa yang mau liat malam-malam gini?" Tanyanya sambil menyunggingkan senyuman.

"Pegangan, biar nggak jatuh." Perintahnya kemudian.

Aku melingkarkan kedua tangan di leher mas Rahman. Mengamati ekspresinya menggendongku. Lucu juga.

Suamiku ini, meski sebulan lebih telah menikah. Masih bisa kudengar degup jantungnya yang berdetak tak beraturan.

"Keliatannya kecil, tapi kok yah berat juga," ujarnya meledek sambil terus berjalan.

"Ish, kangmas!" Aku menepuk pundak belakangnya. Apa aku gendutan?

"Kangmas?" Ia berhenti, kedua alisnya beradu. Saling bertaut seperti sepasang kekasih yang melepas rindu.

"Boleh juga," ucapnya lagi. Kemudian mendekatkan mukanya padaku. Sangat dekat dan mencuri sesuatu disana.

"Mas!" Aku mengerjap, dia masih saja, senang dengan yang namanya tiba-tiba.

"Kan sudah halal." Ia kembali berjalan. Menatap lurus ke depan dan tersenyum menang.

Saat kami di puncak tangga. Dari balik punggung mas Rahman, aku melihat Devan berdiri mendongak ke atas. Memandang lurus kepadaku. Dengan memberi satu garis senyuman.

"Udah turun disini aja, mas." Pintaku begitu kami sampai di depan pintu.

"Ceklek." Mas Rahman membukanya, tak menggubris ucapanku. Dia lalu memandang lekat. Kemudian berbisik, "Dek, mas kangen."

"Ehh..."

* * * * *

Hari berlanjut di iringi berbagai kesibukan yang memadat. Dia, benar menjaga ucapannya. Tak pernah lagi menggangguku, bahkan terkesan cuek jika tanpa sengaja bertemu. Meski ada perasaan lega, tapi juga ada sedikit sungkan padanya.

"Hufft..."

Hari ini aku mengurung diri di kamar. Karena Ibu mertua sedang pergi, ditambah di rumah hanya tinggal berdua dengan Devan.

Aku tak ingin munafik, saat berdua saja dengannya, masih terasa ada desiran halus dalam dada. Meski dia tak lagi menggangguku. Tapi yang namanya hati, entahlah. Mungkin karena dulu aku terlalu mengharap lebih.

Senyumannya tadi pagi. Saat ia di bawah anak tangga dan melihatku bersama mas Rahman. Entah mengapa membuat hatiku tercubit, sakit.

"Aaaargh!" Aku menutup muka dengan bantal. Seharian berbaring di kamar saja, rasanya lumayan membosankan.

Mas Rahman juga, kalau sudah bekerja jarang sekali mengirimiku pesan. Terkadang ada sisi dimana seorang istri sangat butuh diperhatikan. Meski hanya sebaris pesan.

Mencoba terpejam, tapi masih jam sembilan pagi. Gelisah, ingin shalat dhuha tapi tamuku datang sejak jam enam pagi tadi.

Akhirnya aku beringsut menuruni ranjang. Berjalan santai menghampiri laci meja rias. Teringat sebuah benda yang belum juga kubuka. Benda pemberian Devan.

Entah mengapa, perhatian kecil seperti ini saja membuatku selalu terbayang. Dan hati ini, seolah kembali memberi pengharapan lebih. Sungguh tidak sinkron antara hati dan pikiran!

Ku amati benda di tanganku ini. Sebuah kotak kecil dengan balutan kain berwarna putih. Di sekelilingnya terdapat pita emas yang melingkar.

"Benda ini." Pikiranku menerawang, teringat akan sesuatu. Ingin membukanya, tapi ada perasaan takut juga.

Takut jika kemudian memori lama kembali teringat. Tapi, ini juga hadiah.

Buka?

Enggak?

Buka?

Enggak?

Buka!

"Ctak," sebuah benda mungil berkilau di sana. Cincin emas dengan ukiran hati sepasang, bermata putih di setiap pinggiran.

Cincin ini, pemberian mamah Devan yang dulu sempat kutolak. Kembali ada rasa sakit yang mendera.

Memori melesat pada empat tahun silam. Di sebuah ruangan, ada mbah kakung, Devan, dan juga kedua orang tuanya. Saat itu mereka menjadi saksi ucapan Devan. Jika ia serius ingin menjalin hubungan denganku.

"Aku belum siap," kataku mencoba menolak meski hati berkata ingin menerima. Ah, munafiknya aku!

Tampak gurat kecewa di wajah Mamah Devan.

"Nikahi aku setelah selesai kuliah nanti. Dan mas Devan sudah lebih sedikit dewasa." Aku mencoba berkompromi. Bukan menjalin hubungan.

"Cincin ini, nanti yah kalau benar sudah mau nikah." Ucapku pada mamah Devan.

Pemuda itu tersenyum girang. Bahkan ia lupa bahwa kondisi badannya belum benar pulih. Kenangan itu, sempat membuatku terbang melayang. Andai dulu tak melibatkan hati, mungkin tak sampai sesakit ini.

Aku kembali terisak.

"Kenapa kau tidak pernah membalas surat-suratku?" Suara Devan kembali terngiang.

Surat? Surat yang mana? Aku mengusap kedua mataku yang basah.

"Bukannya kamu yang nggak ngasih penjelasan? Setahun lebih nggak ada kabar! Menghilang bagai di telan bumi! Dan kini datang sebagai iparku!!" Aku berteriak menatap cermin. Bayangan wajah Devan terlihat jelas di sana.

Degh,

Otakku kembali berfikir. Apakah aku egois selama ini? Dia juga tak pernah memberi penjelasan kenapa dia menghilang.

"Drrrrttttt...drrrrrtttttt..." gawai bergetar membuyarkan bermacam fikiran.

Kulihat nama ibu yang memanggil.

"Hallo assalamualaykum," sapaku duluan.

"Wa alaykumussalam warahmatullah wabarakatuh," jawab ibu dari seberang.

"Nduk," terdengar suara ibu sedikit terisak.

"Iyah ibu, ada apa?"

"Ibu ada di desa. Rumah bibimu." Jawabnya kembali seperti menahan suara tangis.

"Ibu kenapa menangis?" Aku mulai panik. Hatiku memberi sinyal seperti ada yang tidak beres.

"Bibi sama Malika kecelakaan nduk,"

"Hah, apa? Trus gimana sekarang?"

"Bibi meninggal, Malika kritis di rumah sakit." Suara ibu terbata. Ada serak juga disana.

"Tut...tut...tut..."

"Hallo, ibu.. hallo?"

Tak ada jawaban. Sambungan terputus.

"Mas Rahman, cepatlah pulang."

* * * * *

Mobil fortuner putih milik Devan membelah kegelapan malam. Arus kendaraan yang tidak terlalu padat, membuat mobil melaju begitu mulus tanpa hambatan.

Sesekali kedua mata kami bertemu, dari balik kaca depan kemudi.

Mas Rahman pulang terlambat, katanya dia nanti akan menyusulku kerumah sakit. Tapi aku menolak jika harus berdua dalam mobil dengan Devan. Karena bukan mahram.

Akhirnya rela berangkat malam-malam. Dan mas Rahman terlelap dalam pangkuanku sepanjang perjalanan. Dia kelelahan.

"Kerumah sakit apa langsung ke desa?" Tanya Devan membuka suara.

"Kerumah sakit dulu. Memastikan keadaan Malika." Jawabku seperlunya.

Duhai, kenapa hatiku menjadi begini. Sejak dua tahun terakhir memang aku tak bertemu dengan Malika. Juga ibu tak pernah mengajakku ke rumah mbah Kakung. Setelah Mbah meninggal, sempat terjadi cekcok antar keluarga. Hanya karena harta warisan, saudarapun bisa bermusuhan.

Aku menghela nafas perlahan. Mobil ini membuatku sesak, ada sebaris kenangan yang tersimpan.

Mobil menepi menuju halaman parkir rumah sakit soetomo. Aku langsung menuju resepsionis, meminta informasi terkait kamar inap Malika. Sepanjang jalan mas Rahman menggenggam tanganku. Memberiku semangat agar aku kuat.

Ada sebuah hubungan kasih sayang yang terbentuk karena terbiasa bersama-sama. Aku dan Malika sudah seperti saudara sendiri. Dari kecil kami memang tinggal bersama. Dia sudah kuanggap seperti adik kandung sendiri. Sungguh, aku sangat khawatir padanya. Bagaimana jika dia tau, Bibi telah berpulang? Allah, kuatkanlah dia.

Mas Rahman menemaniku masuk ke dalam ruangan. Sedangkan Devan, menunggu di bangku depan ruangan.

Bangsal malika terletak di ujung, dia sendirian. Tergolek lemah dengan perban melilit kaki dan kepalanya.

"Malika?" Aku menatapnya. Dia ternyata belum tidur.

"Rani?" Sahutnya tak percaya. Tak lama kemudian tangisnya pecah saat aku tiba di sampingnya.

Aku menoleh ke arah mas Rahman. Dia lalu mengangguk dan berlalu meninggalkan ruangan.

"Rani, ibu? Ibu...?" Suaranya terbata. Ia masih dengan tangisnya. Semakin terdengar pilu juga tidak tega.

Aku mencoba menenangkan. Lama ia tergugu. Sampai akhirnya dia terlelap dalam tangisan. Malika, sungguh malang. Dalam kondisi seperti ini, tak satupun sodara di desa yang mau menemaninya. Sibuk mengurus pemakaman bibi. Dan acara hari-hari setelahnya. Kadang aku merasa heran, mereka yang ditmpa kehilangan harus mengeluarkan banyak uang untuk sekedar kirim doa bagi sang mayit. Berhari-hari sampai akhirnya meninggalkan hutang. Sedih, miris, tapi mereka menganggapnya sebagai tradisi. Oh, ayolah harusnya yang kehilangan yang butuh di beri banyak santunan.

Setelah Malika terlelap aku berjalan meninggalkan ruangan. Sepertinya aku harus menginap sampai ada saudara yang meggantikan.

Kulihat mas Rahman sedang tiduran di bangku tunggu. Sedangkan Devan, berdiri bersandar dinding rumah sakit. Ia memasang headset di kedua telinganya. Sesekali mengusap layar gawai.

"Mas," panggilku pada mas Rahman. Dia gelagapan. Seperti seorang maling yang ketahuan.

"Iyah, kenapa dek?" Tanyanya.

"Aku nginep disini dulu yah, Malika sendirian. Kasihan." Ucapku meminta izin.

"Tapi, besok mas harus berangkat pagi-pagi." Jawabnya tidak enak.

"Nggak papa, Mas pulang dulu yah sama Devan. Besok kesini lagi," tawarku.

Mas Rahman menoleh ke arah Devan, lelaki itu masih saja sibuk dengan gawainya.

"Kenapa, Mas?" Tanyanya polos. Ish, pura-pura ketusku dalam hati.

"Mas mau minta tolong, Devan anterin mas pulang. Terus balik kesini nemenin mbak Rani." Terang mas Rahman.

Hah?

"Mas!" Aku sedikit membentak. Bagaimana mungkin mas Rahman menyuruh Devan menemaniku. Mendingan juga sendiri.

"Nggak usah ih, aku sendiri aja yah," rengekku meyakinkan.

"Dek," panggilnya seraya meraih genggaman tanganku.

"Mas nggak mau Rani disini sendirian. Toh Devan juga sodara Mas. Mas percaya dia bisa jagain Rani."

Degh

Kenapa mendadak aku takut mas Rahman pergi. Dan kalimatnya, mengapa juga harus seperti itu. Seolah hendak pergi jauh.

"Besok pulang kerja, mas janji langsung kesini," ucapnya kemudian mengelus puncak hijabku pelan.

Aku mengangguk pasrah. Bagaimanapun aku juga tidak bisa meninggalkan Malika. Bagaimana kalau besok dokter yang meriksa datang nanyain keluarganya.

"Setuju, Van?" Tanya mas Rahman pada Devan. Sepertinya dari tadi juga dia menyimak.

Ia lalu menggabungkan telunjuk juga jempolnya. Membentuk bulatan sempurna.

"Ok!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!