"Selamat pagi, Sayang," sapa Zahran.
"Pagi juga," jawab Yasna tersenyum.
Yasna Ulfairah Ghaffar, dua puluh tujuh tahun, ia sudah menikah dengan Zahran Altair tujuh tahun yang lalu, tapi mereka belum dikaruniai seorang anak, lebih tepatnya tidak bisa memiliki anak.
"Cantik banget sih Istriku ini, wangi lagi," goda Zahran dengan memeluk Yasna dari belakang. “Kenapa melamun?”
Sebelumnya, Zahran melihat Yasna melamun, hingga tidak menyadari kedatangannya. Namun, saat ditanya Yasna berkilah.
"Nggak papa, ayo, sarapan dulu!”
“Ada apa sih, Sayang? Jangan bohong sama aku.”
“Emm ... Bang, rumah ini terasa sepi, ya? Bagaimana kalau kita mengadopsi anak?”
“Kamu kenapa selalu bahas hal ini lagi?”
“Aku merasa rumah ini terlalu sepi, Abang sudah janji dulu mau adopsi anak.”
“Itu dulu, sekarang tidak!”
“Kenapa?”
“Karena mereka bukan anakku, aku ingin anak kandung, bukan anak angkat!”
Keheningan tiba-tiba terjadi, Zahran salah tingkah karena menyadari ia telah salah berucap. Yasna menatap Zahran tidak percaya, apa maksud dari ucapan suaminya? Bukankah sudah jelas ia tidak bisa memberinya anak, atau ... pikiran buruk tiba-tiba terlintas di pikiran Yasna.
“Apa maksud ucapan Abang?”
“Tidak ada, sebaiknya kita segera makan, sudah semakin siang juga, nanti aku terlambat.”
Zahran berusaha mengalihkan pembicaraan, ia tidak ingin menyakiti hati Yasna, ia sangat mencintai istrinya itu dan tidak ingin kehilangannya.
“Kamu masak sendiri lagi?” tanya Zahran.
“Iya,” jawab Yasna dengan enggan.
Yasna masih kepikiran ucapan Zahran tadi, tentang keinginannya untuk memiliki anak kandung, sedangkan Yasna sudah pasti tidak bisa memberikannya.
"Abang berangkat dulu, ya?" ucap Zahran setelah menghabiskan makanannya.
Zahran mencium kening Yasna. Memang sudah menjadi kebiasaannya sebelum pergi. Yasna juga mencium punggung tangan suaminya.
“Bang ... Abang masih ingat ‘kan, janji yang Abang ucapkan padaku?” Yasna menahan Zahran sebentar.
Yasna ingin mengingatkan janji suaminya, sebelum semuanya terlambat.
“Janji apa? Memang kamu mau dibeli in sesuatu?”
“Di hari pertama kita menikah, Abang berjanji tidak akan mengkhianati atau menduakanku, Abang ingat, kan?”
“I-iya, aku ingat kok.”
“Syukurlah kalau Abang masih ingat, aku hanya takut kalau Abang lupa.”
"Aku berangkat, di rumah saja jangan ke mana-mana, jika ingin keluar hubungi Abang dulu, biar nanti sopir kantor yang mengantar kamu.”
"Iya, Bang.”
"Assalamualaikum.”
"Waalaikumsalam.”
Mobil yang dikendarai Zahran meninggalkan halaman rumah mereka, rumah yang cukup besar untuk ditempati empat orang, mereka berdua, satu ART dan satu satpam.
Tidak berapa lama setelah kepergian Zahran, bel rumah berbunyi berulang kali membuat Yasna kesal.
“Siapa sih? Nggak sabaran banget!”
“Siapa lagi kalau bukan Nenek sihir,” celetuk Bik Rahmi.
“Nenek sihir?” ulang Yasna sambil berpikir, ia pun tahu siapa yang dimaksud Bik Rahmi.
Yasna keluar untuk membukakan pintu, ternyata memang sang mertua yang datang, tepat seperti yang diperkirakan Bik Rahmi.
“Kamu ke mana saja? Buka pintu saja lama sekali, di rumah juga nggak ngapa-ngapain! Tidak punya anak juga, sok sibuk!" ucap mertua Yasna yang bernama Faida dengan nada ketus, ia berjalan ke arah sofa dan duduk di sana.
Faida selalu datang di saat Zahran sudah berangkat kerja dan kedatangannya selalu membuat Yasna sakit hati, Yasna tak pernah sekalipun mengatakan pada suaminya itu, bahkan ia juga melarang Bik Rahmi bicara pada Zahran.
“Tadi di belakang, Ma.”
“Di belakang ngapain? Lebih baik kamu itu mengerjakan pekerjaan rumah, nggak usah pakai pembantu. Rumah juga nggak terlalu besar, sebagai istri harusnya kamu tahu diri, jangan hidup cuma buat nyusahin suami saja.”
Yasna merasakan sesak di dadanya, ia sakit hati, bagaimanapun dia juga punya perasaan, mertuanya itu selalu memiliki seribu cara untuk menyakiti Yasna.
“Silakan, Nyonya.” Bik Rahmi menyuguhkan minuman untuk Faida.
“Lihatlah, bahkan untuk segelas minuman saja, Rahmi yang membuatnya, kamu itu benar-benar menantu tidak berguna. Sudah tidak bisa memberi anak, melakukan pekerjaan rumah pun tidak becus.”
Ingin sekali Yasna menyangkal kata-kata mertuanya, tapi ia tahu semua pasti percuma, mertuanya itu tidak akan mau mendengarnya, apapun yang dilakukan dan dikatakan Yasna selalu salah di mata Faida.
“Minggir.” Faida mendorong Yasna agar memberinya jalan, Yasna yang tidak siap hampir saja terjatuh, untung saja ada Bik Rahmi di belakangnya.
Yasna tersenyum pada Bik Rahmi, asistennya itu tahu bagaimana sikap mertua dari majikannya itu, ia juga tahu kalau Yasna sering menangis di kamar setelah kedatangan Faida, ingin sekali ia bicara pada Zahran, tentang apa saja yang sudah terjadi setelah ia pergi bekerja, tapi Yasna selalu melarang dengan berbagai alasan.
“Makanan apa ini? Anak saya memberimu uang yang begitu banyak dan kamu hanya memasak nasi goreng untuknya! Kamu kemanakan uang anak saya? Kamu buat foya-foya! Atau bersenang-senang dengan selingkuhan kamu?”
“Apa maksud ucapan Mama? Aku tidak punya selingkuhan!” Yasna sedikit meninggikan suaranya.
“Tidak usah teriak, saya masih bisa mendengarnya!”
Ingin sekali Yasna marah, bagaimana bisa mertuanya itu punya pikiran seperti itu? Jangankan punya selingkuhan untuk keluar rumah saja, ia harus pergi dengan putranya dan berbagai peraturan yang dibuat suaminya.
“Lalu kamu kemanakan uang anakku?”
“Neng Yasna tidak setiap hari masak nasi goreng, kok, Nyonya.” Bik Rahmi mencoba membela majikannya.
“Kamu tidak usah membelanya, dia itu sudah salah.”
“Saya hanya bicara apa adanya, Nyonya.”
“Kamu dibayar berapa sama dia? Dia itu nggak bisa apa-apa, yang gaji kamu itu anak saya. Sekarang kamu masak buat saya ... saya lapar.” Faida menunjuk Yasna agar menantunya itu yang memasak.
“Maaf, Ma. Tidak ada apapun di kulkas, kami baru saja ingin pergi belanja.”
“Kamu benar-benar tidak berguna, Zahran sangat salah memilih istri, tidak punya anak, ya jangan jadi pemalas.”
Yasna mengepalkan kedua tangan yang ada di sisi tubuhnya, menahan segala emosi yang ada di dada. Ia selalu ingat nasehat ayahnya agar selalu menghormati mertua, layaknya orang tua sendiri, karena itu selama ini ia menahan segala hinaan yang datang padanya.
“ya sudah, terpaksa saya makan ini, mudah-mudahan tidak ada racunnya.”
Faida menyendokkan nasi goreng ke dalam piringnya, Yasna ingin membantu, tapi segera di tolak oleh Faida.
“Biar saya yang ambilkan, Ma.”
“Tidak perlu, nanti selera makan saya jadi hilang.”
Yasna menghela nafas panjang, mencoba membesarkan hati, ia meyakinkan diri jika apa yang terjadi padanya adalah untuk melatih kesabaran yang ia miliki. Padahal dulu, mertuanya sangat menyayanginya, tapi sejak kecelakaan itu, mertuanya jadi berubah sangat keji, padahal karena dialah rahim Yasna harus diangkat.
‘Enak juga masakan Yasna,’ batin Faida.
Faida menghabiskan satu piring nasi goreng, setelah itu ia pamit pulang, sudah cukup hari ini ia membuat masalah.
"Saya pulang, dan kalian segera ‘lah pergi belanja, jangan beri anakku makanan tidak sehat ini!" Faida pergi meninggalkan kedua orang itu.
"Iya, Ma.”
"Iya, Nyonya," jawab Bik Rahmi.
"Ayo, Bik! Kita belanja!" ajak Yasna.
"Biar Bibi saja Neng, nanti Tuan Zahran marah kalau tahu Neng Yasna keluar rumah. Apalagi sampai repot-repot belanja.”
"Nggak Papa, Bik. Lagian Abang ada di kantor nggak mungkin tahu juga, jika Bibi nggak bilang.”
"Bibi nggak berani, Neng.”
"Ayolah, Bik! Aku bosan di rumah terus," rengek Yasna.
"Haahh, baiklah.”
Mereka bersiap untuk pergi, Yasna senang akhirnya ia bisa pergi belanja, ia juga ingin membeli baju, sudah lama ia tidak membelinya.
“Bik, ayo!”
“Iya, Neng.”
.
.
.
.
Seorang pria turun dari mobil, ia baru saja pulang dari kantor, rasa lelah yang sedari tadi ia rasakan langsung sirna kala mendengar teriakan sang buah hati.
"Papa!" teriak seorang anak kecil yang bernama Ananda Afrin Alhusayn yang biasa dipanggil Afrin.
Afrin berlari dan disambut papanya dan berakhir dalam gendongannya.
"Anak Papa lagi seneng ya?" tanya Papa Afrin yang bernana Emran Basir Alhusayn, seorang duda dua Anak yang juga seorang pengusaha furniture dan restaurant.
"Alin hali ini ke lumah dede bayi," jawab Afrin dengan suara cadel khas anak-anak.
"Dede bayi?" ulang Emran.
"Dedenya Onty Celina," jelas Afrin.
"Sama siapa Afrin ke sana?" tanya Emran.
"Cama Oma cama kakak," jawab Afrin.
(Sama Oma sama Kakak)
Emran menganggukkan kepala mengerti.
"Afrin, sini sama Oma biar Papa mandi dulu," ucap Ibu Emran yang bernama Karina.
"Iya, Oma," ucap Afrin.
Afrin turun dari gendongan Emran dan kembali sibuk dengan mainannya, Emran mendekat ke arah mamanya dan mencium punggung tangannya.
"Segeralah mandi! Mama sudah siapkan makan malam," ucap Karina.
"Iya, Ma," jawab Emran.
Emran segera masuk ke dalam kamarnya untuk membersihkan diri, setelah itu baru ia keluar untuk makan malam.
"Malam, Emran," sapa Tisya, wanita yang selama ini selalu mengejar-ngejar cinta Emran.
"Dari kapan kamu di sini?" tanya Emran curiga.
"Baru saja. Aku bawain makanan kesukaan kamu, kepiting saus pedas dan ini kesukaan Aydin dan Afrin Ayam kecap. Ayo, makan!" ujar Tisya.
Semua orang duduk dengan tenang, mereka semua membalik piring masing-masing, hingga ....
"Aaaa!" teriak Tisya menjauh dari meja makan membuat semua orang kaget.
"Ada apa Sya?" tanya Emran.
"Itu kecoa dipiring, hiiii!" Tisya bergidik ngeri.
Emran melihat ke arah piring, diperhatikannya dengan seksama, ternyata itu hanya mainan dan Emran tahu siapa pelakunya.
"Aydiiin!" panggil Emran penuh penekanan.
"Ya, pa," jawab Aydin.
"Ambil," tegas Emran.
"Ck, Manja," sinis Aydin dan berlalu.
"Aydin makan dulu, kamu mau ke mana?" tanya Karina.
"Nggak selera, Oma. Nanti saja jika Aydin lapar," jawab Aydin.
Aydin memang selalu menjahili semua wanita yang mencoba merebut perhatian papanya, bukan Aydin tak mau papanya menikah lagi, tapi baginya para wanita itu hanya menginginkan harta papanya.
"Maafkan Aydin ya, Tisya? Dia hanya bercanda," seru Karina.
"Tidak apa-apa Tante, saya mengerti," jawab Tisya.
'Bercanda gimana? orang hampir gue kena serangan jantung,' batin Tisya
****
"Ran, kamu nggak ada niatan ingin menikah lagi?" tanya Karina.
"Mama lihat sendiri kan bagaimana Aydin? dia nggak pernah suka ada wanita yang dekat sama aku," jawab Emran.
"Aydin bukan tidak suka, mereka saja yang tidak mau mendekatkan diri dengan Aydin," sela Karina. "Kalau Tisya serius sama kamu, minta dia untuk mendekati Aydin, ambil hatinya. Aydin bukan orang kaku seperti kamu, pasti mudah mendekatinya."
"Entahlah, Ma."
"Sejujurnya Mama juga kurang sreg sama Tisya, tapi selama ini cuma dia yang betah dengan ulah jahil Aydin, semua wanita yang pernah dekat dengan kamu semuanya kabur dihari pertama mereka kenal Aydin tapi, Tisya tidak. Sampai detik ini dia bertahan, mudah-mudahan dia memang orang yang tulus, bukan cuma cari perhatian doang."
"Mama benar, bahkan Alisa yang cuek saja kabur saat Aydin mengerjainya, he he he." Emran terkekeh mengingat kejahilan anaknya.
"Kalau kamu sendiri, apa kamu ada perasaan pada Tisya?"
"Aku nggak tahu, Ma. Aku sih merasa biasa saja, bukankah pernah aku katakan bahwa perasaanku tidaklah penting. Asalkan Aydin dan Afrin menyukainya dan dia mau menerima kedua anakku itu sudah cukup. Mengenai perasaanku itu bisa tumbuh seiring berjalannya waktu, witing tresno jalaran soko kulino gitu kan kata orang Jawa."
"Siapapun pilihanmu jika itu baik, Mama pasti dukung."
"Terima kasih, Ma. Selama ini Mama sudah mengasuh anak-anakku dan menyayangi mereka. Aku tahu Mama lelah dan capek, tapi Mama tidak pernah mengeluh, terima kasih saja rasanya tidak akan cukup untuk apa yang sudah Mama lakukan."
"Jangan bicara seperti itu, Mama senang melakukannya, sejak meninggalnya Papa dan Adikmu hanya kalian yang Mama punya, apalagi dengan kehadiran Aydin dan Afrin, mereka sudah mengisi kekosongan hati Mama, mereka adalah hidup Mama sama sepertimu, Mama tidak bisa hidup jika kalian ninggalin Mama."
"Mama ngomong apa sih? kami nggak akan ninggalin Mama."
"Mama hanya takut jika kamu menikah dan Istrimu tidak ingin serumah dengan mertuanya, dan mengajakmu pergi, kamu akan pergi bersama anak-anakmu ninggalin Mama."
"Aku janji sama Mama, aku nggak akan pergi dari rumah ini dan nggak akan ninggalin Mama."
"Sungguh?" tanya Karina meyakinkan.
"Iya, Ma," jawab Emran.
Emran pun memeluk Karina, orang tua satu-satunya yang ia miliki sekarang, karena sang ayah lebih dulu menghadap Sang Pencipta bersama adiknya karena sebuah kecelakaan.
*****
Pukul satu dini hari Emran terbangun, segera ia membersihkan diri di kamar mandi. Tidak lupa ia mengambil air wudhu, ia akan melaksanakan sholat istikhoroh ingin meminta petunjuk tentang siapa jodohnya.
Emran melaksanakan ibadahnya, setelah berdoa Emran tidur kembali karena masih tengah malam.
*****
"Sayang," panggil seorang wanita.
"Diana," sahut Emran. "Diana ini benar kamu?"
"Iya, Sayang. Tapi aku tidak bisa lama-lama, aku hanya ingin menitipkanmu dan anak-anak padanya," ucap Diana sambil menunjuk pada seorang wanita di belakang Emran.
Emran menoleh ke belakang, memandang lekat wajah perempuan di belakangnya.
"Apa maksudmu, Sayang? Aku sama sekali tidak mengerti?" tanya Emran.
"Kamu akan mengerti nanti," jawab Diana. "Aku pergi sekarang, Sayang."
"Kita baru saja bertemu kamu mau pergi ke mana?" tanya Emran.
"Tolong jaga dia dan anak-anakku," pinta Diana pada wanita itu tanpa memperdulikan pertanyaan Emran.
"Aku akan menjaga mereka," sahut wanita itu.
"Selamat tinggal, Sayang," pamit Diana.
"Dianaa!" teriak Emran.
Karina datang tergopoh-gopoh mendekati Emran.
"Emran, ada apa? Kenapa kamu teriak-teriak manggil nama Diana? Dia sudah tenang disana, apa kamu mimpi bertemu dengannya?" tanya Karina.
Mimpi? jadi tadi itu Emran hanya bermimpi, tetapi kenapa Emran merasa semuanya nyata?
"Emran, kenapa kamu malah diam? Kamu kenapa teriak-teriak?"
"Aku bermimpi ketemu Diana, Ma."
"Mimpi yang bagaimana?"
Tidak mungkin ia menceritakan pada mamanya tentang mimpinya, bisa-bisa mamanya semakin bertanya macam-macam.
"Hanya berbincang biasa, Ma."
"Tapi kenapa sampai teriak-teriak?"
"Karena Diana pergi gitu aja," jawab Emran lesu.
"Untung anak-anak belum bangun, sudah sana kamu mandi ambil wudhu lalu sholat.:
"Iya, Ma."
'Apa ini juga petunjuk dari-Mu ya Allah?' Emran bertanya dalam hati
.
.
.
.
"Neng, kenapa kita ke mall? Belanja di mini market dekat rumah saja?" saran Bik Rahmi.
"Sekali kali, Bik," sahut Yasna tanpa melihat Bik Rahmi.
"Ayo, Bik! Mana catatannya?" pinta Yasna.
Bik Rahmi memberikan catatan yang sudah mereka persiapkan dari rumah, mereka memasukkan apapun yang berada dalam catatan kedalam troli.
Setelah selesai belanja kebutuhan dapur, Yasna mengajak Bik Rahmi kesebuah toko pakaian.
"Kita beli baju dulu ya, Bi?" ajak Yasna.
"Nggak ah, Non! Baju disini pasti mahal-mahal," tolak Bik Rahmi.
" Nggak usah pikirkan soal itu, biar aku yang bayar nanti," ucap Yasna.
Yasna membeli beberapa baju untuknya dan kemeja untuk Zahran, sementara Bik Rahmi hanya membeli dua, ia juga membelikan baju untuk Pak Zaki, satpam di rumahnya. Sebenarnya Yasna ingin membelikannya lagi, tapi Bik Rahmi menolaknya.
Dari kejauhan Yasna melihat seseorang yang ia kenal.
"Sebentar, Bik," ucap Yasna berlari.
"Ada apa, Neng?" tanya Bik Rahmi.
Yasna tak memperdulikan pertanyaan Bik Rahmi, ia terus berlari mencari sesuatu yang ia lihat tadi, sementara Bik Rahmi mengejarnya dibelakang.
"Neng, ada apa?" tanya Bik rahmi lagi setelah berhasil mengejar Yasna.
"Tadi aku seperti melihat Abang, Bik!" jawab Yasna, sambil melihat kekiri dan kekanan mencari keberadaan seseorang tadi, tapi sepertinya dia kehilangan jejak.
"Tuan kan sedang kerja, Neng!" seru Bik Rahmi.
"Mungkin hanya mirip, Bik. Soalnya tadi orang itu menggendong anak kecil dan disampingnya ada seorang wanita hamil," ujar Yasna.
"Si Eneng mah ada-ada saja," ucap Bik Rahmi.
'Ya Allah semoga apa yang aku lihat memang bukan Abang Zahran, tapi kenapa perasaanku tidak enak?' tanya Yasna dalam hati.
"Neng, ini sudah. Kita mau kemana lagi?" tanya Bik Rahmi dengan membawa papper bag.
"Kita makan siang dulu, Bik," jawab Yasna.
"Terserah Neng saja, Bibik mah ngikut," ucap Bik Rahmi.
Mereka berjalan mencari restaurant yang menyajikan masakan khas Indonesia, karena Yasna tahu Bik Rahmi tidak menyukai masakan luar negeri apalagi yang masih mentah.
****
Malam harinya.
"Abang, hari ini kemana saja?" tanya Yasna.
"Tumben kamu nanya gitu?" tanya balik Zahran dengan menyernyitkan keningnya.
"Aku cuma mau tahu saja, Bang? Apa saja kesibukan Abang? Abang disana sibuk aku di rumah malah enak-enakan tidur," kilah Yasna, karena sebenarnya dia masih penasaran dengan orang yang ia lihat tadi siang.
"Abang seharian dikantor, Sayang. Banyak yang harus Abang selesaikan segera, justru Abang seneng kamu di rumah bersantai jadi nggak capek," ucap Zahran.
"Tapi lama-lama bosan, Bang," ucap Yasna.
"Kan ada Bibik," sahut Zahran.
"Bibik punya kesibukan, beres-beres mulu, aku bantuin nggak boleh," ucap Yasna cemberut. "Bang besok aku mau ke toko kue Ibu ya? aku kangen banget sama Ibu."
Ibu yang dimaksud adalah Ibunya Yasna.
"Boleh, besok sebelum kerja aku antarin kamu dulu," ucap Zahran.
"Apa Abang nggak terlambat?" tanya Yasna.
"Siapa juga yang mau marah sama Boss," ucap Zahran membanggakan diri.
"Sombong!" cibir Yasna.
"Emang aku bosnya, gimana dong?" kilah Zahran.
"Iya, ya udah kita berangkat lebih pagi kalau gitu," ucap Yasna.
****
"Pagi banget sih, Sayang. Banguninnya? emang udah kangen banget ya sama ibu?" tanya Zahran saat baru duduk di meja makan.
"Ya iya lah, aku udah lama nggak ketemu sama ibu," ucap Yasna.
"Baru juga dua minggu, Sayang," sahut Zahran.
"Bagi Abang itu sebentar, tapi buat aku itu udah lama," ucap Yasna.
"Ya udah, ayo berangkat!" ajak Zahran setelah mereka menyelesaikannya sarapan pagi.
"Ayo!" sahut Yasna sambil bergelayut manja di lengan Zahran.
Mereka menaiki sebuah mobil mewah milik Zahran, jalanan masih nampak lenggang karena hari masih pagi, tak terasa mobil yang mereka naiki sudah berhenti didepan toko kue milik ibu Yasna, Zahran turun dari mobil lalu mengitarinya untuk membukakan pintu untuk Yasna.
"Masuk dulu, Bang?" tawar Yasna.
"Nggak usah, Sayang. Aku buru-buru, titip salam sama Ibu saja," ucap Zahran.
"Ya udah, hati-hati jangan ngebut," ujar Yasna.
"Iya, Assalamualaikum," pamit Zahran.
"Waalaikumsalam," jawab Yasna.
Cup
Zahran mencium kening Yasna yang dibalas Yasna dengan mencium punggung tangan Zahran.
Zahran kembali memasuki mobil dan melajukannya menuju tempat kerjanya. Setelah mobil Zahran tak terlihat, Yasna segera masuk ke toko kue milik Ibinya.
"Ibuu!" teriak Yasna langsung memeluk ibunya dari samping, karena sang Ibu sedang membuat kue.
"Kamu ini sudah menjadi seorang istri, masih saja suka teriak-teriak," gerutu Alina, Ibu Yasna.
"Di rumah aku seorang Istri tapi disini aku anak Ibu," ucap Yasna sambil mencium pipi Ibunya.
"Dasar manja, udah sana jangan gangguin Ibu, nanti hancur kuenya. Ini nanti siang mau diambil orangnya," ucap Alina.
"Oke, aku tunggu dikasir saja ya?" pinta Yasna.
"Terserah kamu, biasanya juga nggak pakek bilang," gerutu Alina.
Ting
Bunyi pintu terbuka tampak seorang pria memakai jas dengan wajah tegas dan berwibawa memasuki toko, wajahnya yang tampan dengan aura yang membuat siapapun terpikat, pria itu berjalan mendekat kearah kasir.
'Subhanallah nikmat mana lagi yang engkau dustakan, ck ck gilaa ganteng banget! Astaghfirullahaladziiim ingat Yasna kamu sudah punya suami," batin Yasna.
"Permisi, Mbak. Saya mau pesan kue ulang tahun," ucap pria tersebut.
Yasna masih diam memperhatikan pria tersebut.
"Mbak!" seru pria itu karena tak mendapatkan respon.
"Ah, iya ada yang bisa saya bantu?" tanya Yasna gugup.
"Saya mau pesan kue ulang tahun," jawab pria itu lagi.
"Untuk acara apa ya, Mas?" tanya Yasna.
"Acara ulang tahun putri saya," jawab Pria itu.
"Oh, berarti untuk anak-anak ya Mas?" tanya Yasna lagi.
"Iya, usianya lima tahun," jawab Pria itu.
"Mau kue yang seperti apa, Mas? Ini ada beberapa gambar, Mas bisa pilih," ujar Yasna sambil memberikan buku yang berisi gambar bermacam-macam kue.
"Yang ini saja, Mbak. Tapi saya mau hiasannyanya ikan," ucap pria itu.
"Ikan? ikan apa, Mas?" tanya Yasna.
"Ikan yang ada diTV," jawab pria itu, Yasna berpikir sejenak sebelum bertanya.
"Ikan terbang?" tanya Yasna memastikan.
"Bukan, itu yang berwarna orange," kilah pria itu.
"Oohhh Nemo!" seru Yasna setelah berpikir.
"Ya, itu," ucap pria itu membenarkan.
Yasna menahan tawanya bisa-bisanya dia berpikir kue ulang tahun dengan hiasan ikan terbang.
"Ada yang lucu, Mbak?" tanya pria itu karena melihat Yasna seperti menahan tawa.
"Ah tidak, ekheem maaf Masnya namanya siapa? biar saya buat notanya?" tanya Yasna.
"Emran," jawab pria yang baru diketahui bernama Emran itu.
"Kuenya mau diantar atau Mas ambil kesini?" tanya Yasna.
"Saya ambil sendiri saja," jawab Emran.
"Ini Mas notanya, Mas tolong tulis apa saja yang perlu ditulis diatas kuenya, seperti nama, umur, atau Mas ingin menulis yang lainnya silahkan," ucap Yasna sambil menyerahkan sebuah buku kecil.
.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!