Part 01
_________
...Marsya tinggal di gubuk usang bersama Ayah dan Ibunya. Saat itu ibunya sedang mengalami sakit keras, sedangkan ayahnya hanya seorang penjudi dan pemabuk berat....
...Marsya menjadi tulang punggung buat ibu dan ayahnya, tamatan SMA hanya bisa bekerja serabutan atau bekerja di suatu toko. Dia sempat melamar ke Perusahaan besar, namun lamarannya di tolak....
...Inilah Kisah Marsya. ...
.
.
Uhuk!
Uhuk!
Uhuk!
( suara batuk )
Melihat Ibu nya yang batuk, Marsya menjadi cemas. “Ibu-ibu, batuk ibu semakin parah, mari kita ke rumah sakit.” Ajak Marsya mendekati ibunya yang duduk di kursi ruang tamu.
"Kita tidak punya uang, Nak." Sahut ibunya yang merasa cemas jika Marsya tidak sanggup membayar biaya rumah sakit.
"Sudah ibu tentang saja, Marsya punya uang kok." Ucap Marsya berbohong, ia hanya ingin ibunya sembuh dan tidak ingin membuat ibunya cemas. Marsya menggandeng tangan ibunya, membawa ibunya keluar dari rumah dan berjalan menunggu angkutan umum di depan jalan raya yang tak jauh dari gang rumah mereka.
Ibunya menatap wajah Marsya, yang terlihat cemas. “Nak. Apa kamu yakin ingin membawa ibu ke rumah sakit?”
Marsya melemparkan senyuman manis, ia tidak ingin membuat Ibunya cemas. “Sudah ibu tenang saja.” Sahut Marsya menggandeng tangan ibunya menaiki angkutan umum yang sudah terhenti tepat di hadapan mereka.
20 menit kemudian mereka sampai di depan rumah sakit. Marsya membawa Ibunya masuk ke dalam, kedua kaki terhenti di depan resepsionis. “Suster..Suster cepat ibu saya sedang sakit.” Teriak Marsya di depan resepsionis, dengan tangan yang merangkul kuat tubuh Ibunya yang semakin melemah.
Mendengar teriakan Marsya, beberapa Suster berlari ke arahnya. “Mari saya antar ke ruangan IGD.” Ucap suster sambil mengantarkan Marsya dan ibunya menuju ruangan IGD.
...Di ruang Dokter....
...💪🏻💪🏻...
Marsya sedang duduk di meja Dokter wanita, wajahnya terlihat cemas mengingat Ibunya yang tiba-tiba sakit. “Dok, gimana keadaan ibu saya. Penyakit apa yang sebenarnya Ibu saya alami dan kenapa asal batuk mengeluarkan sedikit darah.” Tanya Marsya dengan wajah yang cemas.
Dokter menarik nafas panjang, menatap Marsya dengan tatapan sendu. Kedua bola mata Dokter wanita seperti mengisyaratkan jika Ibunya dalam kondisi yang tidak baik.
Dokter wanita menggenggam tangan Marsya. “Kamu harus siap mendengarkan ini ya? Ibu kamu sebenarnya terkena kanker paru-paru stadium akhir, saya tidak tahu apakah masih bisa di selamatkan. Tapi kita akan mengusahakan yang terbaik buat Ibu Anda.”
Marsya menarik tangan yang di genggam oleh Dokter wanita dengan kedua bola mata yang berbinar seperti menahan air mata yang hampir tumpah.
Ibu mengalami kanker paru-paru, kenapa ibu tidak pernah mengeluh sakitnya selama ini.
Batin Marsya sambil memalingkan wajah sedihnya.
Marsya berusaha tegar di hadapan Dokter wanita, kedua tangannya menghapus jejak air mata yang tertinggal di kedua pipinya. Marsya menarik nafas panjang, memberi senyuman manis menatap wajah Dokter. “Kira-kira butuh biaya berapa untuk mengoperasi ibu dan perawatannya hingga sembuh?”
Dokter wanita menyimpan bibir bawahnya, ia menatap wajah Marsya sangat serius. “Kemungkinan butuh biaya Operasi Rp. 100.000.000 jt, atau bisa saja lebih. Biaya itu sudah termasuk pengobatannya sampai sembuh, tapi untuk sementara waktu Ibu kamu masih bisa dirawat beberapa hari di sini. Dan untuk biaya Operasi silahkan di bicarakan dulu ke pihak keluarga kamu, jika sudah siap kamu bisa datang untuk mengoperasikan ibu kamu.”
Mendengar jawaban Dokter wanita, wajah Marsya berubah menjadi sedih. “Baik Dok, kalau begitu akan saya pikirkan dulu.” Marsya berdiri meninggalkan ruangan Dokter wanita dengan wajah yang cukup sedih.
Hati berasa hancur mendengar perkataan dari Dokter wanita, serasa hujan dan petir akan turun ke Bumi. Ia bingung harus bagaimana, mereka tidak punya uang sedangkan gaji yang ia dapatkan setiap bulan dengan kerja serabutan di pasar hanya mampu untuk membiayai makan mereka.
Marsya berjalan lurus di lorong-lorong rumah sakit, hingga ia tidak bisa berfikir lagi dan membuat semua badannya ikut melemah dan bersandar di tiang-tiang lorong rumah sakit.
Ya Allah, kenapa hidup kami seperti ini. Apakah aku sanggup menjalani ini semua. Aku bingung uang sebanyak itu akan aku temukan di mana?.
Batin Marsya yang kala itu sangat terguncang.
Hiks!
Hiks!
Hiks!
( menangis )
Marsya menangis sambil duduk menekuk kedua kakinya dan melipat tangannya. Hidup bagai tak adil padanya, ia merasa sangat marah, gusar dan frustasi dengan keadaan yang baru saja ia alami.
Satu jam setelah ia merenung nasib yang ia alami, ia teringat akan Ibunya yang masih terbaring di dalam ruang IGD. Ia terus berlari dan berlari menjumpai ibunya yang dia pikir masih di rawat di IGD.
Marsya berdiri dengan nafas yang tidak teratur di depan ruang IGD, ia melangkahkan kedua kakinya memasuki ruang IGD. Wajahnya berubah menjadi panik saat mengetahui Ibunya tidak ada di ruangan tersebut, Marsya berlari keluar seperti orang kebingungan. “Ibu-ibu di mana Suster.”
Mendengar ketegangan yang dari raut wajah Marsya, Suster yang berjaga di dekat ruang IGD berjalan mendekati Marsya. “Ibu, Anda sudah di pindahkan ke ruangan Mawar.”
Mendengar ucapan Suster, Marsya berlari mencari ruangan yang telah diberitahu oleh Suster. Dengan wajah, dahi bercucuran keringat yang mengalir dan nafas yang terputus-putus, Marsya membuka pintu dan berkata. “Ibu..”
Ibu yang ia cintai ternyata sedang duduk di atas ranjang rawat inap rumah sakit, Ibunya hanya bisa melepaskan senyuman manis saat melihat wajah Marsya yang terlihat panik dan gelisah berdiri di depan pintu ruangan. “Masuk Nak, jangan di depan pintu saja.”
Melihat senyum yang terukir di bibir sang Ibu, Marsya tak mampu membendung air matanya. Sejenak ia menolehkan wajahnya menghapus jejak air mata, menarik nafas pendek berusaha untuk tetap tenang dan tidak gelisah. Setelah merasa tenang ia menatap sang Ibu. “Ba-baik ibu.”
Marsya pun melangkahkan kedua kalinya berjalan masuk ke dalam ruang rawat inap Ibunya.
Melihat wajah Marsya yang terlihat sedih dan bingung, Ibunya berusaha tenang sembari bertanya. “Nak kamu kenapa? Wajah kamu seperti habis menangis, apa Dokter berkata buruk tentang Ibu?"
Mendengar pertanyaan dari Ibunya, wajah Marsya kembali bingung. Marsya yang gugup berusaha tenang dengan tangan yang menarik selimut. “Ti-tidak bu, tidak ada hal yang buruk terjadi pada ibu. Sekarang ibu beristirahat dulu.”
Ibunya merasa tidak nyaman dengan sikap yang di sembunyikan oleh Marsya, Ibunya menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. “Tidak Nak, mari kita pulang saja. Ibu merasa diri ibu sudah jauh lebih baik.”
Wajah Marsya terlihat tegas, tangannya menahan tubuh Ibunya yang berusaha bangkit. “Jika ibu sudah bisa berlari dengan kencang, Marsya pastikan kita akan segera pulang.”
Melihat sikap Marsya hangat dan tegas, Ibunya tersenyum seperti menyadari jika anaknya sudah tumbuh menjadi wanita Dewasa. Sambil tersenyum Ibunya menjawab. “Kamu ini ya! bisa saja buat ibu tertawa nak. Ibu sudah tua bagaimana bisa berlari kencang.”
“Sudah sekarang ibu harus istirahat dan tidak boleh kemana-mana. Jika mau butuh sesuatu panggil Marsya.” Ucap Marsya sambil membusungkan dada dan menepuk dadanya.
“Kamu ini, nak-nak.” Tertawa kecil dari sang Ibu.
Marsya hanya bisa tersenyum tipis melihat tawa yang sedang terukir di bibir dan wajah sang Ibu.
Ibu maafin Marsya, Marsya hanya mampu memberi ibu semangat. Tapi Marsya janji akan mengobati ibu sampai ibu sembuh.
Batin Marsya sambil menatap wajah sang Ibu.
Tok!
Tok!
Tok!
( suara ketukan pintu )
Marsya menolehkan wajahnya menatap Suster yang baru saja mengetuk pintu ruangan rawat inap Ibunya. “Masuk Sus’.”
Suster wanita berjalan mendekati ranjang Ibunya dengan tangan yang memegang 1 mangkuk kaca kecil yang berisi beberapa butir obat dan meletakkannya di atas meja kecil samping ranjang rawat inap. “Bu. Ini obatnya nanti di minum ya.”
“Baik terimakasih.” Jawab Marsya sambil mengambil obat yang diberi oleh Suster.
“Ibu obatnya di minum dulu, setelah itu ibu bisa tidur biar besok kita bisa pulang.” Ucap Marsya sambil memberi obat dan memberi minum ke sang Ibu.
Ibunya mengambil obat yang diberikan Marsya dan meminumnya."Glek!" Ibunya memberikan gelas kepada Marsya. “Sudah Nak, kalau gitu ibu tidur dulu ya.” Jawab singkat sang ibu sambil membaringkan tubuhnya.
Marsya pun menyelimuti sang ibu dan duduk di kursi di samping tepian ranjang ibunya. Begitu lelahnya pikiran dan badannya, hingga ia tertidur di kursi sambil menjaga sang ibu.
...Bersambung........
Part 02
__________
Pagi pun menyapa, Marsya yang kala itu sangat lelah tidak sadar kalau sudah pagi. Ia masih merebahkan tubuh mungilnya di atas bangku panjang rumah sakit.
Suster wanita berjalan masuk dengan kedua tangan yang mendorong troli tempat makanan. “Permisi. Ini obatnya dan ini sarapan buat Ibu Surtek.” Ucap sang suster sambil meletakkan obat dan makanan di meja.
Mendengar suara Suster wanita yang menyapa dirinya yang masih terbaring di atas bangku panjang, Marsya membuka perlahan kedua mata indah. “Hem. Sudah jam berapa Sus’.” Tanya Marsya sambil merenggangkan badannya.
Suster wanita tersenyum manis menjawab pertanyaan Marsya, “Sudah jam delapan pagi Nona, sebaiknya Ibu Surtek di bangunkan untuk sarapan dan saya permisi keluar.”
"Terimakasih. Suster."
Marsya bangkit dari bangku panjang, mendekati sang ibu yang kala itu masih tertidur lelap di atas ranjang rawat inap rumah sakit. Marsya menggoyangkan tubuh Ibu Surtek.
“Ibu, ibu sudah pagi! Mari makan dan minum obat.”
Ibu Surtek terbangun akibat goyangan dari kedua tangan Marsya yang menggoyang tubuhnya.
“Apakah Ibu sudah bisa pulang?”
Marsya membantu Ibu Surtek untuk duduk. "Ibu makan dulu nanti akan Marsya tanyakan.” Jawab Marsya dengan tangan yang memegang piring yang berisi lauk pauk.
...20 menit kemudian....
...🐾🐾...
Marsya berdiri di samping ranjang rawat inap, tangannya membantu Ibu Surtek untuk kembali beristirahat. “Ibu, sekarang baringkan badan sebentar, nanti Marsya tanyakan apa Ibu bisa pulang hari ini.”
Ibu Surtek meraih tangan Marsya, menatap penuh harapan. “Usahakan pulang hari ini ya Nak, soalnya Ibu tidak suka berlama-lama di rumah sakit."
Marsya memegang punggung tangan Ibunya. “Iya, sudah jangan di pikirkan lagi. Marsya mau keluar dulu.”
...Di depan kasir....
...🌾...
Marsya berdiri di depan kasir rumah sakit. “Sus’, untuk ruangan Mawar 12 berapa biayanya?” Tanya Marsya.
“Tunggu sebentar ya?” Jawab Suster wanita yang berjaga di kasir.
Suster wanita yang berjaga di kasir menatap wajah Marsya. "Untuk ruangan Mawar 12, dikenakan biaya sebesar tujuh juta rupiah. Belum termasuk tambahan obat. Apakah ingin membayar sekarang?”
Marsya hanya bisa menjawab dengan bibir tersenyum. “Tunggu sebentar lagi ya Suster, Saya mau keluar dulu.” Ucap Marsya sambil membalikkan badannya dan pergi keluar dari Rumah sakit.
...Di sebuah taman yang berada tidak jauh dari Rumah Sakit....
...💃🏻💃🏻...
Marsya sedang duduk di bangku taman, wajahnya terlihat cemas menatap lurus setiap orang yang berlalu lalang dihadapannya. Marsya menundukkan sedikit pandangannya menatap 2 lembar uang berwarna merah yang berada di dalam genggamannya.
“Harus kemana aku mencari uang buat biaya Ibu keluar dari rumah sakit, uang yang aku pegang saat ini hanya 200 ribu. Tidak cukup untuk membayar atau menebus biaya buat ibu.”
“Kenapa Dek, apakah kamu sedang merasa kesulitan!” Tanya sang wanita dengan memakai baju gaun pendek, wajah manis serta rambut yang bergelombang yang tiba-tiba datang dari belakang.
Wanita tersebut memberikan sebuah kertas berwarna putih, ternyata kertas itu adalah sebuah bon pembayaran rumah sakit. “Kamu jangan bersedih lagi, karena biaya rumah sakit Ibu kamu sudah saya bayar. Dan kamu jangan sungkan, saya tidak bermaksud buruk, tadi saya melihat kamu keluar dari rumah sakit dengan wajah sedih dan mengikuti sampai ke sini." Wanita tersebut mengeluarkan amplop coklat. "Dan satu lagi ini buat kamu.”
Marsya yang masih bingung mengulurkan tangannya mengambil bon dan amplop berwarna coklat dari tangan wanita tersebut. “Terimakasih.”
Setelah amplop dan bon di ambil Marsya, wanita tersebut tersenyum menatap wajah Marsya.
“Tapi ini tidak gratis, ada syarat dari semua yang saya berikan ke kamu! Jika kamu bersedia saya akan membayar semua biaya ibu kamu termasuk biaya operasi dan lain sebagainya. Tapi jika tidak saya akan menarik semuanya. Jika kamu setuju datang ke rumah saya, ini Alamat rumah saya." Wanita tersebut memberikan kertas kecil yang bertulisan Alamat rumah.
Wanita tersebut berbalik badan, wajahnya menoleh sedikit menatap Marsya yang masih terlihat bingung. "Ingat kamu punya hutang kepada saya sebesar tujuh juta dan di dalam Amplop itu ada lima juta lagi buat membeli obat kamu.”
Marsya menolak tawaran gratis dari wanita tersebut dengan berpikir uang yang di berikan wanita tersebut sebagai hutang yang harus segera di lunasi nya.
"Maaf. Saya menolak syarat yang Anda berikan, saya janji akan melunasi hutang-hutang saya.”
Wanita tersebut menaikkan alis kirinya, “Baiklah jika kamu menolak, saya akan ambil kembali uang saya dan terserah kamu bagaimana cara membayarnya nanti. Dan satu hal saya tidak suka mendengar kata menyicil.” Tegas wanita cantik tersebut.
Wajah Marsya berubah menjadi panik, “Baik, kalau gitu saya akan ke rumah Anda nanti tapi setelah selesai pengurusan ibu saya.”
...Di dalam Ruang rawat inap....
...🌷🌷...
Marsya berlari dengan wajah gembira, dengan tangan yang memegang bon bukti pembayaran dan 1 kantung plastik yang berisi obat. “Ibu mari kita pulang, Marsya sudah mendapat uang dan membeli obat buat ibu di rumah nanti.”
“Nak, jika ibu boleh tahu kamu mendapatkan uang sebanyak itu dari mana?” Tanya lembut Ibu Surtek kepada Marsya.
Marsya yang masih dalam keadaan gembira mencoba memberitahu Ibu Surtek. “Tadi ada seorang wanita cantik dan kaya memberikan itu semua, dengan satu syarat Marsya nanti akan ke rumahnya. Mungkin Marsya mau di beri pekerjaan Bu’.”
“Nak, tapi ibu kuatir masa bisa sebaik itu?”
...2 jam kemudian...
...😥...
Sesampainya di rumah, bukan sambutan hangat dan pertanyaan yang kekhawatiran yang di dapat oleh Marsya dan Ibunya setelah 2 hari tidak pulang ke rumah. Malah keadaan rumah yang sangat berantakan, dengan wajah seorang ayah yang begitu sadis menyambut mereka.
“Kalian dari mana saja, apa kalian tidak berpikir, aku ini sudah makan atau belum.” Bentak Ayahnya yang duduk di kursi dengan kedua kaki yang di letakkan di atas meja.
“Ayah! ibu kemarin sakit jadi Marsya…” Marsya memberitahu tapi ucapannya terhenti.
Ayahnya berdiri, berjalan mendekati Marsya dengan tangan kanan yang di ulur panjang. “Alah, Ibu kamu itu memang menyusahkan saja kerjanya. Sekarang mana duit, cepat berikan ayah mu ini uang.”
“Ayah harus bertaubat jangan seperti ini. Lihat ibu, kasihan dia.” Keluh Marsya.
Ayahnya tak menghiraukan ucapan Marsya, tangannya merampas tas yang dipegang Marsya. “Aku tidak ingin tahu tentang Ibumu. Sekarang yang aku inginkan hanya uang.”
“Jangan Ayah, jangan.” Marsya mencoba untuk mempertahankan tasnya, namun Marsya tidak kuat menahan Ayahnya yang terus menarik tas yang ia pegang.
Ayahnya menggeledah isi tas Marsya, terlihatlah amplop coklat yang diberi oleh wanita tadi. Ayahnya mengeluarkan amplop coklat tersebut sambil berkata. “Ini apa! Mau coba-coba menipu Ayahmu. Ternyata duit kamu banyak juga, sering-sering seperti ini ya.” Ayahnya menepuk bahu Marsya sambil berbalik badan.
Dengan wajah yang cemas Marsya berkata. “Tapi Ayah, itu untuk pengobatan ibu...” ucap Marsya terhenti.
Ayahnya mencampakkan beberapa lembar uang ke muka Marsya dan pergi melangkahkan kakinya dari rumah.
“Ini! Segini saja cukup jangan banyak-banyak, karena ibu kamu nanti bakalan mati juga.”
Sambil melihat Ayahnya pergi, Ibu Marsya mendekat sambil berkata. “Nak, maafkan Ayahmu.”
"Sudah Bu mari kita masuk dan jangan hiraukan yang tadi.” Marsya mengambil tas yang terjatuh dan membawa Ibunya masuk ke dalam kamar.
“Ibu, nanti Marsya ingin bertemu wanita yang memberikan uang itu kepada Marsya. Ibu harus hati-hati di rumah dan ini obat serta minum buat ibu sudah Marsya letakkan di atas meja, supaya ibu gampang mengambilnya.” Ucap Marsya dengan lembut dan tetap tersenyum.
Melihat Marsya pergi ibunya berkata dengan ekspresi wajah yang sedikit cemas. “Nak, kamu hati-hati ya. Ibu tiba-tiba kuatir niat wanita itu kayaknya tidak bagus untuk mu.”
“Sudah ibu tenang saja, Marsya pergi dulu.” Marsya mengecup kening ibunya.
Dan melangkahkan kakinya berjalan keluar dari rumah. Marsya berjalan terus sampai langkah kakinya terhenti di pinggiran jalan sambil menunggu angkutan umum Marsya melihat alamat tersebut lalu menghentikan angkutan umum yang sudah nampak di depan mata.
Satu jam perjalanan ia menaiki angkot, Marsya pun berhenti di terminal dan menanyakan di mana alamat tersebut, ternyata alamat itu tidak jauh dari terminal. Ia berjalan lurus dan berhenti di sebuah rumah mewah.
Langkah kakinya terhenti di depan gerbang rumah mewah. “Apa aku tidak salah, apakah memang ini rumah yang dimaksud dari alamat tersebut.” Gumam Marsya sambil melihat sebuah kertas yang bertulisan tentang Alamat wanita itu.
Tin!
Tin!
Tin!
( suara klakson )
Mendengar suara klakson Marsya langsung minggir, mobil itu melewati Marsya dan masuk ke arah rumah mewah tadi.
Melihat mobil itu masuk ke dalam rumah mewah itu, Marsya berkata. “Itu ada orang yang masuk, sebaiknya aku tanyakan pada mereka saja.” Marsya berjalan cepat memasuki gerbang rumah mewah itu.
Tap!
Tap!
( suara menutup pintu mobil )
Terlihat seorang lelaki tampan dan di susul seorang wanita cantik dan ternyata wanita itu adalah wanita yang berjumpa dengan Marsya saat di rumah sakit.
“Nona, apakah kamu ingat saya.” Ucap Marsya berlari menghentikan langkah wanita itu.
Wanita itu berhenti berbalik badan memandangi Marsya. “Oh! Kamu datang juga, iya saya ingat kamu dan mari masuk.” ucap wanita tadi mempersilahkan masuk.
Merasa seperti mimpi bisa memasuki rumah mewah dan megah, Marsya tak henti-hentinya memandangi keindahan rumah tersebut. Di depan teras Marsya melepaskan sandal kotornya.
“Sudah pakai saja, mari masuk.” Ucap wanita itu yang melihat Marsya melepaskan sendalnya.
“Tapi sandal aku sangat kotor nanti lantainya bisa jorok.” Jawab Marsya dengan wajah polosnya.
“Sudah tidak apa-apa, sudah mari silahkan masuk.” Wanita tersebut mempersilahkan masuk Marsya dengan senyuman.
Marsya mengikuti langkah kaki wanita dari belakang dan terhenti di sebuah ruang tamu yang sangat mewah dengan sofa yang lembut.
Wanita tadi memperkenalkan diri. “Ini rumah saya dan lelaki tadi adalah suaminya. Kamu silahkan duduk di sana.”
“Bibi, tolong bawakan minum ke sini.” ucap wanita tadi memanggil pembantu nya.
“Tidak perlu di buatin minum, saya ke sini hanya datang untuk menepati janji saya ke nona.” Ucap Marsya malu-malu.
Datang seorang pria tampan mendekati wanita yang sedang duduk di sofa, kedua tangannya memegang bahu wanita tersebut. “Sayang wanita ini siapa?”
“Sayang, mari saya kenalkan ini adalah anak yang saya bicarakan kemarin.” Jawab wanita tersebut sambil memandang wajah pria yang sedang berdiri di belakangnya.
Wanita tadi mengulurkan tangan ke Marsya dan berkata. “Perkenalkan nama saya Wardani Ningsih dan dia suami saya Agung Laksmana. Kalau nama kamu siapa?” Tanya Wardani.
Marsya menyambut tangan wanita tadi dan menjawab. “Nama saya Marsya Aulia.” Memperkenalkan diri sambil menundukkan kepalanya. Marsya menatap Wardani, "Jika saya boleh tahu, pekerjaan apa yang akan Anda berikan ke saya."
“Kerjaan kamu hanya memberikan satu keturunan dari suami saya.” Jawab Wardani tanpa ragu.
“Apa? Tapi saya belum menikah dan belum pernah melahirkan dan saya tidak mau itu.” Marsya menolak dengan ekspresi wajah yang marah.
“Baik, jika kamu tidak mau menerima syarat dari saya, maka kembalikan uang saya sebesar 50 juta. Uang itu sudah termasuk bunganya.” Tegas Wardani dengan senyum licik yang terpancar.
Tuan Agung menyela pembicaraan Wardani sambil berkata. “Wardani sayang, apakah kamu tidak salah ia menjadi calon Ibu buat anak-anak kita?”
Wardani menolehkan wajahnya menatap Agung. “Walau pun tampangnya kumuh, tapi dia bagus buat melahirkan keturunan dari kamu.”
Mendengar perkataan Wardani, Marsya bingung dengan wajah yang panik ia bertanya. “Apa 50 juta! tapi uang yang nona berikan tidak sebesar itu dan saya tidak meminta uang itu, nona yang memberikan cuma-cuma ke saya. Dan kenapa harus saya yang melahirkan anak buat kalian, kenapa tidak kamu saja nona Wardani.” Marsya terus membantah.
Wardani mengalihkan pembicaraannya. “Hei, saya tahu kamu sedang membutuhkan uang untuk pengobatan Ibumu. Apakah kamu tidak mau menerima tawaran ini, saya bisa memberikanmu apa saja asal kamu terima penawaran ini.”
Ekspresi wajah Marsya berubah menjadi suram. “Tidak! saya tidak mau, kenapa tidak kamu saja nona yang melahirkan keturunan buat keluarga kalian.”
Wardani terus merayu Marsya yang masih terlihat polos dan cantik. “Saya sudah mempunyai kesepakatan dengan suami saya, kalau setelah menikah saya tidak ingin hamil atau pun melahirkan. Saya tidak ingin badan bagus saya rusak dan suami saya menyetujuinya. Saya ini seorang model sekaligus Desainer terkenal, sedangkan suami saya seorang Presdir terkaya yang mempunyai tambang minyak di mana-mana. Penampilan saya nomor satu di publik, jadi saya tidak akan rela merusaknya.
Kami sudah cukup lama merencanakan ini tapi kami belum dapat wanita yang pas buat melahirkan calon anak pewaris kami. Kamu tenang saja, setelah kamu melahirkan dan anak itu jadi punya kami, kamu akan menjadi wanita singel dengan memiliki banyak kekayaan dan satu lagi kamu bisa memberi ibumu apa saja yang belum pernah ia punya selama ini. Apakah kamu mengerti maksud saya.”
“Jika saya menerima tawaran ini, gimana dengan hubungan rumah tangga kalian setelah saya hadir disini?” Tanya Marsya dengan tatapan yang serius.
“Kamu tenang saja, saya tekankan tidak ada tumbuh rasa saling mencintai satu sama lain. Jika itu terjadi perjanjian akan saya batalkan dan kamu akan menanggung semuanya.” Tegas Wardani sambil menatap wajah Marsya.
Marsya beranjak dari tempat duduknya dan menundukkan kepalanya. "Kalau gitu saya pamit pulang dulu.”
“Jika kamu sudah dapat jawabannya datanglah besok pagi pukul 10:30 ke rumah ini.” Teriak Wardani dari.
Marsya tidak menghiraukannya, ia terus berjalan keluar dari rumah yang megah itu. Di sepanjang perjalanan ia merasa bimbang, jawaban apa yang akan ia berikan kepada Wardani dan penjelasan apa yang akan ia berikan kepada ibunya.
*****
...Di rumah Marsya....
...😊😊...
“Nak, kamu sore sekali pulangnya. Gimana tadi, apakah kamu sudah ketemu dengan wanita yang baik itu.” Tanya sang Ibu yang sedari tadi menunggunya di depan rumah.
Melihat Ibu Surtek yang sedang berdiri di depan rumah, Marsya berlari kencang menggandeng tangan sang Ibu. “Ibu, apa yang ibu lakukan, apakah ibu dari tadi menunggu Marsya?”
“Sudah, Marsya sudah jumpa dengan wanita itu. Ibu rumah dia ternyata sangat mewah dan megah. Marsya aja segan untuk menginjak kaki di lantai yang begitu kilat.” Marsya mengalihkan pembicaraan.
“Jadi Nak, pekerjaan apa yang akan di berikan nya kepadamu?” Tanya sang ibu.
Marsya memalingkan wajahnya, “Ma-Marsya belum tahu Bu, tamatan SMA seperti Marsya paling hanya bisa menjadi pembantu.”
“Nak. Apa kamu menutupi sesuatu dari Ibu? tentang tawaran yang diberikan wanita tersebut.” Tanya Ibu Surtek menatap wajah Marsya.
Kenapa ibu bisa tahu.
Batin Marsya menatap sang ibu.
“Ti-tidak Ibuku sayang, apakah Ibu sudah makan?” Marsya memeluk sang ibu.
Ibu Surtek memalingkan wajah yang terlihat sedih dari hadapan Marsya. “Belum Nak, tidak ada apa-apa di rumah kita. Duit kita sudah di bawa kabur oleh Ayahmu dan Ibu tidak memegang uang sama sekali.”
Marsya melepas pelukannya. “Sudah tidak usah di pikirkan, ini masih ada sisa uang sedikit. Marsya akan membelikan nasi bungkus buat kita.” Ucap Marsya berjalan keluar dari rumah menuju kedai nasi.
20 menit kemudian Marsya berlari masuk ke dalam rumah dengan kedua tangan yang memegang 2 bungkus nasi. “Ibu mari kita makan.”
“Nak kamu hanya beli dua, untuk Ayah mana?” Tanya Ibu Surtek.
“Kenapa ibu masih memikirkan ayah sudah biarkan saja dia, mari kita makan.” Jawab Marsya dengan kening yang mengerut
Hari mulai malam, semakin lama semakin larut. Ayah yang tadi pergi belum juga pulang. Ibunya mencemaskan sang suami dan terus menunggu di luar rumah.
Marsya berjalan keluar mendekati Ibu Surtek yang terus menunggu di teras rumah. “Ibu, kenapa masih disini, mari masuk.”
“Tidak Nak, Ibu di sini saja menunggu Ayahmu.”
Marsya yang menahan emosinya bersikeras merangkul tubuh Ibu Surtek yang barus aja keluar dari rumah sakit. “Ibu? Ibu belum sehat, biar Marsya saja yang menunggu Ayah.”
2 jam kemudian sang Ayah pulang dalam keadaan mabuk.
“Bajingan, bisa-bisanya aku kalah lagi.” ketus Ayahnya dengan wajah terlihat kesal.
Braaak!!!
Bammm!!!
Ayahnya menyepak dan melemparkan barang-barang yang berada di rumah.
“Ayah, kenapa tidak berubah. Tobat ayah, tobat.” Teriak Marsya.
“Diam kamu.” Sambil mendorong Marsya.
Ayahnya berjalan masuk ke dalam kamar Ibunya, membuka lemari. “Mana uang, mana uang.”
Ibu Surtek terlihat cemas, tangannya menahan tangan sang suami yang terus mengacak-acak lemari. “Mas, kamu itu harus berubah dan taubat.”
“Alah, banyak omong.” Ayahnya mendorong kuat sang ibu.
Bammm..!!
“Aduuh!” Keluh Ibu Surtek terbentur sudut meja dan meninggalkan sedikit luka di dahinya.
Melihat sang Ibu terjatuh kening membentur sudut meja, Marsya berlari. “Ibu.”
“Ayah sungguh tega kepada kami.” Bentak Marsya.
...Bersambung......
...Nama : Agung Laksmana ( Agung ) suami dari Wardani....
...Pemilik Sekaligus Presdir tambang Minyak....
...Nama : Wardani Ningsih ( Wardani ) istri dari Agung Laksmana....
...Pengusaha muda di bidang Desainer sekaligus modeling....
...Nama : Marsya Aulia....
...Seorang gadis susah hanya tamatan SMA, bekerja serabutan....
...Demikian contoh Visual dari saya 😁....
...Terimakasih sudah mampir😊😉...
...Jangan lupa beri semangat buat Author ya😘**...
Part 03
______
Marsya mengepal kedua tangannya, menatap tajam wajah Ayahnya. Bibir yang gemetar tak mampu menahan amarah yang menggelegar di dalam hatinya. “Ayah sangat kejam ke kami! Seharusnya Ayah yang memberikan kami uang, bukan Marsya."
Plaaak!!
Ayahnya melayangkan tamparan tepat di pipi Marsya.
"Diam kau, seharusnya kau itu terlahir sebagai laki-laki! Tapi ibumu malah melahirkan anak perempuan." Dalam keadaan mabuk, Ayahnya berbicara dengan nada tinggi sambil menunjuk ke arah Marsya. Kemudian berbalik arah sambil memegang lengan ibunya dengan tatapan yang setengah mabuk, "Dan kau lihat ini anak perempuanmu dan hasil didikan kamu."
Setelah berkata seperti itu kepada Ibu Surtek, Ayahnya berbalik badan melangkahkan kedua kakinya meninggalkan kamar Ibu Surtek.
Ibu Surtek seperti sudah biasa tegar menghadapi suaminya, Ibu Surtek menarik nafas diam-diam dengan kedua kaki mendekati Marsya. “Nak. Perbuatan Ayah kamu jangan dimasukkan ke dalam hati, mungkin Ayah kamu tidak bermaksud berbicara seperti itu dan berbuat kasar kepada kita.”
Marsya berbalik badan menatap Ibu Surtek, mencoba tegar dan menahan amarah yang tersirat dari wajahnya. “Tidak perlu di bahas lagi, yang paling penting Ibu harus istirahat. Dan berbaring dulu biar Marsya obati luka yang dibuat oleh Ayah.”
Marsya berjalan mengambil kotak obat yang berada di atas lemari baju Ibu Surtek.
Setelah selesai mengobati luka Ibunya, Marsya meletakkan kotak obat di atas meja yang berada di dalam kamar Ibu Surtek. “Sudah malam Ibu harus tidur, tentang Ayah tidak perlu Ibu pikirkan.” Marsya membaringkan dan menyelimuti tubuh Ibu Surtek.
Ibu Surtek melirik Marsya yang pergi berjalan dengan keadaan kepala yang tertunduk. “Nak. Ibu harap kamu tidak kecewa dengan ucapan dan perlakuan Ayah kamu.”
Marsya menghentikan langkah kakinya, sejenak ia terdiam mendengar perkataan Ibunya. “Bukankah Ayah seperti itu, Ibu tidak perlu cemas yang terpenting, Ibu harus segera tidur karena Marsya sudah mulai mengantuk dan ingin cepat tidur.”
Marsya berjalan cepat menuju kamarnya.
Blam!
Marsya menutup pintu kamar kuat.
Marsya yang kala itu sedang berargumentasi dengan dirinya sendiri menatap langit dari jendela yang terbuat dari potongan kecil-kecil bambu tersusun rapih bagai jerjak.
“Ayah sungguh keterlaluan, sifat dan sikapnya tidak pernah berubah. Jika dia tidak suka padaku kenapa dia terus-terusan menghinaku, aku ini anaknya bukan orang lain. Apa salah jika anak manusia terlahir dengan takdir yang sudah di tentukan Allah, suka heran dengan manusia yang selalu merasa kurang dan tidak tahu bersyukur.
Aku kasihan melihat Ibu, dari aku kecil Ibu selalu mati-matian mengurus dan membiayai semuanya. Sampai aku besar pun Ibu belum pernah merasakan nikmat dari hasil yang dia peroleh sendiri. Apakah sebaiknya aku terima tawaran sepasang suami istri orang kaya tersebut.
Aakkh! Entah apa yang aku pikirkan, sebaiknya aku tidur saja.”
...Pukul 06:00 pagi....
...😉...
Ibu Surtek terbangun dari ranjangnya, dengan hidung yang mengendus. “Wangi sekali, seperti wangi ikan nila dan sambal belacan.”
Ibunya berjalan perlahan menuju dapur rumah, ia melihat Marsya sedang menggoreng ikan sangat pagi sekali. Tepat pukul 06:00, Marsya sudah hampir selesai memasak.
Ibunya terus berjalan menuju dapur, “Hem! Harum sekali.” Ibunya berkata dari belakang Marsya.
Marsya yang masih fokus menggoreng terkejut. Marsya memegang jantung nya dan berbalik sebentar lalu melanjutkan masakannya. “Ibu buat kaget Marsya saja, Marsya kira siapa?”
Ibu Surtek duduk di meja makan yang berukuran satu meter dan bangku yang mulai rapuh tak jauh dari tempat penggorengan masak Marsya.
“Kenapa cepat sekali kamu memasak, jam berapa kamu bangun dan membeli sayuran segar ini ke pasar Nak?”
Marsya yang sudah selesai memasak meletakkan masakannya di atas meja. Sambil menuangkan sedikit makan serta ikan nila dan yang lainnya Marsya menjawab pertanyaan Ibu Surtek.
“Jam 05:00 pagi Bu. Sudah mari kita makan, nanti Marsya mau ke rumah wanita itu lagi. Mau membahas pekerjaan, sudah waktu nya Marsya membuat Ibu bahagia.”
Saat menikmati santap makan pagi tiba-tiba Ibunya teringat, “Oh ya Nak! Ayahmu sudah kamu sisain belum….”
Braakk!!
Braak!!
“Sial aku kalah lagi! Akkhhqq.” Ayahnya datang sambil menghancurkan semua barang yang ada di rumah.
Marsya yang terkejut mendengar suara amukan sang Ayah dan barang yang di hempaskan di atas lantai. “Ibu, ada apa dengan Ayah?”
“Iya Nak, ibu juga terkejut paling ayahmu kalah lagi.” Ucap ibu yang masih memegang dadanya karena terkejut mendengar suara keributan yang dibuat oleh Ayahnya sendiri.
Ayahnya dalam keadaan mabuk berteriak sambil duduk di kursi ruang tamu saling berdekatan dengan kamar dan memanggil nama Istrinya.
“Surtek! Surtek! Dimana kau? Aku butuh uang lagi ini, aku gak terima dikalahkan oleh mereka semua.”
Mendengar teriakan sang Ayah yang terlihat sangat kasar, Marsya menahan Ibunya. “Ibu disini saja, biar Marsya yang menghadapi Ayah.”
Ibu Surtek menganggukan kepalanya menatap cemas wajah Marsya yang terlihat sedang menahan amarah.
Dengan penuh amarah Marsya keluar dari ruang dapur sekaligus tempat untuk makan di rumah mereka.
Marsya sangat kesal, menatap tajam wajah Ayahnya sambil meluapkan apa yang ada di hatinya. “Kenapa Ayah menghancurkan ini semua, tidak bisakah Ayah pulang dengan keadaan baik. Apa yang ada dipikiran Ayah?
Lihat ibu itu sedang sakit, apa Ayah tidak mau menyenangkan hati Ibu walau hanya dalam 5 menit saja. Asal pulang ke rumah selalu seperti ini, kita bukan orang kaya Ayah. Kami tidak punya uang untuk memperbaiki ini semua dan memberi uang untuk Ayah, jika Ayah ingin uang sebaiknya bekerja.”
Ayahnya tertegun lalu berdiri perlahan mendekati Marsya, kemudian mengangkat tangannya mendaratkan tamparan di pipi Marsya.
Plakk!!
“Berani kau berkata seperti itu kepada aku. Dasar anak gak tau diri, kau pikir kau siapa? Aku sudah capek membesarkanmu. Sekarang tugasmu untuk membalikkan semua apa yang pernah aku berikan ke kamu.” Bentak sang Ayah.
Marsya mengepal sebelah tangan kiri dan tangan kanan memegang pipi bekas tamparan, “Apa! Apa rupanya yang telah Ayah berikan kepada Marsya dan Ibu, tidak ada Ayah. Justru Ibulah yang banting tulang demi membiayai kehidupan kita, sedangkan Ayah cuman taunya mabuk dan bermain judi. Ayah juga….”
Plaaak!!!
Ayahnya menampar pipi Marsya yang lain.
Mendengar tamparan yang sangat kuat di layangkan di kedua pipi Marsya, Ibunya berlari dari dapur sambil berteriak. “Cukup! Cukup. Apa yang kamu lakukan kepada anak kita. Dia itu benar, kamu yang tidak pernah berubah Mas. Tidak kau lihat anak kita ini sudah bersusah payah untuk mencukupi kehidupan kita.”
Ibunya memeluk Marsya yang kala itu sedang berdiri menatap sang Ayah sambil memegang kedua pipi yang di tampar oleh sang Ayah.
“Kamu lihat, ini lah hasil didikan yang kamu berikan ke anakmu. Sehingga ia sering melawan kepada Ayahnya sendiri. Gak ada gunanya berdebat dengan kalian, lebih bagus aku pergi dari rumah busuk ini.” Dengan lantang Ayahnya berbicara sambil berbalik badan dan melangkahkan kakinya keluar dari rumah.
Ibu Surtek menatap wajah Marsya dan membelai lembut rambutnya. “Nak. Kamu tidak apa-apa?”
Marsya hanya menggelengkan kepalanya, lalu ia menatap wajah Ibu Surtek. “Ibu. wajah Ibu sangat pucat, mari duduk di kursi.” ajak Marsya menggandeng tangan ibunya pelan-pelan menuju kursi.
Belum sampai di kursi tiba- tiba Ibunya pingsan. Membuat Marsya panik." Ibu! Ibu!"
****
...Di Rumah Sakit....
...🏥...
Di atas ranjang rawat inap Ibunya terbaring lemah kedua mata Ibu Surtek terpejam, namun bibir terus berkata. “Marsya! Marsya!”
Ibu Surtek terus mengigau sampai kedua mata Ibunya terbuka secara perlahan menatap sendu wajah Marsya. Melihat Ibunya sudah sadar, Marsya tersenyum. “Ibu sudah sadar, Marsya disini Ibu jangan kuatir."
“Dokter! Dokter! Ibu saya sudah bangun.” Teriak Marsya sambil mengeluarkan kepalanya sedikit dari pintu ruangan rumah sakit.
Mendengar teriakan Marsya, para Suster dan Dokter berlari menuju ruangan rawat Ibunya.
Marsya yang menunggu diluar ruangan hanya mondar mandir sambil menggenggam tangannya sendiri.
20 menit kemudian pintu ruangan Ibu Surtek terbuka, tak lama Dokter dan para Suster juga ikut keluar. Mereka berdiri di hadapan Marsya dengan wajah yang kurang menyenangkan untuk dilihat.
Marsya yang sedikit panik dan gugup bertanya, “Dokter, kenapa ibu saya? Apa! Apa ibu saya baik-baik saja.”
“Nanti kalian tolong rontgen bagian tubuh Ibu Surtek. Lalu berikan kepada saya, saya tunggu kalian di ruangan saya.” Tegas Dokter kepada para Suster yang membantu Dokter tersebut.
“Baik Dokter.” jawab serentak para Suster dan berjalan meninggalkan Dokter yang masih berdiri bersama Marsya.
Marsya yang panik bertanya sambil memegang tangan Dokter. “Dok, jawab Dokter.”
Dokter mengajak Marsya menuju ruangan agar lebih mudah menjelaskan apa yang terjadi dengan Ibunya. “Mari keruangan saya dulu, di sana saya akan memberitahukan semuanya kepada kamu.”
Marsya mengikuti Dokter dari belakang. Pikirannya berkecambuk, dia hanya mengepal kedua tangannya dengan sangat kuat dengan kepala yang tertunduk.
Marsya dan Dokter terus berjalan sampai di depan ruangan Dokter membuka pintu sambil berkata. “Marsya silahkan duduk." Dokter menarik bangkunya kemudian duduk, kemudian mempersilahkan Marsya duduk juga.
Dokter wanita menggelengkan kepalanya dengan wajah yang cemas Dokter wanita memberitahu Marsya. “Sepertinya kita sudah tidak banyak waktu lagi!”
Marsya yang panik, menarik tangan Dokter wanita. “Maksud Dokter apa?”
Dokter wanita menyambung ucapannya yang sempat terhenti. “Sepertinya kanker Ibu kamu bertambah parah dan sudah menjalar ke seluruh bagian tubuhnya. Kita harus segera mengoperasi buat Ibu kamu segera
” Tegas sang Dokter.
“Apa Dok!” Marsya duduk mundur dan melepaskan genggamannya tangannya.
Tok!
Tok!
"Masuk” Sahut Dokter wanita melihat ke arah pintu.
“Dok! Ini hasilnya Ibu Surtek.” ucap Suster memberikan sebuah amplop besar berwarna coklat kepada Dokter wanita.
Dokter wanita mengambil amplop besar hasil rontgen Ibu Surtek, dari tangan Suster yang berdiri di samping mejanya. “Terimakasih! ”
Suster hanya menunduk dan perlahan mundur dan keluar dari ruangan.
Marsya hanya memandangi amplop coklat yang di pegang Dokter, merasa tidak puas hanya memandang. Marsya pun mulai bertanya kembali. “Hasil apa yang sedang Dokter pegang?”
Dokter mengeluarkan hasilnya dari sebuah amplop besar berwarna coklat. Terlihatlah sebuah gambar yang berwarna hitam dan gambar yang sangat mengganas hampir memenuhi paru-paru sang Ibu.
“Ini adalah hasil foto rontgen Ibu kamu, kamu sudah melihatnya yang ini.” Dokter wanita menunjukkan gambar kanker yang semakin menjalar dengan ganas di paru-paru ibunya.
“Dok! Apa sudah seburuk itu?” tanya Marsya dengan nada putus asa.
“Ini sudah stadium akhir, Ibu kamu pasti mengalami berbagai macam tekanan atau batin yang sangat teramat dalam. Sehingga membuat kanker ini menjalar begitu cepatnya." Dokter memberitahu dengan pandangan mata yang menurun.
“Dok! Jika saya punya uang sekarang, apakah kamu berjanji akan menyelamatkan ibu saya." Marsya menggenggam kembali tangan Dokter wanita, sehingga tak menyadari air matanya menetes ke pipinya.
Dokter wanita membalas genggaman tangan Marsya, “Saya tidak bisa berjanji, saya hanya mengupayakan yang sebaik mungkin untuk Ibu kamu. Tapi untuk semuanya pasrahkan kepada Allah karena dia yang mempunyai kehendaknya.”
“Dok! Tolong jaga Ibu saya sebentar ya? Saya akan kembali dengan secepatnya.” Jawab Marsya yang tiba-tiba bangkit dari kursinya lalu berbalik membelakangi dan berjalan keluar dari ruangan Dokter wanita.
Dokter wanita hanya menggelengkan pelan kepalanya ketika melihat Marsya yang pergi keluar dari ruangannya. Marsya terus berjalan dan melihat sebuah jam yang menempel di dinding rumah sakit. ia melihat jam tersebut menunjukkan pukul 08:45 pagi. Tanpa pikir panjang Marsya terus berjalan.
Setibanya di depan luar rumah sakit ia menyetop sebuah angkut yang mengarah langsung ke terminal. Waktu terus berjalan, tidak tahu apa yang telah di pikirkan oleh Marsya! Tapi kelihatan dari wajahnya ia cukup serius dengan apa yang akan ia perbuat hari itu.
Hampir satu jam tepat pukul 09:40 pagi ia sampai di sebuah terminal. Dengan menarik nafas panjang ia berjalan keluar dari terminal.
...Bersambung....
...Terimakasih sudah mampir 😊😉...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!