NovelToon NovelToon

SELALU ADA TEMPAT BERSANDAR

Bagian I

BAB I MUSIBAH

“Via pulaaang!” teriak Via riang sambil membuka pintu. Ia heran, biasanya mamanya menyambut gadis itu tak lama setelah mendengar teriakannya.

Via melangkah ke dalam. Kaki mungilnya diayun menuju kamar orang tuanya. Ia langsung mengetuk pintu begitu sampai di depan kamar.

“Ma, Via pulang. Mama ada di dalam? Atau Mama sedang tidur?” tanya Via.

Setelah menunggu beberapa saat, Via tetap tidak mendengar jawaban. Akhirnya, ia mencoba membuka pintu kamar. Ternyata terkunci.

“Mbok, Mbok Marsih! Bi Inah!” Via berteriak memanggil ART.

“Ya, Mbak,” jawab Bi Inah sambil bergegas mendekat.

“Mama pergi? Kok kamarnya dikunci?” tanya Via.

“Anu…Itu...Nyonya…’ Bi Inah tergagap.

“Mama kenapa, Bi? Ayolah!” Via mulai tak sabar.

“E…Nyonya sakit. Tadi pingsan trus dibawa ke rumah sakit,” jawab Bi Inah.

Via kaget. Ia tak mengira mamanya sampai dibawa ke rumah sakit. Tadi pagi, saat ia berangkat sekolah, mamanya tampak baik-baik saja.

“Siapa yang membawa mama ke rumah sakit?”

“Mbok Marsih dan Pak Nono. Tadi Mbok Marsih sudah telpon Tuan Wirawan.”

“Bi Inah tahu nggak mama dibawa ke rumah sakit mana?” tanya Via lagi.

“Enggak, Mbak. Coba Mbak Via tanya papanya Mbak Via saja,’ jawab Bi Inah.

Via mengangguk. Ia segera mengambil ponselnya. Setelah mendapat informasi dari papanya, Via meminta Pak Yudi mengantarkannya ke rumah sakit. Ia tidak sempat mengganti seragam putih abu-abunya.

Dengan berlari kecil, Via menyusuri rumah sakit. Tidak sulit menemukan ruangan tempat mamanya dirawat. Di dalam kamar rawat tampak Nyonya Wirawan, mama Via, terbaring lemah. Di samping tempat tidur, sang suami duduk di kursi dengan wajah cemas.

“Pa,” bisik Via. Ia khawatir suaranya mengganggu istirahat mamanya.

Papa Via menoleh. Ia melambaikan tangan, memberi isyarat kepada Via agar masuk.

Perlahan Via masuk ke ruang perawatan. Matanya berkaca-kaca melihat mamanya terbaring lemah tak berdaya.

"Mama sakit apa, Pa?"

Pak Wirawan tidak langsung menjawab. Ia terlihat menahan perasaan yang tengah berkecamuk.

"Mama terkena serangan jantung tadi. Di samping itu, kondisi ginjal dan paru-parunya juga tidak bagus. Papa baru tahu dari dokter Wijaya. Selama ini mamamu menyembunyikan kondisi kesehatannya. Papa benar-benar menyesal baru mengetahuinya," kata papa Via dengan suara parau.

Via ternganga. Ia tidak pernah mengira kalau mamanya menderita penyakit dalam cukup parah. Selama ini mamanya terlihat sehat.

"Pa, mama bisa sembuh, kan?"

Papa Via menatap lekat anak gadisnya. Air yang sedari tadi menggenang di pelupuk mata akhirnya mengalir di pipinya.

.

Pak Wirawan menarik Via hingga jatuh dalam pelukannya. Sepertinya, pria itu ingin berbagi duka dengan putrinya. Untuk beberapa saat mereka terdiam dengan pikiran buruk tentang perempuan yang tengah berbaring tak berdaya.

Suara ketukan pintu kamar mengagetkan mereka. Via bangkit sambil mengusap pipi yang basah.

"Permisi, Mbak. Apa suami Nyonya Wirawan ada?" tanya seorang gadis yang mengenakan seragam perawat.

Via mengangguk dan menggeser posisinya, memberi ruang agar perawat itu bisa masuk.

"Maaf, Bapak suami Nyonya Wirawan?" tanya perawat dengan sopan.

"Betul. Ada apa?" Pak Wirawan balik bertanya.

"Bisa ikut saya? Dokter Wisnu ingin bicara dengan Bapak."

Pak Wirawan mengangguk. Ia menoleh ke putrinya dan berpesan, "Jaga mamamu, Vi. Papa tinggal sebentar."

"Ya, Pa."

Pak Wirawan bergegas keluar mengikuti perawat. Sementara Via duduk termangu sambil menatap mamanya.

"Maafkan Via, Ma. Via tidak memperhatikan Mama sampai tidak tahu kalau Mama sebenarnya sakit. Via egois, hanya minta diperhatikan. Mama bangun, ya. Kami butuh Mama. Via janji akan lebih memperhatikan Mama," kata Via sambil terisak.

Mama Via masih diam. Perempuan berusia 40-an tahun itu tidak bereaksi sama sekali.

Via menggenggam tangan kanan mamanya. Diciumnya tangan itu dengan hati-hati. Sementara, air mata Via terus membanjiri pipinya.

"Via!"

Via kaget ketika mendengar namanya disebut. Ia menoleh. Ternyata papanya

sudah kembali.

"Kamu kenapa?" tanya Pak Wirawan lembut.

"Via takut mama nggak bisa bangun lagi. Via nggak mau kehilangan mama, Pa," Via terisak lagi.

Pak Wirawan memeluk putrinya. Dibelainya rambut hitam Via yang dibiarkan tergerai sampai ke punggung.

"Via yang sabar. Dokter sedang berupaya untuk menyembuhkan mama. Kita doakan agar mama cepat sembuh dan berkumpul lagi dengan kita."

Via mengangguk. Ia melepaskan pelukan papanya.

"Apa yang dikatakan dokter tadi?" tanya Via penasaran.

Pak Wirawan tidak langsung menjawab pertanyaan Via. Ia duduk di bed pasien.

"Mama butuh donor jantung dan ginjal. Dan itu tidak mudah."

Via menatap lekat papanya yang tertunduk lesu. Ia paham betapa sulitnya mendapatkan donor organ vital. Apalagi jantung.

"Apa tidak ada cara lain, Pa? Atau mungkin kita bawa mama beribat ke Singapura, Jepang, atau mana yang lebih canggih?"

Pak Wirawan menggeleng.

"Kenapa, Pa? Apa karena biaya yang sangat mahal?"

"Bukan, bukan itu masalahnya, Via. Berapa pun akan Papa usahakan untuk mamamu. Tapi, ini bukan soal kecanggihan pengobatan. Masalahnya, jantung dan ginjal mama sudah parah."

Via menelungkupkan wajahnya. Hatinya terasa hancur.

"Kenapa sampai kondisi mama seperti ini baru diketahui?" keluh Via.

"Sebenarnya mama sudah harus cuci darah setahun yang lalu. Tapi mama menolak. Dia malah memilih pengobatan alternatif. Itu yang diceritakan dokter Wisnu tadi."

"Mama menganggap kita orang lain, Pa?" keluh Via.

Pak Wirawan mengusap lembut rambut Via. Ia berusaha menenangkan hati putri tunggalnya.

"Via, itu baru perkiraan Papa. Mamamu adalah orang yang sangat perhatian dan penyayang. Papa yakin kalau Mama tidak ingin kita khawatir."

"Tapi, kita juga sangat sayang mama," tukas Via.

"Iya, sayang. Tapi, mamamu jauh lebih menyayangi kita. Sekarang kita tidak usah menyalahkan siapa-siapa. Kita berdoa untuk kesembuhan mama saja, ya," bujuk Pak Wirawan.

Via mengangguk. Perlahan ia berdiri lalu mendekat ke kepala mamanya. Ditatapnya wanita yang melahirkannya 17 tahun silam dengan sendu.

"Vi, sebaiknya kamu pulang. Biar Papa saja yang menunggu mama, ya."

Via menggeleng. Ia masih menatap mamanya.

"Besok kamu kan harus sekolah," bujuk Pak Wirawan.

"Via ingin di dekat mama di saat mama tak berdaya begini, Pa. Via nggak mau ninggalin mama. Selama ini Via hanya merepotkan mama. Via belum bisa membalas kasih sayang mama," jawab Via dengan suara parau.

Pak Wirawan menghela nafas panjang. Ia tahu, putrinya keras kepala. Akhirnya, Pak Wirawan mengalah.

"Pak Yudi masih di lokasi rumah sakit?" tanya Pak Wirawan melalui telepon.

"Masih, Pak. Saya di kantin belakang rumah sakit," jawab sopir keluarga Wirawan.

"Bisa saya minta tolong?"

"Tentu saja, Pak."

"Tolong Bapak pulang dulu untuk ambil baju ganti dan keperluan lainnya. Terus, Bapak secepatnya kembali ke sini mengantarkan keperluan kami."

"Untuk siapa saja, Pak? Mbak Via tidak pulang bareng saya?"

"Tidak. Via menginap bersama saya dan Pak Nono. Nanti Mbok Marsih pulang sekalian dengan Pak Yudi, ya."

"Baik, Pak."

"Ya, sudah. Saya suruh Mbok Marsih ke tempat parkir."

Setelah menutup telepon, Pak Wirawan keluar menemui Mbok Marsih dan Pak Nono yang duduk di depan kamar.

"Mbok Marsih pulang saja diantar Pak Yudi. Pak Nono menemani saya dan Via di sini," kata Pak Wirawan.

"Baik, Pak,"jawab Mbok Marsih. Perempuan berusia sekitar 50 tahun itu beranjak dari tempat duduknya. "Saya pamit nyonya dan Mbak Via dulu."

Mbok Marsih masuk ke ruang perawatan Bu Wirawan. Via masih berdiri di samping bed pasien.

"Mbak Via, Mbok pulang dulu. Mbak Via yang sabar, ya. Jangan lupa tetap jaga kesehatan."

"Ya, Mbok. Terima kasih," jawab Via tanpa mengalihkan tatapannya.

"Nyonya, saya pamit dulu. Semoga Nyonya cepat sembuh, segera pulang agar dapat kumpul lagi," kata Mbok Marsih sambil menggenggam tangan kanan majikannya. Tak terasa air matanya menetes.

Via menoleh ke ART keluarganya. Ia terharu melihat ketulusan Mbok Marsih.

"Hati-hati, Mbok. Terima kasih sudah membawa mama ke sini."

"Sama-sama, Mbak. Itu sudah kewajiban kami. Permisi, Mbak."

Mbok Marsih keluar ruangan. Langkahnya dipercepat menuju tempat parkir.

***

Bagian I I

Saat jarum panjang menunjuk angka 6 sementara jarum pendek di antara angka 6 dan 7, Via sudah berada di mobil yang dikemudikan Pak Nono. Ia berangkat ke sekolah dari rumah sakit.

Tidak seperti biasanya, Via menjadi anak pendiam. Tak ada senyum yang menghiasi bibir tipisnya.

"Kenapa, Vi? Sariawan?" tanya Ratna, sahabat Via.

Via tidak menjawab. Ia hanya menggelengkan kepalanya.

"Ada masalah di rumah? Jangan bilang papamu marah gara-gara kamu kencan!" kata Ratna lagi.

Mendadak Via menelungkupkan tangan ke wajahnya dan terisak. Ini membuat Ratna kaget. Ia belum pernah melihat Via menangis.

"Ada apa, Vi? Aku keterlaluan?" tanya Ratna lembut.

Via menggeleng. Isaknya masih terdengar.

"Lalu kenapa? Kalau mau cerita yang rahasia, mending kita ke UKS. Bagaimana?"

Lagi-lagi Via menggeleng. Ia mengambil nafas panjang, seperti berusaha menenangkan dirinya sendiri.

"Mama, Rat. Mamaku sakit. Sekarang di rumah sakit," kata Via setelah terdiam beberapa saat.

"Sakit apa?"

"Komplikasi. Yang jelas jantung dan ginjal mama sudah rusak. Mama butuh donor."

"Separah itu? Bukankah selama ini mamamu baik-baik saja?" tanya Ratna kaget.

"Itulah, Rat. Itu yang membuat aku merasa bersalah. Aku, anaknya, tidak tahu penderitaan mamaku. Anak macam apa aku ini?" keluh Via. Air mata mulai mengalir lagi.

"Sekarang kondisi mamamu bagaimana?"

"Sejak kemarin belum sadar. Aku takut, Rat. Aku takut kehilangan mama. Aku takut tidak bisa melihat lagi senyumnya." Tangis Via meledak. Ia memeluk erat tubuh Ratna yang duduk di sampingnya.

Melihat Via menangis sambil memeluk Ratna, beberapa teman yang tengah asyik ngobrol tampak heran. Beberapa di antara mereka mendekat.

Begitu melihat ada yang mendekat, Ratna memberi isyarat agar mereka tidak usah ikut campur. Mereka pun kembali menjauh.

"Kamu harus tetap tegar, Vi. Doakan mamamu agar cepat sembuh," Ratna berusaha menghibur. "Nanti aku ikut kamu ke rumah sakit, ya."

Via mengangguk. Jemari tangan kanannya mengusap pipi yang basah oleh air mata.

Begitu bel jam terakhir berbunyi, Via dan Ratna bergegas ke pintu gerbang. Pak Nono sudah menunggu.

Begitu melihat Via, Pak Nono segera membukakan pintu mobil. Tak lama kemudian, mobil pun melaju ke rumah sakit.

Baru saja sampai rumah sakit, ponsel Pak Nono berdering. Nama Tuan Wirawan tertera di layar. Pak Nono segera menerima panggilan.

"Assalamualaikum,Pak."

....

"Ya, kami baru sampai rumah sakit."

....

"Baik, Pak."

Via menatap Pak Nono.Tatapannya seakan meminta penjelasan.

"Papa Mbak Via yang telepon. Nyonya masuk ICU. Kita langsung ke ICU saja," kata Pak Nono.

Kekhawatiran tampak jelas di raut wajah Via. Tanpa menjawab, ia segera melangkah masuk rumah sakit. Pak Nono dan Ratna mengikuti langkah Via.

Di depan ICU, Pak Wirawan berdiri termangu. Tatapannya tampak kosong.

"Pa!" panggilan Via mengagetkan Pak Wirawan. "Bagaimana kondisi mama? Apa mama membutuk?"

Pak Wirawan menatap putrinya. Tangannya direntangkan dan merengkuh Via erat.

Via tercekat. Dari gelagat papanya, jelas sesuatu yang buruk telah terjadi.

"Mama bagaimana, Pa?" tanya Via.

"Dokter sedang berusaha, Vi," jawab Pak Wirawan lirih.

"Kita berdoa saja, Vi," kata Ratna.

Pak Wirawan melepaskan pelukannya. Dibimbingnya Via ke bangku di teras ICU.

Mereka berempat duduk tanpa bersuara. Semua larut dalam pikiran masing-masing.

Hampir setengah jam mereka terdiam. Hingga seorang perawat memecah kebisuan yang tercipta.

"Keluarga Ibu Dewi Wirawan?"

"Saya," jawab Via dan papanya bersamaan. Mereka lalu berdiri menghadap perawat yang baru saja bertanya.

"Silakan masuk. Tolong pakai baju ini," ujar perawat sambil menunjukkan baju khusus.

Setelah mereka mengenakannya, perawat itu mengajak ke tempat mama Via. Di sana ada dokter dan perawat yang berdiri di dekat tempat tidur.

"Maaf, Pak. Kondisi Ibu Dewi semakin memburuk. Kami sudah berupaya maksimal. Silakan keluarga menunggui pasien karena mungkin ini saat-saat terakhir beliau," kata dokter.

Via mendadak lemas. Kata-kata dokter membuat hatinya hancur. Tubuhnya merosot ke lantai. Pak Wirawan segera menopangnya, mendudukkan ke kursi di dekat mereka.

Ketegangan tampak di wajah mereka. Pak Wirawan berusaha tenang, mendekat ke kepala istrinya.

"Ma, terima kasih atas semua kasih sayangmu. Terima kasih telah mendampingi aku dan anakmu. Maafkan kami yang tak bisa membahagiakanmu," ucap pria itu ke telinga sang istri. Lalu dibisikan kalimat tauhid.

Sementara, Via semakin lemas. Air mata telah membanjiri wajahnya yang memucat.

Tak lama kemudian, EKG di dekat tempat tidur pasien menunjukkan grafik mendatar. Dokter dan perawat dengan sigap memeriksa mama Via.

Sementara itu, Pak Wirawan segera merengkuh bahu Via, menggeser kursi yang diduduki anaknya agar dapat memberikan ruang bagi dokter dan perawat yang tengah bekerja.

"Mohon maaf, Pak. Dengan sangat menyesal kami tidak dapat menyelamatkan istri Bapak. Kami ikut berduka cita," kata dokter.

"Bruggg...." Via terjatuh ke samping. Tangan papanya tidak kuasa menahan tubuh rampingnya.

Hari itu menjadi hari kelabu bagi keluarga Wirawan. Bukan hanya Via dan papanya, melainkan ART dan sopir keluarga.

Karena hari sudah gelap saat jenazah dibawa dari rumah sakit, pemakaman diputuskan dilakukan esok harinya.

Saat jarum pendek menunjuk angka 9, iring-iringan orang berbaju gelap bergerak dari kediaman keluarga Wirawan menuju pemakaman. Pak Wirawan tampak di depan, satu di antara pengusung keranda.

Sesampai kompleks pemakaman, mereka menuju tempat yang sudah disiapkan. Prosesi pemakaman pun berjalan lancar.

Gerimis mulai menetes saat orang-orang mulai meninggalkan kompleks pemakaman. Mereka berjalan dengan langkah cepat, terlihat khawatir kehujanan.

Namun, tidak dengan orang-orang yang masih berada di dekat gundukan tanah basah. Via, papanya, Ratna, dan Bu Aisyah, wali kelas Via, berjongkok di dekat makam. Via masih terisak, enggan beranjak dari tempat itu.

"Via, kita pulang, yuk! Kamu harus mengikhlaskan mama,"bujuk Pak Wirawan.

"Benar, Vi. Kalau kamu seperti ini, kasihan papa mamamu. Mama justru tidak tenang di sana. Papamu akan bertambah beban karena harus memikirkan kondisi kamu. Kita pulang, ya! Mamamu lebih membutuhkan doa, bukan kehadiranmu di sini. Kamu sayang papa mama, kan?" bujuk Bu Aisyah lembut.

"Via mau di sini. Via nggak mau ninggalin mama sendirian. Kasihan mama."

"Via, mama justru akan tersiksa melihat kamu meratapi kepergiannya. Langkah mama menghadap Sang Khalik akan berat. Kamu sayang mama? Jangan memperberat langkahnya!"

Via menatap wali kelasnya. Bu Aisyah balik menatap wajah Via yang sembab.

"Jadilah anak yang berbakti kepada kedua orang tua. Karena mama telah tiada, kewajiban Via kepada mama adalah mendoakannya. Via mau, kan?"

Akhirnya, Via mengangguk. Perlahan ia bangkit dengan dibantu Ratna.

Ia menoleh saat sampai gerbang makam. Terasa berat baginya berpisah dengan orang yang melahirkannya, yang menyayanginya dengan tulus. Air matanya pun terus berjatuhan seiring rinai gerimis pagi itu.

***

Bagian III

Seminggu sudah hari-hari Via tanpa kehadiran mamanya. Kepergian mamanya berpengaruh besar terhadap kebiasaan gadis itu. Via yang biasanya ceria menjadi murung. Via yang biasanya cerewet menjadi pendiam.

Tidak hanya Via. Pak Wirawan pun terpukul dengan meninggalnya sang istri. Ia masih merasa bersalah karena tidak memperhatikan kesehatan perempuan yang hampir dua dasawarsa mendampingi hidupnya. Namun, Pak Wirawan berusaha terlihat tegar di hadapan putrinya. Ia tak ingin putrinya tenggelam dalam kesedihan.

Untuk menghibur dirinya, pak Wirawan lebih menyibukkan dirinya dengan pekerjaan kantor. Namun, hal itu tidak menjadikan perusahaannya berkembang pesat. Konsentrasi pria itu tidak sepenuhnya tercurah kepada pekerjaan. Ia sering kehilangan konsentrasi saat bekerja. Ketika sendirian, pikirannya sering menerawang, terbawa kenangan saat istrinya masih ada.

"Pa, papa sudah makan?" tanya via membuyarkan lamunan Pak Wirawan.

"Sudah. Kamu belum makan, ya? Jangan sampai telat makan, ya!" pesan Pak Wirawan sambil masuk ke kamar.

Via tertunduk lesu. Setelah mamanya tiada, ia jarang makan bersama papanya. Untunglah Mbok Marsih kadang menemaninya makan. Via pun sebenarnya tidak yakin papanya makan teratur.

Saat di sekolah Via sedikit terhibur. Kekonyolan teman-temannya sedikit mengobati kesedihannya. Ia merasa beruntung memiliki teman-teman sekelas yang baik.

"Via, kamu sudah menyelesaikan tugasmu?" tanya Ratna.

Via mengangguk. Disodorkannya buku Matematikanya ke Ratna.

"Temanku yang satu ini memang Joss!"

Via hanya tersenyum tipis. Keceriaan masih belum hadir di wajahnya yang menjadi tirus.

"Vi, kamu baik-baik saja selama ini?" bisik Ratna.

Via menoleh. Keningnya berkerut sembari menatap sahabatnya.

"Ah, kita bicara nanti saja jam istirahat. Sekarang selesaikan dulu tugas ini," kata Ratna lagi.

Begitu bel istirahat berbunyi, Ratna menarik tangan Via keluar kelas. Kantin menjadi tujuan Ratna.

"Aku perhatikan kamu banyak berubah. Aku tahu, kepergian mamamu meninggalkan kesedihan mendalam. Tapi, ini sudah lebih dari satu bulan. Kenapa kau masih seperti ini?" ujar Ratna setelah mereka duduk di sudut kantin.

Via menarik nafas panjang. Digigitnya bibir bawah sebelum ia berkata dengan sendu," Terima kasih, Ratna. Kamu memang sahabat terbaikku. Kamu selalu memperhatikan aku."

"Aku menganggapmu saudara, Vi. Aku tidak ingin kamu terpuruk."

"Iya, Rat. Tapi kepergian mama benar-benar pukulan buatku. Ah, tidak. Tidak hanya aku yang terpukul. Papa juga. Tapi papa pura-pura tegar. Aku tahu diam-diam papa sering menangis sambil memeluk foto mama di ruang kerjanya."

"Papamu juga menjadi pendiam dan selalu murung, Vi?"

"Tidak di depanku. Tapi papa jarang di rumah. Beliau hampir tiap hari pulang larut malam. Akhir pekan pun sering pergi."

"Kalian sangat menyayangi mamamu. Begitu berartinya almarhumah bagi kalian. Tapi, tidak semestinya begini. Kamu harus bangkit, Vi. Ingat, sebentar lagi kita ujian. Bukankah kamu ingin masuk kedokteran? Bagaimana bisa kalau kamu masih seperti ini? Kamu harus bisa menyemangati diri sendiri juga papamu. Kamu harus bisa bangkit dari keterpurukan. Jangan berlarut-larut!" kata Ratna tegas.

Via menatap sahabatnya. Dia tidak mengira sahabat karibnya yang biasanya kocak bisa memberikan nasihat.

"Baiklah, aku akan berusaha."

"Memang tidak mudah. Tapi, aku yakin kamu bisa."

Mereka kembali ke kelas karena jam istirahat telah habis. Ada kelegaan terpancar dari wajah mereka.

Sepuluh menit sebelum jam istirahat kedua, seorang guru piket masuk ke kelas Via. Saat itu, Via dan teman-temannya tengah mengerjakan soal Bahasa Inggris.

"Novia Anggraeni, bisa ikut Bapak? Ada tamu yang ingin menemuimu," kata Pak Rangga.

"Saya, Pak?" tanya Via ragu. Padahal di kelas itu hanya satu yang bernama Novia Anggraeni.

Pak Rangga mengangguk. Akhirnya, Via meletakkan pulpennya dan berdiri. Lalu mereka berpamitan kepada guru Bahasa Inggris.

Sesampai ruang tamu sekolah, Via melihat seorang laki-laki duduk di sofa. Via merasa mengenal orang tersebut.

"Pak Yudi?" pekik Via tertahan. Perasaannya mendadak tidak enak melihat salah satu sopir keluarganya masuk ke lingkungan sekolah apalagi belum waktunya jam sekolah berakhir.

"Mbak Via, maaf saya lancang," kata Pak Yudi sambil menunduk.

"Ada apa, Pak? Apa yang terjadi?" tanya Via tak sabar.

"E...anu... Papa Mbak Via...ke... kecelakaan," jawab Pak Yudi gugup.

"Kecelakaan? Sekarang di rumah sakit mana? Kondisi papa bagaimana?" Via langsung panik.

"Mbak Via ikut saya saja ke rumah sakit sekarang, ya."

Via menoleh ke Pak Rangga. Guru piket itu mengangguk.

"Silakan, Via. Tasmu nanti biar dibawa Ratna."

Via pun menurut. Ia mengikuti langkah Pak Yudi. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit mereka hanya membisu.

"Ikut saya, Mbak. Pak Wirawan masih di IGD menunggu kedatangan keluarga."

Mereka berjalan cepat ke IGD. Perasaan Via semakin kacau. Sesampai di sana, Via melihat Pak Andi, pengacara papanya.

"Pak Andi kok di sini? Mana papa?" tanya Via heran.

Pak Andi hanya tersenyum yang terlihat dipaksakan. Lalu ia membimbing Via mendekat ke salah satu tempat tidur pasien.

"Mana papa?" Via kebingungan.

Pak Andi terus membimbing Via sampai ke samping tempat tidur. Via menatap Pak Andi. Kemudian Pak Andi menyibak kain putih di atas kasur.

"Pa...papa!" jerit Via. Ia tidak lagi dapat mempertahankan kesadarannya.

Dengan sigap Pak Andi menopang tubuh Via yang hampir jatuh. Dengan dibantu perawat, Via dipapah dan dibaringkan di ranjang pasien.

Sekitar 15 menit kemudian Via mulai tersadar. Ia mencoba mengingat yang terjadi.

"Papa...mana papa? Paaa!" Via berteriak histeris.

Pak Andi mendekat begitu mendengar jeritan Via. Ia berusaha menenangkan anak itu.

"Via tenang, ya. Kamu harus sabar. Papamu sudah tenang.Biarlah papa bahagia bersama mamamu."

"Kenapa papa tega meninggalkan Via? Kenapa Via ditinggalkan sendiri? Kenapa Via tak diajak? Via sama siapa, Pa?" ratap Via menyayat hati.

Pak Andi mengusap kepala Via. Ia berusaha menenangkan gadis itu.

"Via!" seorang gadis berseragam putih abu-abu mendekat.

"Ratna! Sekarang aku sebatang kara. Aku sendirian. Aku takut" Via mengadu kepada sahabatnya.

Ratna segera memeluk Via. Dibiarkannya Via menangis tersedu. Setelah agak tenang, Ratna melepaskan pelukannya.

"Via, masih ada aku juga teman-teman lain. Guru-guru kita, pegawai yang ada di rumahmu, semua keluargamu. Kami menyayangimu. Kau tak perlu khawatir," ujar Ratna menghibur.

Ia langsung disuruh Pak Rangga menyusul Via ke rumah sakit diantar Bu Aisyah. Pak Rangga sebenarnya sudah tahu yang terjadi dari Pak Yudi.

"Via, apa yang Ratna katakan benar. Kami menyayangi kamu. Kamu tidak sendiri," kata Bu Aisyah yang baru masuk dengan lembut.

Via menarik nafas panjang. Ia berusaha menenangkan diri.

Bu Aisyah tersenyum melihat Via sudah bisa tenang. Jemari Bu Aisyah mengusap lembut pipi Via.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!