NovelToon NovelToon

Pembalasan Andara

PROLOG

Judul Buku: Pembalasan Andara

Author: Nadyasiaulia

Isi: 60 bab

Genre: Adult Romance

Disclaimer: Tulisan ini diperuntukan untuk pembaca dewasa yang akan/ sedang / sudah mengerti bahwa membaca sesuatu di awal harus diselesaikan hingga akhir barulah bisa menyimpulkan.

------ THE STORY BEGIN -----

🔥🔥🔥

"Kaubuka pintu nerakamu, sayang."

🔥🔥🔥

Pukul sebelas masih terlalu pagi bagi Andara. Dia baru saja menggeliat, keluar dari selimutnya. Tubuh datar itu berjalan malas-malasan ke arah kulkas, mengambil air dingin dan meneguk langsung dari botol. Kepalanya masih terasa berat, efek semalam.

Sudah rutinitas kaum generasi Z ketika bangun dari tidur, yang dicari dahulu adalah ponsel. Andara menghidupkan ponselnya yang habis baterai semalam, saat dia pulang.

Di antara pesan yang masuk, dia hanya membuka pesan dari sang pacar. Karena pesan lainnya hanyalah promo-promo atau sms blast yang dikirimkan operator.

Andara meraih rokok, menghidupkannya. Dia mengumpulkan nyawa yang masih mengawang untuk mencerna maksud pesan Buana.

Bubu: Ra, kita putus saja. Aku bukan orang baik buat kamu. Semoga kamu bisa dapatkan yang lebih baik dari aku. Maaf untuk kekuranganku selama ini. Terima kasih untuk semuanya.

Setelah mengisap beberapa kali, dia segera mematikan rokok dan meneguk minum. Semua asumsinya terjawab jelas, saat ini. Andara sudah menduga Buana cepat atau lambat akan memutuskannya, tapi tetap saja tidak terima. Ada lahar emosi menggelegak di pusat jantung dan meluber, membasahi jiwanya dengan semaian dendam. Giginya sampai gemeretuk, memecah hening. Andara meraih korek api gas dan memainkan api, menyulut puntung-puntung rokok di asbak.

Seenaknya saja Buana memutuskan sepihak. Dia bukan boneka yang mudah dicampakkan. Dan Buana, cowok itu tidak sadar kalau Andara sudah mengetahui apa alasannya.

Buana mungkin tidak tahu kalau kekuatan cewek untuk mencari tahu sesuatu setara dengan FBI, begitu juga dengannya. Andara tahu diam-diam Buana kembali berhubungan dengan Nina, sang mantan. Kalau untuk mendeteksi seseorang yang letak kampusnya bersebelahan, itu bukanlah perkara sulit. Fakultas Ekonomi yang hanya berjarak dua puluh meter dari Fakultas Hukum, tempat itu malah termasuk lokasi perlintasannya. Tak jarang, Andara duduk dan makan di kantin Fakultas Ekonomi.

Buana yang bodoh karena tidak tahu kalau Andara sering main ke FE atau Andara yang bermain sangat rapi? Entahlah. Andara memang tidak pernah menceritakan kegiatannya setiap hari secara detail kepada Buana. Jika cowok itu bertanya, biasanya hanya dijawab dengan jawaban formalitas saja.

Kali ini, Andara melihat keuntungan dari jawaban formalitasnya; Buana tidak tahu kalau Andara tahu dan mengamati gerak-geriknya dalam diam.

Andara tahu sosok Nina, siapa teman-temannya, berapa nomor ponselnya, juga akun sosial medianya. Andara tahu jika Buana menyembunyikan di belakangnya kalau cowok itu sekali dua kali menjemput Nina sepulang kuliah. Andara juga tahu kalau mereka sering kali smsan atau telponan saat malam. Dan, Andara menunggu apa yang akan dibuat Buana selanjutnya. Tepat seperti perkiraan, cowok yang sudah menjalin hubungan hampir setahun belakangan akhirnya memutuskan hubungan.

Api di asbak menyambar puntung-puntung rokok yang ada. Kobaran kecil itu menyelubungi sisa-sisa batangan rokok, menghanguskan pelan-pelan.

Jika Buana sedang bermain api maka Andara akan dengan senang hati menjadi kayu untuk membakar sosok itu sampai jadi abu.

Ini Andara dan dialah penguasa takdirnya sendiri.

Chill, It's Only Chaos

"Jangan ragu. Saya ahlinya membuat kekacauan."

🔥🔥🔥

Orang bilang, membangun dan merencanakan sesuatu dalam diam itu lebih dahsyat efeknya. Andara percaya itu. Dia memerlukan waktu beberapa hari untuk mewujudkan rencana hari ini.

Hari kerja bukan waktu yang ramai untuk menonton bioskop apalagi pukul empat sore seperti sekarang. Pengunjung bioskop cuma anak sekolah atau anak kuliah dan isinya yang tidak sampai setengah dari kapasitas teater. Dia memandang jemu layar besar yang hanya berjarak lima meter dari tempatnya duduk. Jika biasanya setiap menonton Andara selalu memilih duduk di tengah dengan barisan ketiga atau keempat dari atas, kali ini, dia bahkan memilih kursi di samping jalan keluar. Andara tidak peduli, toh dia tidak berminat menonton film itu.

Dia sedang dalam suatu misi.

Bibir Andara tersimpul geli di antara layar yang sedang menampilkan tangisan sedih aktornya. Film norak, sama kayak yang nonton! bisik hati Andara mengejek. Dia paling tidak suka kisah romantis yang meninabobokan penonton dengan impian-impian bodoh, dibuai dengan harapan bahwa semua akan berakhir baik-baik saja dan bahagia. Perempuan sekarang kebanyakan terlena akan dongeng klasik kalau nanti ada Pangeran Berkuda Putih datang untuk membantu menyelamatkannya. Pantas saja sekarang semua buku dan film yang laku keras adalah jenis ini, jenis melankolis nggak karuan. Penikmatnya sudah mengalami kedunguan akut, halusinasi tingkat tinggi.

Andara mendengkus bosan. Dia memutuskan untuk keluar, menunggu target yang sedang menonton film sampah tadi di XXI Cafe.

Selama satu jam, dia menunggu dengan sabar ditemani segelas cokelat panas sampai matanya mendapati pasangan yang diikuti sedari dari tadi. Pasangan yang baru keluar dari teater itu menuju ke arah ujung dan berpisah memasuki toilet, tidak menyadari sosoknya. Ketika sang target cewek dirasa sudah sendiri, dan target cowok tidak terlihat, Andara menyelinap masuk ke toilet cewek. Dia berdiri di depan wastafel, berpura-pura mencuci tangan.

Tak lama, perempuan berambut panjang itu keluar dan mencuci tangannya di samping Andara. Andara menyapu inci demi inci penampilan Nina melalui kaca. Gadis berkulit kecokelatan itu memakai lensa kontak abu-abu, rambut panjangnya dibuat ikal dan digerai. Sosok itu sedang memoles ulang lipstik, yang mungkin saja habis karena aktivitas di dalam bioskop. Tatapan mereka beradu di kaca.

"Boleh minta tisunya?" tanyanya melirik pouch bag milik Nina.

Cewek itu mengangguk dan menunjuk tisu basah, meminta Andara untuk mengambil tanpa sungkan. Andara menyentuh tas kosmetik Nina yang terasa penuh, mengambil tisu.

Sebagai orang asing, Andara menarik senyum kecil lalu mengedip lepas ke Nina, seolah berterima kasih. Nina membalas senyumnya sembari mengusap perona pipi, membuat muka itu seperti habis dipukuli. Setelah semuanya beres, Nina lalu keluar dari toilet. Perempuan itu pasti menghampiri pasangannya yang menunggu di bagian depan.

Andara menghitung dalam hati sembari mengentak pelan boots-nya. Dia beranjak keluar dari toilet setelah hitungan tiga puluh detik sejak kepergian Nina. Dia mengawasi langkah Nina dan Buana yang menjauh, sembari memesan minuman soda berukuran besar di kafe untuk dibawa pulang. Setelah Coca-Cola di tangan, dia lantas bergegas menyusul dua kutu busuk itu lagi.

Pasangan yang tidak tahu sedang dibuntuti itu menuju ke arah parkiran. Andara mengirimi pesan kepada seseorang yang sudah dimintanya datang untuk melancarkan rencana. Dia bahkan menelepon sebentar untuk memastikan. Sesaat Andara juga melirik kanan dan kiri, atas bawah, menelaah sekitar.

Tepat di lobi selatan yang dilewati banyak orang, pijakkan Andara semakin ringan. Dia menipiskan jarak dengan mereka yang semakin mesra. Buana merangkul bahu Nina dan tangan cewek itu bergelayut di pinggang Buana. Sungguh pasangan yang serasi, pasangan-serasi-tidak-tahu-diri.

Ponsel Andara bergetar. Dia melihat sebuah mobil jip berjalan dari jauh menuju ke tempatnya. Tanpa membuang waktu, saat kaki pasangan itu tepat menyentuh aspal parkiran —Andara tidak tega membayangkan OB harus membersihkan lantai granit akibat ulahnya— Andara membuka penutup soda, menumpahkan isinya di kepala Buana.

"DASAR PLAYBOY KADAL! JADI INI KERJAAN LO DI BELAKANG GUE?!" pekiknya membuat mereka bertiga menjadi pusat perhatian. Andara dapat melihat mata Buana membulat. Dia tidak menyia-nyiakan waktu untuk menunggu Buana berbicara. "BILANG SAYANG, BILANG CINTA TAPI SELINGKUH! LO BIADAB! EMANG SAMPAH LO BERDUA!"

Sesuai rencana, dia mendapati tatapan simpati orang ke arahnya dan pandangan sinis ke pasangan itu. Andara dapat melihat Nina gelagapan, antara tidak menyangka kalau orang yang tersenyum ramah di toilet tadi akan mempermalukannya atau merasa risi karena rambut yang sudah didandani di salon menjadi rusak.

Dikembangkannya senyum selintas sambil berjalan mundur, secepatnya pergi setelah melempar gelas plastik kosong ke muka Buana. Dengan sekali entakan, dia masuk ke dalam mobil jip merah yang berhenti tidak jauh dari peristiwa itu. Seperti adegan di film aksi, pengemudi di sampingnya langsung melajukan kendaraan dihujani teriakan Buana yang meminta mereka berhenti. Cowok itu terlihat sangat malu dan sangat ... marah. Andara meringis puas, menontoni Buana dari kaca spion yang makin lama semakin menjauh. Look, dumbass! There's a price you have to pay.

"Itu Buana?" tanya Kin, cowok yang ada di balik setir sambil melirik ke kaca tengah. Ekor mata orang di sampingnya memperhatikan bagaimana Buana yang baru saja disiram Andara berusaha mengejar mobil mereka. Andara mengangguk, menarik sebuah senyum simpul di ujung bibir. "Gila, sih, Ra. Untung gue sampainya cepat, kalau nggak?! Bisa kena gibas di tempat lo."

Cewek berambut di atas leher itu hanya terkekeh geli. "Gue juga nggak akan siram dia kalau tanda-tanda kedatangan lo belum jelas. Gue nggak segambling itu!" cibirnya di sela tawa. "Tapi, lo lihat nggak sih tampang mereka? Mukanya pucat banget kayak lagi ML digrebek sekampung!"

Kin kembali bergeleng, meski tak urung ikut tersenyum. "Belum bisa move on?"

Andara berdengkus sambil menyeringai. "Ini bukan masalah move on, Pakcik."

Jawaban itu membuat Kin mengangkat alis sangsi. Cowok itu seperti merasa ada yang tidak sesuai antara ucapan dengan fakta.

"Beneran!" Andara memukul lengan Kin, seperti mengerti sedang diejek. "Gue cuma mau mengenalkan diri sama Nina, kok. It's just a greeting!"

"What?" Kin memelotot. Perkenalan macam apa tadi?

"Udah deh, Kin." Andara mengalihkan pembicaraan. "Lo udah makan belum? Gue belum makan, nih."

"Lha? Terus ngapain lo di sono lama-lama? Bukannya cari makan," balas Kin telak. "Emang enak mamam pemandangan mantan sama pacar barunya?"

"Ralat! Bukan pacar baru, tapi mantan terdahulu sebelum gue," ujar Andara memiringkan badannya ke arah Kin. "Gue cuma mencoba totalitas. Kalau mau sesuatu itu, jangan tanggung-tanggung. Kalau mau jahat, jahanam sekalian."

"Nekat!" balas Kin.

"Yes, I am." Andara melirik jalan yang mereka lalui. Tak lama, dia menunjuk sebuah rumah makan Padang untuk mereka singgahi. "Sederhana aja. Gue perlu makan banyak untuk asupan secara tadi energi gue terkuras semua."

Mereka berdua duduk berdampingan di meja kosong. Pelayan mulai menghidangkan semua jenis makanan dan Kin mulai membahas hal tadi lagi. "Untung lo nggak kenapa-kenapa, Ra. Kalau sampai ditangkap Satpam gimana?"

"Dude, gue nggak membuat kekacauan di dalam mal. Lokasi kejadian sudah berada di luar bangunan keleus." Andara meraih piring dan menuang nasi. Matanya melirik Kin sebentar. "Lagi pula dia nggak akan bisa menjerat gue sekalipun memakai pasal perbuatan tidak menyenangkan. Nggak ada unsur paksaan baik fisik atau psikis," jelasnya.

Kin berdecak. Cowok yang baru pulang seminggu di Jakarta ini seperti mencoba menahan keberatannya. "Kata siapa? Ngirim peti mati aja bisa diperkarakan, kok."

"Udahlah, nggak ada bukti otentik juga. Nggak ada yang ngerekam tadi, CCTV juga nggak mengarah ke sana. Lagi pula, mana dia kepikiran begitu? Kuliah aja belakangan sering bolos."

Kin hanya diam dan menyodorkan sebuah piring ke depan Andara. "Nih, buat lo..."

"Apaan?" Andara memperhatikan piring berisi satu potong lauk dan kuah berwarna kekuningan.

"Gulai otak, biar lo ada otaknya."

Andara hanya tertawa menyikapi sindiran Kin. Otak? Wow, memangnya tadi terlihat nggak pakai otak, ya? Padahal otaknya sedang bekerja cukup keras, lho. Tidak mudah menyetel waktu dan situasi agar sesuai dengan rencananya biar terlihat dramatis di hadapan penonton. Penonton kan haus akan keributan, apalagi menyerempet kisah romansa seperti tadi.

"Ketawa aja lagi lo!" Kin meraih wadah nasi yang disodorkan Andara. "Kusumpat mulutmu nanti pakai granat!" ujarnya mengikuti ucapan berita yang lagi seru.

Andara makin terkekeh geli. Kejadian tadi hanyalah perkenalan, sungguh. Ibarat buku nonfiksi, peristiwa itu barulah kata pengantar. Jika buku fiksi, tadi itu barulah prolog. Belum ada masuk ke bab satu sama sekali.

Dendam? Andara sendiri bingung apakah dia dendam atau lebih dari itu. Rasa-rasanya lebih kompleks dari sekadar dendam. Dia ingin Buana menyesal, Nina sadar dan mereka juga merasakan apa yang dirasanya. Mereka tidak berhak bahagia di atas penderitaan orang lain. Cowok itu juga harus membayar semua utang dari perbuatannya, dan tentu saja, harganya tidak murah.

I Didn't Lose

"Saya tidak akan menunduk, nanti mahkota saya jatuh."

🔥🔥🔥

Andara sudah menghabiskan sebungkus keripik sejak duduk lima belas menit yang lalu. Hari terasa berjalan lambat dan dia kebosanan. Padahal dia sudah siaran selama dua jam dari jam lima sampai jam tujuh malam.

Suasana sekitar stasiun radio Best FM sepi, hanya ada dua penyiar prime time yang bertugas dari jam tujuh sampai sembilan malam di studio. Penyiar lainnya sudah pulang, anak-anak Best EO —lini lain dari anak perusahaan Best FM yang berlokasi di tempat yang sama juga sudah berpulangan.

Andara bersandar di pagar lantai dua, di luar pintu studio, memandangi taman yang dapat dilihatnya dari atas. Plastik bungkus keripik diremasnya dan dibuang ke dalam tong sampah. Dia berharap kekesalan yang ada juga ikut terbuang tetapi apa daya, rasa itu seperti duri dalam daging. Menusuk dan melukai hatinya diam-diam.

Dari pagi tadi, Andara belum melihat Natha, teman serumah dan juga sesama penyiar di Best FM. Hari ini, jadwal Natha siaran dari jam dua sampai jam empat sore, tepat saat Andara menjalankan misinya. Dan ketika Andara diantar Kin ke Best FM, Natha tidak terlihat. Sudah dijemput Putra mungkin.

Seringaian Andara kembali ketika teringat peristiwa penyiraman di parkiran mal. Kira-kira apa ya yang bisa dia bikin lagi agar permainan semakin menarik?

Ponsel abu-abu yang sedang diisi daya berbunyi, Andara meraih dengan sebelah tangan. Rupanya Natha seperti mendapat panggilan jiwa dari jauh, cewek itu lebih dahulu menghubungi.

"Halo," jawab Andara, "masih di Best. Di mana lo?"

"Di Starbucks Diponegoro sama Kin!" Suara Natha terdengar ceria. Cewek blasteran Jerman itu memang memiliki kelebihan energi dari setiap suku katanya.

Begitu mendengar kalau Natha sedang bersama Kin, seketika Andara berdengkus. Dia tahu Putra, pacarnya Natha, sering kali cemburu dengan Kin meski dijelaskan ratusan kali oleh Natha kalau mereka hanya bersahabat. "Tumben santai gitu ngomong lagi sama Kin. Nggak takut Putra marah?" ejeknya.

"Bodo amat! Memang gue pikirin?" Tawa Natha kembali terdengar. Tawa yang membuat Andara malah menaikkan sebelah bibir, menyungging sarkas. Kalau Natha sudah berkata seperti itu berarti cewek itu sedang bermasalah dengan Putra. "Sini buruan! Tinggal koprol sedikit aja."

Andara kembali berdengkus. "Starbucks Diponegoro itu ada seratus meter, ya, Nyet! Itu bukan koprol sedikit. Maraton gue, maraton!"

"Idih, lebay. Buruan ke sini. Siapa tahu di jalan lo ketemu jodoh dari tetangga Best, lumayan juga."

Tawa Natha kembali nyaring, Andara hanya mengiakan dan mengakhiri panggilan. Dia meraih totebag dan memakai boots-nya, berjalan menyusuri jalanan besar nan sepi.

Kantor stasiun radio Best FM memang menyatu dengan rumah pemiliknya. Kantor Best FM juga Best EO berada di paviliun sebelah rumah dan ketiga studio Best FM ada di lantai dua. Rumah sang pemilik sendiri merupakan bangunan tua nan lama tetapi tetap terjaga. Seperti kata Natha, rumah-rumah yang berada di sekitar Best adalah rumah-rumah elite. Meskipun rumah lain sudah berubah bentuk, tidak bergaya lama lagi. Rumah-rumah sekitar sudah berubah menjadi bangunan besar dan tinggi, berlomba-lomba berbagai macam gaya. Ada yang bergaya Amerika, ada yang memoles rumahnya dengan gaya Eropa klasik atau juga gaya Skandinavia yang sedang hits.

Dari semua rumah yang ada, Andara tetap paling menyukai rumah Bang Boim, pemilik Best. Selain karena mempertahankan arsitektur kolonialnya, juga karena rumah itu terasa asri. Ada taman besar di depan dan belakang rumah. Taman belakang sekaligus menjadi pemisah antara rumah induk dengan kantor Best Grup. Selain Best FM yang merupakan radio anak muda, Bang Boim juga memiliki dua stasiun radio lain di bawah Best Grup. Ada Feminin FM khusus untuk pendengar wanita, ada Eksekutif FM untuk segmentasi dewasa tetapi dua radio itu tidak dalam lokasi yang sama dengan Best FM.

Dasar Natha kebanyakan membaca cerita norak! Mana ada orang kaya di sekitar sini yang berjalan kaki? Mana mungkin dia bisa berpapasan dengan salah satu tetangga Best FM? Andara sibuk mencaci homemate-nya itu sambil terus berjalan. Tangan panjang Natha menyambutnya dari jauh dengan melambai-lambai, persis seperti anak hilang yang bertemu ibunya setelah dipertemukan di meja informasi.

"Gimana? Gimana? Ada lirik-lirikan sama tetangga?" kekeh Natha sambil menyeruput Caramel Macchiato-nya.

Andara duduk di samping Natha, berseberangan dengan Kin. "Lo pikir gue mau ngerampok apa gimana? Nyuruh lirik-lirik ke tetangga?" balasnya pelan, tidak tertarik menanggapi ide Natha.

Kin tertawa mendengar jawaban Andara. "Jangan macam-macam lo, Nath. Ntar disiram Coca-Cola baru tahu!"

"Eh, iya. Gimana sih cerita tragedi Coca-Cola itu? Gue mau dengar versi lo. Si Kin ceritanya nggak lengkap!"

"Begitulah," sahut Andara datar. Dia tidak beranjak untuk memesan kopi. Andara sedang tidak ingin mengopi, juga tidak berniat membahas kejadian tadi sore. Dia hanya ingin santai. Tangannya meraih rokok dan menghidupkan batangan putih tersebut.

Natha terlihat diam, menunggu kata lanjutan dari kalimatnya. Beberapa menit setelah Andara mengembuskan asap, tidak juga keluar kalimat tambahan dari bibir cewek berkaus hitam itu. "Woi, gimana ceritanya?!" seru Natha.

Seruan Natha membuat beberapa pasang mata yang berada di smooking area melirik ke meja mereka. Andara sendiri sudah melirik sebelahnya dengan tajam. "Apa, sih? Kepo bener! Kin kan udah cerita, sama aja ceritanya begitu juga."

Natha terlihat bersemangat, tidak peduli tatapan mata orang lain. "Jadi ... si Buana memang lo siram gitu? Dari atas kepalanya?" Cewek itu membuka mulut lebih lebar, menyiratkan ketidakpercayaan. Tak lama terbatuk-batuk karena tersedak. "Basah, dong?" tambahnya.

Pertanyaan tidak berbobot Natha hanya ditanggapi Andara dengan mengembus asap rokoknya lagi. "Nggak, kering banget dia! Kayak masker ngelotok."

Natha masih saja asyik sendiri, tidak peduli pertanyaannya dijawab sarkas oleh Andara. "Harusnya yang beginian ajak-ajak gue. Gue bisa jadi videografer yang baik," desahnya kecewa.

Cewek yang sangat serius menekuni vlog itu tentu sangat antusias jika melihat peristiwa seperti tadi tetapi Andara memang tidak mau mengajaknya. Bisa-bisa peristiwa tadi diunggah di akun Natha dan jadi salah satu dari jajaran konten prank penyemarak akun cewek itu. "Ogah, ntar lo masukin YouTube lo. Situ yang untung, gue jadi bahan caci maki nitizen."

"Pelit dia mah!" Natha mencibir dan terbatuk lagi, membuat hidung mancungnya terlihat berkerut. "Jadi, apa rencana lo ke depan?"

Baik Andara maupun Kin menoleh heran atas pertanyaan Natha. Cewek itu langsung memperbaiki pengucapannya ketika menyadari bahwa dua temannya menatapnya dengan tatapan aneh. "Ya, maksud gue. Lo itu pikir nggak kalau lo sama Buana itu satu kampus? Satu fakultas? Satu kelas? Gimana kalau si kampret itu balas nyiram lo di kampus?" jelas Natha.

Kini giliran Kin yang balik memandang Andara. Cowok itu sepertinya terkejut atas informasi yang baru didapat. "Lo satu kampus ... satu kelas sama Buana?"

Andara mengangguk ringan, memamerkan senyum.

"Beneran nekat temen lo ini, Nath." Cowok itu menggeleng takjub. "Gue pikir dia nyiram tadi dengan hitungan nggak bakal ketemu lagi. Beneran nih anak perlu dikasih otak."

Andara malah tertawa menanggapi keduanya. Kekhawatiran dua orang itu terlihat lucu di matanya. "Santailah, gue udah punya rencana."

Natha berdecak. "Cari pacar baru aja, deh. Lo sama Kin aja. Dia juga baru putus dari Ririn. Ya, nggak, Kin?"

Kin lalu terbatuk, tersedak minuman. "For God's sake, Nath. She's ... crazy," tunjuknya ke arah Andara dengan muka ingin melolong.

Raut Andara membalas tatapan Kin tak kalah mengerikan. Kotak rokok yang dilemparnya mengenai jidat Kin. "And for hell's sake, you're not my type!"

"Oh, iya. Lo sukanya tipe cowok berengsek yang demen ninggalin cewek tanpa alasan gitu, ya?" Kin tersimpul usil.

"Bangs*t!" Andara langsung menjambak rambut di depannya sementara Natha tertawa puas, menertawai muka bodoh Kin.

 ***

Jika kebanyakan korban pemutusan sepihak akan memblokir sang mantan, Andara tidak melakukannya. Seolah tidak terjadi apa-apa, dia tetap berteman dengan Buana di semua sosial media; Twitter, Facebook, dan Instagram. Meski namanya sudah tidak muncul di halaman profil Facebook Buana karena cowok itu mengubah status 'in a relationship with Andara Ratrie' menjadi 'is complicated', Andara berusaha santai. Dia tidak gegabah untuk menghapus pertemanan atau menyembunyikan foto berdua yang pernah diunggah. Nomor telepon Buana juga tidak diblokir, cowok itu bisa mengiriminya sms, bisa meneleponnya atau melihat status WhatsApp-nya. Tidak banyak orang yang tahu kalau dirinya dan Buana sudah putus. Khalayak ramai mengira mereka baik-baik saja.

Balas dendam tetap balas dendam, hanya saja Andara ingin melakukan dengan cara yang cerdas. Tidak perlu unfollow mantan untuk menunjukan diri sudah move on. Tidak perlu block mantan agar terlihat kuat. Andara punya cara yang lebih baik dari itu semua.

Dia tersimpul melihat viewers Snapgram-nya. Ada Buana di sana. Cowok itu melihat foto dirinya, Natha dan Kin yang diambil tadi di Starbucks. Mereka berpose lucu dengan tambahan kuping dan hidung kelinci. Boomerang-nya juga dilihat Buana. Mantannya itu harus tahu kalau sepeninggalannya Andara baik-baik saja, sangat baik-baik saja.

"Lo kenapa sih nggak mau sama Kin?" Natha ikut duduk di sampingnya, menatap televisi. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam tetapi Andara belum mengantuk. "Kin kan ganteng, lumayan pinter gue rasa dan dia tajir juga."

Andara hanya menanggapi Natha dengan lenguhan. Dia membuka ponsel, ternyata Natha mengiriminya foto hasil tangkapan cewek itu termasuk foto candid Kin dengannya.

"Ra, gini." Cewek itu memiringkan badan seutuhnya ke arah Andara. "Tantangan hidup lo ini lebih berat. Lo harus dapat cowok yang lebih segalanya dari Buana. Dari segi fisik, otak atau fulus. Biar itu cowok tahu rasa, Ra."

"Iya, tapi nggak langsung jadian sama Kin juga walaupun sama-sama baru putus. Itu sih namanya pelarian."

"Wow! Gue nggak nyangka ternyata Andara berhati mulia!"

"Cincong!" Andara mulai tertawa.

Dia memang mengenal Kin dari Natha. Cowok itu dikenalkan sepintas saat bertemu sekitar dua atau tiga bulan yang lalu. Andara tidak pernah berpikir apa-apa mengenai Kin. Buat Andara, temannya Natha berarti teman dia, begitu juga sebaliknya. Dari awal mengenal Kin, dia tahu kalau cowok itu orang berada. Kin tidak pernah bercerita kekayaannya tetapi Andara maupun Natha bisa menilai dari apa yang dipakai cowok itu. Jangan bayangkan kalau Kin akan seperti sosok-sosok yang seliweran di feeds dengan judul 'Berapa harga outfit lo?'. Cowok itu sering memakai baju polos tanpa terlihat merek, hanya saja, stratanya terlihat dari jam tangan juga sepatu yang dipakai. Menjadi penyiar radio Best Grup dengan segmentasi ekonomi pendengar golongan A alias menengah ke atas, Andara tentu mengerti apa itu Tag Heuer, Panerai atau Patek Philippe. Merek terakhir malah biasa dia lihat melingkar di tangan sang Opung saat dirinya masih kecil, ketika dunia masih baik-baik saja.

Rumah Kin juga berada di kawasan Best, yang berarti keluarganya termasuk jajaran Orang Kaya Lama. Entah dari mana asal mula istilah Orang Kaya Lama. Sebutan itu disematkan untuk mereka yang sudah memiliki kekayaan di tahun Soekarno atau Soeharto menjabat menjadi Presiden, sedangkan Orang Kaya Baru alias OKB adalah orang kaya yang baru saja melek dunia dan sibuk belanjakan harta.

Kin memang bukan tipenya. Kulit cowok keturunan Jepang itu putih bersih sedangkan Andara menyukai cowok berkulit kecokelatan seperti Buana. Ada gambaran primitif yang tertanam kalau cowok berkulit kecokelatan adalah sosok yang tahan banting dibanding cowok berkulit putih. Untuk ukuran warga khatulistiwa, cowok berkulit putih dinilai terlalu lemah dan tidak pernah terkena garangnya matahari.

"Ra," panggil Natha, menyadarkan lamunannya.

"Kin anak UTM, lho, ambil teknik mesin." Seolah masih mau mengubah keputusannya, Natha memberi tahu informasi yang tidak ingin Andara ketahui kalau Kin kuliah di Universiti Teknologi Malaysia. "Anak teknik," tekannya antusias. "You know what I mean, 'kan?"

"Sialan!" balas Andara mengetahui maksud dari senyum simpul Natha. Mereka dahulu pernah membahas hal-hal absurd sampai ke pembicaraan tentang jurusan dan sepakat kalau anak teknik lebih terlihat menarik daripada anak jurusan apa pun dalam satu kampus.

"Say thanks to Audrey Nathania," pinta Natha sambil tertawa.

"Tetap aja itu nggak serta merta menjadikannya pacar gue."

Natha mengakhiri tawanya dengan puas. "Seenggaknya gue menawarkan kriteria yang berbobot untuk jadi pengganti si kampret itu. Kok bisa sih Buana kayak gitu? Gue tuh masih nggak nyangka tahu nggak?!"

Pertanyaan Natha tidak dijawab Andara. Dia memilih berdiri dan jalan cuek menuju kamar. Pembahasan tentang Buana sangat dihindarinya. Tidak oleh Natha atau Kin, semua orang yang membahas Buana akan diabaikannya. Percuma saja membahas orang yang sudah pergi. Ibaratkan orang mati, membahas nama Buana hanya mendatangkan sosok hantu dalam tubuh Andara. Hantu yang makin lama semakin besar menghitam, yang bernama dendam dan haus darah pembalasan.

Sembari merebahkan badan, Andara kembali membuka ponsel. Ada notifikasi dari Instagram. Sebuah pesan masuk mengomentari unggahan Snapgram-nya.

Kin.dhana: Gosh! Beneran lo upload muka kelinci polos itu!

Andaratrie: 🤪🤪🤪🤪🤪

Kin.dhana: Keluar, yuk.

Andaratrie: Ngapain?

Kin.dhana: Beliin lo otak. 😜

Andaratrie: Lo tahu nggak fungsi tombol block? 😏

Kin.dhana: Udah malam masih emosian aja. Eh, si Natha ditelepon Putra nggak?

Andaratrie: Nggak tahu. Kenapa?

Kin.dhana: Kayaknya mereka berantem gara-gara gue.

Andaratrie: Si Putra view Snapgram gue sih. Mampos, lo. Mampos! 🤧

Kin.dhana: Putra DM gue sih tanya tadi kita ngapain.

Btw, kayak nggak ada WhatsApp, ya?

Kita bales-balesan di DM.

Andaratrie: Yang mulai duluan siapa ya, Om?

Kin.dhana: Dasar Tante gamov!

Andaratrie: Andaratrie is blocking Kin.dhana!!

Kin.dhana: 🤣

Andara tidak membalas kembali pesan Kin. Tangannya bergerak membuka profil Instagram cowok itu. Berteman di akun pengunggah foto tidak membuat Andara sering memperhatikan apa saja yang diunggah Kin dan malam ini, dia baru meneliti akun seorang Kin Dhananjaya. Meski perawakan Kin bukanlah tipenya, setidaknya isi Instagram cowok itu berada dalam zona hijau. Bukan tidak ada sekali atau dua kali wajah cowok itu terpampang di unggahan Instagram-nya tetapi perlu Andara akui bahwa gaya dan bahasa tubuh Kin berkelas, tidak ada foto yang terlihat alay atau memaksakan diri. Jika saja Andara tidak kenal dengan Kin, mungkin saja permintaan pertemanannya tidak di-approve cowok itu. Instagram cowok itu benar-benar private dan followers-nya juga hanya orang-orang yang dikenal Kin. Sepertinya old money memang bermain sosmed hanya sekadar untuk sharing bukan show off seperti orang biasa.

Bibir Andara kembali bersimpul. Memang benar Kin melebihi Buana dan cowok itu tidak memalukan sebagai pengganti mantan yang keparat. Akan tetapi, Kin adalah teman. Tidak baik bermain status dengan seorang teman apalagi yang baik seperti Kin.

Ponselnya berbunyi lagi, kali ini sebuah pesan masuk ke WhatsApp.

Kin Dhananjaya: Ra...

Andara Ratrie: Oi.

Kin Dhananjaya: Ririn ada DM lo nggak?

Andara Ratrie: Apa nama IG-nya? Banyak banget yang DM gue.

Kin Dhananjaya: Somboooong!

Kin Dhananjaya: Ririnta_lie.

Andara langsung membuka Instagram, memeriksa pesan masuk yang belum dibaca. Dia memang malas membaca pesan dari orang-orang yang tidak dikenal. Sesekali pesan itu dibaca tetapi tidak dibalasnya.

Andara Ratrie: Ada. 😝

Kin Dhananjaya: Apa katanya?

Andara kemudian menyalin pesan yang dikirimkan Ririn ke Kin. Cewek itu bertanya ada hubungan apakah dia dengan Kin.

Kin Dhananjaya: Jangan dijawab, ya.

Andara Ratrie: Kenapa?

Kin Dhananjaya: Panjanglah ceritanya. Dia nguntit melulu, risi gue.

Andara Ratrie: Hm... tapi jempol gue kadang suka gatal kalau baca DM yang nyolot kayak begini, lho. 😆

Kin Dhananjaya: Jangan dijawab Tante resek!

Andara memeriksa akun Ririn. Cewek itu cantik, fotonya selalu mempertontonkan kecantikan yang dipunya, tetapi followers-nya sedikit, likes setiap foto juga tidak seeksis miliknya atau Natha. Dia tertawa membaca pesan cewek itu. Tampak dengan jelas kalau sang mantan Kin masih menyimpan rasa. Buktinya sampai menemukan akun Andara dan menyoroti setiap unggahannya. Menggelikan sekali melihat orang yang masih kepanasan ketika tahu mantannya terlihat bahagia. Bagaimana jika Buana yang seperti ini? Andara mengetukkan telunjuk ke keningnya. Sepertinya seru.

Andara Ratrie: Kin, apa gue posting foto kita berdua yang tadi aja? 😈

Dia teringat foto kiriman Natha. Salah satu hasil candid yang tertangkap ada Kin dan Andara saling berhadapan dan tertawa. Natha memang ahli menangkap angle yang menarik sehingga baik Kin maupun Andara terlihat natural dan tidak sadar kamera.

Kin Dhananjaya: Boleh. Tag gue, ya.

Andara Ratrie: Gue tag sama mention lo gede-gede Bosque!

Kin Dhananjaya: Siap!

Awal mengenal Kin, cowok itu sangat sopan. Andara tidak kaget karena old money yang dikenalnya memang rata-rata berperangai begitu. Malah Andara dan Natha yang sering mengajarkan Kin hal-hal yang tidak diketahui cowok itu, termasuk gaya bahasa slengean. Sampai sekarang saja, Kin masih sering terkaget-kaget melihat perilaku mereka, termasuk perilaku Andara yang menyiramkan Coca-Cola ke Buana.

Andara menyeringai dan mengunggah foto yang dikirimkan Natha. Dia juga tidak sabar akan melihat bagaimana komentar orang-orang, juga Buana dan Ririn tentunya.

Andaratrie: coffee and a lot of laughs with @Kin.dhana

Tak berselang lama, seolah ikut memanasi kejadian, komentar Natha dan lainnya masuk. Andara tergelak senang ketika mendapati DM dari Buana.

Buana.Semesta: Bilangin aku selingkuh sampai nyiram-nyiram bukannya kamu yang punya pacar baru duluan?

Tidak, Andara tidak membalas. Dia cukup membaca dan menertawai dalam hati. Apa sih maksud Buana masih pakai kamu-aku? Cowok itu waras?

Buana.Semesta: Thanks for read only.

Bahu Andara berguncang ringan. Dia terkekeh-kekeh mendapati kebiasaan Buana masih saja tidak berubah, marah jika tidak dibalas dan merasa terganggu jika dia dekat dengan cowok lain.

Dear Buana, saya tidak kalah! Ini belumlah apa-apa. Andara semringah sekali. Dia mendengar seruan Natha dari kamar sebelah.

"Woi, Ra! Lo bilang nggak mau sama Kin tapi malah upload foto berdua. Kin juga muna, bilangnya lo gila tapi ikut upload foto yang sama. Dasar lo berdua!"

Tawa Andara memudar. Dia refleks terpekik ketika memeriksa akun Kin. Benar kata Natha, cowok itu juga mengunggah foto yang sama di akunnya.

Lho, Kin?! Lho?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!