Terimakasih sudah memilih Novel: The Spirit Crazy Handsome, sebagai bahan bacaanmu sekarang.
Selamat Membaca!
______
___
_
Kesepian dan kesendirian adalah hal yang biasa bagi Putri Lily. Gadis yang sejak bayi dibesarkan di sebuah panti asuhan kini tumbuh menjadi sosok yang cantik dan menggemaskan.
Sekarang umurnya sudah menginjak 20 tahun dan saatnya dia untuk pergi meninggalkan panti asuhan yang sudah dianggapnya sebagai rumahnya sendiri.
Putri mendapatkan panggilan pekerjaan di sebuah Perusahaan ternama di Jakarta. Karena riwayat pendidikan hanya menginjak bangku SMA, ia diterima menjadi office girl, pekerjaan yang cukup membuatnya senang.
Putri sudah menyewa sebuah kamar kosan yang tidak jauh dari perusahaan tempat ia berkerja saat masih berada di panti asuhan. Alasan yang tepat untuk menghemat uang agar ia bisa menabung untuk kelangsungan hidupnya di masa depan.
Setelah mengurus urusannya pada pemilik kos dan meminta kunci kamarnya, Putri langsung masuk ke kamar yang akan menjadi awal dari perjalanan hidupnya sendiri.
Matanya mengedar memandangi setiap sudut kamar “Tidak buruk juga,” ucapnya yang langsung membereskan bawaan, merapihkan kembali kamar yang sebenarnya sudah dibersihkan oleh pemilik kos.
Tapi Putri adalah gadis yang cinta kebersihan jika ia tidak membersihkannya sendiri entah kenapa tangannya begitu sangat gatal. Setelah selesai dengan beres-beres, ia membaringkan tubuh dan terlelap setelahnya.
***
Hari ini adalah hari minggu. Putri yang mulai bosan memutuskan untuk keluar menghirup udara segar.
“Ahh… udara di Jakarta tidak buruk juga,” ia bergumam.
Diambilnya selang yang berada tidak jauh dari tempatnya, memutar keran, kemudian menyiram bunga yang berada di pot-pot yang tersender disetiap tembok.
“Bunganya cantik, hihii” entah apa yang dipikirkannya, dia malah terkekeh sendiri.
Ya, memang Putri sedikit aneh, ia seperti ini saat perbosanan sudah mencapai puncaknya.
Putri yang sedang asik menyiram bunga dikejutkan dengan suara pintu yang dibuka dengan kasar
"Brakk!"
“Mamii! pintu kosanku macet lag!!” teriak gadis yang dengan susah payah membuka pintu itu dan keluar dengan muka cemberut karena tidak mendapat tanggapan dari pemilik kos.
“Huhh selalu saja begini… dasar pemilik kos pelit!” umpatan keluar dari bibir gadis itu. Ia kemudian merapihkan rambutnya di cermin kaca jendela. Putri yang melihat kejadian tadi mendekati gadis itu untuk bertegur sapa.
"Hai, Mba,”
Gadis itu pun menoleh, “Haii…” balasnya dengan senyuman senang seraya menghentikan aktifitasnya.
“Namaku Putri, sekarang aku tinggal di kamar sebelah.” Putri memperkenalkan diri kemudian menyodorkan tangannya.
Gadis itu menyambut tangan Putri dan menariknya sambil cipika cipiki menempelkan pipi mereka ke kanan dan ke kiri. Putri sempat terkejut tapi ia hanya membalasnya dengan canggung.
“Aku, Sisy. Kosanku di sini,” tunjuknya pada kamar dimana tempat ia berdiri. “Kamu tau Put, ibu kos di sini pelit banget. Aku sudah di sini selama 2 tahun dan selalu mengeluh tentang pintu yang rusak, tapi enggak pernah diperbaiki. Huft,” Sisy memberi penjelasan dengan sangat lucu yang hanya dibalas kekehan kecil dari Putri.
Putri menatap lekat pada gadis yang ada dihadapannya terlihat sangat cantik. Melihat dandanan dan tas yang gadis itu kenakan sepertinya ia akan pergi ke suatu tempat.
“Mba mau pergi ya?” Putri memberanikan diri untuk bertanya, jika boleh ia ingin sekali ikut berjalan-jalan sambil mengenal kota ini.
“Ahh, iya, kamu benar! kenapa aku bisa lupa? untung saja kamu mengingatkan … apa kamu mau ikut?”
“A.apa boleh Mba?” ucap Putri dengan mata yang berbinar.
“Boleh saja. Wajahmu itu mudah banget ditebaknya," Sisy terkekeh pelan, Putri mencoba menutup wajahnya, ia malu. "O iya, tapi jangan panggil aku mba dong! Memang aku setua itu? sepertinya kita hanya berbeda beberapa tahun.”
“Ahh... maaf mba. Ehh, maksudku Sisy,”
“Ya sudah. Cepat sana ganti baju dengan yang bagus, aku akan tunggu di sini.” Titahnya.
“Iya!” Tanpa pikir panjang lagi Putri dengan senyum yang mengembang berlari kecil ke kamar kosnya.
***
Dua orang gadis yang sama-sama cantik masuk ke dalam sebuah kafe. Putri mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kafe tersebut takjub dengan pemandangan yang ada disekelilingnya sekarang.
"Wahh! Tempat ini sangat bagus." Kagumnya tanpa menghilangkan senyum di wajah.
Dari kejauhan Putri melihat ada beberapa orang melambaikan tangan ke arahnya. Putri menoleh pada Sisy yang juga sedang menyambut lambaian tangan mereka kemudian menarik lengan Putri untuk menghampiri dua orang yang memang sedang menunggu ke datangannya.
“Hai… Sisy, lama nggak jumpa,” ucap seorang pria yang lumayan tampan dengan tinggi yang ideal.
Sisy menyuruh Putri untuk duduk bergabung bersama teman-temannya.
“Gimana? sudah beres?” tanya Sisy bergantian menatap orang yang ada di depannya.
“Tentu saja…,” jawab wanita dengan rambut panjang yang tergerai.
“Jadi mau cast atau transfer?” tanya Sisy lagi, masih pada dua orang yang ada di depannya. Putri yang berada di sana hanya diam mengamati tak mengerti.
“Transfer aja. Gue males bawa uang cast.” jawab wanita itu sambil memakan kentang goreng miliknya dan sesekali menyuapi pria yang ada di sampingnya. Mungkin mereka sepasang kekasih, pikir Putri karena mereka terlihat sangat intim.
Tanpa sadar Putri terus memperhatikan pasangan itu. Wanita yang ditatap Putri menoleh ke arahnya, mata mereka bertemu, Putri membeku seketika.
“Sy, ini siapa?” tanya wanita itu masih dengan mengunyah kentang goreng. Sisy kemudian melirik Putri.
“Ohh ... iya, gue lupa. Kenalin tetangga kosan gue namanya Putri.” Sisy memperkenalkan.
“Halo mba, mas, aku putri salam kenal.” ucapnya sesopan mungkin.
“Gue Vey dan ini Aldi pacar gue.” Tunjuk pada pria yang ada di sampingnya. Pria itu tersenyum simpul.
“Oh, mba Vey dan mas Aldi.” ucap ulang Putri yang disambut kekehan dari Sisy.
“Plis deh, panggil aja gue Vey jangan ada embel-embel mba!” sewot Vey yang tidak suka dipanggil 'mba'.
“Maaf, Vey.” Putri gugup karena mendapat tatapan yang menurutnya meyeramkan.
Sisy yang merasa ada aura kecanggungan mulai membuka suaranya.
“Put kamu mau pesan apa?” tanya Sisy yang menyodorkan daftar menu.
“Yang ini aja, Sy.” tunjuk pada salah satu menu yang terlihat menggiurkan.
Sisy memanggil pelayan kemudian memesan makanan. Setelah menunggu beberapa menit pesanan pun datang.
“Makasih ya, Mas,” ucap Sisy pada pelayan tadi. Tidak ada obrolan lagi karena mereka sedang sibuk dengan makanan masing-masing.
Putri sekali lagi menatap ke depan di mana sekarang Vey sedang menyuapi Aldi seperti anak kecil karena sibuk memainkan handphonenya.
“Ayo dong beb, buka mulutnya, aa….” Vey mendekatkan sendok ke mulut Aldi tapi pria itu menggelengkan kepalanya.
“Gk mau, kamu aja beb yang makan.”
Aldi menyingkirkan tangan Vey. Putri yang masih memperhatikan dua sejoli ini hanya tersenyum. Vey yang mendapat penolakan tidak menyerah. Ia kembali mendekatkan sendoknya.
“Aldi… bebebku coba lihat sini,” Dengan nada yang sedikit manja, Vey membujuk kekasihnya. Aldi sangat lemah bila Vey mulai bersikap seperti itu. Dia pun menoleh dan …
Chupp-
Ciuman kilat mendarat dibibir Aldi. Aldi yang mendapatkan ciuman itu hanya bungkam dan mulai menuruti apa yang disuruh Vey. Ia membuka mulutnya dan memakan apapun yang diberikan oleh Vey.
Adegan yang baru saja terjadi berhasil membuat seluruh tubuh Putri menegang. Matanya membulat dengan sempurna, tidak percaya bahwa ia bisa menyaksikan adegan dewasa ini. Bagi Putri ini adalah pertama kalinya melihat seseorang berciuman tepat di depan matanya, walau bagi sebagian orang ini adalah hal yang biasa.
Sisy yang tidak menyadari adegan tadi melihat Putri dengan air muka yang sulit digambarkan.
“Put, kamu kenapa?”
Vey dan Aldi menatap sekilas pada Putri dan Sisy kemudian melanjutkan kegiatan mereka.
“Put, putri!” panik Sisy sambilmengguncang tubuh Putri.
“Ahh, iya, kenapa?” jawab Putri dengan wajah bingung.
“Kamu tuh, yang kenapa, bikin panik aja… Ya udah, kita pulang aja sekarang! udah sore.” Sisy mengambil tasnya kemudian berpamitan pada dua sejoli dihadapanya. Putri merasa tidak enak hati dan hanya mengikuti dari belakang.
“Vey, Aldi, gue pulang dulu ya bye!”
“Iya hati-hati Sisy, jangan lupa transferannya!”
“Sip.” Sisy menjawab sambil mengangkat jempolnya.
Mereka berdua pun meninggalkan tempat tersebut. Ketika sedang menunggu taksi, Sisy mendapat panggilan telepon dari seseorang.
“Bentar ya Put.” ucap Sisy yang ingin mengangkat telepon tersebut. Putri mengangguk mengerti.
Sisy melangkah sedikit menjauh daari keberadaan Putri. Terlihat raut wajah gadis itu menegang ketika berbicara di telepon.
Setelah beberapa menit berlalu, Sisy menghampiri Putri yang menunggunya di sebuah bangku.
“Kamu sibuk nggak?” tanya Sisy ragu-ragu.
“Sepertinya enggak, aku baru pindah dan mulai persiapan kerja minggu depan,” jawabnya tersenyum hangat.
“Kalau begitu ikut aku dulu yuk… setelah itu kita pulang.” Ajak Sisy dengan mata yang berlinang. Putri yang merasakan ada yang tidak beres bangkit dari duduknya.
“Ke mana Sy?” tanyanya penasaran.
“Temani aku. Kita ke rumah sakit sekarang.” Sisy menarik paksa tangan Putri lalu memberhentikan sebuah taksi.
Saat turun dari taksi, Sisy tidak melepas pengangan tangannya pada lengan Putri. Ia terus menariknya ke tempat yang akan dituju. Putri yang kebingungan hanya bisa mengikuti langkah Sisy yang tergesa. Sesekali pandangannya mengedar melihat betapa besar rumah sakit yang sedang ia kunjungi. Kekaguman terpancar dari kedua bola matanya.
Rumah sakit ini begitu besar, pasti biayanya mahal. Tapi kenapa Sisy membawaku ke sini? Pertanyaan itu kini bersarang dibenak Putri.
Kini mereka sampai pada sebuah ruangan bernomor A-301 VIP. Ruang rawat inap yang sangat mewah dengan fasilitas lengkap. Sisy melangkahkan kakinya terlebih dahulu, genggaman pada lengan Putri kini dilepasnya.
Sisy melangkah perlahan, mendekat pada seseorang berbalut perban yang tak berdaya berbaring di ranjang.
“Sepertinya parah.” Putri yang melihat itu bergumam sambil melihat lebih detail.
Pria yang berbaring di sana terlihat sangat menyedihkan dengan perban yang melilit seluruh tubuh dan wajahnya. Terlihat beberapa alat bantu untuk hidup terpasang dibagian tertentu, jika dilepas mungkin pria itu sudah tewas.
Sisy menggenggam tangan pria tersebut, mengusap pucuk kepala dan mencium keningnya penuh kasih sayang. Masih dengan menatap pria yang terbaring tak berdaya. Wajah Sisy seperti menahan tangis, kesedihan sedang menyelimuti perasaannya. Ia tersenyum simpul kemudian mendekatkan wajahnya pada pria itu.
Putri yang melihatnya seperti itu mulai merasa tegang, suasana di sekitarnya mendadak terasa panas. Pikiran aneh terlintas dalam kepalanya.
Apa Sisy mau menciumnya?
Putri sangat gelisah, ia masih syok dengan kejadian di kafe tadi, saat Vey mencium Aldi. Apa ia akan melihat hal itu dua kali?
Ohh ya ampun! aku bisa gila di sini. Baru saja sehari, aku sudah disuguhkan dengan yang begituan. Pikirannya mulai tak terkendali.
Dengan cepat Putri menutup matanya. Menghindari hal yang akan terjadi dalam pikirannya. Tapi hal itu sama sekali tidak terjadi. Putri bernapas lega, dan tak terasa suhu ruangan ini kembali normal.
Sekarang wajah Sisy berada di samping kepala pria itu dan memajukan sedikit bibirnya membisikan sesuatu.
Putri hanya menatapnya dengan heran. Mendadak bulu kuduknya merinding. Bukan karena melihat Sisy membisikan sesuatu, tapi karena suhu diruangan ini seakan berubah-ubah.
Dan entah sejak kapan, Putri merasakan bahwa ada seseorang yang sedang berada di sebelahnya. Ia selalu menolehkan kepala tepat ke sebelah kanan hanya untuk sekedar memastikan bahwa tidak ada apa-apa di sana.
Sekarang Putri merasa seperti ada yang memegang tangan kanannya, mengelus lembut tiap senti kulitnya.
"Perasaan apa ini? Apa ada hantu di sini?" gumamnya sambil menatap sekitar, rasa takut mulai dirasakannya.
Putri mencoba menutup kedua matanya. Seperkian detik kemudian ia merasakan ada tiupan angin pada bagian pipi dan leher. Keadaan ini benar-benar membuatnya gila.
"Putt, kita pulang. Aku sudah selesai.”
Mendengar suara Sisy sontak membuat Putri membuka kedua matanya yang tadi tertutup karena merasakan sensasi aneh tersebut..
“Ahh, iya ayoo.” Putri langsung pergi keluar sambil mengusap-usap dadanya, menyetabilkan detak jantung yang sekarang terpacu sangat cepat.
Mereka berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Sesekali Putri mendelik pada Sisy yang berjalan dengan lemah tanpa bersuara, membuat kesunyian terasa lebih dingin.
“Sisy, yang tadi itu siapa? Sepertinya lukanya sangat parah.” Putri membuka percakapan, sebenarnya rasa penasaran begitu sangat besar.
Seketika Sisy menghentikan langkahnya kemudian menatap Putri tanpa ekspresi.
Tu-tunggu ... apa dia marah? Batin Putri.
Sedetik kemudian Sisy tersenyum dan melanjutkan langkahnya. “Dia kekasihku, aku sangat mencintainya.” Jawabnya dengan wajah menatap lurus ke depan.
“Kenapa kekasihmu ada di rumah sakit ini?”
“Dia ... mengalami kecelakaan.” Sisy menundukan kepalanya dan mulai terisak di tempat.
Putri mulai memahami situasi yang terjadi. Sisy pasti sedih sekali karena orang yang sangat ia sayangi kini terbaring di rumah sakit tak berdaya dengan kondisi yang sangat memperihatinkan.
Secara reflek, Putri mengelus pundak Sisy yang gemetar, memberi keyakinan bahwa dia adalah gadis yang kuat.
“Saat mengetahui musibah itu, aku enggak terima sama sekali! Dan terus menangis selama seminggu. Sampai matakku membengkak dan kesehatanku menurun..” Sisy mencoba menjelaskan.
“Pasti sulit ya….” Putri terhanyut ke dalam peraasaan Sisy, suaranya gemetar.
“Tapi ... sekarang aku sudah bisa menerima semuanya, walau kata dokter sudah nggak ada kemungkinan untuk dia sembuh. Aku masih tetap yakin dia akan baik-baik saja.” Matanya berkaca-kaca menatap Putri.
Putri kembali menguatkan dengan memeluk tubuh Sisy dan memberinya elusan. Terlihat di mata Putri bahwa Sisy sangat mencintai kekasihnya itu.
Andai saja Putri juga bisa merasakan mencintai dan dicintai. Seberapa sulit pun nanti, ia juga pasti akan berpikir seperti Sisy. Putri juga yakin bahwa kekasih Sisy akan baik-baik saja dan mereka akan memulai kebahagiannya kelak.
Menepis semua impian. Cinta, sangat jauh dalam hidup Putri. Ia sudah lama meratapi hidupnya. Kehidupan di panti asuhan terbilang lumayan dibanding hidup di jalanan.
Kini, ia menjadi gadis sebatang kara yang hanya berjuang untuk hidup dengan layak. Membangun sebuah keluarga menjadi nomor sekian baginya.
Senyum getir tersungging di bibir Putri, setelah mengingat kembali tujuan sebenarnya ke kota ini.
***
“Sisy, makasih sudah ajak aku jalan-jalannya, sangat menyenangkan.” Ucap gadis bermata hazel dengan senyum yang mengembang.
“Iya, kapan-kapan kita keluar bareng lagi oke.” SIsy memasang senyum simpulnya.
“Iya!” jawab Putri bersemangat.
Setelah saling membalas senyum mereka berdua masuk ke dalam kosannya masing-masing.
Putri yang sudah berada dalam kamarnya menaruh tas yang ia jinjing ke sembarang tempat. Hari ini ia sangat kelelahan.
Putri merebahkan tubuhnya di atas kasur dan mulai terlelap.
Jam menunjukan pukul 21.00 WIB.
Putri yang ketiduran mulai mengerjapkan matanya. Ia merasakan ada sesuatu yang aneh menempel pada bibir mungilnya. Terasa lembut dan kenyal.
Ia tersentak kaget ketika melihat wajah seseorang yang begitu dekat dengan wajahnya kini sedang mencium bibirnya.
“Aaaa!!” Pekiknya kemudian terhenyak dari tidurnya, menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya.
“Si-siapa kamu?!” tanyanya dengan tubuh yang sedikit gemetar.
Pria itu hanya diam dengan seringaian kecil seperti ingin menerkam mangsa yang ada di hadapannya sekarang.
Kedua bola mata Putri membulat sempurna dengan mulut yang menganga.
Pria yang berada di depannya bergeming dan hanya memperhatikan tingkah Putri yang menurutnya menggemaskan. Pertanyaan yang bahkan dilontarkan tak dipedulikannya.
"Aaaa!" Putri kembali berteriak, takut terjadi hal buruk yang akan menimpanya.
Tak lama datang Ibu kos dan Sisy yang mendengar jeritan Putri.
Mereka berdua langsung masuk ke kamar Putri yang kebetulan tidak dikunci, melihat gadis mungil itu duduk dipojokan kasur dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya.
“Nak, kamu kenapa?” tanya Ibu kos mendekati. Putri langsung memeluk Ibu kosnya dan menunjuk ke arah pria yang ada di hadapannya.
“Bu... Pria itu tiba-tiba ada di kamarku!” adunya sambil menangis.
Ibu kos dan Sisy yang melihat Putri menunjuk ke satu arah merasa heran. Pasalnya mereka berdua tidak melihat apapun di sana.
“Putri tenang ya, kamu mungkin kecapean. Di sana nggak ada apa-apa kok,” ujar Sisy menenangkan.
Putri yang mendengar itu kaget. “A-apa? gimana bisa, lihat! dia masih ada di sana! Pergi kamu! pergi!”
Ibu kos dan Sisy menghela napas dan saling menatap. Apa yang harus mereka lakukan? Putri terlihat sangat ketakutan.
“Put, lebih baik kamu tidur di kamarku aja.” Sisy memeluk Putri yang masih terisak di tempatnya memberikan solusi terbaik yang bisa ditawarkan.
“Iya, kamu lebih baik di sana dulu, mami takut kamu teriak lagi nanti dan malah mengganggu penyewa yang lain.” Tegur Ibu Kos.
Putri pun setuju dan mulai membawa bantal dan selimut, namun ekor matanya masih terus tertuju pada satu tempat.
Dia di situ. Bagaimana bisa kalian enggak melihatnya? Apa mungkin dia... hantu?!
Seketika tubuh Putri menegang dan bergetar hebat dia sangat ketakutan. Wajahnya sekarang menjadi pucat pasih.
Setelah kepergian Putri dan yang lain. Pria yang disebut hantu itu berbaring di kasur yang Putri tiduri tadi.
‘‘Wangimu harum, wajahmu juga cantik dan kau adalah gadisku sekarang. Aku nggak akan melepaskanmu dan kamu akan menjadi milikku.” Hantu pria itu menyunggingkan senyum.
Keesokan harinya, Putri masuk ke dalam kosan dengan hati-hati, takut pria yang masuk ke kamar kosnya masih berada di sana. Tapi, yang ia waspadai sudah tidak terlihat.
Apa dia sudah pergi? batinnya merasa lega.
Lalu tanpa banyak berpikir lagi, ia pergi untuk bersiap-siap pergi ke tempat kerja.
Semalam saat menginap di kamar Sisy, Putri mendapat pesan masuk pada hapenya bahwa tanggal masuk dia bekerja dimajukan, karena ada pegawai yang tiba-tiba mengambil cuti.
Putri memakai kemeja putih dan celana hitam, rambut panjangnya dikuncir ke atas, tak lupa membubuhkan sedikit riasan pada wajahnya yang polos. Dengan membawa sebuat tas selempang, ia berjalan dengan percaya diri menuju perusahaan tempatnya bekerja.
Awal yang baik dan pekerjaan yang cukup mudah. Putri mulai terbiasa dengan setiap pekerjaannya, orang-orang yang ada di sana pun terbilang ramah dan suka menyapa.
"Putri ya? OG baru?" tanya seorang wanita dengan tahilalat di ujung bibir.
Putri yang sedang duduk beristirahat segera bangkit. "Iya, saya." sahutnya.
"Baca dan hapalkan. Setidaknya kamu tahu siapa pemilik perusahaan ini." Wanita itu memberikan beberapa kertas kemudian pergi.
Putri memperhatikan dengan seksama. Dalam kertas itu terdapat daftar pemimpin perusahaan beserta jabatannya.
"Enggak harus dihapalkan semua. Cukup kamu mengenal pak Andrian saja."
Putri menoleh, di belakangnya sudah ada Meera yang ikut melihat kertas yang ia pegang. Meera sudah bekerja lebih dari dua tahun di perusahaan ini, dan dia juga yang pertama kali membimbing Putri dalam pekerjaannya.
"Kenapa memangnya mbak?"
"Karena pak Andrian adalah CEO yang super tampan." Meera tersenyum cerah tepat di depan wajah Putri. "Siapa pun yang ada di hadapannya pasti selalu terpesona." Lanjutnya.
"Setampan itu?"
Meera mengangguk. "Tapi, sayangnya dia punya tempramen yang buruk."
"Terus gimana sama pemimpin yang lain? Aku juga harus tahu mereka kan?"
"Duh, putri, putri ...," tangan Meera menepuk-nepuk pundak Putri. "Dulu, saat mbak menjadi OG baru sama sepertimu, mbak juga disuruh menghapal mereka, dan mbak mengikutinya. Tapi apa manfaat itu sekarang? bahkan bagian HRD enggan untuk bertemu atau menatap muka. Pekerjaan kita hanya bersih-bersih, setelah jam kerja selesai pekerjaan kita pun selesai, setelah itu ... pulang." Meera menceritakan pengalamannya.
Perusahaan yang besar menjadikan setiap pekerja hanya melihat pada jabatan yang tinggi dan lupa pada mereka yang seakan tak terlihat padahal ikut andil berkontribusi. Walau ada sebagian dari mereka yang masih tersadar bahwa tahta bukanlah segalanya. Tapi sifat manusia sangat kentara ketika mereka berada di puncak kejayaan.
Meera sangat menghawatirkan Putri. Pengalamannya bekerja sebagai office girl selama ini menimbulkan luka tersendiri. Hanya gaji yang lumayan besar yang membuatnya masih bertahan sampai sekarang.
"Begitu ya," Putri tersenyum simpul. Pipinya yang chubby menggembul.
"Makanya Putriii, kamu jadi orang jangan terlalu polos ya, ingat kata mbak. Utututuu...." Meera yang melihatnya langsung mencubit gemas.
"Aww, sakit mbak meera." Ringisnya.
Meera melepaskan cubitannya, Putri mengusap pipinya yang memerah. "Mbak jadi enggak tega ninggalin kamu. Kita baru aja kenal, tapi mbak merasa nyaman sama kamu. Seminggu lagi mbak akan risen karena suami mbak sudah jadi karyawan tetap di perusahaan lain, dan mba akan disibukkan menjadi ibu rumah tangga dengan dua anak." Wajahnya berubah sedih.
"Aku juga ngerasa nyaman sama mbak meera." Senyum Putri mengembang, "mbak seperti sosok yang selalu aku rindukan. Pasti aku akan merasa kehilangan banget saat mbak sudah enggak kerja lagi di sini."
Meera menghela napas berat. "Mau bagaimana lagi, waktu hanya mempertemukan kita secara singkat. Tapi kamu masih bisa menghubungi mbak kalau perlu apa-apa."
"Makasih banyak mba meera." Putri memeluknya sekilas.
"Kerja yuk! Kita udah istirahat cukup lama loh, orang-orang juga sudah kembali kerja."
Putri melihat sekeliling pantry, ternyata sudah tidak ada orang yang beristirahat dan hanya mereka berdua yang tertinggal.
***
Dua orang karyawan dipanggil menghadap pemimpin mereka. Berdiri dengan kepala tertunduk tak berkutik mendengar amarah yang sedang di layangkan pada mereka.
Sebuah proposal terlempar ke depan wajah membuat mereka yang diselimuti rasa takut terperanjat kaget. Napas memburu terdengar gaduh dalam keheningan.
"Pengajuannya ditolak! Kalian dengar!" Tangannya terkepal meninju meja.
"Ma-maaf pak." Seorang dari mereka bersuara. Satunya lagi mengambil kembali proposal yang tergeletak di lantai.
"Maaf Pak Andrian. Kami benar-benar minta maaf." Timpalnya penuh penyesalan.
Andrian yang emosi mengusap wajahnya kasar. Matanya tajam menatap kedua karyawan yang sudah dibasahi keringat.
"Kalian tahu? Kenapa pengajuan itu ditolak?" Nadanya menekan. Kedua karyawan itu terdiam. "Itu karena kalian tidak bisa membuat proposal dengan benar! Saya heran, bagaimana selama ini kalian bekerja? Apa kalian hanya memakan gaji buta?" hardiknya.
"Maaf pak, kami benar-benar tidak tahu kalau terdapat kesalahan dalam proposal tersebut, karena yang mengerjakaan bagian pengeluaran diserahkan kepada anak magang." Karyawan itu mencoba menjelaskan.
Andrian berdecak. "Jangan menyalahkan orang lain! Bukankah itu tugas yang harusnya dikerjakan olehmu, kenapa kamu serahkan ke karyawan magang. Hah!" Ia berteriak membuat kedua karyawan itu mundur dan menunduk semakin dalam.
"Tidak bisa begini. Kalian saya pecat dan segera tinggalkan kantor ini."
Kedua karyawan itu begitu terkejut mendengar keputusan Andrian. Mereka berdua saling melempar pandang.
"Tidak bisa begitu pak, saya bekerja untuk--"
Mata tajam Andrian mendelik ke arah mereka. Karyawan yang ingin berbicara pun tidak melanjutkan perkataannya.
"Baik pak," dengan langkah gontai, keduanya pergi dari ruangan bagai neraka itu.
Putri yang sedang mengepel lantai melihat kedua karyawan yang keluar dari sebuah ruangan menatap lamat-lamat. Terlihat jelas gurat frustasi dan kekesalan pada wajah keduanya. Seperkian detik kemudian suara gelas pecah pun terdengar dari dalam ruangan tersebut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!