Seorang lelaki dengan paras manis baru saja menginjakkan kakinya di Bandara Depati Amir. Satu bulan sudah dia tak pulang ke kotanya, demi ambisi memajukan perusahaan keluarganya yang baru saja berkembang di ibukota.
Raka, lelaki berusia 28 tahun itu mempunyai ambisi kuat mencapai masa depannya. Ditantang oleh keluarganya untuk membuat besar perusahaan yang telah di bangun oleh sang Ayah dari nol.
Raka menerima tantangan itu, meski dia harus sering meninggalkan gadis yang dia cintai. Hingga rasa itu semakin lama semakin terkikis oleh jarak waktu yang memisahkan mereka.
Tepat satu bulan yang lalu, Raka memberanikan dirinya menyatakan bahwa mereka harus berpisah untuk meyakinkan hati mereka masing-masing. Meski berat maka saat inilah yang tepat bagi Raka menyatakan semuanya demi gadis yang dia cinta dan masa depan mereka berdua.
Egois, memang. Namun, konsekuensinya harus Raka tanggung. Alih-alih meminta gadis itu untuk menunggunya sebentar lagi tetapi rasa itu sepertinya mulai tak lagi ada, bukan di hati Raka tetapi di hati Jenna, kekasihnya.
*****
"Jenna," panggil Raka, sore itu dia datang menjemput Jenna di kantornya.
Gadis cantik dengan mata indah itu menoleh, Jenna tersenyum mendapati Raka yang bersandar pada pilar dengan tangan yang terlipat di depan dada.
Raka tersenyum, senyum yang selalu dia berikan pada Jenna, tak pernah berubah. Gelenyar rasa itu pun masih ada.
"Jalan yuk," ajak Raka. "Tadi aku udah minta ijin sama mama," ujarnya lagi.
Jenna mengikuti langkah Raka menuju dimana mobilnya terparkir.
"Kapan pulang?" tanya Jenna membuka pembicaraan saat mereka sudah berada di dalam mobil.
"Tadi pagi," jawab Raka lalu menoleh sebentar ke arah Jenna.
"Kita mau kemana?"
"Liat sunset ... sambil makan siomay," kata Raka tersenyum, mobil melaju ke arah sebuah pantai yang tak jauh dari kota.
"Kamu apa kabar?" tanya Jenna saat mobil berhenti tak jauh dari pantai.
"Kita kayak orang asing," sahut Raka lalu membuka pintu mobilnya berlari kecil menuju penjual siomay langganan mereka dan tak lama kemudian kembali lagi masuk ke dalam mobil.
"Ini," ujar Raka menyodorkan satu porsi siomay pada Jenna.
"Makasih." Jenna menyendokkan satu suapan siomay ke dalam mulutnya.
"Kabar aku baik ... aku yakin kamu juga baik." Akhirnya Raka menjawab pertanyaan yang sempat tertunda tadi.
"Syukurlah," ujar Jenna menarik tisue untuk menghapus noda siomay di bibirnya.
"Dulu yang suka hapus noda di bibir kamu itu aku, sekarang kamu lebih mandiri Na," Raka tersenyum.
"Aku sudah belajar mandiri sejak kamu sudah jarang berada di sisi aku ... jadi aku harus siap jika suatu saat kamu memang benar-benar harus pergi dari aku," jawab Jenna asal namun tatapan matanya tajam kepada Raka.
"Dan aku lihat ... kamu memang benar-benar sudah siap," ujar Raka.
Jenna terdiam, jujur saja satu bulan tanpa hubungan membuatnya akhirnya terbiasa mau tak mau ada atau pun tidak ada Raka di kehidupannya. Jenna sudah ikhlas apapun yang akan terjadi pada hubungan mereka berdua. Rasa itu memang benar sepertinya akan berakhir.
Raka membuang pandangannya ke depan, ada helaan nafas kasar dari dirinya. Diam-diam dia menoleh pada Jenna, dilihatnya gadis itu memang sedikit tidak begitu perduli "lagi" pada dirinya.
"Na," kata Raka lembut.
"Kalo kamu datang, ketemu sama aku hanya untuk bilang minta maaf ... jujur kamu gak ada salah apa-apa Ka," ujar Jenna menatap Raka.
"Kalo kamu datang untuk membicarakan akhir dari hubungan kita ... aku sudah siap." Jenna masih menata Raka, Raka hanya bisa terdiam saat Jenna mengatakan tentang kesiapan ujung dari hubungan mereka.
"Aku minta maaf Na ... gak ada yang bisa aku pilih seperti yang pernah kamu minta kemarin, kamu atau pekerjaan aku, aku merasa jika memang kita berpisah ini sudah yang terbaik," ujar Raka menunduk.
"Karena pada dasarnya dari kita sudah setengah hati mempertahankan ini semua," kata Jenna tersenyum. "Kejar apa yang akan kamu kejar Ka, aku gak bakal halangi lagi ... kamu patut menentukan apa yang akan menjadi kehidupan kamu nanti nya," ujar Jenna lalu meletakkan jarinya di depan bibir Raka. "Kamu gak usah merasa bagaimana dengan aku? aku gak apa-apa, aku baik-baik aja ... semua akan baik-baik saja." Mata Jenna berkaca-kaca.
Inilah akhir dari rasa ini, Raka harus menerimanya, bukankah ini yang dia mau. Agar tak terlalu dalam mereka terluka, agar Jenna bisa menjalani hidup lebih bahagia tanpa dirinya, namun hati kecil Raka tak bisa begitu saja melepaskan cintanya.
Hampir dua tahun mereka menjalin hubungan, yang tadinya hanya karena keisengan ibu dan mama Jenna saat mengenalkan keduanya. Siapa sangka, cinta itu sama-sama berbalas, Raka jatuh cinta pada seorang gadis yang sederhana, pada seorang gadis yang mencari sebuah perlindungan dan jatuh cinta pada seorang gadis yang begitu menganggapnya selalu ada.
"Aku bakal datang saat semuanya sudah siap Na."
"Jangan Ka ... aku gak pantas untuk kamu datangi ke dua kali, saat memutuskan untuk pergi jangan pernah lagi menoleh ke belakang," ujar Jenna melihat ke atas menahan air matanya.
"Aku gak mau nyakitin hati kamu terlalu dalam Na ... ini bukan tentang orang ketiga, sungguh itu gak ada ... ini tentang ambisi aku, aku gak bisa bawa kamu masuk ke dalam sana."
Jenna mengangguk, "aku percaya, gak akan pernah ada orang ketiga ... pergilah, kejar mimpi kamu buktikan kamu bisa melakukannya, sekali lagi jangan liat aku."
Air mata itu akhirnya jatuh, Raka menyugar rambutnya frustasi. Baru kali ini dia membuat Jenna menangis, baru kali ini dia menyakiti hati gadis itu.
"Na ...."
Raka membawa gadis itu ke dalam dekapannya, mereka saling berpelukan erat. Sakit rasanya, namun semua sudah menjadi keputusan mereka. Daripada saling menyakiti nantinya, lebih baik sekarang sehingga tak berlarut-larut.
"Aku sayang sama kamu Na," ujar Raka samar dalam pelukannya.
"Aku juga sayang sama kamu Ka," jawab Jenna lirih.
"Maafin aku ... aku---"
Jenna menggeleng, dia tak ingin Raka terus menerus menyalahkan dirinya. Ini adalah yang terakhir meski cinta itu masih ada namun percuma jika tak bisa memiliki.
Jenna menangkup rahang Raka, Raka pun menghapus air mata Jenna. Mereka berciuman untuk terakhir kalinya. Ciuman perpisahan yang diiringi oleh derai air mata.
Matahari sore itu menembus pandang melalui kaca jendela mobil itu, deburan ombak di depan sana saling berkejaran. Maka tertutup sudah cerita cinta mereka hanya karena keadaan.
Raka mengusap bibir gadis itu, "baik-baik ya Na." Kembali Raka tarik Jenna ke dalam dekapannya.
Tangan mereka tak saling melepas hingga saat Raka memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah gadis itu.
"Na ...."
"Aku baik-baik aja Ka." Jenna tersenyum, wajah sembab itu kentara sekali.
Mungkin jika orang bertanya kenapa putus jika masih saling cinta, jawaban itu hanya Raka dan Jenna yang tahu. Mereka hanya tak ingin semakin dalam menyakiti satu dengan yang lainnya.
"Hati-hati ... jaga kesehatan, telpon aku kalo kangen," ujar Raka menyematkan rambut gadis itu di balik telinganya.
"Aku usahain gak bakal kangen kamu," ujar Jenna tersenyum. "Kamu baik-baik di sana ya."
Raka mengangguk, mereka harus berpisah. Berpisah secara baik-baik, Jenna turun dari mobil itu berjalan tanpa lagi menoleh ke belakang. Raka memandangi punggung gadis itu, masih berharap jika suatu saat jodoh akan kembali menyapa mereka di saat semuanya sudah siap.
Mobil itu berhenti di sebuah coffee shop, Raka menyempatkan diri untuk menenangkan hatinya. Perih rasanya namun harus dijalani, matanya menatap nanar ke arah luar coffee shop.
Pandangan mata Raka mengarah pada pasar malam di sana, nampak sebuah komedi putar perlahan bergerak, meski pelan namun pasti. Sama seperti hatinya, meski sakit namun perlahan mungkin akan membaik seiring berjalannya waktu.
**Hai... finally setelah sempat tertunda akhirnya kita ketemu lagi ya. Terimakasih masih pada setia menunggu karya Chida yang ringan ini. Semoga suka ya, ramaikan dengan like dan komen dari teman-teman semua ya.
Enjoy reading 😘**
Raka baru saja terbangun dari tidurnya pagi itu. Rumahnya sudah ramai dengan celotehan sang Ibu yang sedang berbincang di ruang keluarga. Raka menuruni anak tangga, lelaki yang hany mengenakan kaos dalam berwarna putih serta celana boxer itu dengan santainya merebahkan dirinya di pangkuan sang Ibu.
"Sudah bujang, umur 28 tahun, tapi tetap aja manja gini, Ka," ujar Citra, ibu dari Raka seorang keturunan ningrat di tanah Jawa yang merantau ke pulau Bangka itu masih terlihat ayu.
"Kak, udah ketemu sama Kak Jenna?"
"Udah ... kemarin, kenapa?"
"Gak apa-apa, kakak putus ya?"
"Kamu putus?" tanya Ibu Citra.
Raka hanya diam, sementara tangan sang Ibu merapikan helaian rambut-rambut Raka.
"Kalo udah gak jodoh berarti jangan di paksa," ujar Citra. "Ibu gak pernah maksa kamu untuk menerima hubungan ini awalnya, tapi ternyata kalian saling jatuh cinta tapi kalo cinta itu lama-lama sudah mulai menipis, mau kamu kembalikan seperti semula pun sudah pasti susah."
Raka menghela nafas panjang, "Raka yang salah Bu, seharusnya Raka nggak buat Jenna kecewa."
"Resiko dalam suatu hubungan itu pasti selalu ada, Ka. Jenna juga mungkin merasa jenuh dan kamu yang terlalu sibuk."
Raka mengangguk, apa yang dikatakan ibunya memang benar. Hampir satu tahun belakangan ini Raka terlalu pokus dengan pekerjaannya.
"Kamu juga belom berani kan, ngajakin dia nikah?" tanya ibu lagi.
Raka membenarkan posisi tidurnya, lalu menatap ibu yang masih membelai rambutnya.
"Jenna gak pernah minta Raka nikahi, Bu."
"Itu ... itu salahnya kamu, kamu gak punya keberanian padahal kamu cinta."
"Karena Raka punya tanggung jawab, Bu ... Beban ah bukan beban, yang diberikan oleh ayah, itu sudah tanggung jawab Raka, dan Raka gak bisa setengah-setengah. Raka udah bilang ke Jenna, buat nunggu Raka sebentar lagi."
Raka merubah lagi posisinya, menyandarkan punggungnya pada sofa.
"Sampe kapan? Perempuan itu butuh kepastian, Anakku. Kamu bilang sebentar ternyata tiga tahun lagi ... bisa Jenna nunggu selama itu?"
Raka menghela nafasnya berkali-kali, Wita yang sedari tadi menonton TV, diam-diam mendengarkan pembicaraan ibu dan kakaknya.
Benar ibu bilang, wanita itu hanya butuh kepastian bukan cuma janji belaka. Raka menyugar rambutnya, lalu berdiri.
"Mau kemana?" tanya Ibu Citra
"Packing."
Raka melangkah kembali menaiki anak-anak tangga menuju ke kamarnya. Terngiang kembali perkataan sang Ibu, jika seorang wanita butuh kepastian bukan hanya menunggu.
"Aku berharap semua bisa berubah, Na," gumam Raka.
*****
Jakarta jam tiga pagi,
Raka baru saja selesai membereskan apartemen yang baru saja dia beli dari hasil jerih payahnya. Sebuah apartemen dengan tipe convertible yang kesemuanya bernuansa putih itu akan menjadi tempat tinggalnya, satu unit apartemen yang cukup luas untuk dia tinggali seorang diri.
Raka melirik jam dinding, sudah lewat dari tengah malam malah hampir menjelang subuh. Raka membaringkan tubuhnya di sofa, perlahan dia pejamkan matanya.
Bunyi dering ponsel itu mengagetkan Raka, tangannya meraih ponsel yang berada di lantai sementara matanya masih tertutup.
"Halo," ujar Raka dengan suara paraunya.
"Ka ... buset, baru bangun?" Suara Teddy mengagetkan Raka.
"Apa?"
"Duh, gini nih ... kita ada meeting, bro. Proposal kita kan lolos jadi sub-kontraktor, gimana sih lo? Kan gue udah bilang kemarin, meeting Ka jam sembilan."
"Ini jam berapa?"
"Jam delapan lewat, astaga."
"Kenapa lo baru telpon gue sekarang?"
"Lah ... dia nyalahin gue, buruan. Gue on the way, tunggu depan gang," ujar Teddy.
"Gang? Gang mana?" tanya Raka bingung. "Dih, dimatiin."
Raka bergegas membersihkan dirinya, setelan celana chinos biru tua dan kemeja biru laut membuat tampilannya segar pagi ini. Dia raih tas punggung kulit berwarna coklat yang berada di atas sofa.
Raka bergerak cepat memburu waktu, sampai di lobby apartemen Teddy sudah menunggunya.
"Ini kerjasama kita sama perusahaan besar, Ka ... lolos lagi, bisa-bisanya lo lupa." Omelan Teddy mewarnai pagi hari ini.
"Serius gue lupa, Ted. Semalem gue beresin apartemen biar rapih, kecapekan gue jadi ketiduran," jawab Raka.
"Kalo gak macet, cepet kita sampe ... lo kayak gak tau aja daerah Kasablanka macetnya krodit jam segini."
"Iya, sorry Ted. Eh ... ntar dulu," ujar Raka seakan melupakan sesuatu.
"Apa?"
"Gue bingung ... kenapa gue yang minta maaf ke elo sih, kan gue bos nya. Kurang ajar lo." Raka memberikan pukulan di lengan Teddy yang sudah tertawa. "Sialan lo."
"Haha ... seneng gue, kapan lagi marahin atasan."
"Kambing emang, untung lo masih sodara ... meski jauh."
"Astaga, diungkit."
******
Teddy dan Raka menunggu di ruang meeting, hampir setengah jam mereka menunggu. Bukan hanya mereka sebenarnya, karena ada beberapa sub-kontraktor yang lain juga yang memang di ajak bekerjasama untuk pembangunan jalan tol itu.
Lelaki yang berumur hampir 55 tahun itu nampak masih terlihat gagah, rambut yang memutih dan jambang yang menghias dagunya serta caranya tersenyum memperlihatkan kepribadian yang tegas dan berwibawa.
Memasuki ruangan meeting, dia menarik kursi lalu memberikan salam pembuka.
"Maaf, saya terlambat," ujar pemimpin perusahaan itu. "Klise rasanya kalau saya terlambat karena keadaan Jakarta yang macet," ujarnya lalu tersenyum.
"Baik, bisa kita mulai pembahasan kita pagi ini." Seorang dengan paras yang hampir mirip dengan Presiden direktur tadi memulai meeting pagi ini.
"Perkenalkan saya, Kallani Putra Kelana. Mewakili ayah saya ... Rangga Langit Kelana, mengucapkan selamat datang di perusahaan kami, selamat bergabung di PT. Langit Kelana. Anda semua terpilih menjadi sub-kontraktor yang akan bekerjasama dengan kami dalam pembangunan jalan tol yang berada di beberapa provinsi di Indonesia."
Seorang staf perusahaan membagikan beberapa berkas yang harus di baca yang berisi pembagian sub-kontraktor akan mengerjakan proyek tol di daerah yang akan di tuju.
"Sub-kontraktor akan saya bagi menjadi tiga kelompok, yang terdiri dari dua perusahaan ... oh sorry, ada yang akan berpasangan dengan perusahaan kami langsung," ujar Kalla lagi.
"Didi mungkin ada yang akan ditambahkan?" tanya Kalla pada Presiden direktur itu.
"Baik, sudah dijelaskan di laporan yang kalian pegang, bahwa semua di bagi menjadi dua sub-kontraktor, masing-masing di daerah yang sudah kami tentukan, mohon kerjasamanya, karena ini adalah proyek kita yang secara langsung bekerjasama dengan pemerintah, maka saya ingin ini semua memberikan yang terbaik," ujar Langit.
"Untuk PT. PILAR MENARA, akan langsung berada di bawah pengawasan perusahaan kami." Langit menatap Raka selaku pemilik PT. PILAR MENARA.
"Saya rasa untuk proses serta pelaksanaannya, nanti bisa dibicarakan langsung dengan perwakilan perusahaan kami," ujar Kalla mengakhiri meeting pagi ini. "Oh ya, PT. PILAR MENARA bisa ikut saya ke ruangan," kata Kalla lagi lalu tersenyum.
Enjoy reading 😘
Sabar yaaa Chida semaksimal mungkin akan up setiap hari di NT kalaupun tersendat maka akan up sesuai jadwal ... Senin-Selasa-Rabu, yang pasti terimakasih untuk support dari teman-teman semua 😘 nuhun 🙏
"Meeting dimana, Ted?" tanya Raka pagi itu.
"Di restoran daerah Jakarta Pusat," jawab Teddy merapikan design gambarnya.
"Bagian keuangan udah lo bilang tentang dana yang kemarin bisa di cairkan?" Raka menarik kursi kerjanya.
"Udah lah, kalo belum mereka gak gajian hari ini, by the way lo gak mau nyari ruko lain apa buat kantor kita?"
"Kenapa emang?"
"Ya gak kenapa-kenapa sih, cuma kayaknya semakin besar usaha lo, lo juga butuh tempat yang bisa menarik customer untuk datang ke perusahaan ini."
"Rencana gue sih, sebenarnya mau sewa satu lantai gedung di daerah Kuningan."
"Buset ... gak kira-kira lo Ka, mahal bro."
"Lah, lo bilang tadi buat menarik customer, gue mau di sana lo kaget." Raka membenarkan kacamatanya.
"Lo kudu pacaran sama anak pengusaha yang lebih kaya dari lo, Ka."
"Mulai si syaiton, racun banget lo," ujar Raka melempar bulpoin ke arah Teddy.
"Dih, gue serius ... lo masih ngarepin si Putri Ningrat? mana tau dia udah ada pengganti lo," ujar Teddy melempar kembali bulpoin itu ke arah Raka.
"Jenna namanya, gak secepat itu Jenna berpaling, gue pacaran dua tahun sama dia ... gak mungkin dia berpaling gitu aja."
"Kata lo ... kata dia nggak bro, laki bukan lo doang, satu bulan bisa merubah waktu dua tahun lo mengenal dia, percaya sama gue."
"Bisa aja lo," ujar Raka yang diam-diam memikirkan perkataan Teddy.
"Bisalah ... jangan lupa, gue lebih ganteng dari lo, Ka."
"Dih, apa hubungannya." Raka terkekeh.
"Gue tinggal ya ... mau nemuin Melly, anak keuangan itu ternyata manis juga. Jangan lupa jam 11 kita jalan," ujar Teddy lagi meninggalkan Raka seorang diri di ruangannya.
*****
Tepat pukul setengah 12 siang, Raka dan Teddy sudah sampai di sebuah restoran bergaya western. Menurut Teddy, ini adalah salah satu restoran keluarga dari Langit Kelana, pemimpin perusahaan yang bekerjasama dengan mereka saat ini.
"Emang kaya tujuh turunan kayaknya Bapak Langit itu ya," bisik Teddy.
"Hush, lo bisa nggak sih, nggak norak." Raka menjauhkan tubuhnya dari Teddy.
"Dengar-dengar lagi, Ka ... dia punya anak perempuan, cantik Ka."
"Terus kenapa?"
"Nah itu, kayak yang gue bilang tadi pagi," ujar Teddy.
"Emang syaiton, pikiran lo nggak jauh dari perempuan."
"Baek-baek lo kalo naksir, gue sumpahin lo bucin."
"Sumpahin aja, cinta gue masih buat Jenna."
"Hhmm, Putri Ningrat dengan segala pesonanya."
Raka dan Teddy mendadak hening ketika Langit beserta anaknya bernama Kalla, menghampiri mereka.
"Sudah menunggu lama?" tanya Langit.
"Belum, Pak ... baru saja," jawab Raka mengulurkan tangan pada Langit dan Kalla.
"Maaf telat, saya harus menjemput istri dan putri saya di bandara terlebih dahulu. Family first, istri saya suka ngambek kalo bukan saya yang menjemput dia dari luar kota," ujar Langit duduk di hadapan Raka.
Raka hanya tersenyum, terlintas di benak Raka begitu harmonisnya keluarga dari pemimpin perusahaan itu, terlihat bagaimana dia memperlakukan istri beserta anaknya.
"Saya bisa lihat gambar untuk rest area nya?" tanya Kalla.
Teddy mengeluarkan gambar design dari drafting tube miliknya. Selain pengerjaan tol yang di minta perusahaan Langit, Raka juga diminta untuk menggambarkan design salah satu rest area yang sekaligus di rancang seperti Mall di sisi jalan tol sepanjang pulau Jawa.
"Kalau sesuai RAB yang Mas Raka kasih ke saya kemarin, yakin pengerjaannya delapan sampai sepuluh bulan? kok saya ragu ya," ujar Langit.
"Ada beberapa hal yang harus anak muda tau tentang menentukan biaya anggaran yang dibutuhkan lebih kurang sampai dengan proyek selesai. Bukan mark up harga ya tapi rencana biaya yang harus di lebihkan." Langit memberikan pengarahan.
Berkecimpung di dunia kontruksi hampir 30 tahun membuat nama Langit Kelana di kenal sebagai perusahaan konstruksi terbaik di Indonesia.
"Baik, Pak ... saya akan perbaiki lagi," ujar Raka.
"Tapi saya suka design kamu," ujar Langit lagi."Bukan begitu, Kal?" tanyanya pada Kalla.
"Kalo untuk design aku suka, cuma ada beberapa yang harus di ubah, hanya sedikit kok, untuk lebih detailnya Anda saya tunggu di kantor besok, gimana? akan lebih mudah jika ada alat ya kan?" Kalla tersenyum.
"Kami benar-benar harus banyak belajar dengan perusahaan Bapak," ujar Raka menaruh hormat.
"Belajar untuk lebih baik, itu wajar ... saya juga dulu seperti kalian, Kalla juga begitu, hidup berproses bukan? tidak ada yang instan apalagi untuk sebuah ambisi." Langit memberikan wejangan.
Menu makanan pun datang setelah pembahasan pekerjaan mereka, obrolan yang tadinya sedikit kaku itu akhirnya mencair seiring cerita tentang keluarga mereka masing-masing.
Kalla yang baru saja mempunyai seorang putri, menceritakan tentang keluarga kecilnya. Kalla mempunyai seorang istri yang bekerja sebagai dokter spesialis kandungan.
"Didi ...."
Suara seorang gadis membuat Raka dan Teddy menoleh bersamaan. Seingat Raka diantara mereka tidak ada yang bernama Didi.
Langit menoleh, meletakkan sendok garpunya di atas piring yang masih penuh dengan makanan.
"Udah selesai?" tanya Langit pada gadis itu.
"Udah ... Mima nunggu di mobil, Didi masih lama?"
"Sebentar lagi, kamu mau makan dulu?" tanya Langit pada putrinya.
"Nggak deh, Zurra masih kenyang," jawab gadis itu melirik dengan ekor matanya ke arah Raka dan Teddy.
"Mas Raka, Mas Teddy ... kenalkan ini putri saya, Azzura ... kembaran Kalla."
"Ooo, kembar," ucap Raka dan Teddy bersamaan.
"Teddy," ujar Teddy mengulurkan tangannya pada Zurra.
"Azzura," ucapnya.
"Raka." Raka berdiri menyambut uluran tangan dari Azzura.
"Azzura kebetulan ada di divisi desain, selain dengan saya, nanti kalian bisa berdiskusi bersama mengenai desain yang akan kalian pakai untuk rest area," kata Kalla.
"Baik," jawab Raka.
Mata mereka saling beradu, gadis yang mempunyai garis keturunan asing itu hanya tersenyum.
"Kalo gitu, sudah selesai ya ... untuk desain di bahas di kantor saja, langsung dengan Kalla atau timnya Zurra," ujar Langit beranjak dari tempat duduknya.
Setelah Langit dan anak-anaknya berpamitan, Raka dan Teddy masih berada di restoran itu.
"Itu desain di ubah lagi?" tanya Teddy.
"Sedikit, sesuai permintaan mereka, gak apa-apa lah, yang penting proyek jalan tol udah ditangan kita," ujar Raka mengusap layar ponselnya.
"Ka ...."
"Hhmm."
"Cantik ya," kata Teddy.
"Siapa?"
"Anaknya Pak Langit."
"Bapaknya aja ganteng, ya wajar anaknya cantik," ujar Raka masih sibuk dengan ponselnya.
"Masih ada keturunan bule kali, ya?" tanya Teddy penasaran.
"Lo tanya aja sendiri ah ... nanya sama gue juga mana gue tau." Raka menekan sebuah nama di ponselnya namun tak mendapati jawaban.
"Ka," ujar Teddy lagi.
"Apa sih, Ted?"
"Lo pacarin aja, biar proyek kita lancar terus."
"Lo kalo ngomong ngeselin, ya," ujar Raka bangkit dari kursinya.
"Kemana, Ka?"
"Balik ke kantor lah," ujar Raka melangkah keluar restoran itu.
"Coba lo pikirin lagi, Ka ... kalo lo bisa pacarin itu anak Pak Langit, otomatis proyek-proyek gede bakal ada di tangan kita."
"Dasar syaiton ...." Drafting tube itu pun mendarat di kepala Teddy bersamaan dengan ringisan Teddy sambil mengusap kepalanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!