Fatma Ayunda, gadis yang baru saja menginjak usia remaja, harus terpaksa menerima pernikahan yang sudah bibinya siapkan demi bisa menebus hutang padanya dan juga untuk membiayai adik-adiknya yang masih sekolah. Dia terpaksa menerima pernikahan itu karena bibinya mengancam akan memberhentikan sekolah kedua adiknya, sedangkan dirinya sendiri tidak bisa berbuat apa-apa karena latar pendidikan yang kurang memadai membuatnya sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan hanya mampu menjadi buruh pembantu di rumah warga yang membutuhkan tenaganya
Ia ingat beberapa saat yang lalu, saat dirinya baru pulang bekerja, sudah disuguhi sang bibi yang datang bersama suaminya.
"Bagus juga kamu cepat pulang," ucap bibinya yang bernama Fani.
Bibi Fani adalah adik ipar ibunya yang pernah membantunya membiayai pengobatan kedua orang tuanya saat mereka mengalami kecelakaan beberapa bulan yang lalu, meskipun pada akhirnya kedua orang tua Fatma harus meninggal.
"Ada apa Bibi dan Paman sampai datang kemari?" tanya Fatma saat ia sudah berada di hadapan kedua orang itu.
"Ada yang perlu kami bicarakan," jawab Bibi Fani dengan sinis, Fatma sudah terbiasa dengan gaya bicara bibinya tidak ambil pusing ataupun sakit hati.
"Kalau begitu mari kita masuk dulu." Fatma berucap seraya membukakan pintu rumahnya.
Setelah ketiga orang masuk dan duduk lesehan di atas tikar tipis yang tersedia di sana, barulah bibinya mulai mengutarakan maksud kedatangannya.
"Fatma, kamu tahu kan, kedua orang tuamu masih memiliki hutang kepada kami?" tanya Bibi Fani.
Fatma terdiam sebelum akhirnya mengangguk membenarkan pertanyaan dari sang bibi. "Iya, Bi. Aku tahu," jawab Fatma.
"Sekarang, Bibi ingin kamu membayarnya." Bibi Fani langsung menagih hutangnya tanpa tahu keadaan ekonomi Fatma.
Gadis itu tercengang saat mendengar bibinya menagih hutang yang pernah dipinjam oleh keluarganya. "Maaf, Bi. Saat ini aku belum punya uang untuk membayarnya," jawab Fatma dengan lirih sambil menundukkan kepalanya.
Bibi Fani memandangnya dengan tatapan cemooh, sedangkan suaminya membuang muka dari hadapan Fatma. "Selalu alasan," gerutunya.
Fatma pun tidak bisa berbuat apa-apa selain menunduk, ia cukup sadar diri dengan keadaannya. Bibi Fani menatap Paman Andre sesaat sebelum akhirnya mereka mengangguk.
"Fatma, apa kamu ingin hutangmu lunas?" tanya Bibi Fani tiba-tiba.
Fatma langsung mengangkat kepalanya untuk menatap Bibi Fani. "Tentu, Bi," jawabnya antusias.
"Menikahlah," ucap Bibinya itu.
Seketika itu juga Fatma dibuat terkejut oleh ucapan Bibi Fani. "Me–menikah?" tanya Fatma memastikan pendengarannya.
Bibi Fani dan Paman Andre langsung mengangguk. "Iya, menikahlah dengan majikan kami," jawab Paman Andre.
Fatma mematung, ia tidak percaya jika bibinya datang kemari hanya untuk menyuruhnya menikah dengan majikannya. Ia bahkan tidak mengenal siapa majikan bibinya itu.
"Tapi, Paman. Kenapa harus dengan cara menikahi majikan kalian?"
"Tentu saja karena dia sedang membutuhkan seorang istri," jawab Bibi Fani dengan sinisnya.
Fatma menundukkan kepalanya, tangannya saling bertautan. "Aku belum siap menikah," ucapnya lirih.
Bibi Fani menatap nyalang keponakannya. "Berani sekali kamu membantahku," bentaknya.
Fatma semakin menunduk bahkan tangannya langsung gemetar setelah mendengar bentakan dari bibinya, sedangkan Paman Andre tersenyum puas saat melihat keponakannya gemetar karena takut.
"Tapi, Bi. Aku benar-benar belum siap menikah." Fatma masih mencoba untuk menolaknya.
"Kami ini telah membesarkanmu begitu lama sehingga menghabiskan banyak uang keluargaku! Sekarang, adik-adikmu tidak punya uang untuk ke sekolah. Kalau kamu memang anak yang tahu cara bersyukur, kamu tahu kan apa yang harus kamu lakukan? Katakan, apa yang harus kamu lakukan?" sembur Bibi Fani sambil mencibir dalam hatinya.
Tubuh Fatma semakin gemetar saat bibinya membicarakan kedua adiknya. Dirinya sadar, selama ini dia belum bisa memberikan kehidupan yang layak untuk mereka berdua, tapi kalau harus dengan cara menikahi pria asing, ia tidak mau.
"Ampun, Bibi. Aku tahu caranya bersyukur, hanya saja jika harus menikah, aku belum siap." Fatma menjawab seraya memejamkan matanya dalam, ia sangat takut jika bibinya akan kembali membentaknya.
Bibi Fani kembali mendengus dengan kasar, "Dasar keponakan tidak tahu di untung! Sudah bagus ku carikan suami yang kaya raya, masih saja menolak."
"Sudahlah, Bu. Kenapa Ibu bicara omong kosong padanya? Dia setuju atau tidak, tetap dia harus setuju! Biar dia tahu caranya membalas budi keluarga kita!" ucap Paman Andre sambil tersenyum remeh menatap keponakannya.
Mata Fatma mulai memanas, sudah sekuat tenaga ia tahan agar air itu tidak sampai menetes di hadapan paman dan bibinya, tapi kini air itu tetap saja keluar, Fatma tidak bisa lagi membendungnya.
Dengan gerakan cepat ia menyeka air matanya, tapi ternyata paman dan bibinya menyadari jika keponakannya itu sedang menangis. "Tidak perlu kamu menunjukkan wajah melas dihadapan kami! Keputusanku sudah bulat, pokoknya kamu harus tetap menikah dengan majikanku, kalau kamu masih berani membantah, dengan terpaksa kami akan memberhentikan sekolah kedua adikmu," ancam Bibi Fani untuk menekannya.
Setelah itu, paman dan bibinya pun pergi dari sana dan meninggalkan Fatma yang masih menangis.
"Ya Tuhan, cobaannya apa lagi ini? Kenapa bibi tega ingin menikahkanku dengan orang yang bahkan tidak aku ketahui?" batin Fatma sambil terus mengusap kedua matanya yang berair. Lama ia menangis sampai akhirnya kedua adik Fatma pulang sekolah dan melihat kakaknya dengan mata serta hidung yang memerah.
Tio, adik laki-laki Fatma segera menghampirinya, "Kakak, apa Kakak baik-baik saja? Apa tadi bibi datang lagi?"
Fatma mengangguk membenarkan pertanyaan Tio, "Iya, tadi bibi dan paman datang. Mereka meminta Kakak untuk menikah dengan majikannya," ucap Fatma menceritakan sedikit maksud kedatangan paman dan bibinya.
Tio terkejut mendengar ucapan kakaknya, "Apa? Menikah? Bagaimana bisa? Dengan siapa bibi menyuruh Kakak menikah?" tanya Tio beruntun.
Tantri, adik perempuan Fatma yang mendengar pertanyaan dari kakak laki-lakinya segera menghampiri dan ikut bergabung. "Siapa yang akan menikah?" tanyanya antusias.
"Bibi datang kemari dan menyuruh kakak untuk menikah, Tan," jawab Tio.
Tantri tersenyum dengan menutup mulutnya, ia terlihat senang saat mengetahui jika Fatma akan segera menikah.
"Kakak serius, kan?" tanya Tantri memastikan dan langsung diangguki oleh Fatma.
"Bagus deh kalau Kakak akan segera menikah, jadi nanti kita tidak akan hidup susah seperti ini lagi," ucap Tantri dengan senang.
Berbeda dengan Tantri, Fatma menundukkan kepalanya, ia tidak tahu harus berbuat seperti apa lagi, menolak pun tidak bisa ia lakukan.
"Tan, tidak seharusnya kamu berbicara seperti itu itu di hadapan Kak Fatma," tegur Tio pada adik perempuannya.
Tantri sendiri yang ditegur oleh Tio tidak menanggapinya dan hanya memutar bola matanya dengan malas, "Kenapa tidak, Bang? Bukankah seharusnya kita bersyukur jika masih ada laki-laki yang mau menikah dengan Kak Fatma?" Tantri tidak sadar dengan pertanyaannya yang sudah melukai hati Fatma.
Fatma menunduk lagi setelah mendengar pertanyaan Tantri. "Tan, jaga perkataanmu!Pertanyaanmu sudah membuat Kak Fatma sedih," tegur Tio lagi.
"Bang Tio tidak perlu munafik. Jika Kak Fatma menikah, hidup kita pasti akan jauh lebih baik dari sekarang, bahkan mungkin saja calon suaminya Kak Fatma bisa melunasi semua hutang kita pada bibi," pekik Tantri.
Fatma tidak ingin melihat kedua adiknya berdebat. "Sudahlah, kalian tidak perlu memikirkan Kakak. Kakak baik-baik saja," ucap Fatma.
"Kak, jangan bilang kalau Kakak sudah menyetujui pernikahan itu?" tanya Tio.
"Kakak tidak punya pilihan lain, Yo. Bibi memaksa, jika Kakak tidak menerimanya, kalian akan berhenti sekolah," jawab Fatma.
Tio menghembuskan nafasnya kasar, ia seorang laki-laki yang ada di rumah itu, tapi ia tidak bisa menjaga saudara perempuannya.
"Sudahlah, Yo. Kamu tidak perlu memikirkan Kakak," ucap Fatma untuk menenangkan adiknya.
Berbeda dengan Tio, Tantri malah kegirangan saat mendengar jika Fatma tidak bisa menolak pernikahan itu.
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAKNYA YA
TERIMAKASIH 🤗🤗🤗
Di sebuah gedung tinggi, seorang laki-laki tengah menatap gadis yang beberapa saat lalu datang bersama asistennya.
Ia masih meniti penampilan gadis itu dengan pandangan meremehkan, "Sama dengan namanya yang sangat kampungan, penampilannya pun tidak ada bagus-bagusnya. Jauh lebih baik kekasihku," batinnya sambil mengangkat sudut bibirnya.
Pria itu bernama Reymond, seorang pengusaha sukses dengan usia yang masih muda, yaitu dua puluh sembilan tahun. Dia sedang mencari calon istri untuk dijadikan pinding antara hubungannya dengan sang kekasih. Sebenarnya ia bisa saja hanya menikahi sang kekasih, tapi kedua orang tuanya tidak merestui hubungan mereka. Maka dari itu Reymond pun menggunakan gadis yang ada di depannya itu untuk ia kenalkan pada keluarga besarnya.
"Kamu tahu alasan aku memanggil mu?" tanya Reymond.
Fatma menatap sekilas pria yang sedang duduk di kursi kebesarannya. "Ti–tidak, tuan," jawab Fatma dengan gugup. Baru kali ini ia berhadapan dengan pria dewasa yang menurutnya sangat tampan.
Reymond mendengus kesal, "Apa Bibi Fani tidak mengatakan apa-apa padamu?"
"Bibi Fani? Kemarin dia hanya mengatakan jika saya harus menikah dengan majikannya dan saya tidak mengetahui siapa majikan beliau," jawab Fatma apa adanya.
Reymond terdiam, baru kali ini ada gadis yang tidak mengenalnya. "Apa kamu tidak mengetahui orang yang bernama Reymond pemilik Hotel RCC?" tanya Reymond memastikan.
"Jika anda menanyakan Hotel RCC, saya mengetahui lokasinya. Tapi jika pemiliknya, saya tidak tahu," jawab Fatma polos.
"Apa? Di mana sebenarnya gadis ini tinggal? Kenapa dia tidak mengenaliku? Apakah dia tidak memiliki TV rumahnya, sehingga tidak mengetahui siapa aku?" tanya Reymond dalam hatinya.
Setelah beberapa saat terdiam, Reymond pun kembali berkata, "Sudahlah. Sekarang kamu sudah tahu pemiliknya," ucap Reymond dengan kesal.
Fatma tidak menjawab ucapan pria yang ada di depannya. Lebih tepatnya, ia tidak tahu harus berkata apa.
"Langsung saja, aku memanggil mu kemari untuk memintamu menjadi istriku, aku siap membayar berapapun yang kamu mau. Bukankah kamu sedang membutuhkan uang untuk membayar biaya sekolah kedua adikmu?" tanya Reymond dengan angkuhnya.
Sesaat Fatma tercenung dengan pertanyaan Reymond, ia memang membutuhkan uang itu, tapi ia belum siap untuk menikah.
Dengan takut, Fatma mencoba untuk mengutarakan isi hatinya. "Tuan, sebenarnya saya belum siap untuk menikah. Jika anda berkenan, bolehkah saya hanya bekerja di tempat anda saja? Saya bisa melakukan apapun," ucap Fatma.
Reymond kembali terdiam, "Apa dia baru saja menolak ku? Tapi kenapa? Biasanya para wanita akan senang hati mendatangi ku. Apalagi jika aku mengajaknya menikah, mungkin saja mereka akan sangat bahagia. Akh, s***! Gadis ini sama sekali tidak memandangku lebih," gerutunya.
Reymond tersenyum, baru kali ini ada gadis yang menolaknya, tapi sayang, dia tidak menerima tolakan itu. "Apa kamu pikir aku akan menyetujui permintaan mu?" tanya Reymond yang membuat Fatma terdiam. "Kamu tidak mempunyai pilihan lagi selain menikah denganku. Jika kamu berani menolak, maka kamu akan tahu akibatnya," sambung Reymond mengancamnya.
Fatma terdiam dan menundukkan kepalanya, sekarang ia benar-benar bingung. "Tapi, Tuan–" Fatma tidak berani melanjutkan kata-katanya karena melihat sorot mata Reymond yang menusuk tajam.
"Sudah kukatakan, kamu tidak bisa menolak pernikahan ini. Sekali lagi kamu membantah, aku tidak akan segan-segan untuk melukai keluargamu," ancamnya lagi.
Fatma kesal, dari tadi pria di hadapannya itu terus menerus mengancamnya, "Tuan, sebelum ini, saya tidak punya masalah apa-apa dengan anda. Tapi kenapa anda harus memaksa saya seperti ini?" tanya Fatma dengan menggebu-gebu.
Reymond membelalakkan matanya, ia tidak percaya jika gadis dihadapannya itu berani berbicara keras-keras padanya, "Menarik, lihat saja nanti, siapa yang membutuhkan siapa," gumam Reymond dengan menyunggingkan senyum misterius.
Sedangkan Fatma sendiri, ia sudah kesal dan marah sekali. Ia keluar dari ruangan kerja Reymond tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Asisten Reymond segera menghampiri tuannya yang masih berada di ruang kerjanya.
"Rey, bagaimana?" tanya Zio. Zio adalah asisten sekaligus sahabat lama Reymond, dia juga yang membawa Fatma datang ke perusahaannya tadi.
"Dia gadis yang cukup menarik, kamu tahu? Dia baru saja menolak ku," ucap Reymond dengan memainkan kursi kebesarannya dan bolpoin yang ia putar-putar.
Zio mengerutkan keningnya, ia tidak mengerti dengan maksud perkataan Reymond. "Maksudmu? Bagaimana bisa dia menolak mu?" tanya Zio penasaran.
"Dia bahkan tidak mengenaliku," gerutunya.
Seketika itu juga Zio tertawa keras sambil memegang perutnya, "Ku pikir kamu sangat terkenal, tapi ternyata tidak juga, ya?" ejek Zio tanpa menghentikan tawanya dan membuat Reymond kesal.
***
Setelah Fatma keluar dari gedung utama perusahaan RCC, ia segera menaiki kendaraan yang akan membawanya pulang.
"Dia pria yang mapan, gagah, tampan, dan kaya, tapi kenapa dia memaksaku untuk menikah dengannya? Apa dia punya kelainan?" gumam Fatma saat ia sudah berada di dalam mobil angkot.
Sepanjang perjalanan pulang, hati Fatma tidak karuan, ia merasa khawatir pada kedua adiknya. Ia ingat ancaman Reymond terhadapnya tadi. "Ya Tuhan, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa pada kedua adikku," batin Fatma lagi.
Setelah turun dari mobil angkot, ia pun bergegas berjalan menuju rumahnya yang terletak tidak jauh dari jalan raya.
Betapa terkejutnya ia saat membuka pintu rumah dan menemukan kedua adiknya sedang pingsan dengan mulut berbusa.
"Ya Tuhan, Tio! Tantri! Kalian kenapa?" tanya Fatma pada adiknya yang sedang pingsan itu. Dengan segera, ia pun meminta bantuan pada tetangganya.
"Tolong! Tolong! Tolong saya!" teriak Fatma mengundang banyak warga berdatangan.
"Pa, tolong adik saya!" ucap Fatma pada Pak RT yang turut datang ke rumahnya.
"Sabar, Fatma. Sekarang kita bawa adik-adikmu ke klinik dulu." Pak RT mencoba menenangkan Fatma. Para warga pun dengan cepat membawa Tio dan Tantri ke puskesmas terdekat di rumah mereka.
Setelah mereka membawakan Tio dan Tantri ke puskesmas, para warga pun meninggalkan Fatma sendirian di sana. Fatma dengan khawatir terus menunggu dokter yang sedang memeriksa keadaan adik-adiknya. "Ayah, ibu, maafkan aku karena tidak bisa menjaga mereka berdua," gumam Fatma sedih.
Bahkan di saat ini pun tidak ada yang menemaninya, Bibi Fani juga tidak menerima panggilan darinya, begitupun dengan Paman Andre, mereka sama-sama mendiamkan dirinya.
"Ya Tuhan, aku harus apa? Kenapa di saat seperti ini tidak ada yang membantuku?" tanya Fatma pada dirinya sendiri sambil sesekali menyeka air matanya yang terjatuh.
Tak lama kemudian, dokter yang memeriksa keadaan adik-adiknya datang, dengan segera Fatma pun menghampirinya. "Dokter, bagaimana keadaan adik-adikku?" tanya Fatma khawatir.
"Sepertinya kedua adikmu mengalami keracunan makanan. Apa kamu tahu, apa yang baru saja mereka konsumsi?" tanya dokter paruh baya itu.
Fatma terdiam, ia mencoba mengingat sesuatu, "Tadi saya sempat melihat ada dua buah mangkuk yang berisikan bakso, masing-masing tinggal setengah porsi lagi, dok." jelasnya.
"Mungkin itu adalah penyebabnya. Lain kali, kamu harus lebih berhati-hati, ya," ucap dokter itu. "Sekarang keadaan mereka sudah lebih baik, setelah infusan habis, mereka bisa pulang. Silahkan kamu urus dulu biayanya di meja resepsionis." tunjuk dokter itu sebelum ia pergi meninggalkan Fatma.
"Terima kasih, dok."
Fatma kembali meluruh, ia baru ingat, saat ini sedang tidak mempunyai uang sepeserpun, "Ya Tuhan, aku tidak punya uang untuk membayar biaya pengobatan adik-adik," gumam Fatma sambil mengusap wajahnya frustasi.
Dengan ragu, ia pun melangkah menuju meja resepsionis itu. "Permisi, Kak. Mau tanya untuk biaya pengobatan adik-adik saya itu berapa, ya?" tanya Fatma.
Resepsionis itu pun segera mengecek pasien keracunan yang baru saja masuk. "Atas nama Tio dan Tantri?" tanyanya yang langsung diangguki oleh Fatma, "Total biayanya tiga ratus ribu rupiah, mbak" sambungnya.
"Oh, ba–baiklah. Terima kasih, Kak. Nanti saya kemari lagi," ucap Fatma gugup. Ia bingung sekarang harus saat ini.
Setelah menimbang cukup lama, akhirnya Fatma memberanikan diri untuk menelpon nomor yang sempat ia dapat dari asisten Reymond. Ia menghubunginya karena tidak ada yang bisa membantunya.
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAKNYA YA
TERIMAKASIH 🤗🤗🤗
Di sinilah ia saat ini, duduk di hadapan penghulu yang akan menikahkannya dengan Reymond. Setelah kemarin ia menerima bantuan dari pria itu, kini ia tidak bisa lagi menolak pernikahan itu lagi
FLASHBACK ON
Setelah Fatma menghubungi Zio untuk meminta bantuannya, ternyata yang menemuinya bukan hanya Zio, tapi Reymond juga ikut dengannya.
"Tuan, kenapa anda juga datang?'' tanya Fatma yang melihat Reymond datang bersama Zio.
Reymond membuang tatapannya, seandainya ia tidak memanfaatkan waktu saat ini, mungkin Fatma tidak akan pernah menerima tawarannya.
"Aku datang kemari untuk membuat kesepakatan denganmu," jawab Reymond tanpa menatap Fatma.
Fatma mengerutkan keningnya, "Maksud anda kesepakatan apa, Tuan?" tanya Fatma tidak mengerti.
Reymond memasukkan tangannya ke saku celana, lalu menatap lurus gadis yang ada di depannya, "Aku akan melunasi biaya pengobatan adikmu, tapi gantinya kamu harus menikah denganku besok pagi di kantor KUA."
"Maaf?"
"Itupun kalau kamu ingin kedua adikmu sembuh total. Jika kamu menolaknya, maka aku akan membiarkan mereka," ucap Reymond.
"Haruskah aku menerima pernikahan itu? Tapi bagaimana dengan kedua adikku jika aku menolak?" batin Fatma seraya memejamkan matanya.
Raymond memperhatikan gadis itu, sangat kentara jika dia sedang tidak baik-baik saja dan baginya itu adalah waktu yang pas untuk menekannya.
Fatma menarik nafas panjang sebelum akhirnya ia menjawab, "Baiklah, saya menyetujui pernikahan itu," ucap Fatma akhirnya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya, tapi saat ini kedua adiknya lebih penting.
Reymond tersenyum puas mendengar jawaban Fatma, "Good. Oke, aku akan membayar semua pengobatan adikmu." Raymond pun menyuruh Zio untuk mengurus semuanya.
"Terima kasih," ucap Fatma datar. "Semoga aku mengambil keputusan yang benar," batinnya.
Setelah Reymond dan Zio membayar pengobatan adik Fatma, mereka pun langsung bergegas meninggalkannya karena masih mempunyai urusan lain, sedangkan Fatma sendiri memilih untuk menemani kedua adiknya yang masih berada di ruang perawatan puskesmas itu.
"Aku tidak tahu keputusanku ini benar atau tidak, tapi saat ini aku tidak bisa egois dengan hanya memikirkan diri sendiri," batin Fatma termenung.
Tio memperhatikan kakak perempuannya yang sedari tadi hanya diam tanpa mengatakan apapun, "Kak, apa Kakak baik-baik saja?" tanya Tio khawatir yang pada kakaknya.
Fatma beberapa kali mengerjakan matanya karena cukup terkejut dengan pertanyaan Tio. "Akh, hmmm. I–iya, Kakak baik-baik saja." Fatimah memberikan senyumannya pada Tio.
Tio yang mengerti jika kakaknya sedang tidak baik-baik saja hanya diam dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Berbeda dengan Tio, Tantri terlihat sangat senang dan sumringah saat mendengar jika kakaknya menerima pernikahan itu.
"Pilihan yang bagus, Kak," ucap Tantri pada Fatma, ia sangat tidak mengetahui apa yang sedang dipikirkan oleh kakak perempuannya.
"Ya, semoga saja." Fatma menjawab dengan tidak yakin.
Setelah itu mereka pun tidak saling berbicara lagi dan hanya terdiam dengan pikiran masing-masing sambil menunggu cairan infusan milik Tantri dan Tio habis.
FLASHBACK OFF
Fatma asyik dengan lamunannya hingga ia tidak menyadari jika Reymond sudah duduk di sampingnya berhadapan dan dengan penghulu.
Tidak ada tenda ataupun gaun indah yang dikenakan oleh Fatma, dia hanya memakai baju muslim putih lengkap dengan kerudung, bahkan ia juga tidak memakai make up sama sekali. Bahkan tetangga yang melihat Fatma, Tio dan Tantri dijemput oleh bibi dan pamannya mengira jika mereka akan pergi ke pengajian.
Reymond tadi sempat menatap Fatma sesaat, dia tidak mempermasalahkan penampilan Fatma karena menurutnya itu tidak penting.
Fatma POV
Sekarang aku di sini, duduk di depan penghulu yang akan menikahkanku dengan Tuan Reymond. Aku tidak mengetahui alasan dia yang kukuh mintaku untuk menikah dengannya, sejujurnya aku sangat berat melakukan hal ini, tapi aku tidak mempunyai pilihan lain selain menerimanya.
Di sini yang paling terlihat bahagia bukanlah aku ataupun calon suamiku, melainkan Bibi Fani dan juga Paman Andre, aku sempat curiga kepada mereka karena melihat ekspresinya. Mungkinkah mereka menjual ku dengan alasan untuk membayar hutang dan menyekolahkan adik-adik? Akupun tidak tahu.
Aku terlalu asyik melamun hingga tidak sadar jika Tuan Reymond sudah duduk di sampingku. Akh, sebentar lagi ijab qobul akan dimulai. Aku menundukkan kepala karena gugup, meskipun acara ini hanya ijab qobul, tetap saja membuat jantungku berdebar.
Apalagi saat mendengar pria di sampingku ini mengucapkan kata-kata sakral sebagai janjinya di hadapan Tuhan, dengan lancar dia menyebut namaku dan nama ayah kandungku, tanpa sadar air mata ini menetes begitu saja. Dalam waktu beberapa detik, kini aku sudah menjadi seorang istri.
Hanya tujuh orang yang menyaksikan pernikahanku dengan Tuan Raymond, meskipun tidak meriah, tapi itu menjadikan suasana yang sakral.
Setelah ijab qobul dan pembacaan doa selesai, penghulu menyuruhku untuk meraih tangan Tuan Reymond dan menciumnya sebagai tanda hormat padanya. Entah benar atau hanya perasaanku saja, jika Tuan Reymond terlihat sangat enggan saat ku sentuh tangannya.
Paman dan bibi pun menghampiri saat Tuan Reymond sudah berada jauh dariku, "Tidak sulit, kan, menikah dengannya?" bisik Bibi Fani padaku.
"Senang, Bibi terlihat bahagia," ucapku dengan niatan menyindir, tapi sepertinya bibi tidak merasa tersindir olehku, bahkan dia tertawa renyah.
"Keponakanku memang pintar," pujinya padaku, aku menatapnya dengan pandangan tidak percaya, kenapa dia sampai bisa berpikiran seperti itu? Aku benar-benar tidak mengerti dengan pikiran mereka.
Fatma POV end.
Setelah selesai melangsungkan pernikahan sederhana itu, Reymond membawa Fatma bersamanya. sedangkan Tio dan Tantri ikut bersama bibi dan Paman Andre.
Sepanjangan perjalanan, Fatma tidak mengatakan apa-apa, dia hanya duduk manis dan menatap keluar dengan tautan tangan yang tidak terlepas.
Reymond sesekali menatap kearah gadis yang kini sudah resmi menjadi istrinya, bukan karena ia terpana, melainkan dia tidak percaya jika mereka sudah menikah.
"Gila saja aku mengikuti sarannya dengan menikahi gadis udik ini," batin Reymond sambil mencibir Fatma.
Setelah menempuh perjalanan beberapa menit, akhirnya mereka pun sampai di kediaman Reymond.
"Wow, menakjubkan," gumam Fatma saat ia melihat sebuah bangunan megah didepannya tidak lupa para pelayan juga sudah berada di depan pintu masuk bangunan itu.
Raymond kembali mencibir dan menggelengkan kepalanya pelan saat melihat Fatma yang menatap takjub pada kediamannya. "Dasar udik," gumamnya.
"Selamat datang, Tuan, Nyonya." Sambut para pelayan.
"Jangan panggil dia Nyonya, perlakuan dia seperti pelayan yang lainnya!" perintah Reymond seraya meninggalkannya begitu saja.
Fatma menatap tidak percaya dengan apa yang dilakukan oleh suaminya itu padanya, "Kenapa? Kenapa hatiku sakit saat ia memperlakukanku seperti ini?" batin Fatma sambil memegang dadanya yang terasa sesak.
"Nona, apa anda baik-baik saja?" tanya seorang pelayan yang menghampirinya
Fatma pun tersadar dan mengalihkan perhatiannya pada pelayan itu, "Saya baik-baik saja, Kak," jawab Fatma.
"Maaf, tapi bisakah Nona ikut dengan ku?" tanya pelayan itu.
Fatma pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya, "Baik, Kak."
Mereka berdua jalan menuju lorong yang akan membawanya ke paviliun belakang mension itu, sepanjang perjalanan tidak henti-hentinya Fatma mengagumi semua hal yang ia lalui. Beberapa menit berlalu, kini mereka sudah sampai di depan sebuah pintu yang akan menjadi kamarnya.
"Nah, ini kamar kita, Nona," ucap pelayan itu seraya membuka pintu kamar. Di sana terdapat tiga tempat tidur yang terpisah dua diantaranya sudah terisi dan hanya satu lagi yang masih kosong.
"Maaf karena menempatkan Nona di sini, tapi ini adalah perintah dari Tuan Raymond," sesal pelayan itu seraya menundukkan kepalanya.
Fatma merasa tidak enak hati karena baru kali ini ada yang menundukkan kepala padanya, "Tidak apa-apa, Kak. Saya pasti akan betah tinggal di sini," ucap Fatma. "Kalau saya boleh tahu, nama Kakak siapa?" tanya Fatma, mencairkan suasana.
"Perkenalkan, namaku Rere," ucap pelayan itu sambil mengulurkan tangannya.
Dengan segera, Fatma pun menerima uluran tangan itu. "Namaku Fatma. Salam kenal, Kak Rere," ucapnya terlihat gembira.
Setelah mereka berkenalan, tiba-tiba kepala pelayan datang menghampirinya. "Nona, Tuan Reymond ingin berbicara dengan anda."
"Oh, iya, baik, Pak," jawab Fatma, ia pun berpamitan pada Rere untuk menghadap Reymond.
Fatma mengikuti langkah kepala pelayan itu dengan perasaan berdebar, ia sangat takut terjadi sesuatu.
"Silakan masuk, Nona."
Dengan ragu, Fatma pun melangkah memasuki ruangan yang ia tebak itu adalah ruang kerja Reymond.
Di sana, ia melihat Reymond sedang duduk. Perlahan, Fatma menghampirinya. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?"
Reymond kembali menatap Fatma, sebelum akhirnya ia melemparkan beberapa kertas di hadapan Fatma. "Baca itu baik-baik!" perintahnya.
Fatma mengambil kertas yang di berikan Reymond padanya, untuk dibacanya dengan seksama. Ia begitu terkejut saat membaca bagian akhir dari surat itu. "Kontrak pernikahan?" tanyanya tidak percaya.
Reymond menarik sebelah sudut bibirnya dengan pandangan remeh, "Memangnya apa lagi? Apa kamu berharap menjadi Cinderella di dunia nyata? Jangan mimpi!"
Fatma memejamkan matanya, ia berusaha untuk tetap terlihat tenang, "Tenang Fatma, kamu jangan emosi," gumamnya dalam hati.
"Maaf, Tuan. Tapi apa maksudnya dengan hanya menjadi istri di depan keluarga?" tanya Fatma tidak mengerti.
"Aku akan menikahi kekasihku."
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAKNYA YA
TERIMAKASIH 🤗🤗🤗
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!