Tidak ada manusia yang mau patah hati, termasuk Nevandra Ardiona. Bahkan, butuh waktu lima tahun untuk membiarkannya bertunas dan tumbuh kembali. Fase membenci diri sendiri bahkan sudah ia lalui. Ia benci karena dirinya terlalu bodoh, hingga tidak tau apa yang terjadi dan dicampakkan begitu saja.
Hari ini hari pertama kepulangan Nevan ke Indonesia sejak lima tahun terakhir. Sebenarnya, jika bisa ia tidak ingin pulang meski sudah lulus kuliah dua tahun yang lalu. Jika bukan karena perusahaan tempatnya bekerja yang memintanya mengurus cabang perusahaan di Indonesia mungkin dia juga tetap tidak akan kembali. Baginya, Indonesia adalah luka.
Nevan menggeret kopernya keluar dari bagian kedatangan dan mendapati seorang wanita tengah melambai padanya dengan begitu ceria.
Wanita itu Shanessa. Seorang gadis manis berkepribadian ceria yang selama dua tahun ini menjalin hubungan dekat dengan Nevan. Ya, hubungan dekat yang entah apa namanya.
Cinta bagi Nevan adalah sebuah rasa yang dulu sempat ia miliki, namun kini sudah tak bersisa lagi.
Shanessa juga tidak peduli, meski Nevan tidak pernah menyatakan cinta padanya. Toh, mereka bukan lagi ABG yang butuh sesi tembak-menembak untuk menjalani hubungan serius.
Nevan berjalan mendekati Shanessa dan mengulas senyum tipis setelah melepas kacamata hitamnya. Laki-laki tampan itu memang minim ekspresi dan lagi-lagi Shanessa tidak peduli.
"Selamat datang di Indonesia, Sayang!" Shanessa merentangkan tangannya dan langsung menghambur memeluk Nevan dengan penuh kerinduan, hingga membuat Nevan sedikit membungkukkan badan. "Aku kangen," bisik Shanessa manja.
Tidak akan ada balasan romantis yang diterima Shanessa dan dia sudah terbiasa dengan itu.
"Sudah lama?" tanya Nevan setelah pelukan dikendurkan.
"Lumayan. Aku bangun subuh demi kamu," balas Shanessa sembari mengerling, lantas dengan cepat mengamit lengan kekar Nevan dan berjalan bersama menuju tempat parkir.
"Aku aja yang ngetir," ujar Shanessa ketika Nevan meminta kunci mobil.
Nevan menggeleng. "Mengemudi itu bagian laki-laki," balasnya ringan, lantas mengambil kunci mobil yang berada digenggaman Shanessa begitu saja.
Tubuh Shanessa membeku. Sentuhan ringan begitu saja sudah mampu menciptakan rona di pipinya, hingga membuat degup jantungnya makin tidak karuan.
"Mau masuk atau kita duduk-duduk dulu di parkiran," goda Nevan dan Shanessa langsung membuka pintu mobil dengn senyum-senyum tidak jelas.
Nevan tergelak melihat tingkah Shanessa. Dia mulai memutar kunci dan mengemudikan mobil APV hitam tersebut dengan begitu mahir, keluar dari pelataran parkir.
Shanessa dari tadi masih menunduk, setidaknya sampai dirasa pipinya tidak lagi memanas. Beruntung, ponselnya berdenting dan dengan cekatan ia mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Seketika ia lupa dengan drama malu-malu kucingnya ketika membaca kabar yang baru dibacanya dari grup kelas.
"Wah! Manda mau nikah," pekiknya dengan mata yang melebar. Karena sadar Nevan tidak mengenal Manda, maka Shanessa mulai menjelaskan dengan antusias, "Manda itu teman sekelasku. Dia belum lulus, tapi udah mau nikah aja."
Nevan mengangguk.
"Iri ... Iri ...." rengek Shanessa. Matanya masih fokus menatap layar ponsel di tangannya dengan senyum sumringah.
"Kamu mau nikah juga?"
Pertanyaan Nevan yang tiba-tiba tersebut, membuat Shanessa langsung menoleh.
"Emang kamu mau?" tanya Shanessa ragu.
Ada sebersit kepahitan yang terpancar di sorot mata Nevan setiap kali membicarakan tentang pernikahan dan akhirnya ia hanya tetap membisu.
"Aku sadar. Selama ini kamu belum pernah mengatakan perasaanmu padaku," ucap Shanessa mencoba tersenyum. "Aku pernah bilang, kalau ada perempuan yang dekat denganmu, aku akan mundur. Dan nyatanya, nggak ada. Jadi, aku merasa ... kamu memberiku kesempatan."
Shanessa menunduk lagi. Kali ini bukan karena malu-malu, namun demi menutupi wajahnya yang sudah bersiap mau menangis.
Nevan menghela napasnya dalam. Dia sadar, sudah membuat Shanessa terjebak dalam ketidakpastian. Perlahan, tangan Nevan yang sedari tadi menggenggam kemudi, kini terulur dan mengusap pelan puncak kepala Shanessa.
***
Shanessa menatap Nevan bingung karena mobil yang dikendarai calon CEO salah satu perusahaan retail di Jakarta ini justru menuju ke arah rumahnya, bukan rumah Nevan.
"Loh, kok malah ke rumahku?" cetus Shanessa bingung.
Nevan menoleh. Selama perjalanan, mereka diam tanpa bicara. "Katanya mau dilamar?"
Shanessa membulatkan lebar matanya. Tangannya sampai terangkat menutupi mulutnya yang ikut mengangga.
Mobil berhenti dan terparkir di perkarangan luas kediaman Ardiwinata. Pemilik rumah mewah ini nampaknya memang begitu menyukai tanaman karena hampir di seluruh sisi rumah dikelilingi oleh tanaman yang menyegarkan mata.
"Jadi demi menjemputmu, cucuku yang pemalas ini rela bangun pagi?"
Begitulah cara Darya Ardiwinata menyambut Nevan dan Shanessa yang baru saja keluar dari mobil, membuat sang cucu terlonjak kaget.
"Aku kira kakek masih tidur," ringis Shanessa. Kemudian, ia menghambur memeluk sang kakek yang masih memegang selang penyiram tanaman.
"Pagi-pagi buta mengendap-endap keluar rumah, apa kamu kira kakek nggak tau?" Ujar sang kakek pura-pura sebal.
Shanessa menatap kakeknya takjub. "Aku menyerah." Dia mengerucut bibirnya lucu, lalu melanjutkan, "Aku memang nggak pernah bisa nyembunyiin apapun dari kakek."
Kakek dan Nevan tergelak bersama. Shanessa memang manja dan ceria.
"Hai, Nevan."
Nevan tersenyum sopan, lantas meraih tangan kakek dan menciumnya. Kuliah di luar negeri tidak membuat Nevan melupakan budayanya.
"Kakek, apa kabar?"
"Baik-baik saja andai pacarmu ini bisa mengurangi tingkahnya."
Mendengar ucapan kakek barusan membuat Shanessa mengerucutkan bibirnya lagi.
Nevan melirik Shanessa, lalu mengulas senyum tipis. "Kakek jauh terlihat lebih bersemangat sekarang."
"Jelas, dong. Kakek sudah menemukan soulmate-nya," ucap Shanessa sambil mendekatkan bibirnya ke telinga Nevan, pura-pura berbisik.
Mendengar itu Nevan jadi sedikit kikuk. Dia baru tahu kabar ini. Setahunya dulu Darya Ardiwinata memang seorang duda.
"Ah! Kamu ini. Nevan jadi salah paham, tuh." Darya buru-buru protes ketika melihat reaksi canggung pemuda jangkung itu.
Kali ini Shanessa yang terbahak. Ia juga geli melihat respons salah tingkah Nevan yang salah paham dengan maksud ucapannya.
Nevan yang merasa telah salah memberi reaksi, langsung memaksa tawa. "Itu kabar baik, kan?"
Kakek mendecih, lalu mencubit pinggang cucunya, hingga tawa Shanessa makin menjadi. "Cepat kamu luruskan kesalah pahaman ini," ujar Darya gemas.
"Bukan gitu, kamu salah paham. Lain kali, deh, aku ceritain. Ah, enggak! langsung aku kenalin, deh sama soulmate kakek," jelas Shanessa masih berusaha menahan tawa.
Nevan mengangguk, lantas mengusap tengkuknya sendiri.
Emang kenapa kalau kakek menikah lagi? Jodoh nggak memandang usia, kan? pikir Nevan.
"Om Ardiman mana?" tanya Nevan mencoba mencari topik baru. Dia menolehkan kepalanya ke arah rumah.
"Papa keluar kota dua minggu. Eum, tiga hari lagi pulang."
"Sepertinya kamu udah nggak sabar mau meminta Shaness pada papanya, ya?"
Mendengar ucapan Darya barusan, membuat Shanessa menoleh cepat, lantas menatap kakeknya gemas. Kemudian, ia mengeratkan pelukan pada orang tertua di keluarganya itu lagi, malu-malu.
"Nggak usah malu-malu. Memangnya akhir apa lagi yang akan terjadi pada kalian selain menikah?"
Nevan diam saja. "Sebelum menentukan akhirnya. Ada yang harus aku beritahukan dulu," ucap Nevan serius.
Nevan sudah mulai bekerja dan Shanessa menyempatkan diri datang untuk makan siang bersama. Padahal pukul 12.15 WIB nanti ada jadwal kuliah dan Shanessa sama sekali tidak khawatir terlambat. Ya, baginya kuliah memang tidak terlalu penting.
Mereka memilih makan di kantin kantor bersama rekan-rekan baru Nevan, setelah itu memutuskan duduk di kursi taman sambil berbincang.
Sejak tadi Shanessa cekikikan saja. Ia benar-benar tampak bahagia sejak kepulangan Nevan.
Bahkan ketika Nevan baru menceritakan sepenggal kisah dan Shanessa langsung menyambutnya dengan ledakan tawa.
"Ini nggak lucu, loh," protes Nevan akhirnya.
"Ah, masa. Temanmu memilih jurusan karena takut pada ayahnya itu lucu, Sayang."
Nevan mendengkus, lalu tersenyum geli. Kemudian, ditatapnya Shanessa dalam. Sebenarnya apa kurang gadis itu? Selama ini Shanessa sudah membanjirnya banyak cinta tanpa tuntutan.
Shanessa yang ditatap demikian, sontak menjadi salah tingkah. Terlebih ketika Nevan meletakkan sebelah telapak tangannya ke atas kepala Shanessa, lalu perlahan turun menutup mata sang kekasih. Tangannya yang lebar dan hangat membuat Shanessa mulai memejamkan mata.
Nevan melakukan hal itu cukup lama, hingga Shanessa berujar menggoda, "Aku kira akan ada adegan drama korea."
Mendengar ucapan Shanessa tersebut, Nevan langsung terkekeh pelan. Ia menarik tangannya dari mata Shanessa, kemudian berkata, "Aku nggak pernah nonton drama Korea, sayangnya."
Shanessa mengerucutkan bibirnya, kemudian teringat sesuatu. "Sebenarnya, mau ngomong serius apa sama papa?"
"Sama kakek juga," ralat Nevan.
Shanessa mengangguk, kemudian memicingkan matanya. "Harusnya ngasih tau aku dulu nggak, sih?"
Nevan diam saja. Ia menengadahkan kepalanya menatap langit yang mulai meredup. Membiarkan sepoi-sepoi angin menyapu wajahnya.
Shanessa masih menatap Nevan berharap jawaban, lantas ditariknya ujung lengan kemeja pria itu. Membuat Nevan menyerah juga.
Akhirnya Nevan memutar tubuh dan menatap Shanessa lekat. "Akan aku beritahu disaat bersamaan, dan ...." Nevan menggantungkan kalimatnya, tatapannya semakin dalam ketika melanjutkan, "Semua keputusan aku serahkan kepadamu."
***
Seorang pria berusia 40 tahunan dengan kacamata yang membingkai sepasang matanya menghela napas lelah ketika keluar dari mobil APV hitam. Sudah dua minggu ini dia tidak pulang ke rumah dan mondar-mandir mengurus bisnisnya di Kalimantan. Dia menyusuri rerumputan yang melapisi halaman rumah dengan langkah gontai.
Di belakangnya mengekor seorang gadis berkulit putih pucat dengan rambut ikal sebahu. Alis yang merambat rapi secara alami, membingkai apik matanya yang kecil, namun mampu mengintimidasi.
Ditambah lagi, hidungnya yang mungil dan mancung cukup mampu membuat para lelaki betah lama-lama menatapnya dan ingin mencubitnya gemas. Nama wanita itu, Gantari Dihyan Irawan.
"Gantari, semua berkas kasih sama pada Pak Surya aja. Besok kamu libur dulu. Tubuh Om aja rasanya sudah remuk begini," sang paman mengerling, menatap singkat sang keponakan yang masih berjalan di belakang.
Gantari mengangguk pelan. Menjadi asisten sang paman lebih dari setahun ini membuatnya terbiasa cekatan.
Ia masih berjalan sembari menjinjing tas yang berisi setumpuk berkas yang pamannya maksud menuju ke dalam rumah.
"Pa!"
Shanessa berlari dari dalam dan menghambur memeluk pria yang merupakan orang tua tunggalnya.
"Perginya lama banget," ucapnya di sela pelukan sang ayah.
Ardiman terkekeh. Dikecupnya puncak kepala putri semata wayangnya itu sayang.
"Baru dua minggu."
Shanessa cemberut. Ia melonggarkan pelukan dan menatap ayahnya lembut, "Aku kangen papa."
Ardiman Ardiwinata membulatkan matanya, kemudian menoleh pada Gantari, "Apa kemarin dia meminta oleh-oleh?"
Pertanyaan itu hanya dibalas senyum tipis oleh Gantari. Kemudian, Shanessa buru-buru mencubit pinggang sang ayah hingga tertawa renyah. Mendadak ia lupa dengan rasa lelah yang dikeluhkannya tadi.
Ayah dan anak itu kemudian memasuki rumah dengan canda tawa. Segala kabar langsung Shanessa ceritakan tanpa jeda.
Di belakang, Gantari hanya menatapnya dengan senyum tipis. Raut wajahnya mendadak berubah sendu. Dia juga merindukan ayahnya.
***
Nevan mengembuskan napasnya dalam. Pagi ini Shanessa memberi kabar jika sang ayah sudah pulang dan sekarang dia sedang bersiap untuk menemuinya.
Kemeja polos berwarna biru langit dengan celana chino nutella yang membungkus tubuhnya sudah membuat Nevan tampak begitu formal. Ditambah sepatu pantofel berwarna cokelat gelap dan rambut yang disisir super rapi membuatnya benar-benar terlihat kaku. Sejak kapan ini menjadi stylenya? Entahlah.
Nevan menekan bel dan langsung disambut senyum tersipu Shanessa. Shanessa tampak cantik dengan dress berwarna peach selutut. Rambutnya ia biarkan tergerai hingga menyentuh punggung. Dia cantik dalam kesederhanaannya.
"Ayo, masuk," ajaknya sumringah.
Nevan melangkah masuk sesuai instruksi. Di dalam, rupanya Kakek dan Ayah Shanessa sedang menikmati teh pagi mereka.
"Selamat pagi." Nevan menyapa, kemudian menghampiri secara bergantian untuk mencium tangan mereka
Kakek mengangguk ringan, lantas menepuk sisi sofa di sampingnya, sebagai kode agar Nevan duduk disana.
"Ini dia yang tidak sabar menunggu kepulangan mu," ucap Darya Ardiwinata, sang tetua keluarga.
Ardiman tersenyum menanggapi. Dia memanggil Shanessa agar ikut duduk di sampingnya.
"Kenapa jadi tegang begini, ya?" celetuk Shanessa yang disambut tawa renyah dari Darya dan Ardiman. Berbeda dengan Nevan yang sedang membulatkan tekad untuk menyampaikan hal yang ia maksud kemarin.
Nevan pernah terluka. Dia sendiri saja masih ragu, apa luka itu sudah sembuh atau belum. Hatinya pernah patah, dan dia juga tak tau apa patahan itu sudah bertunas kembali atau belum.
Wanita masa lalunya yang selama ini sengaja ia kubur dalam-dalam kini ingin ia buka. Meski sakit, meski harus tertatih, tetapi harus. Karena dia sudah memutuskan membuka lembaran baru dengan Shanessa dan semua harus dimulai tanpa kebohongan.
"Ada hal yang ingin saya sampaikan pada Shanessa, Om, dan Kakek," mulai Nevan. Belum apa-apa dadanya sudah sesak. Belum apa-apa otaknya sudah penuh dengan kilasan kusut masa lalu.
Maka itu dia terdiam sesaat, mencoba mengumpulkan keberanian, kemudian melanjutkan, "Saya ingin memiliki hubungan yang lebih serius dengan Shanessa, jadi ...."
"Tunggu sebentar! Ada satu anggota keluarga Ardiwinata lagi yang belum ada disini," potong Shanessa cepat.
Ia ingin kabar bahagia ini disaksikan langsung oleh semua anggota keluarga. Kemudian, tanpa menunggu lagi, Shanessa beranjak dan dengan sedikit berlari menaiki anak tangga.
Nevan mengembuskan napasnya pelan. Dia menunduk menatap tangannya yang berada di atas paha. Hanya kamuflase saja.
"Anak itu kapan seriusnya?" kekeh sang ayah sembari menatap Shanessa yang masih berlari tanpa dosa.
Nevan tersenyum. Ia hanya diam selama kepergian Shanessa.
"Ini dia! Serius, aku lupa memperkenalkan kalian." Suara Shanessa menyeruak lagi, membuat Nevan mengangkat kepala dan menoleh ke arah sumber suara.
"Dia sepupuku ... Gantari."
Deg! Nevan merasa jantungnya berhenti berdetak. Disana ia melihat Shanessa yang sedang tersenyum dan seorang gadis lainnya yang sama sekali tak berniat menatapnya.
Nevan tidak langsung merespons. Dia masih terdiam cukup lama. Memandang keduanya dengan tatapan tidak terbaca.
Mendadak wajah Nevan berubah makin suram saja. Berkali-kali ia memalingkan wajahnya, tak lagi menatap ke arah Shanessa.
Gantari mengambil alih pembicaraan. Ia berdeham memecah kecanggungan, lantas pamit mau pergi.
"Mau kemana, Gantari?" Ardiman mengamati pakaian Gantari, kemudian mengernyit. "Liburlah dulu. Istirahat."
"Ada hal mendesak harus diselesaikan," balas Gantari singkat.
Ardiman mendengkus. "Lihat, Ayah! Cucumu gila kerja sekali."
Cucu? Pikiran Nevan berkecamuk.
Kakek tergelak. Kemudian mengangguk bangga. Sedangkan, Gantari tak banyak bicara lagi, dia hanya mengangguk hormat kemudian pergi begitu saja.
Sejak kepergian Gantari, hening kembali menguasai karena tidak ada yang bersuara. Termasuk yang ditunggu pengakuannya. Hingga, akhirnya Shanessa menyentuh pundak Nevan hati-hati.
"Sayang?"
Nevan tersentak. Dia tampak gelagapan, namun kemudian bisa segera mengendalikan diri. Tubuhnya membungkuk dengan kepala tertunduk. Sesaat dia menatap kosong tangannya yang bertaut erat.
Akhirnya Nevan menarik napasnya dalam. Pengakuan ini tidak boleh ditunda lagi. "Aku ....," ia menjeda ucapannya, tampak mengumpulkan keberanian, baru kemudian melanjutkan, "Sudah pernah bercerai sebelumnya."
Nevan berdiri dan mengangguk hormat untuk sekedar pamit, lantas berlalu cepat dari sana. Pikirannya kacau, hatinya kembali berantakan.
Kenapa di saat ia ingin membuka hati, sang mantan istri justru muncul kembali?
Dia ... Gantari Dihyan Irawan.
Sekarang tak perlu lagi bicara soal cinta. Toh, kata orang, rasa sayang lebih agung ketimbang cinta. Biarlah sayang saja yang menghiasi hidup ini, karena kalau cinta ikut campur hidup bisa hancur hingga mati rasa, seperti Nevan.
***
"Aku sudah pernah bercerai sebelumnya."
Deg!
Shanessa melebarkan matanya tak percaya, mulutnya hendak memaksa tawa dan menganggap semua ini lelucon, namun melihat raut Nevan, mendadak suaranya menyangkut di kerongkongan.
Begitu pula Ardiman dan Darya, mereka sama terkejutnya mendengar pengakuan Nevan barusan. Sebuah fakta yang tidak pernah terbayang sebelumnya.
"Apapun keputusannya aku serahkan padamu dan keluarga," lanjut Nevan pelan, lalu mendongak menatap Shanessa dalam. "Maaf karena baru memberitahukannya sekarang," ucapnya sungguh-sungguh.
Nevan beranjak dan pamit pulang. Meninggalkan wajah-wajah linglung, terlebih Shanessa. Nevan tahu Shanessa sangat terluka, tapi ia juga sedang sama kacaunya.
***
Hingga malam, Shanessa tidak juga berhenti menangis, membuat sang ayah dan kakek kalang kabut. Ia masih tidak habis pikir dengan apa yang didengarnya hari ini. Merasa malu dan dibodohi.
"Sudahlah, Shanessa." Ardiman mengusap pelan rambut sang putri yang masih bergelung di dalam selimut. Sesegukan terdengar dari sana.
Shanessa bangkit dengan hidung merah dan mata sembab. Seketika kepalanya terasa pening. "Sekarang aku harus gimana, Pa?" tanyanya putus asa.
Ardiman menghapus air mata Shanessa yang masih mengalir. Hatinya juga sakit melihat Shanessa begini.
"Semua keputusan ada di tanganmu. Sama seperti yang Nevan bilang." Ardiman menarik napasnya pelan, lantas dengan bijaksana berkata, "Papa secara pribadi menghargai pengakuannya."
"Dia membodohiku dua tahun," ucap Shanessa getir.
"Kita nggak tau, apa aja yang udah dia alami. Bukan hal mudah untuk mengungkapkan masa lalu yang nggak menyenangkan, Sha."
Shanessa menunduk. Ia mencengkram ujung bajunya, hingga buku-buku jarinya memutih.
"Akan lebih menyakitkan kalau dia memberitahumu setelah menikah."
Perkataan Ardiman barusan membuat Shanessa mengangkat kepalanya.
"Tapi, semua keputusan tetap ada di tanganmu, Sayang. Kalau masih terasa berat, lepasin aja."
Mendengar ucapan Ardiman barusan justru membuat Shanessa mengeraskan tangis. Pilihan kedua terdengar begitu menakutkan baginya.
Di kamar sebelah, dalam diam Gantari mendengarkan percakapan ayah dan anak itu. Ia termenung, lalu menutup pintu kamarnya dan mematikan lampu.
***
Nevan memandang langit pagi yang tidak kepalang cerah dari balkon rumah. Kopi yang disediakan Bi Murni, belum juga ia sesap.
Ia menghela napas panjang, lalu mengembuskannya secara kasar. Pikirannya tak karuan sejak kemarin, mendadak selera melanjutkan hidup kembali redup.
Ponselnya berdering dan terpampang nama Shanessa disana. Gadis yang ia sakiti dengan sengaja. Bukan karena pengakuan kemarin, tapi lebih dari itu.
...****************...
Disalah satu meja di sebuah kafe yang di atasnya hanya dihuni oleh secangkir kopi dan segelas jus jeruk lantaran si pelanggan tak selera makan, sepasang manusia diam saja sejak bertemu. Hingga, Shanessa mengalah dan membuka suara duluan.
"Punya anak?"
"Enggak."
Diam-diam Shanessa lega juga. Semalaman dia memikirkan itu. Rasanya jauh lebih sakit ketika mendengar Ardi memintanya untuk melepaskan Nevan, ketimbang mendengar pengakuan pria itu dua hari yang lalu.
"Kapan?"
"Enam tahun yang lalu. Saat usiaku 18 tahun."
Menikah diusia muda dan bukan karena MBA? pikir Shanessa.
"Berapa lama?"
"Tujuh bulan." Nevan terus saja menjawab pertanyaan Shanessa dengan suara dan raut datar.
"Apa masih ada rahasia lain, selain ini?" Shanessa menatap lekat Nevan. Matanya masih menyisakan luka.
Kali ini Nevan tak langsung menjawab. Dia membalas tatapan Shanessa sejenak, kemudian mengangguk pelan.
"Tapi, aku belum bisa memberitahumu."
Nevan tahu, Shanessa tengah kecewa. Tapi tidak mungkin, kan, dia bilang kalau mantan istrinya adalah ... Gantari, sepupunya sendiri.
***
"Ini udah lebih lima tahun dan kamu masih terus membawa makanan setiap berkunjung." Lelaki muda berkulit putih dengan jas putih, memandang Gantari dari seberang ranjang rawat. Di atas ranjang itu, terbaring seorang wanita setengah baya dengan mata terkatup lengkap dengan napas ritme lambannya.
"Bisa aja suatu saat nanti, waktu aku datang, ibu siuman." Mata Gantari masih menyorot sendu pada wajah wanita yang merupakan ibu kandungnya. Tangannya juga cekatan membersihkan tangan wanita yang masih cantik diusianya itu dengan kain basah.
Farez, si lelaki tampan yang juga seorang dokter itu tersenyum menanggapi. Rasanya kata salut saja tak cukup untuk mewakili perasaannya pada gadis hebat di hadapannya.
"Dokter atau perawat yang mewakili memakan makanan ini aja, sudah lebih dari cukup," lanjut Gantari sembari melemparkan senyum tipis yang sukses membuat Farez gelagapan.
"Perawat nggak pernah kebagian, Gantari. Dokter Farez selalu ngabisin tanpa sisa." Seorang perawat wanita ikut menimpali di sela konsentrasinya memasang infus.
Gantari tersenyum lagi.
"Aku pernah ngasih kalian!" bantah Farez kemudian.
"Benar, cuma sekali. Itu juga karena dokter harus dinas keluar kota."
Dokter Farez mengingat lagi dan memang benar. Sekarang dia hanya menggaruk tengkuknya salah tingkah, membuat Gantari dan perawat tertawa renyah.
***
Setelah klarifikasi tadi, Nevan mengantar Shanessa pulang. Sepanjang perjalanan tidak dilalui dengan pembicaraan hangat seperti biasa. Suasana masih canggung, meski tadi Shanessa bilang, dia menerima masa lalu sang kekasih.
"Aku langsung pulang, ya." Nevan membuka obrolan sesampainya mereka di depan pagar rumah keluarga Adiwiyata.
Shanessa tak banyak bicara. Semua masih kacau dan dia sendiri bingung bagaimana cara memperbaikinya. Lagi pula, kenapa juga dia yang harus memperbaiki?
Jadi, Shanessa mengangguk saja, mengiyakan ucapan Nevan barusan.
Tok. Tok. Tok.
Kaca jendela mobil diketuk, membuat Nevan dan Shanessa menoleh ke sumber suara. Mereka hampir terlonjak ketika mendapati Ardiman sebagai pelakunya sedang nyengir lebar dengan pakaian training warna oranye.
Nevan buru-buru membuka pintu dan beranjak keluar mobil. Dia langsung menyapa dan mencium tangan sahabat orang tuanya itu.
Inilah yang menjadi nilai istimewa Nevan Dimata Ardiman. Sikap sopan yang tak lagi dimiliki banyak anak muda.
"Ayo masuk!" ajak Ardiman sambil menepuk pelan pundak Nevan. Kemudian, melangkah pergi meninggalkan Nevan yang belum sempat menolak.
***
Ardiman berhasil menahan Nevan dengan obrolan bisnis hingga malam dan mau tidak mau Nevan juga harus makan malam disana. Makan malam dilalui dengan cengkrama hangat antara Darya dan Shanessa. Sisanya hanya menjadi penonton saja.
Bi Sumi dan Bi Tarti menghidangkan makanan utama. Ardiman menyorongkan sepiring cumi asam manis dengan irisan tomat dan timun di dalamnya pada Nevan yang disambut Nevan dengan anggukan sungkan.
"Gantari mana?" Darya yang awalnya asik ngobrol dengan Shanessa mulai menoleh pada Bi Sumi. Bi Sumi memasang wajah bingung, lantas melirik Bi Tarti yang juga menggeleng tak tahu.
"Ini hari Minggu, Ayah." Ardiman mengambil alih, lalu memberi tanda agar kedua ART itu pergi. "Gantari pergi seperti biasa," lanjutnya.
Darya menoleh lagi, melihat jam besar yang bertengger di ruang tengah, lantas mengernyit.
Ardiman dengan sigap menjawab lagi. "Dua minggu kemarin dia sudah bekerja keras." Ia tersenyum tipis, baru melanjutkan, "Jadi, ku beri izin hari ini untuk dia menginap."
Shanessa tegang. Ia menatap sang kakek was-was, menunggu reaksi dari ucapan Ardiman barusan. Tapi rupanya, Darya tidak membalas. Dia diam saja meski wajahnya terlihat mengeras. Kemudian, Darya melanjutkan makannya, membuat Ardiman dan Shanessa mengembuskan napas lega.
Ardiman bahkan tersenyum. Kehadiran Nevan seolah menjadi senjata baginya untuk membuat Darya tidak memperpanjang masalah dan dia berhasil. Sedangkan, si tameng, Nevan, diam saja meski banyak pertanyaan menggelayut di benaknya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!