"Kapan nikah ?" adalah sebuah pertanyaan paling mainstream diterima dan pukulan paling mematikan ketika tengah menghadiri pertemuan di hari lebaran, menghadiri acara pernikahan seseorang atau datang ke acara yang diadakan keluarga atau kerabat sendiri. Kenapa menjadi pukulan paling mematikan ? karena jika pada saat mendapatkan pertanyaan itu kalian tengah "jomblo". So, buat jomblowers siap-siap aja baper karena pertanyaan ini.
*Ruang Tamu
Seorang gadis tengah duduk di sofa ruang tamunya. Lebih terlihat melamun sih sebenarnya, tetapi yaudah lah terserah dia yang penting nggak kesambet tuh anak orang. Entah apa yang ia pikirkan.
Gadis itu adalah aku, Alyssa Salshabilla atau bisa dipanggil Al, eh tapi bukan Al anaknya Om Ahmad Dhani loh yah karena sudah kukatakan kalau aku ini perempuan. Entahlah, aku juga bingung dengan apa yang ku pikirkan, pikiranku melayang pada bayangan yang terlintas dalam memori otakku. Niatku pun tertunda karena sebelumnya aku duduk di sana hanya karena ingin menonton siaran televisi.
"Cantik dan berprestasi. Baru saja lulus kuliah. Incaran para ibu-ibu yang menginginkan menjadi menantu". Setidaknya itulah yang dikatakan Ibu-Ibu teman Mama waktu arisan di rumah beberapa waktu lalu. Bahkan ada tante-tante yang menawarkan anaknya untuk dijadikan suamiku. Oh God !
"Heran gitu kenapa Alyssa bisa betah dengan status jomblonya padahal banyak sekali pria yang suka dan mengejarnya dari SMA sampai ke Perguruan Tinggi" dan itulah kalimat yang dapat ku tangkap dari pembicaraan antara sepupuku dengan Mama.
Dira yang baru saja datang lalu menyapaku yang sedang duduk di sofa ruang tamu. Kebiasaan tuh anak ngagetin aja kerjaannya. Aku yang tadi memang melamun sebentar tersentak karena mendengar kedatangan Dira, sepupu yang tadi ku katakan tengah berbincang dengan Mamaku.
"Ya ampun Dir, jangan ngagetin apa kalau datang" kataku yang membuat Dira terkekeh.
"Habisnya sih kamu melamun, memangnya kamu lagi mikirin apa Al ? Entar kesambet lagi. Kamu juga hari ini nggak ada rencana ke mana gitu ?" tanya Dira sekali lagi yang masih betah menanyakan penyebab kenapa aku melamun. Dia memang kepo.
"Nggak ah, males" sahutku singkat. Tanganku kini bergerak mencari-cari keberadaan remote televisi.
"Kamu nanti ikut ke acara pernikahan anaknya Om Tora kan Al ?" tanya Dira yang matanya masih memandangi layar besar televisi.
"Hmm, gimana ya, aku males banget kalau harus ke sana Dir, kamu tahu kan apa yang tante-tante tanyain nanti kalau ketemu sama anak seumuran kita ?" Dira justru tertawa dan membuatku menekukkan alis.
Dira mencoba mengendalikan tawanya. "Iya, aku tahu kok kalau kamu paling males ditanyain kapan nikah sama mereka karena kita baru lulus kuliah, benar kan ?". Raut kesal mulai terukir di wajahku. Meskipun perkataan Dira itu benar adanya, tetap saja aku sebal dengan ulahnya yang selalu meledek.
"Udah dong janagan kesal gitu, mau gimana lagi coba ? Kita harus datang ke sana, kamu mau mama kamu kesal gara-gara kamu nggak mau ikut ke Bandung dulu ?".
Aku pernah menolak ikut ke acara pernikahan kerabatku di Bandung dan alhasil ya aku dimarahi oleh Mama. Kalimat itu memang "horor" bagi kebanyakan manusia spesies jomblo di masa modern saat ini. Itulah alasanku, tapi bagaimana pun aku menghindar aku harus datang ke sana dengan terpaksa.
Resepsi pernikahan.
Terlihat keluarga besarku sudah memasuki gedung tempat resepsi hari ini berlangsung. Ramai. Aku berusaha menghindari kerumunan tante-tante saudara dari Mama Papa karena tak ingin ditanya kapan aku akan menikah. Tangan Dira langsung ku seret untuk pergi bersamaku.
"Al, kenapa sih ?" tanya Dira dengan mengerutkan dahinya karena tiba-tiba dia ditarik menjauh dari pelaminan.
"Aku males ke sana" jawab ku singkat, padat dan jelas sekali ke mana arah pembicaraannya. Dira tampak sudah lelah mendengar alasanku kali ini. Kini berbalik, ia justru menarik tanganku ke arah yang berlawanan. Aku tentu saja sempat berontak, namun aku harus mengalah karena mendapat tatapan tajam dari Mama yang berdiri di kejauhan.
"Ini dia orangnya" ucap Ibu Gita, Mamaku. Nampak di sebelah Mama ada seorang yang sebaya dengannya menatapku dengan senyum manis terpatri.
"Cantik Git anak kamu" puji wanita paruhbaya itu kepadaku. Tanpa harus disuruh apalagi diomelin Mama pun aku sudah tangan menyalami wanita itu sambil melempar senyuman.
"Makasih tante" sahutku yang lagi-lagi mengembangkan senyuman. Menurutku ibu ini bukan tipe orang seperti tante-tantenya yang sibuk menanyakan hal yang menjengkelkan untuk seorang jomblo sepertiku. Wanita paruhbaya itu diketahui bernama Ibu Ajeng istri dari pengusaha ternama di Indonesia dan merupakan sahabat dari orang tuaku.
"Kamu masih kuliah atau sudah kerja, Nak ?" tanya Tante Ajeng.
"Saya baru lulus kuliah tante, tapi wisudanya belum, bulan depan Insya Allah"
Tante Ajeng semakin terpikat dengan sopan santunku, terlihat dari wajahnya. Bukannya aku kepedean loh ya dan bukan berarti juga sikapku ini menandakan bahwa aku cuma cari muka, ngapain cari muka ? mukaku juga udah ada haha. Dira yang sedari tadi meninggalkanku ketika telah berhasil membawaku kepada Mama tercinta hanya tersenyum dari kejauhan melihat aku sepupunya ini sedang bicara.
"Oh ya, Alyssa mau kan datang sama orang tua kamu ke rumah tante besok lusa karena tante akan mengadakan acara ulang tahun cucu tante jam 8 malam sampai selesai" undang Tante Ajeng dan sangat mengharapkan kedatanganku dan keluargaku besok lusa. Aku mengalihkan pandangan ke Mama sebentar. Mama tak bergeming.
"Kenapa diam Al ?" tanya Tante Ajeng heran.
"Iya tante aku mau kok datang sama papa mama" akhirnya jawaban yang diharapkan Tante keluar langsung dari mulutku. Aku benar-benar tak bisa berkutik sekarang, aku tak mungkin bisa menolak permintaan tersebut karena itu benar-benar tidak sopan. Lagi pula toh di sana juga tidak akan ada tante-tantenya yang akan menanyai tentang status kejombloanku, jadi tak salah bukan jika nanti aku nanti menghadiri acara tersebut.
"Baiklah, tante tunggu kehadiran kamu, Nak" Tante Ajeng.
Kedua wanita paruhbaya yang bersahabat ketika di bangku kuliah itu pun pergi tak lama kemudian untuk menemui ibu dari mempelai pengantin. Akhirnya aku bisa pergi menghampiri Dira yang duduk menatapku dengan senyuman jailnya. Mukaku terlihat kesal, bukan karena Tante Ajeng melainkan karena Dira yang pergi meninggalkanku karena tak ingin ikut terlibat dalam obrolan.
"Udah, maaf deh. Aku nggak mau ganggu jadi milih duduk di sini" ucap Dira mata yang penuh pengharapan maafnya diterima olehku.
"Huft... Iya deh dimaafin" jawabku yang tak tega melihat wajah melasnya. Tiba-tiba di tengah obrolan asik antara aku dan Dira, datanglah tante Nuri yang sejak tadi ku hindari.
"Alyssa !" sapa Tante Nuri. Kaget. Pasti. Aku dan Dira berdiri dari kursi dan menjabat tangan Tante Nuri kemudian aku dan Dira saling melontarkan senyuman terpaksa karena tak bisa lagi menghindar.
"Apa kabar tante ?" tanya aku dengan wajah yang bisa dibilang konyol.
"Tante baik, kalian sendiri bagaimana ?" tanya tante Nuri balik.
"Satu dua tiga" gumamku dalam hati.
"Oh iya, kamu kapan nikah ?" jeder !! pertanyaan horor telah keluar.
"Tuh kan bener, pasti tante tanyain ini. Tante Nuri mah cuma basa-basi doing nanyain kabar akunya" gumam sekali lagi dalam hati. Belum sempat aku menjawab, seseorang yang disampingku justru membuaku lebih kaget lagi.
"Sebentar lagi Alyssa bakal menikah kok tante" jawab Dira dan langsung mendapatkan tatapan tajam dari sorot mataku yang indah ini. Mulutku pun bergerak mengatakan "Apaan sih Dira !" namun tak bersuara karena takut didengar oleh tante. Tante Nuri pun terkejut dengan apa yang Dira utarakan mengenai hal tersebut.
"Benarkah ???" tanya tante Nuri sambil menggoyangkan lenganku beberapa kali.
Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum paksa. Tidak mengiyakan dan juga tidak menggubrisnya. Alasannya adalah mungkin nanti tante akan terus bertanya mengenai status kejombloan yang selalu aku pertahankan. Aku hanya hanya tersenyum karena terlihat wajah tante Nuri sangat puas mendengarnya.
"Tante bahagia Al mendengarnya, tante ke sana dulu ya" kata tante Nuri yang kemudian meninggalkaku dan Nadira karena ada yang memanggilnya dari arah pelaminan. Setelah tanten benar-benar sudah jauh dan tak bisa mendengar obrolan kami, barulah aku meluapkan kekesalan kepada Dira. Sebelum aku memarahinya, Dira justru terlebih dahulu menutup mulutku dengan tangannya.
"Sssttt... jangan marah-marah. Ini pernikahan orang loh, nanti acaranya rusak gimana ? Lagian tuh ya, emang benar kan kalau sebenar lagi kamu mau nikah" ucap Dira yang kemudian melepaskan tangannya.
"Nikah ? Sama siapa Nadira ? Jangan ngaco deh" celotehku.
"Kamu dengar nggak sih apa yang aku bilang ? Sebentar ! Emang kamu mau nikahnya lama lagi ?" jawab Dira.
"Ya, ya, hmm, ya terus kalau tante Nuri nganggepnya serius gimana terus nanyain sama mama aku ? Aku jawab apa nanti ? Kamu tahu kan kalau aku jomblo ?" kataku yang berusaha mengecilkan suara ketika menyebutkan kata "jomblo".
"Kan kamu nggak bilang iya sama tante Nuri jadi nanti kamu bilang aja kalau maksud kamu itu harapannya semoga sebentar lagi kamu menikah". Aku memejamkan mata beberapa saat. Tarik napas, hembuskan, tarik napas, hembuskan.
Sebenarnya bukan karena aku tak laku untuk cari pacar, hanya saja aku alasan mempertahankan status kejombloan karena tak ingin studiku terganggu hanya karena terbuai manisnya cinta dan terluka akibat patah hati.
Oke, inilah alasan dari seorang Alyssa Salsabila. Sendiri sampai saat ini ialah pilihanku, namun kesendirian itu pula yang membuatku frustasi menghadapi pertanyaan tante-tantenya yang bisa dibilang "rempong" karena terlalu antusias mengetahui kapan aku akan menikah. Baiklah, yang penting acara hari ini berjalan dengan lancar dan akhirnya aku bisa pulang ke habitatku.
Semoga suka. Salam manis, Bie.
Next?
*Kamar Alyssa
Aku sudah merebahkan tubuh penatku di atas ranjang berukuran besar itu dengan menyembunyikan wajahku di balik guling yang ku peluk. Baru saja aku akan memejamkan mata Mama tercinta sudah berada di kamar untuk menggagalkan rencanaku.
"Ada apa Mah ? Alyssa mau tidur ini, capek." Rengekku, Mama pun kemudian duduk di ranjang.
"Mama cuma mau pastiin kalau kamu memang akan datang ke acara Tante Ajeng besok lusa. Mama nggak mau malu loh sama dia, dia itu baik banget dulu sama Mamamu ini" tutur wanita cantik itu. Ya semua itu dikatakan Mama karena memang anaknya ini selalu menolak jika diajak pergi ke suatu acara. Maaf ya Mah.
"Hmm iya Mah, lagian Al tadi juga udah janji sama Tante Ajeng. Malu dong kalau Alyssa batalin sendiri, Tante Ajeng juga orangnya baik banget kayaknya" jawabku yang tak menolak sama sekali. Aku sungguh menyukai sosok wanita bernama Tante Ajeng itu, aku melihat sisi keibuan darinya sama seperti aura Mamaku. Walaupun Mama sedikit lebih "cerewet" hehe. Sekali lagi maaf, Mah.
"Baguslah kalau kamu setuju. Tadinya Mama pikir kamu harus diceramahin dulu"
Aku hanya tersenyum lesu karena benar-benar lelah sekarang lalu kembali merebahkan tubuhku yang serasa remuk ini.
"Ehh kamu harus mandi dulu baru tidur, kamu udah shalat belum ? Mandi sama shalat dulu kalau belum, itu wajib loh Al, gimana kamu mau bina rumah tangga nanti kalau shalatnya bolong-bolongan gitu" akhirnya Mama tanpa disuruh memang telah melancarkan aksinya, ceramah.
Menceramahi anaknya ini memang aktivitas keseharian yang tak pernah tertinggal. Aku langsung bangun, kali ini aku tak kesal karena, aku sungguh lupa akibat lelah yang mendera ini yang membuatku "mager" dan apa yang dikatakan Mama memang benar kalau shalat tidak boleh sampai bolong.
Aku segera bangkit dan meninggalkan Mama yang masih duduk di sana. Mama ku lihat hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuanku. Lelah dan "mager"ku segera ku singkirkan.
"Al, nanti kamu ke bawah ya kalau sudah selesai" teriak Mama terdengar dari luar kamar mandi. Aku segera menjawab dengan nada yang juga cukup tinggi agar Mama juga bisa mendengar dari luar sana.
*Dapur
Kulangkahkan kakiku menuju dapur mencari keberadaan sosok Mama. Ku lihat di sana juga ada Papa yang sedang menyeruput kopi. Aku segera memeluk pria itu. Aku selalu seperti ini, manja. Tak salahkan jika aku masih bertingkah seperti ini meskipun aku sudah lulus kuliah. Aku kan anak tunggal jadi wajar jika aku bermanja-manja dengannya. Mamaku hanya terkekeh melihatku yang selalu dibilangnya kekanak-kanakan ini.
"Papa kapan pergi ke Singapura lagi ?" tanya pada Papa. Papa bingung dengan pertanyaanku.
"Kenapa kamu tanya itu ? Kamu pengen Papa cepat pergi ke Singapura ? Kamu bosan liat Papa yang di sini sudah seminggu ?" wajah Papa terlihat lucu. Aku tertawa.
"Bukan begitu Pah, aku cuma mau bilang jangan pergi dulu aku kan masih kangen sama Papa. Lagian wisuda aku bentar lagi loh dan Papa dilarang keras buat absen" kataku.
"Papa masih ada yang diurus di sini jadi kayaknya bulan depan baru bisa ke sana dan Papamu ini nggak akan absen" jawab Papa sambil mencubit pipiku. Aku meringis akibat cubitan kecil itu dan segera berlari ke arah Mama yang berdiri tak jauh dari sana.
"Oh ya Mama tadi manggil aku ke bawah ada apa ?" tanyaku yang masih mengamati Mama yang sedang menggoreng bakwan kesukaanku dan Papa.
"Besok kamu ikut sama Mama ya ke Mall"
"Waduh ada apaan nih tiba-tiba Mama ngajak ke Mall bareng. Biasanya ada yang nggak beres deh. Jangan-jangan Mama minta temenin ke acara keluarga di luar kota nih ?" batinku mencoba menerka-nerka.
"Mau ngapain Mah ?" tanyaku.
"Mau beli baju buat kamu" jawab Mama dan membuat aku menaikkan satu alisku.
"Buat ?" tanyaku lagi-lagi.
"Kamu ikut saja besok. Mama nggak mau ada penolakan" ucap Mama tanpa menghentikan aktivitas goreng-menggorengnya.
"Yaudah deh aku ngikut aja" aku pasrah.
*Besoknya
"Ini apaan sih Mah ? Kenapa coba aku harus beli ini ? Memangnya aku mau kemana ?" tanyaku yang mulai mengomel karena Mama yang dari tadi terus-menerus memilihkan gaun yang cocok dipakainya itu buat pergi ke pesta.
Perasaan aku tak akan menghadiri pesta apapun, hanya acara ulang tahun cucu dari Tante Ajeng saja besok yang akan ku hadiri. Apa itu ya maksud dari semua ini. Tapi aku kan bisa pakai gaunku yang masih tergantung rapi di lemari dan masih bagus karena jarang sekali ku pakai, bahkan juga ada yang baru aku pakai satu kali.
Kenapa hari ini Mama yang repot buat beliin bajuku ya ? Seberapa istimewa sih memangnya acara besok di rumah Tante Ajeng memang ? Apa karena dia adalah sahabat orang tuaku ? Entahlah.
"Oke ini dress yang kelima, setelah ini aku nggak mau lagi nyobain dress yang lain. Al capek Mah" keluhku. Sudah beberapa gaun yang ku kenakan dan ini adalah gaun kelima yang akan aku kenakan dan melontarkan penolakan untuk mencoba dress yang lainnya. Aku pun masuk ke dalam ruang ganti untuk yang kelima kalinya pula.
"Huh kenapa jadi segini repotnya sih mau menghadiri acara itu. Ku pikir Mama nggak bakalan bawel lagi kalau aku terima undangan itu eeh tahunya malah kayak gini" gumamku yang mencoba gaun kelima. Ku lihat pantulan diriku yang mengenakan gaun ini di cermin.
"Lumayan" ucapku kemudian. Ini kayaknya cocok denganku dan lebih baik dibanding gaun-gaun yang telah ku coba sebelumnya. Aku pun mulai membuka pintu ruang ganti tersebut dengan harap Mama tak akan memaksaku mencoba pakaian lainnya lagi jikalau gaun ini tak sesuai dengan harapannya.
"Gimana Mah ? Aku capek loh kalau harus ganti lagi" ucapku sembari membenahkan rambutku yang sedikit berantakan.
"Perfect" ucap Mama akhirnya. Itulah yang ku tunggu-tunggu. Aku menghela napas lega.
"Setelah ini pulang ya Mah. Al capek banget" ajakku kepada Mama yang sedang bicara dengan pegawai department store di sana.
"Setelah ini kita cari sepatu buat kamu" aku hanya melongo dengan perkataan Mama barusan.
"Mama ini kenapa sih ?"
Lagi dan lagi aku harus mengikuti langkah Kanjeng Ratu ini ke mana pun dia pergi. Dari toko baju sampai toko sepatu dan terakhir aku disuruh perawatan di salon.
Di tengah prosesi perawatan di salon ada panggilan telepon dari Nadira. Tentu saja aku menceritakan yang tengah Mama lakukan kepadaku sekarang. Alhasil, si tukang ngeledek itu berderai tawa di seberang sana.
"Kamu itu diperlakuin kayak orang mau nikah aja sih Al. Sumpah ya cuma Tante Gita yang bisa maksa kamu gini. Sorry ya Al aku ketawa kayak gini, abisnya Tante hari ini lucu banget" kata Dira di sana.
"Iya nih aneh banget Mama kayak gini. Kamu tahu nggak kenapa Mama gini ? Biasanya kan dia juga cerita sama kamu ?" tanyaku mencoba mengintrogasi sepupuku itu. Mama memang sangat dekat dengan Nadira karena memang dulu Nadira lama tinggal dengan kami waktu orang tuanya pergi ke Jepang dan Nadira harus sekolah di Indonesia denganku.
"Denger ya kalau kamu ngerencanain sesuatu sama Mama terus aku yang kena awas aja kamu. Aku pecat kamu jadi sepupu" ancamku pada Dira. Tapi sudah bisa ku pastikan kalau Nadira akan tertawa geli mendengar penuturanku.
Aku ingat tahun lalu mereka berdua pernah mencoba mencarikan pacar untukku dan hasilnya apa ? Nggak ada yang bener. Aneh semua. Aku bahkan geli membahasnya.
Ku lihat banyak sekali tamu undangannya. Aku yang baru saja turun dari mobil pun langsung berjalan di samping Mama Papaku yang bergandeng tangan. Aish, bikin iri para jomblo saja.
Langkah kami terhenti di depan seseorang yang ku kenal beberapa waktu lalu, siapa lagi kalau bukan Tante Ajeng. Di sampingnya berdiri seorang perempuan cantik yang menggandeng tangan seorang anak kecil yang tak kalah cantik darinya. Dia adalah anak sulung dan cucu Tante Ajeng yang berulang tahun sekarang.
Untuk anak seusia Keyla yang baru menginjak lima tahun ini adalah pesta yang cukup mewah. Banyak undangan dari kalangan atas yang turut hadir. Tentu saja karena Om Farhan Adhitama memang pengusaha yang terkenal dan memiliki banyak kolega.
"Tante senang kamu datang, Nak" ucap Tante Ajeng. Sama seperti beberapa hari yang lalu, dia masih sangat menawan. Sosok ibu yang ku kagumi walaupun aku baru mengenalnya. Aku membalas pelukannya. Terasa hangat. Persis seperti pelukan Mamaku.
"Jadi ini yang namanya Alyssa, cantik Mah" tutur seseorang yang sejak tadi berdiri memandangi kami yang berpelukan. Dia Yashinta, anak sulung Tante Ajeng. Dia sangat cantik, sungguh. Aku saja iri dengannya, senyumnya juga manis, belum lagi bicaranya sangat anggun.
"Iya Shin, ini Alyssa yang Mama ceritakan kemarin-kemarin"
Aku pun juga cipika-cipiki dengan wanita cantik itu. Dia juga tampak senang sekali bertemu denganku.
"Kamu cantik sekali Alyssa" pujinya dan membuatku malu, bagaimana tidak dia itu jauh lebih cantik dariku.
"Makasih Kak, Kakak juga cantik banget" jawabku. Aku pun beralih menatap ke arah seorang gadis kecil di samping Kak Yashinta. Si Princess kecil itu tersenyum manis tak kalah manis dari senyum Kak Yashinta. Lebih terkejutnya ketika Keyla memelukku yang mencoba menyamakan tinggiku dengannya.
"Makasih ya tante sudah datang ke ulang tahun Key" suara kecil itu begitu lucu di terdengar di telingaku. Aku terkekeh mendengar perkataannya yang memanggilku dengan sebutan "Tante". Biarlah, aku biarkan dia memanggilku seperti itu karena dia begitu lucu. Ingin sekali aku membawanya pulang ke rumah untuk menemaniku, boleh ya Kak Yashinta ? Hehe.
"Akhirnya kamu datang juga sayang, Mama nungguin kamu" terdengar suara Tante Ajeng sedang bicara kepada seseorang yang baru saja datang dan tepat di sampingku.
"Om !" sapa Keyla dengan antusias. Pria itu pun langsung memeluk keponakannya itu.
"Oh iya Lif, perkenalkan ini Alyssa dan Alyssa ini Khalif. Anak bungsu Tante, adiknya Yashinta" kata Tante Ajeng.
Aku melihat wajahnya, tampan dan terlihat dewasa. Itulah kesan pertamaku melihatnya.
"Khalif"
"Alyssa"
Itulah perkenalan kami sambil berjabat tangan. Setelah acara berjabat tangan selesai, ku lirik semua yang di sana seperti melemparkan tatapan aneh untuk kami berdua. Hah "Kami" ?
Khalif terlihat cuek dengan pandangan mereka padahal ku yakin dia juga melihat gelagat orang yang di sana berdehem ketika kami berkenalan. Sekali lagi ku jelaskan, menurutku dia adalah tipe pria yang cuek, dewasa namun juga penyayang. Terlihat dari caranya menyapa keponakannya, tanpa sungkan di hadapan semua orang dia memeluk gadis kecil itu.
Acara tiup lilin Keyla pun berlangsung ramai. Banyak sekali teman-teman sebayanya yang datang. Dia terlihat sangat bahagia. Mama dan Papanya juga selalu di sampingnya. Mereka begitu harmonis.
Ku pikir setelah acara ini selesai kami akan pulang. Eh nggak tahunya kami malah diajak makan malam bareng oleh keluarga Adhitama di sini. Tanpa curiga sedikit pun, aku menyetujuinya. Kalau mau pulang juga gimana, orang aku ke sini naik mobil Papa.
"Akhirnya kita bisa makan bersama. Saya senang sekali" ucap Om Farhan yang memulai obrolan kepada kami semua yang sudah duduk rapi di depan meja makannya yang cukup besar.
Sebenarnya aku sedikit canggung makan di depan orang yang baru ku kenal. Wajarlah karena aku jarang sekali hadir di acara kumpul-kumpul di keluarga Prasetya.
"Sebelumnya saya ingin membuat pengumuman, terutama kepada Khalif anak saya dan Alyssa" ucap Om Farhan. Loh kok aku dibawa-bawa ? Ada apa ini ?
"Kami semua di sini sudah sepakat jika kalian, Khalif dan Alyssa, akan dijodohkan !"
Darrrr !!! Demi apa ? Aku dijodohkan dengan dia ? Khalif, orang yang baru ku temui hari ini ?
Mulutku tercekat mendengar penuturan Om Farhan barusan. Aku kaget setengah mati mendengarnya. Bagaimana bisa aku dijodohkan dengannya ? Tanya saja dia, dia pasti juga menolak perjodohan bodoh ini. Ku lihat Khalif juga berontak dengan semua ini. Tangannya mengepal namun amarahnya tertahan. Dia seharusnya bicara dengan Ayahnya, bukannya hanya diam seperti ini.
"Mah..." lirihku. Aku sama sekali bingung. Aku belum siap menikah sekarang. Mama memegang tanganku sambil menenangkan bahwa ini adalah keputusan terbaik.
"Tapi Alyssa belum siap buat menikah Mah, Pah, Om, Tante" akhirnya kalimat itu terucap juga dari bibirku. "Ini bukan zaman Siti Nurbaya yang dijodoh-jodohkan, ini juga bukan cerita fiksi di dunia Wattpad. Alyssa menolak perjodohan ini" timpalku. Khalif ? Dia sama sekali tak bergeming. Kenapa dengan pria ini, astaga dia menyebalkan sekali ternyata. Dia setuju atau tidak sih ? Kalau pun setuju dia juga harus mengatakannya bukan, bukannya diam mematung.
"Al, maafkan Om karena tidak meminta pendapat kamu terlebih dahulu. Tapi kami melakukan ini karena kami ingin sekali kalian bersatu, kami merasa kalian cocok" jelas Om Farhan.
Aku sama sekali tak habis pikir kenapa bisa menyimpulkan aku dan Khalif memiliki kecocokan padahal kami baru berkenalan sekitar dua jam yang lalu. Lagian, orang yang menikah atas dasar cinta saja bisa saja berpisah. Bagaimana dengan orang yang sama sekali tak ada cinta di antara keduanya ?
Aku berulang kali memohon belas kasihan dari Papa, tapi beliau hanya tersenyum ke arahku. Begitu pula Mama. Astaga aku ingin sekali teriak dan mengacaukan makan malam ini. Pendapatku tak didengar, padahal aku yang akan menjalaninya.
Ngomong-ngomong tentang makan malam, nafsu makanku sudah hilang sejak mendengar kenyataan itu. Namun, aku harus tetap memakannya, walaupun aku sangat kesal dan marah karena pendapatku tak didengar sama sekali aku harus memasukkan makanan itu ke dalam mulutku. Makanan itu terasa pahit bagiku. Aku harus menghormati tuan rumah di sini.
"Lagipula kalian juga tak harus menikah sekarang" ucap Papaku tiba-tiba membuatku dan Khalif terkejut untuk yang kedua kalinya. Apa lagi ini maksudnya ?
Semoga suka. Salam manis, Bie.
Next ?
Aku masih tercengang oleh keputusan yang telah orang tuaku dan orang tua Khalif ambil. Mengenai perjodohan, arrghh ! Aku tidak ingin menikah dengannya dan bahkan lebih parahnya lagi aku tak punya alasan lain selain ketidaksiapanku ini. Jika saja aku menuruti apa yang dikatakan Dira waktu itu kalau aku sebaiknya terima Robby jadi kekasihku, mungkin akan lebih membantuku yang terjebak sekarang.
Papaku mengatakan bahwa aku dan Khalif tidak menikah sekarang. Melainkan enam bulan lagi. Bagiku entah itu hari ini atau bahkan enam bulan lagi semuanya sama saja, toh aku juga harus terpaksa menikah dengannya.
“Dalam enam bulan ke depan kalian akan melakukan pendekatan. Kita semua tahu kalian baru bertemu hari ini dan sangat jelas kalian akan menolaknya. Untuk itu kami memberikan waktu bagi kalian untuk saling mengenal satu sama lain. Siapa tahu memang jodoh bukan ?” jelas Papaku yang diikuti oleh anggukan yang lainnya, kecuali aku dan pria itu.
“Kalau dalam waktu itu aku dan dia tak memiliki kecocokan bagaimana ? Apakah perjodohan ini bisa batal ?” tanyaku to the poin. Aku harus menyuarakan hatiku.
“Iya. Perjodohan bisa saja dibatalkan, tapi kalian juga harus berusaha untuk saling menerima satu sama lain. Itu syaratnya” aku tersenyum masam mendengar penjelasan barusan. Berusaha menerima satu sama lain, apa aku bisa menerima pria yang duduk di hadapanku ini dengan segala sifat dingin dan cueknya sekarang. Dia sungguh acuh dengan semua yang terjadi, juga dia berpura-pura seolah tak terjadi apapun di meja makan ini.
Matanya masih terfokus pada sendok dan garpu. Kenapa aku harus menikah dengannya ? Itulah pertanyaan yang melintas dalam benakku.
Khalif yang sudah selesai makan langsung beranjak dari kursinya. Aku sempat kaget karena dia langsung pergi begitu saja. Beberapa detik kemudian aku meminta izin untuk segera menyusulnya. Dia berjalan ke arah halaman belakang. Khalif menghentikan langkahnya karena mungkin tahu kalau aku membuntutinya.
“Ada apa ?” tanya Khalif padaku. Aku segera berjalan menghampirinya yang masih membelakangiku dan kini aku tepat berada di depannya.
“Kenapa kamu diam saja tadi ? Apa kamu setuju dengan semua ini ? Aku hampir gila sekarang mengetahui perjodohan bodoh ini” ucapku kesal. Ku harap aku hanya bermimpi buruk dan bisa bangun segera. Ku pikir orang tuaku takkan melakukan hal semacam ini. Aku sudah cukup pusing jika ditanya mengenai kapan nikah, sekarang aku jauh lebih pusing dan kesal karena aku harus dipaksa menikah dengan orang yang tidak ku kenal.
Aku mencoba mengendalikan diriku yang hampir saja meneteskan air mata. Aku tersadar bahwa lagi-lagi hanya aku yang mengoceh. Aku mendongak menatap wajahnya yang… tampan. Ah ralat, menyebalkan.
“Sudah selesai ? Hemm seharusnya kamu tak perlu susah payah mengoceh di sana, mereka tidak akan mendengarkan apa yang kamu katakan. Orang tua selalu saja menganggap anaknya sebagai anak kecil. Sekeras apapun kamu menolak perjodohan itu tetap saja mereka lakukan” ucap Khalif. Dari bicaranya seakan dia tak terlalu dekat dengan orang tuanya dan seolah hal ini sudah biasa terjadi kepadanya, tak pernah dihargai untuk suatu keputusan.
Aku mengerutkan kening. Ingin sekali ku tanyakan apa yang dia maksud. Mendengar dari nada bicara dan raut wajahnya, kenapa aku jadi kasihan. Maksudku dia tampak seperti seorang yang kesepian. Ah, apa peduliku. Aku hanya ingin perjodohan ini dibatalkan.
“Jadi sekarang apa yang dilakukan ? Berarti kamu juga menolak ‘kan ?” aku mencoba untuk bernegosiasi. Khalif pun berhasil meraih smartphone dari dalam saku celananya.
“Berapa nomor teleponmu ?”.
Aku bingung.
“Nomor teleponmu” ucapnya sekali lagi kepadaku yang masih bengong. Aku segera merampas smartphone miliknya itu dan menyimpan nomorku di kontak teleponnya.
“Aku akan menghubungimu, kita bicarakan besok di suatu tempat” kata Khalif yang kemudian berlalu melewatiku dan duduk di gazebo. Aku melihat ke arahnya sebentar baru kemudian pergi dari tempat itu.
Seperti biasanya mentari selalu bersinar tanpa sungkan dan cahaya tanpa permisi langsung menerobos kamar tidurku. Ku harap aku bisa secerah pagi ini, namun nyatanya itu mustahil mengingat apa yang terjadi padaku kemarin malam.
Rasanya aku malas sekali menghadapi keadaan yang mengharuskanku untuk menerima perjodohan yang tak ku inginkan. Bahkan turun ke bawah untuk sekedar sarapan pun kakiku begitu berat melangkah. Dari tadi Mama dan Papa sudah menggedor-gedor pintu kamarku untuk mengajak sarapan dan ditambah mungkin mereka khawatir karena takut aku melakukan hal-hal bodoh karena keputusan mereka.
“Al, turun Nak, sarapan dulu nanti kamu sakit” ajak Mama. Sebenarnya aku juga nggak tega liat Mama segitu khawatirnya kepadaku tapi aku masih sebal. Aku masih saja betah tiduran di kasur dan menenggelamkan wajahku di bantal kesayanganku. Hal itu aku hentikan ketika sebuah panggilan telepon masuk ke ponselku. Ku yakin 100 % itu adalah nomor Khalif karena memang hanya dia yang baru saja meminta nomor teleponku kemarin.
“Halo…” sapaku yang kemudian mengubah posisi menjadi duduk.
“Hari ini kamu sibuk nggak ? Kalau nggak kita ketemuan di Starlight Resto jam 9” tuh kan bener itu suara Khalif, meskipun aku baru mengenalnya tapi aku ingat bagaimana suara dan nada bicaranya. Dingin.
“Ok, nanti aku ke sana” sahutku yang kemudian ku dengar sambungan telepon terputus. Astaga, benar-benar menyebalkan.
Ku putuskan melirik ke arah jam yang setiap hari berdiri tegak di atas nakas di samping tempat tidurku. Ya ampun sudah jam delapan, pantas saja Mama bahkan Papa sudah bawel sekali menyuruhku sarapan karena biasanya kami sarapan jam tujuh pagi dan lebih tepatnya aku tidak boleh terlambat makan karena aku gampang sekali terserang maag. Semoga saja hari ini aku baik-baik saja. Lalu aku beranjak dari kasurku yang nyaman meninggalkan bantal guling yang setia menemani malamku menuju kamar mandi.
Aktivitas pagiku memang sederhana namun butuh waktu yang lama karena pakai acara ngambek segala dan mogok makan ceritanya. Cacing di perutku pun sudah mulai berontak. Akhirnya demi kebaikan bersama aku menurunkan egoku dan mulai sarapan. Di meja makan sudah tersedia sandwich kesukaanku buatan Mama. Aku tersenyum simpul melihat roti lapis yang tersedia.
Papa dan Mama pun keluar dari kamar mereka dan langsung tersenyum lega ke arahku yang sedang mengunyah makanan. Mereka kemudian menghampiriku.
“Maafkan Papa. Ini semua demi kebaikanmu” ucap Papa yang kemudian membuatku menghentikan acara sarapanku. Dadaku masih sesak mendengar kalimat itu. Entah untuk kali yang ke berapa mereka mengatakan kalimat itu kepadaku sepulang dari rumah Khalif kemarin.
Aku menghela napasku yang berat dan beranjak dari kursi. Menyisakan roti lapis yang belum habis dan meraih tas selempang yang tadinyaku taruh ke kursi sebelah.
“Aku berangkat dulu” ucapku kepada mereka dan pastinya aku tak lupa untuk mencium punggung tangan kedua orang tuaku. Mama terlihat ingin menahanku untuk bicara sebentar namun ditahan oleh tangan Papa di sana. Sepertinya Papa tahu kalau aku masih kesal dan ingin sendiri.
Mobil yang ku kendarai berhenti di sebuah bangunan bertuliskan “Starlight Resto”. Tempatnya sangat strategis dan pengunjungnya juga ramai. Pandanganku tertuju di sebuah meja yang di sana sudah ku dapati seorang pria berkemeja abu-abu tengah duduk di sana.
Aku melangkah menuju ke tempat Khalif dan langsung duduk di kursi yang telah tersedia. Handphone yang tadi ku lihat dimainkannya segera ia letakkan di meja. Tangannya kemudian melambai ke arah pelayan di sana. Pelayan wanita tersebut menyerahkan buku menu kepada kami berdua. Setelah selesai memesan, buku menu tersebut kembali di bawa pelayan tadi meninggalkan kami yang menunggu spaghetti special restoran ini.
“Jadi bagaimana ?” tanyaku tiba-tiba. Tentu saja arah pembicaraan kami ini menuju rencana pembatalan perjodohan kami.
“Bagaimana apanya ?” tanyanya balik. Ampun nih bocah nggak ngerti atau apa sih.
“Itu rencana buat batalin perjodohan. Kita punya waktu enam bulan jadi bagaimana caranya kita buat lolos dari semua ini ?” dia terlihat sedang memikirkan sesuatu, entah apa itu.
“Papa selalu lakuin apa yang dia mau” tutur Khalif. Aku tentu saja bingung dengan perkataannya. Apa benar tebakanku mengenai hubungannya dengan sang Papa tak terlalu baik. Huft, ku rasa itu benar. Dia sama sekali tak bisa berkutik ketika Papanya mengambil keputusan yang sungguh Khalif pun sama tak menyukainya sepertiku.
“Maksud kamu apa ? Papa kamu selalu lakuin hal yang dia mau ?” tanyaku sedikit hati-hati. Matanya menatapku kali ini. Oh Tuhan, matanya indah. Bola mata kami saling bertemu. Oh tidak, sadar Al sadar. Sadar Alyssa, kamu nggak boleh tersihir sama pesonanya. Kamu belum mengenalnya, bagaimana nanti jika kamu sakit hati gara-gara dia ?
“Hubungan aku sama Papa bisa dibilang nggak terlalu baik. Dia tipe orang yang selalu maksain sesuatu sama anak-anaknya. Mulai dari Kak Yashinta, dia juga dijodohkan dengan teman sekelasnya waktu SMP, tapi bedanya Kak Yashinta dan Mas Irfan saling mencintai dari dulu. Lalu aku, aku disuruh masuk Universitas dan jurusan yang diinginkan tanpa bertanya apakah aku mau atau tidak. Ku pikir semuanya sudah selesai setelah aku pergi menuruti keinginannya kuliah di London. Tapi nyatanya tidak, setelah pulang dari sana Papa masih sama. Dia memaksa untuk melakukan perjodohan yang kamu bilang kemarin adalah perjodohan bodoh. Ya, ini memang bodoh karena di zaman sekarang masih ada hal yang sedemikian rupa. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan sekarang…”
Kalimat terpanjang yang ku dengar dari mulutnya. Benar, hubungannya dengan Papanya tidak harmonis. Ku dengarkan penuturannya dengan seksama. Aku bisa dengar kesedihan dari setiap kata yang bibirnya ucapkan. Pasti dia ingin sekali memeluk Papanya yang ia bilang selalu memaksakan kehendak itu. Setiap katanya menurutku pedih, dia merindukan sang Papa.
“Kamu pasti rindu Papamu kan ?”. Pertanyaanku mendapat sambutan senyum kecut dari sudut bibirnya. Dia bahkan tak menjawabku sekarang. Ah, dasar gengsi dia. Pesanan kami pun akhirnya datang. Ku lanjutkan kembali obrolan kami setelah pelayan tersebut pergi.
“Kalau begitu nggak ada cara lain selain kita harus pura-pura setuju dan menuruti keinginan mereka. Apapun yang mereka inginkan selama enam bulan ke depan tapi sebelum hari itu tiba kita akan batalkan acara itu tiba-tiba biar mereka nggak punya cara lain lagi buat nyatuin kita” kataku yang menyuarakan pendapatku. Hanya itu yang terpikir dari otakku setelah begadang semalam suntuk. Masih mending ideku daripada dia tak punya ide sama sekali, huh payah.
“Oke” jawabnya singkat. Ya ampun nggak ada kata lain yang lebih panjang apa, masa jawabannya itu doang. Ini dia sifat Khalif. Bicaranya irit banget. Huh ya sudahlah mending aku melanjutkan makan daripada memulai perdebatan dengannya.
“Aku pergi dulu. Ada urusan di kantor” Khalif pun pergi meninggalkanku yang masih menyantap spaghetti yang lezat ini. Tuh orang main tinggal aja, nggak ada basa-basinya sama sekali. Ya sudah kalau dia pergi nggak masalah juga, toh dia juga sudah menaruh uang bill di meja. Haha.
Baru saja Khalif menghilang di balik pintu transparan restoran tiba-tiba ada seseorang yang mengagetkanku duduk di kursi yang tadinya Khalif tempati. Nadira !.
“Kamu ngapain di sini Dir ? Sejak kapan ?” tanyaku kaget sambil celingak-celinguk takutnya Khalif balik lagi.
“Kamu yang ngapain di sini sama cowok lagi ! Dia siapa sih Al ?” tanya Nadira kepadaku. Aku sebenarnya malas membahas ini tapi kalau bukan sama Nadira, sama siapa lagi aku cerita.
“Huftt… yakin kamu nggak tahu siapa dia ? Emangnya Mama belum cerita sama kamu ?” kataku balik bertanya. Aku hanya ingin tahu apakah Nadira terlibat atau tidak mengenai rencana Mama Papa sekarang. Nadira juga tampak bingung dengan pertanyaanku.
“Sumpah Al aku nggak tahu apa-apa” tegas Nadira mencoba meyakinkanku. Ah dari ekspresinya kelihatan bahwa dia memang tidak tahu apa-apa.
“Dia calon suami pilihan Mama Papa” pengakuanku membuat Nadira membulatkan bola mata dan menutup mulutnya yang terbuka lebar tadi. Dia saja terkejut apalagi aku.
“Al gimana bisa, ah maksudku, Mama kamu kan nggak pernah nyuruh kamu yang aneh-aneh” kata Nadira yang masih tak percaya.
“Itu dia. Mama Papa dari dulu nggak pernah minta yang aneh-aneh. Mereka selalu nurutin yang aku mau, tapi sekarang… Aku harus turutin keinginan mereka buat menikah sama pria tadi, Khalif namanya. Awalnya aku melihatnya sebagai pria yang berpikiran dewasa dan penyayang, tapi ternyata dia juga punya sisi yang menyebalkan. Dia sangat cuek dan dingin. Bahkan yang lebih parah bicaranya irit banget, aku kan nggak suka kalau lawan bicara kayak gitu orangnya”
Nadira mendengarkanku dengan teliti. Kemudian dengan berani merampas Lemon Tea yang ku pesan. Argh !
“Terus apa yang kamu lakukan ?” tanyanya. “Pria itu bagaimana, apa dia setuju ?” tanyanya lagi dan ku jawab dengan gelengan kepala.
“Makanya tadi kita ketemu di sini buat bicara mengenai rencana buat batalin perjodohan ini”
Nadira terus menatapku.
“Apa ?” tanyaku sedikit malas.
“Kamu yakin mau batalin ? Dia itu sumpah ganteng banget loh Al, emang rela ?” aku berdecak sebal mendengar pertanyaan sepupuku ini. Dia sepertinya setuju jika aku menikah dengan pria yang Mama Papa pilihkan untukku ini, apa jangan-jangan dia terlibat ? Astaga Alyssa, cukup, Nadira hanya menggodamu saja. Mana mungkin dia juga setega itu terhadapmu, ‘kan ?
Aku yang sudah terlanjur badmood hari ini ku putuskan untuk pergi dari tempat itu. Yang pasti aku ingin jalan-jalan seharian bersama Nadira, dia harus rela ku culik sampai matahari terbenam nanti untuk menemaniku meredakan perasaanku yang campur aduk udah kayak gado-gado ini. Aduh, gado-gado, pengen. Ups !.
Setelah perasaanku mulai bisa ku kendalikan dan memastikan jika air mataku takkan tumpah untuk bicara dan memohon kepada orang tuaku sekali lagi untuk membatalkan acara perjodohan bodoh ini, aku akan pulang. Aku sungguh belum siap untuk membangun rumah tangga, bahkan pacaran saja aku tak pernah dan sekarang aku harus dihadapkan pada satu kenyataan bahwa aku akan dinikahkan dengan pria yang baru saja ku temui belum genap dua puluh empat jam.
Semoga suka.Salam manis, Bie.
Next ?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!