Teng..... Teng..... Teng...... Teng....... Teng....
Lonceng di puncak menara Katedral St. Monica berdentang sebanyak dua belas kali tepat pada pukul 12 tengah malam. Monica menutup ke dua telinganya dengan bantal. Suara dentang lonceng itu selalu membuatnya terbangun beberapa malam ini. Bagaimana tidak? Apartemen yang di tempati Monica berada sangat dekat dengan menara lonceng tersebut. Menurut penduduk sekitar lonceng di menara itu sudah sangat lama tidak berbunyi. Ada sebuah legenda mengenai pertanda bunyi lonceng di menara tersebut. Benar atau tidaknya legenda itu, penduduk di sana meyakini jika lonceng menara berdentang di tengah malam maka akan ada hal buruk yang terjadi.
...******...
Monica Steward, seorang gadis yatim piatu. Dia ditemukan tergeletak di sudut jalan oleh seorang wanita lansia bernama Allen Steward; saat dirinya baru pulang berbelanja. Allen membawa bayi Monica ke rumahnya dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Allen hidup sendiri setelah suaminya meninggal. Dia juga tidak memiliki anak. Saat Monica berusia 16 tahun, Allen menceritakan hal tersebut pada Monica. Meski tahu bukan cucu Allen, Monica tetap menganggap Allen sebagai neneknya sendiri.
Setahun kemudian Allen meninggal. Monica merasa sangat kehilangan keluarga satu-satunya itu. Rumah yang ditempatinya bersama Allen di ambil alih oleh keluarga dekat Allen. Monica pun di usir ke luar karena tidak memiliki hubungan darah. Monica yang sebatang kara tidak tahu harus pergi ke mana. Ia berjalan tunggang-langgang di pinggir jalan sampai dia tak sengaja melihat sebuah brosur yang tertempel di papan halte. Akhirnya Monica meninggalkan kota tempatnya dibesarkan itu menuju ke sebuah desa.
Setelah tiga jam perjalanan, akhirnya Monica tiba di desa tersebut. Padang hijau menjadi pemandangan pertama saat memasuki desa. Membuat perasaan Monica damai begitu melihatnya. Monica segera mencari apartemen yang ia lihat di brosur. Tidak sulit menemukan apartemen tersebut. Apartemen itu berada tidak jauh dari Katedral St. Monica. Model bangunan tua yang dijadikan apartemen itu terlihat masih terawat dengan baik.
Selain harga sewa yang sangat murah, lokasinya juga dekat dengan sekolah dan dekat dengan satu-satunya Katedral yang memiliki menara lonceng di sana, itu yang membuat Monica memutuskan pindah ke desa ini. Setelah mendapat sewa kamar apartemen selanjutnya Monica pergi mengurus pendaftaran di sekolah barunya.
Sebelum Allen meninggal, ia memberikan warisannya sebagai bekal hidup Monica. Juga berpesan pada Monica agar terus melanjutkan pendidikannya.
"Monica, ini semua adalah milik Nenek yang sengaja Nenek simpan untukmu. Nenek ingin memberikannya padamu. Kelak jika Nenek sudah tiada, kau bisa menggunakannya sebagai bekal hidup," kata Allen sembari memberikan sebuah kantong kain beludru berisi sesuatu di dalamnya pada Monica.
"Apa yang Nenek bicarakan?!" Monica bingung.
"Ambillah!" kata Allen.
Meski bingung Monica pun mengambilnya dan membuka isinya. Ia tercengang melihat isinya adalah beberapa perhiasan, lembaran uang, juga sebuah kartu ATM. Monica segera mengembalikan kantongnya pada Allen.
"Nenek, aku tidak bisa menerima ini!"
"Kau harus menerimanya," paksa Allen.
"Aku sudah memiliki nenek. Aku tidak perlu ini," ujar Monica.
"Monica, Nenek sudah tua. Sewaktu-waktu Nenek bisa pergi meninggalkanmu. Nenek tidak ingin meninggalkanmu sendiri tanpa memiliki apapun. Bahkan rumah ini pun kau tidak bisa tetap tinggal di sini. Kau masih sangat muda, sayang! Nenek tidak ingin kau hidup menderita tanpa Nenek. Ambillah ini! Kelak kau pasti akan membutuhkannya," jelas Allen dengan lembut.
Monica terpaksa menerima kantong tersebut.
"Aku ingin nenek terus di sampingku!"
"Monica, berjanjilah pada Nenek. Jika Nenek sudah tidak ada, kau harus tetap melanjutkan sekolahmu. Hidup dengan baik. Jadilah gadis yang baik dan kejar impianmu! Kelak kau pasti akan menemukan orang tua kandungmu!" pesan Allen.
"Aku berjanji, Nenek! Aku akan ingat pesan Nenek," jawab Monica.
"Anak baik! Nenek berharap kau bisa segera menemukan orang tuamu!" Allen mengelus kepala Monica dengan penuh kasih.
Sejak awal Monica sudah tidak berharap mengetahui siapa orang tua kandung yang telah membuangnya. Selama ada Allen di sisinya, ia sudah merasa bahagia.
...***...
Monica bersiap-siap berangkat ke sekolah. Di hari pertama masuk sekolahnya, dia tentu tak ingin terlambat.
Bel sekolah sudah berbunyi. Wali kelas berjalan memasuki kelas bersama Monica.
"Selamat pagi, murid-murid! Hari ini kita kedatangan murid baru. Monica, silahkan perkenalkan diri!" ucap Wali kelas.
"Selamat pagi! Namaku Monica Steward. Semoga kita bisa berteman," kata Monica dengan senyum ramah.
Wali kelas lalu menyuruh Monica duduk di bangku kosong yang ditunjuknya. Monica berjalan menuju bangkunya diikuti tatapan murid lainnya.
.......
.......
.......
Jam istirahat sekolah. Monica duduk di bangkunya sendiri sambil membaca buku.
"Hai, Monica!" Seorang siswi menghampirinya.
Monica melemparkan senyum.
"Hai."
"Aku Renata Cania, ketua kelas. Salam kenal!" sapa Renata sambil mengulurkan tangan.
"Salam kenal juga, ketua kelas." balas Monica.
"Panggil Renata saja. Bisakah kita berteman?" Renata tersenyum ramah.
"Tentu saja."
"Senang punya teman baru. Kalau boleh tahu kau berasal dari mana, Monica? Sebelumnya kau sekolah di mana?" Renata nampak bersemangat.
Melihat Renata yang begitu antusias terhadapnya, Monica pun menceritakan di mana ia tinggal dan bersekolah dulu.
Hari pertama di sekolah berjalan dengan lancar.
Monica sampai di apartemennya. Ia melihat ke luar jendela, menara lonceng nampak jelas berdiri kokoh di sana.
"Aneh, lonceng tidak pernah terdengar berbunyi di siang hari. Siapa yang membunyikan lonceng tiap tengah malam? Tidak punya kerjaan sama sekali," gumam Monica.
...****...
Teng...... Teng.... Teng.... Teng.... Teng.... Teng... Teng... Teng.... Teng... Teng.... Teng... Teng....
Monica membenamkan kepalanya di bantal. Lagi-lagi ia terbangun oleh suara lonceng itu. Monica menggerutu dengan kesal.
"Mungkin ini sebabnya sewa apartemen di sini murah. Aku harap segera terbiasa sampai tidak sadar sudah tak mendengarnya lagi."
bersambung......
Satu bulan berlalu. Setiap tengah malam Monica selalu terbangun oleh suara lonceng. Tidak hanya dirinya yang terganggu dengan suara lonceng itu, para penduduk di sekitar pun mendengarnya. Desas-desus mengenai legenda lonceng di menara katedral pun menjadi topik hangat.
Di jam istirahat sekolah, Monica, Renata dan Leslie sedang duduk di kantin. Beberapa murid yang duduk di dekat mereka nampak berbisik sambil melihat ke arah Monica. Sejak pindah ke sekolah ini, hanya Renata dan Leslie yang berteman dengannya. Sedangkan murid-murid yang lain menatapnya dengan aneh.
"Kenapa mereka terus melihat ke arah kita?" tanya Leslie.
"Mereka pasti membicarakanku," tebak Monica.
"Jangan di hiraukan! Itu pasti karena lonceng menara katedral. Apa lagi katedral itu memiliki nama yang sama denganmu." ujar Renata.
"Apa lonceng menara itu selalu berdentang?" tanya Monica.
"Sejak lahir aku belum pernah mendengar lonceng menara itu berdentang. Entah kenapa tiba-tiba sekarang berdentang." jawab Leslie.
"Siapa yang tidak punya kerjaan membunyikan lonceng sampai dua belas kali di tengah malam?" tanya Monica penasaran.
"Tidak ada orang yang membunyikan. Lonceng itu berdentang sendiri. Menurut legenda yang beredar, jika lonceng di menara katedral berdentang akan ada hal buruk yang terjadi," tutur Renata.
"Tepat sekali! Lonceng menara berdentang kembali setelah seratus tahun! Dan jika sudah berdentang, maka akan ada yang menjadi korban!" kata Sera yang tiba-tiba duduk di depan Monica.
" Selama ini aku menyelidiki dan mendapat kesimpulan, lonceng mulai berdentang sejak kedatangan mu di desa ini! " lanjutnya sambil menunjuk Monica.
Monica menatap Sera sambil mengernyitkan dahi.
"Jangan bicara sembarangan!" bentak Renata.
"Aku mana mungkin bicara sembarangan! Coba kalian ingat kapan pertama kali lonceng mulai berbunyi dan kapan gadis ini menginjakkan kaki di desa ini. Ini sesuatu yang jelas. Sera tidak pernah bicara tanpa bukti!" terang Sera. Ia lalu beranjak pergi begitu saja.
"Siapa dia?" tanya Monica karena tidak pernah melihat Sera di kelasnya.
"Namanya Sera Elfred. Ibunya seorang cenayang di desa ini," jawab Renata.
"Dia tidak memiliki teman. Mereka takut dengan apa yang dia ucapkan. Hampir semua hal yang dikatakannya terjadi dan semuanya bencana. Murid di sini menyebutnya 'Si Mulut Bencana'," timpal Leslie. Ia lalu menatap Renata. Kembali terpikir dengan yang dikatakan Sera barusan.
...****...
Teng...... Teng... Teng..... Teng..... Teng.....
Malam ini Monica duduk di atas kasurnya sampai lonceng berdentang dua belas kali di tengah malam. Ucapan Sera Elfred cukup mengganggu pikirannya.
"Ini tidak masuk akal! Bagaimana mungkin lonceng yang berdentang itu ada hubungannya denganku?! Namaku hanya kebetulan sama dengan nama katedral itu saja. Mana bisa di jadikan alasan untuk menuduh orang?!" pikir Monica.
Malam itu ia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Keesokan pagi, Monica pergi ke sekolah dengan lesu.
"Pagi!" sapa Monica saat lewat di bangku Renata.
Tak seperti Renata biasanya yang akan langsung membalas sapaannya. Kali ini tak ada jawaban dari gadis itu.
Monica hanya menatap punggung Renata dan Leslie yang seakan membeku.
"Sepertinya mereka termakan ucapan Sera," batin Monica.
Sampai saat jam istirahat tiba, Renata dan Leslie juga tidak bicara pada Monica. Kedua gadis itu seperti menghindari dirinya.
Monica berjalan sendiri ke kantin. Ia melihat Sera duduk sendiri lalu menghampirinya.
"Hei, aku ucapkan selamat padamu karena sudah berhasil membuat dua temanku menjauhiku," kata Monica.
"Aku tidak pernah menyuruh mereka menjauhimu, Sera selalu berbicara sesuai logika," jawab Sera penuh percaya diri.
Melihat Monica dan Sera berbicara, menarik perhatian murid-murid lain untuk mengetahui apa yang mereka bicarakan.
"Oh begitukah? Jadi apa logikanya lonceng bisa berdentang sendiri tengah malam jika tidak ada orang di sana? Apa mungkin lonceng itu ditiup angin?" tanya Monica dengan ketus.
"Jika aku jelaskan kau tidak akan mengerti. Jika aku katakan kau juga tidak akan percaya. Jika terjadi sesuatu padamu, jangan salahkan siapa-siapa. Kau orang yang dipilih!" tutur Sera.
"Omong kosong!" Monica membalikkan badan hendak pergi.
"Kalau kau tidak percaya, kenapa tidak pergi mengeceknya sendiri?" ucapan Sera menghentikan langkah Monica sejenak kemudian berjalan pergi.
...****...
Semakin lama bukannya semakin terbiasa, Monica justru semakin terganggu dengan suara lonceng di tengah malam itu. Di tambah murid-murid di sekolahnya yang terus menatapnya dengan tatapan tidak suka, juga Renata dan Leslie yang menjauhinya. Monica merasa seperti menjadi satu-satunya mahkluk asing di sekolahnya. Tidak ada yang mau berteman dengannya, apalagi mendekatinya. Itu membuatnya mulai merasa tidak nyaman.
Sepulang sekolah Monica mencoba melihat lebih dekat seperti apa katedral St. Monica.
Tidak ada yang istimewa selain bangunannya yang sudah tua. Katedral itu merupakan satu-satunya katedral di desa ini. Setiap hari minggu selalu ada penduduk yang datang beribadah. Menara lonceng berada di belakang nampak menyatu dengan bangunan utama katedral. Saat Monica tengah memperhatikan menara lonceng di atas, pundaknya di tepuk seseorang. Monica terperanjat.
"Sedang apa di sini?" tanya seorang pria paruh baya.
"Hanya ... melihat-lihat," jawab Monica.
"Di sini bukan tempat untuk bermain, Nona!" kata pria paruh baya itu.
"Aku bukan datang untuk bermain. Aku hanya penasaran dengan lonceng di menara itu," Monica mencoba menjelaskan.
Pria paruh baya itu langsung menatap tajam pada Monica.
"Siapa yang membunyikan lonceng itu setiap tengah malam? Apa tidak tahu menganggu waktu ti--"
"DIAM!" hardik pria paruh baya itu sebelum Monica selesai bicara.
"Jangan bicara sembarangan. Lonceng itu berdentang bukan pertanda baik. Kau pikir siapa yang berani mendekati menara itu di tengah malam buta? Membunyikan lonceng hanya untuk mengganggu tidur seluruh penduduk desa?" tanyanya.
"Pak tua, kalau aku tahu aku tidak perlu datang kemari bertanya," jawab Monica.
"Dentang lonceng itu adalah teror. Waktunya hampir tiba, tidak tahu siapa yang akan menjadi korban selanjutnya," kata pria paruh baya penuh tanda tanya.
"Teror? Apa maksudnya? Apa yang terjadi-"
"Nona, jika tak ada keperluan sebaiknya kau pergi saja. Sebaiknya kau juga tidak mencari tahu," kata pria paruh baya sambil berjalan pergi.
"Aku hanya ingin tahu ada peristiwa apa yang terjadi di sini. Seperti apa kisah legenda yang berhubungan dengan lonceng ini? Apa tidak boleh?" Monica berbicara sendiri.
bersambung.....
Murid-murid berlarian dengan terburu-buru di lorong sekolah. Semua murid nampak masuk ke dalam kelasnya. Monica berdiri di depan kelas melihat murid-murid itu berkumpul mendengar salah satu temannya bercerita dengan serius.
"Pagi-pagi sudah bergosip," gumam Monica. Ia berbalik tidak jadi masuk kelas. Rupanya di samping ada Sera yang mendengarnya.
"Aku dengar salah satu murid di kelas kalian menghilang secara misterius tadi malam. Para penduduk sedang berusaha mencarinya. Tapi belum menemukan hasil," kata Sera.
"Bukankah kau bisa menebak kemana dia pergi?" ejek Monica.
"Aku tidak bisa melihat orang yang dibawa pergi. Lagi pula aku bukan peramal," jawab Sera.
"Oo, aku ingat kau di juluki 'Si Mulut Bencana'. Tentu saja tidak mungkin bisa meramal," sindir Monica.
"Mereka menyebutku begitu karena beberapa kali hal sial menimpa mereka, itu bukan salahku. Aku sudah memperingatkan sebelum kejadian itu terjadi. Mereka yang bodoh tidak bisa mengantisipasi," jelas Sera membela diri.
Monica berjalan pergi tidak tertarik berbicara terlalu banyak dengannya.
"Hei, hati-hati dengan langkahmu! Kau mungkin bisa terpeleset di depan sana," Sera memperingatkan.
"Ya, terima kasih peringatanmu," balas Monica tanpa menoleh.
Tak lama seorang murid yang tergesa-gesa membawa ember berisi air tak sengaja tersandung dan jatuh. Air di ember tumpah membasahi lantai. Lantai yang licin membuat beberapa murid yang tidak hati-hati terpeleset. Monica yang sudah di peringatkan oleh Sera berhenti melangkah. Murid itu meminta maaf dan segera mengeringkan lantai. Monica berbalik menatap Sera di belakang yang pura-pura tidak melihat.
"Apa ini bukan termasuk meramal?!" batin Monica.
.......
.......
.......
Hari berikutnya terdengar kabar orang hilang lagi. Gadis yang hilang kali ini juga dari kelas Monica. Selama lima hari berturut-turut, sudah lima orang gadis di kelas Monica yang hilang secara misterius. Sampai hari ini ke lima gadis itu tidak di ketahui keberadaannya. Suasana sekolah pun jadi gaduh. Murid-murid yang tidak suka dengan Monica semakin memojokkannya.
"Beruntung kalian berdua tidak berteman dengannya lagi. Jangan sampai kalian menjadi korban berikutnya," kata Liona pada Renata dan Leslie. Renata dan Leslie hanya diam.
"Benar sekali! Bayangkan saja sudah lima teman kita yang hilang selama lima hari berturut-turut. Sebelumnya tidak pernah ada kejadian seperti ini di desa kita. Menara lonceng berbunyi, teman-teman menghilang, semua terjadi setelah dia datang ke sini! Siapa lagi kalau bukan dia yang membawa sial?!" timpal Kelly.
Monica hanya diam saja di tempat duduknya mendengar mereka yang dengan jelas menuduhnya.
"Keadaan sedang kacau. Sebaiknya tidak mencari masalah dengan mereka," kata orang yang duduk di sebelah bangkunya.
Monica menoleh. Nathan hanya tersenyum kecil. Selama ini Nathan yang duduk di sebelah bangkunya itu tidak pernah bicara atau menyapanya. Tapi kali ini justru bisa berbicara seperti itu.
...****...
Monica duduk di tepi jendela kamar. Pandangannya menatap ke arah menara lonceng. Semua tuduhan teman-teman di sekolahnya, satu per satu muncul di kepalanya.
"Aku hanya ingin memulai hidupku dengan tenang. Tidak cukupkah hidup sebatang kara? Kini harus di tambah dengan semua tuduhan ini? Apa yang terjadi dengan desa ini, itu tidak ada hubungannya denganku!" gumam Monica dengan perasaan kesal.
Ia melemparkan dirinya ke atas tempat tidur. Tanpa sadar ia tertidur.
"Monica ... Monica ...." Suara bisikin itu memanggil Monica.
"Monica ...." Suara itu berbisik di telinga Monica. Monica menggerakkan kepalanya setengah sadar.
Teng... Teng... Teng.... Teng....Teng.... Teng....
Bunyi lonceng menyadarkan Monica sepenuhnya. Suara bisikan itu juga hilang.
Teng... Teng... Teng... Teng.... Teng..... Teng...
Angin bertiup dari jendela membuat tirai jendela ikut bergerak-gerak.
"Sial! Kenapa aku bisa lupa menutup jendela?!"
Monica pun bangun untuk menutup jendelanya. Ia masih berhenti menatap menara lonceng. Menara itu nampak seperti siluet hitam tanpa adanya penerangan. Sangat gelap di sana, yang nampak hanya lonceng itu yang bergerak pelan. Monica tersadar ia segera menutup jendelanya.
...***...
Sampai di sekolah, murid-murid ramai berkumpul di kelasnya.
"Itu dia! Gadis pembawa sial itu sudah datang," seru Liona menunjuk Monica yang baru tiba.
Monica menelan saliva.
"Ada apa?" tanyanya gugup.
"Ada apa?! Renata menghilang kemarin malam! Sampai hari ini sudah enam orang murid di kelas ini yang hilang. Kau masih bertanya ada apa?" seru Liona sambil mendekati Monica.
"Sebelum kau datang ke desa ini, semuanya baik-baik saja! Sekarang sejak kau muncul, desa kami mulai kacau. Lonceng menara berbunyi, teman-teman sekelas menghilang satu per satu. Siapa lagi kalau bukan kau yang membawa petaka ke desa kami?" tuduh Kelly.
Murid-murid yang lain ikut menyahut membenarkan ucapan kedua gadis itu. Monica merasa terpojok.
"Kalian jangan menuduh tanpa bukti!" Nathan yang muncul di belakang Monica membelanya.
"Nathan! Kenapa kau membelanya? Apa itu semua masih belum cukup untuk dijadikan bukti?" tanya Liona dengan lantang.
"Satu per satu teman kita hilang dan belum ditemukan sampai sekarang. Jika dia terus di sini, entah besok giliran siapa lagi yang hilang," ujar Kelly.
"Ya, usir saja dia dari desa kita ini!" seru Martin memprovokasi.
"Ya, usir! Usir!" teriak murid yang lain.
Monica yang terpojok langsung berlari meninggalkan kelas. Nathan mengejarnya.
"Monica!"
Nathan berhasil menarik tangan Monica. Monica melepaskan tangannya.
"Terima kasih sudah membela ku. Aku sama sekali tidak tahu apa yang terjadi dengan desa kalian," kata Monica.
"Aku tahu, tidak masuk akal mereka menuduh dirimu seperti ini. Mereka pasti hanya terbawa suasana saja. Ayo kembali ke kelas. Sebentar lagi guru datang," bujuk Nathan.
Monica diam.
"Kau kembali saja sendiri. Hari ini aku mau izin. Aku merasa tidak nyaman," katanya lalu berjalan pergi. Nathan tak bisa menghentikannya.
.......
.......
.......
Monica kembali ke apartemennya. Dia melemparkan tubuhnya ke atas kasur. Terpaksa bolos hari ini untuk menghindari tuduhan teman sekelasnya.
"Hari ini bisa menghindar. Apa besok dan seterusnya bisa terus menghindar? Bisa-bisa aku dikeluarkan dari sekolah. Argh ...." Monica memegang kepalanya dengan kesal.
Ia melihat foto Allen bersama dirinya yang tergeletak di samping tempat tidur. Monica mengambil foto itu. Menatap wajah nenek Allen dengan sedih.
"Nenek, bagaimana kabarmu di sana? Kenapa kau meninggalkanku begitu cepat? Apa yang harus kulakukan seorang diri di tempat ini? Dalam keadaan seperti ini, apa yang harus aku lakukan? Kenapa nenek tidak mengajakku ikut pergi? Mungkin akan lebih baik jika aku ikut bersama nenek," kata Monica kemudian ia mendekap foto itu sampai tertidur.
Monica terbangun saat hari telah gelap. Angin yang berhembus memainkan tirai jendela yang terbuka. Monica pergi menutup jendela itu. Ia menatap menara lonceng yang berdiri kokoh. Teringat ucapan Kelly tadi pagi. "Entah besok giliran siapa lagi yang hilang".
Monica melirik jam di samping tempat tidur. Baru pukul 7 malam. Monica berjalan mondar-mandir di kamarnya. Berpikir apa yang harus dilakukannya. Monica mengacak-acak rambutnya tidak menemukan jalan. Dia merasakan perutnya yang lapar. Ia baru ingat seharian ini belum makan apa pun. Ia pun memutuskan pergi jalan ke luar saja. Lagi pula ia sudah bosan seharian di kamar.
Monica pergi ke kedai makan. Penjual makan menatap Monica dengan senyum ramah.
"Kau pulang sekolah selarut ini, Nona?" tanya bibi penjual makanan.
"Eh, tidak aku ..." Monica baru tersadar ia masih memakai seragam sekolah. Ia tersenyum.
"Aku terburu-buru sampai lupa mengganti seragamku," jawabnya.
"Kau belajar dengan keras. Makanlah yang banyak!" kata bibi penjual makanan dan menyodorkan pesanan Monica dengan porsi besar.
Monica tersenyum. Padahal ia tidak memesan porsi besar.
"Terima kasih."
"Nona, setelah selesai makan, kau harus cepat pulang ke rumah! Desa sedang tidak aman akhir-akhir ini." bisik bibi itu.
"Iya, bibi. Terima kasih sudah mengingatkan," balas Monica.
"Andai semua orang di desa seperti bibi ini," batin Monica. Ia melahap habis makanannya.
Setelah makan bukannya mengikuti saran bibi penjual makanan untuk segera pulang, Monica justru jalan-jalan sendiri. Suasana malam di desa tidak seramai di kota besar. Apalagi setelah kejadian beberapa gadis hilang, tidak banyak anak muda yang berkeliaran.
"Eh ... kau Monica, kan?" tanya seorang gadis yang berpenampilan ala Gothic. Ia nampak seumuran dengan Monica
"Kau siapa? Bagaimana kau tahu nama ku?" tanya Monica.
"Namaku Isabelle Yelda. Kita satu sekolah hanya beda kelas. Ini temanku Melisa Kay. Kebetulan sekali kita bertemu. Ayo, pergi minum bersama!" ajak Isabelle.
"Minum? Aku tidak--"
"Ikut saja! Temani kami juga boleh. Semakin ramai akan semakin seru." Isabelle langsung merangkul pundak Monica memaksanya pergi bersama.
Mereka tiba di sebuah cafe. Di dalam cafe ternyata ada mini bar. Isabelle dan Melisa memesan minuman cocktail. Minuman cocktail mereka memiliki warna merah yang mencolok. Monica masih nampak bingung.
"Hey, kenapa diam saja? Pesanlah minuman yang kau suka. Aku yang traktir!" ujar Isabelle.
"Bukankah kita tidak seharusnya minum ini? Dan lagi aku tidak bisa minum alkohol," kata Monica.
"Ck, ku pikir kau anak kota yang gaul! Ternyata lebih parah dari gadis desa!" ejek Isabelle. Ia menyodorkan segelas cocktail yang berbeda untuk Monica.
"Ini tidak akan membuatmu mabuk!" katanya.
"Kenapa kau masih mengenakan seragam sekolah, Monica? Apa kau kekurangan baju di rumah?" tanya Melisa yang diikuti gelak tawa Isabelle.
"Aku buru-buru ke luar cari makan jadi lupa mengganti pakaian," jawab Monica.
"Kau pasti sedang kelaparan setengah mati baru bisa sampai begitu," ledek Isabelle.
Monica tersenyum kecil.
"Aku pikir semua orang di sekolah tidak suka pada ku. Tapi kenapa kalian mengajakku minum?" tanya Monica.
"Aku tidak peduli dengan apa masalahmu. Kami berdua bisa berteman dengan siapa saja, selama mereka asyik dan tidak menganggap kami aneh. Kau tahu di mata mereka, penampilan kami berdua sama anehnya denganmu! Ya, meski secara penampilan kau itu membosankan!" jelas Isabelle blak-blakan.
"Jadi kalian tidak akan menjauhiku hanya karena rumor itu?" tanya Monica.
"Tidak. Rumor itu tidak beralasan! Lagi pula ini jaman apa? Kami berpakaian seperti vampir, apa kami ini seorang vampir?" jawab Isabelle sambil meliuk-liuk.
"Hahaha ...." Melisa tertawa.
"Sudahlah malam ini kita bersenang-senang saja!" ujar Isabelle sambil mengangkat gelasnya, mengajak kedua temannya untuk bersulang.
bersambung.....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!