NovelToon NovelToon

Berbagi Cinta : DUA CINCIN

Hati Yang Patah

...Part ini sudah mengalami revisi....

...____...

...Selamat membaca....

...***...

“Siapa yang menikah, Ay?” tanya Raka saat Ayu menyodorkan sebuah undangan kepadanya.

“Undangan pernikahan Ayu, Mas.” Jawab Ayu lalu tersenyum.

Dunia Raka seketika berubah gelap mendengar jawaban dari bibir mungil Ayu. Perlahan dia membuka dan membaca undangan yang di sodorkan untuk memastikan lagi, apakah benar semua ini nyata dan bukan sebuah lelucon.

Matanya membaca tiap kata yang tercetak di atas kertas tersebut lalu terhenti pada kedua nama mempelai yang akan melangsungkan pernikahan, di sana jelas tertera nama Ayu dan calon suaminya.

Dan Raka mengenali pria itu, dia adalah wakil Raka saat menjadi ketua BEM semasa kuliah dulu.

Raka benar-benar tidak menyangka, ternyata ini bukanlah mimpi. Dirinya sudah sangat terlambat. Kini Ayu-nya sudah lebih dulu dipinang oleh pria lain.

Meskipun hatinya terasa bagaikan diremas, tapi dia berusaha menampakkan wajah yang biasa saja. Seolah kabar itu merupakan hal yang biasa.

“Pokoknya Mas Raka harus datang, ya. Aku bakalan marah kalau sampai Mas Raka nggak datang ke pernikahanku, kalau gitu aku permisi dulu ya, Mas. Masih banyak laporan yang mesti aku selesaikan sekarang sebelum besok rapat bulanan.” Setelah mengatakan hal itu, Ayu melangkahkan kakinya keluar dari ruangan Raka.

Sedangkan pria itu masih bergeming tanpa mengucapkan satu kata pun, bahkan ketika Ayu meninggal ruangannya setelah memberikan undangan itu.

Raka hanya memandangi undangan pernikahan itu dengan pikiran yang kacau.

Dia mendesah merasa frustasi. Mungkin dirinya memang tak jodoh.

“Selamat ya, Ay. Semoga kamu bahagia, mungkin aku nggak bisa datang ke pernikahan kamu, Ay. Hatiku nggak mungkin sanggup melihat kamu bersanding dengan pria lain di pelaminan nanti,” ujarnya dengan suara lirih.

Raka kemudian memandangi langit-langit ruangannya.

Dirinya mengingat kembali terkenang saat pertama kali bertemu dengan Ayu, Raihan—sahabatnya– yang mengenalkan mereka, saat acara pesta ulang tahun Widi. Mantan kekasih Raihan.

Semenjak hari itu Raka tidak bisa melupakan pertemuan singkat mereka. Bahkan, saat Ayu wisuda dan melamar pekerjaan di perusahaan milik keluarganya, Raka begitu senang dan langsung menerima Ayu sebagai asistennya. Terbukti, Ayu memang cekatan dan handal menjalani tugasnya.

Sikapnya yang murah senyum, ramah dan anggun serta baik kepada siapapun membuat Ayu disukai oleh semua orang di tempatnya bekerja, termasuk Raka yang memang dikenal pendiam dan sikap kakunya terhadap orang lain.

Dengan Ayu yang berada di sisinya, hari-hari menjadi Raka sangat berwarna. Ada saja hal yang membuatnya tersenyum ceria begitu Ayu berbicara kepada dirinya. Ayu juga seolah menjadi perantara bagi pegawai lain yang memang sangat sungkan kepada Raka, karena sikap diamnya itu.

Dia dan Ayu tidak hanya sekedar bertemu di kantornya saja, melainkan setiap berkunjung ke rumah Raihan. Raka selalu mencari kesempatan untuk menghabiskan waktunya dengan perempuan pujaan hatinya itu.

Meskipun Raka dikenal pendiam karena jarang berbicara, tetapi saat bersama Ayu dirinya selalu tidak pernah kehabisan topik untuk dibahas. Bahkan, perempuan itu berhasil membuatnya tertawa lepas saat Ayu melontarkan candaan.

Ibunya sendiri, bahkan Raihan dibuat terheran-heran melihat pemandangan yang menurut mereka langka.

Bahkan mereka sempat berpikir, jika dirinya salah memakan sesuatu atau menuduh Ayu menggunakan ilmu pelet. Tentu saja itu hanya gurauan yang dilontarkan kepada Raka oleh ibunya dan Raihan.

Tapi kini, hari-hari berwarna itu telah berubah menjadi sepenuhnya hitam. Hatinya patah mendengar wanita yang dicintainya akan menikah dengan pria lain. Raka terlambat, benar-benar sudah terlambat.

“Sekarang aku harus bagaimana, Ay? Aku benar-benar tidak tahu harus apa.” Raka berujar dengan nada putus asa.

...***...

Beberapa hari ini suasana hati Raka suram, setelah mendapat undangan pernikahan itu. Kaki yang biasanya begitu semangat untuk melangkah agar segera sampai ke kantornya, kini bagai terasa berat jika diajak bergerak.

Dulu dia begitu tak sabar setiap kali malam menjelang dan berharap pagi segera tiba, karena Raka ingin segera bertemu dengan wanita pujaan hatinya. Sangat berbeda dengan keadaan saat ini.

Matahari sudah mulai berpendar menerangi bumi, dirinya seolah selalu berada dalam kegelapan abadi begitu wanita yang dicintainya akan segera menjadi milik orang lain.

Lia—ibunya Raka– sangat khawatir melihat perubahan drastis putra semata wayangnya. Dia tidak tahu apa yang menyebabkan anaknya itu seolah tak memiliki jiwa di dalam raganya, akhir-akhir ini putranya tampak melamun dengan tatapan kosong.

Lia juga dapat melihat kantung mata yang terlihat jelas di bawah mata putranya, saat pun makan tidak lebih dari dua sampai tiga sendok saja. Bahkan terkadang makanan itu berakhir di tempat sampah, karena Raka hanya mengaduk-aduk tanpa memakannya sama sekali.

Beberapa hari ini juga putranya itu lebih banyak berdiam diri di dalam kamarnya. Tidak bekerja, seperti biasa.

Hingga beberapa menit berlalu, Lia menemukan jawaban atas semua perilaku anaknya. Sebuah surat undangan. Undangan pernikahan yang tertera nama wanita yang begitu dicintai oleh putranya.

Lia menarik napas panjang. Kemudian mengetok pintu kamar Raka.

“Raka, Bunda boleh masuk?”

Hening. Tak ada jawaban.

Perlahan Lia membuka pintu kamar Raka. Sama seperti kemarin, Raka hanya duduk berdiam diri di depan jendela kamarnya.

Lia menyentuh pundak Raka. Raka tersadar dari lamunannya lalu segera memeluk erat tubuh sang ibu.

“Raka telat, Bund.” ujarnya dengan suara lirih, “aku benar-benar pria pengecut, ya Bund?”

“Sssttt... kamu jangan bilang seperti itu. Bunda tahu kamu pria yang hebat, dan benar-benar baik. Jika memang nantinya dia benar jodohmu pasti akan kembali lagi. Bunda tahu kamu sedih, tapi apa kamu juga nggak kasian sama Bunda yang sudah siapkan makanan tapi menyentuhnya hanya dikit saja, atau bahkan ngga disentuh sama sekali.”

“Maafin Raka ya, Bund.”

Setelah mengatakan hal itu dirinya semakin memeluk erat butuh bundanya. Bu Lia mulai mengusap pundak Raka,

“Iya, bunda maafkan, tapi sekarang kamu makan dulu ya.”

Raka hanya mengangguk perlahan.

...***...

“Jujur gue sendiri kurang suka sama calon suaminya Ayu,” ujar Raihan dengan mimik wajah serius.

Berbeda dengan tadi, kini rahang pria itu tampak mengeras.

Mendengar hal itu terlontar dari mulut Raihan, Raka memalingkan wajahnya ke arah sahabatnya itu.

“Memangnya kenapa bisa nggak suka? Apa pria itu playboy atau pria yang kasar?” tanya Raka penasaran. Pasalnya dia tahu, jika penilaian Raihan tidak pernah meleset.

Raihan menggelengkan kepalanya, kemudian menghela napasnya.

“Gue kurang nyaman sama orang tuanya, terutama ibunya. Firasat gue bilang, kalau calon ibu mertuanya itu yang akan jadi sumber segala nggak mengenakan saat Ayu dan calon suaminya menikah nanti. Sedangkan calon suaminya itu terlihat sekali, jika tipe pria yang lebih condong ke arah ibunya,” ujarnya dengan memandang lurus ke depan.

Raka tersenyum kecut mendengar jawaban yang terlontar dari mulut Raihan.

“Kita sama-sama berdoa, semoga Ayu bahagia saat menjalani kehidupan rumah tangganya nanti.”

“Gue harap juga gitu.”

Setelah mengatakan hal itu keduanya sama-sama terdiam memandang lurus ke depan dan tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

...****...

...Jangan lupa untuk klik Like, vote dan love ya....

...Terima kasih....

Hari Pernikahan

...Sudah mengalami revisi....

...____...

...Selamat membaca....

...***...

“Aku nggak nyangka kalau Bu Ayu menikah.”

“Maksudnya gimana?”

“Iya, maksudnya menikah sekarang dan nikahnya juga bukan sama Pak Raka. Aku kira bakalan nikahnya sama Pak Raka, karena keduanya serasi. Pak Raka juga kelihatan lebih lembut perlakuan ke Bu Ayu, beda banget kalau ke orang lain. Tapi ternyata malah pria lain.”

“Iya sih, aku juga kaget. Padahal aku mikirnya mereka dekat banget loh, bahkan sampai semua pegawai juga ngiranya mereka hubungan khusus.”

“Dari yang aku dengar, calon suaminya itu CEO perusahaan kompetitor kita yaitu PT. Pharrell.”

“Ya ampun! Serius?”

“Iya, coba deh, kamu Googling. Aku juga kaget banget waktu coba cari tahu.”

“Wah, Bu Ayu beneran beruntung ya.”

“Tapi aku kasihan sama Pak Raka.”

“Iya, aku juga. Wajahnya juga muram terus seharian ini.”

“Pasti patah hatilah, aku juga gitu kalau jadi dia.”

Kepala Ayu dipenuhi oleh pembicaraan para pegawai yang tengah berada di pantry kantor saat jam makan siang tadi.

Apa benar Raka suka kepadanya sebagai seorang wanita? Dan patah hati setelah mendengar kabar pernikahannya.

Namun, Ayu serta merta menyanggah pikiran di kepalanya itu. Dirinya kini justru beralih memikirkan Danu, Ayu mengingat bagaimana acara lamaran kemarin.

Dia begitu bahagia, saat mengingat Danu yang tersenyum dan memakaikan cincin ke jari manisnya. Sampai-sampai ibunya memanggil pun, Ayu belum menyadarinya.

“Ay, kalau yang ini gimana?” Tanya Bu Ningrum kepada anak gadisnya, tetapi yang ditanyai tak kunjung menjawab.

Bu Ningrum memalingkan wajahnya kepada Ayu. “Ya ampun, Ay. Ibu dari tadi tanya ke kamu, bukannya dijawab malah ngelamun. Dua minggu lagi sudah mau nikah, tapi malah ngelamun, kesambet ratu cacing baru tahu rasa.”

“Ih, Ibu. Kok, ngomongnya gitu. Memangnya mau anak gadisnya yang cantik ini kesambet ratu cacing terus uget-ugetan di depan orang ramai?” Protes ayu dengan bibir mengerucut.

“Ya habisnya, ditanyai bukannya jawab malah melamun. Kamu melamun apa, sih? Sampai ibu dari tadi nanya dicuekin.”

“Nggak melamun apa-apa kok, Bu.” Ujarnya kemudian terkekeh.

“Ehm, yakin nih, kalau sudah begini pasti melamun soal Danu. Ya, kan? Hayo, ngaku.” Ujar Bu Ningrum dengan nada menggoda.

Ayu tersipu malu, pipinya merona. Dirinya tidak bisa mengelak karena tebakan ibunya benar.

“Ibu, sudah ih, Ayu malu.” Ujarnya merengek, kemudian menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

“Halah, biasanya juga malu-maluin.” Cibir Raihan yang tiba-tiba saja ikut menimpali.

“Mas Raihan! Datang-datang main samber saja, seperti gledek.” Protes Ayu kepada sepupunya itu.

Jika bertemu keduanya memang selalu saling ejek, tetapi justru yang membuat keduanya begitu dekat. Raihan lebih menyayangi Ayu dibandingkan dengan sepupunya yang lain.

“Apa? Memang iya, kok,” ejek Raihan dengan menjulurkan lidahnya.

“Kamu baru datang, Rai.”

Mengambil tangan Bu Ningrum untuk menyalaminya.

“Iya Budhe, Mama masih arisan keluarga. Jadi Raihan duluan ke sininya, kalau nunggu Mama suka lama soalnya.”

“Halah, bilang aja kalau kabur karena takut ditanya kapan nikah. Gaulnya sama Mas Raka saja, sih. Jadi dua jomlo,” ujar Ayu dengan nada mengejek.

Bu Ningrum terkekeh mendengar ucapan Ayu. Dia menggeleng melihat keduanya saling melempar ejekan satu sama lain.

“Biarin, daripada kamu. Mau nikah saja pakai acara dicariin calon suami, jelek sih, makanya nggak ada yang mau.” Balas Raihan.

“Enak saja, banyak yang ngantri ya.”

“Hush! Kalian berdua ini, sudah dewasa kok, masih saja nggak akur. Sudah sana, bantu pakde mu dulu. Anterin ngambil undangan yang sudah jadi di rumah Fadhil.”

Keduanya masih saling ejek satu sama lain, meskipun Bu Ningrum sudah menegurnya.

“Ay, dua minggu lagi mau nikah loh. Kamu jaga sikap, nggak mungkin seperti bocah terus, kan.” Tegur Bu Ningrum.

“Sendiko Kanjeng Ibu Ningrum yang cantik, istrinya Pak Adipati Hardana yang gantengnya kebangetan. Kalau di depan mertua dan suami harus bersikap anggun, sopan.”

“Nggak kerasa ya, sebentar lagi anak ibu mau jadi istri orang.” Ujar Bu Ningrum dengan mata berkaca-kaca karena merasa terharu.

“Ibu.” Ayu kemudian memeluk erat ibunya.

...***...

Hari itu akhirnya tiba, pesta pernikahan yang digelar sangat mewah di hotel berbintang dihadiri oleh pejabat dan para pengusaha serta beberapa artis.

Di ruang ganti pengantin Bu Ningrum memandangi Ayu yang begitu cantik dalam balutan kebaya pengantin berwarna krem. Kakinya melangkah mendekati Ayu yang tengah duduk menghadap meja rias.

“Anak ibu cantik banget,” puji Bu Ningrum dengan mata berbinar.

“Ibu, Ayu malu nih.” Ujarnya dengan wajah merona karena pujian dari sang ibu.

“Ibu nggak nyangka kalau hari ini Ayu mau menikah, anak ibu udah dewasa. Sebentar lagi mau jadi seorang istri. Nggak manja-manja lagi sama ibu, atau minta tidur di samping ibu. Ibu pasti kangen banget sama Ayu.”

“Ibu.” Ayu memeluk erat tubuh ibunya.

Bu Ningrum mengelusi punggung Ayu. “Sssttt ... susah, jangan nangis terus nanti makeup-nya jadi acak-acakan—” ujar Bu Ningrum, kemudian terkekeh.

“–Inget pesan ibu ya, Ay. Ketika nanti ada hal yang nggak bisa Ayu tahan, atau Ayu merasa disakiti Ayu jangan diam. Cerita ke Ibu dan pulang ke rumah, ibu dan ayah selalu ada untuk kamu. Ibu selalu berdoa semoga Ayu selalu bahagia.”

Ayu menganggukkan kepalanya.

Tok

Tok

Tok

Bunyi suara pintu yang diketuk. Keduanya saling melepas rangkulan. Pendamping mempelai wanita kemudian masuk ke dalam ruangan itu.

“Permisi, semuanya sudah siap dan menunggu mempelai wanita.”

“Ibu bantu ya.”

Ayu beranjak dari tempat duduknya, berjalan perlahan menuju ke tempat di mana Danu tengah menunggunya.

Saat Ayu berjalan semua tamu melihat ke arahnya. Tangan Ayu semakin erat menggenggam buket bunga yang tengah dipegangnya.

Detak jantungnya berdegup semakin kencang, terlebih ketika dirinya semakin mendekati tempat calon suaminya berada. Dibantu oleh pendamping mempelai wanita, Ayu duduk di samping kiri Danu.

Ayu tidak menyangka hari ini akan tiba juga. Dirinya Sebentar lagi akan menjadi seorang istri. Terlebih dari lelaki yang sejak dulu dicintainya kini berhadapan dengan sang Ayah.

“Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau Ananda Danu Gunawan bin Chairul Gunawan dengan anak saya yang bernama Sukma Ayu Rengganis dengan maskawinnya berupa Emas 30 gram beserta uang tunai sebesar 5 juta dolar, Tunai.”

“Saya terima nikahnya dan kawinnya Sukma Ayu Rengganis binti Adipati Hardana dengan maskawinnya yang tersebut, tunai.”

“Bagaimana saksi? Sah?”

“Sah!”

“Alhamdulillah.”

Semua tamu yang hadir ikut merasakan haru bahagia, begitupun dengan Ayu yang juga meneteskan air matanya. Rasa haru karena bahagia yang tiada terkira dia rasakan setelah ijab kabul diikrarkan.

Kini dia bukan lagi seorang gadis yang menjadi tanggung jawab ayahnya. Melainkan telah menjadi seorang wanita dan istri yang sudah memiliki imam sebagai panutannya.

Namun, tanpa dia sadari ada seseorang yang dari kejauhan yang hatinya hancur berkeping-keping melihat semua itu.

“Semoga kamu bahagia, Ay. Aku selalu berdoa untukmu.”

Setelah mengatakan hal itu dirinya pergi meninggalkan tempat pesta pernikahan itu berlangsung tanpa seorangpun yang menyadari.

...****...

Kapan Hamil?

...***...

Tidak terasa usia pernikahan Danu dan Ayu sudah memasuki satu tahun. Pagi ini seperti biasa, Ayu yang hendak berbelanja sayur di tukang sayur keliling langganan sedang bersiap untuk keluar rumahnya.

Ayu dan Danu sepakat untuk membeli perumahan yang standar. Ayu tidak berniat untuk tinggal di perumahan elite seperti kebanyakan orang kaya.

Dirinya lebih menyukai perumahan yang standar karena masih dapat bersosialisasi dengan tetangga. Dia berpikir mungkin suatu hari nanti saat dirinya tengah dalam keadaan tidak baik, ada tetangga yang menolongnya.

Sedangkan Danu setuju, selain karena lokasinya tidak terlalu jauh dari kantornya. Juga karena dirinya berpikir, jika nanti mereka mempunyai anak, sang anak butuh bersosialisasi juga dengan orang lain.

Ada rasa nyeri di dada Ayu ketika Danu menyebutnya setiap kata anak, bukannya tidak ingin melainkan tidak mungkin hal itu terjadi. Ayu hanya tersenyum setiap kali suaminya berbicara seperti itu.

Setelah kepergian Danu mendadak pagi ini, karena ada rapat penting di kantornya. Ayu berjalan menuju tukang sayur yang tak jauh dari rumahnya.

“Pagi, Mbak Ayu.” sapa Bu RT.

“Selamat pagi, Bu RT. Pagi ibu-ibu semua,” balas Ayu tersenyum ramah.

“Mas Danu kerja, Mbak? Ini, kan, weekend.”

“Iya, Bu Henny. Kebetulan ada rapat penting, makanya buru-buru tadi.”

“Oh, gitu.”

“Duh, masa bos weekend kerja. Seharusnya kan, jalan-jalan. Alasan aja kali, Mbak. Jangan-jangan mau ke rumah madu.”

Ayu menghela napasnya.

Mulai lagi, deh.

Menghadapi wanita di hadapannya ini memang butuh lebih sabar karena mulutnya yang seperti cabai.

Ayu hanya diam dan tersenyum. Kalau meladeni pun tidak ada gunanya, Ayu tahu kalau Bu Henny memang terkenal bermulut lemes di lingkungan komplek perumahan ini.

“Hush! Nggak boleh asal ngomong,” tegur Bu RT.

“Ih, Bu RT. Kan, cuma bercanda, ” ujarnya tanpa rasa bersalah lalu terkekeh.

“Mbak Ayu, masih betah ya jadi pengantin baru?” tanya Bu Ulfa dengan nada menyindir. Sifatnya tak kalah jauh dari Bu Henny, karena keduanya memang berteman baik.

“Biar bisa 4646 terus ya, nggak mbak.” Siska menimpali. Disambut tawa oleh ibu-ibu lainnya.

“Ah, Mbak Siska bisa aja.” Ayu tahu akan lari ke mana arah pembicaraan itu, karena ini bukan kali pertama hal itu terjadi.

“Mbak Ayu, belum kepikiran punya anak gitu? Ini udah satu tahun loh, Mbak. Masa iya, nunggu Mas Danu kepincut sama perempuan lain dul—”

“Henny!” Bu RT memotong perkataan Bu Henny yang menurutnya sudah sangat keterlaluan.

Beberapa ibu-ibu di sana saling bisik-bisik satu sama lain. Ada yang membenarkan, ada pula yang mengatakan jika Bu Henny memang sudah keterlaluan.

“Doakan saja ya, Bu Henny.” ujar Ayu masih tetap ramah, “Mang Udin, ini uangnya ya.” Ayu menyodorkan tiga lembaran seratus ribu kepada tukang sayur tersebut.

“Terima kasih, Mbak. Ayu.” Mang Udin menerima uang tersebut.

“Mari ibu-ibu, saya duluan ya.” Ayu berpamitan.

Merasa tidak enak atas ucapan Bu Henny, Bu RT menegurnya.

“Kamu itu Hen, sudah Mbak bilang jangan asal ngomong. Kalau ngomong disaring dulu!” Bu RT menegur Bu Henny yang memang merupakan adik iparnya.

“Ya habisnya, sudah satu tahun masih belum hamil juga. Jangan-jangan mandul kali,” Bu Henny masih dengan rasa tidak bersalah mengatakan hal itu.

Ayu memang sudah berpamitan dan pergi dari tempat itu, tetapi Ayu masih dapat mendengar ucapan mereka yang jaraknya masih cukup dekat.

Dia mencoba untuk tetap sabar setiap kali orang-orang membicarakan dirinya dan mengatakan hal yang menyakitkan hatinya. Meskipun mereka tidak tahu yang sebenarnya.

...***...

Entah perasaan Ayu saja atau memang Bu Wati—ibu mertuanya– yang memang sedari tadi berwajah masam. Setiap kali Ayu bertanya sesuatu kepada Bu Wati, selalu saja dijawab ketus oleh ibu mertuanya.

“Ibu dari tadi kenapa, sih? Kok mukanya gitu, nada bicaranya juga ketus terus.” Dewi, adik ipar Ayu bertanya.

Berarti bukan hanya Ayu saja yang merasakan hal tersebut.

“Nggak apa-apa, kamu jagain anakmu saja. Kamu tahu, kan, punya anak itu susah. Nanti kalau anakmu kenapa-napa, gimana coba?” ujar Bu Wati dengan nada menyindir. “Ini biar Ayu saja yang bawakan,” tukasnya lagi.

“Tapi ini banyak lohh, Bu.” ujar Dewi merasa keberatan dan tidak enak kepada Ayu.

“Aduh, biar aja. Nggak berat kok, kamu kan, udah punya anak pasti repot. Beda sama Ayu.”

Deg.

Sakit. Itu yang Ayu rasakan saat ini, ibu mertuanya dengan terang-terangan mengatakan hal menyakiti dirinya.

“Sana gih, tuh, anakmu nangis.” Bu Wati mengandeng tangan Dewi membawanya pergi dari ruang makan menuju ruang keluarga yang sudah mulai ramai.

Kebetulan hari ini rumah mertuanya didatangi oleh para sanak saudara, acara keluarga yang diadakan setiap bulannya.

“Nyonya nggak apa-apa?” tanya asisten rumah tangga ibu mertuanya.

“Nggak apa-apa kok, Mbok. Yuk, kita lanjutkan ini.”

Bohong jika dirinya baik-baik saja. Ayu juga merasakan sakit dan terluka, tapi Ayu hanya bisa menahan semuanya sendiri. Ayu lebih menyibukkan dirinya, menaruh kue-kue ke dalam piring.

“Beres, Mbok. Kita bawakan ke dalam yuk,”

Keduanya berjalan beriringan menuju ruang keluarga. Setelah menyajikan kue-kue dan makanan lainnya, Ayu menyapa dan menyalami paman dan bibi dari pihak suami. Dan, di sini Ayu sekarang. Terjebak di antara para adik dari ibu mertuanya dan juga para menantu lain.

Banyak obrolan antara mereka, mulai dari naiknya harga kebutuhan pokok, perlengkapan sekolah anak, anak-anak sekolah yang pelajarannya semakin banyak. Ada pula perihal arisan, dan kegiatan lain.

Hingga adik dari ibu mertuanya bertanya perihal anak kepada Ayu. Entah mengapa sedari kemarin seolah semua tidak memberikan jeda terhadap rasa sakit yang dirasakan oleh Ayu.

“Doakan, kami saja ya, Bi. Semoga kami segera diberikan momongan.”

Danu yang tiba-tiba muncul di samping Ayu menjawab pertanyaan dari saudari ibunya, ia menarik Ayu, merapatkan rangkulannya.

“Di do’akan itu pasti, tapi juga harus diusahakan. Masa cuma berdoa tanpa usaha, periksa gitu loh. Siapa yang bermasalah, kalau keturunan kita sih, nggak ada. Nggak tahu kalau yang lain,” ujar Bu Wati dengan nada ketus.

Danu merasa atmosfer di sekitarnya sudah tidak mengenakan, terlebih ibunya sendiri yang membuat hal itu. Dirinya memutuskan untuk berpamitan kepada sang ibu dan sanak saudara yang datang.

Sepanjang perjalanan Ayu juga hanya diam tanpa mengatakan apapun. Danu tahu, jika istrinya sangatlah terluka atas ucapan yang dilontarkan sang ibu. Danu menggenggam erta tangan Ayu.

Ayu yang sedari tadi hanya memandang ke arah luar jendela mobil kini berpaling ke arah suaminya, keduanya saling melempar senyum untuk menguatkan satu sama lain.

...****...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!