Risma POV
Apakah ini mimpi? Rasanya sangat sulit mengatakan ini nyata, seorang gadis Panti Asuhan sepertiku menjadi menantu di rumah besar ini. Bukan kekayaan mereka yang membuatku sangat bahagia. Tapi, kasih sayang semua orang yang ada di rumah ini.
Mama Rita, papa Wisnu, dan suamiku, Ardhi Pramudya. Mereka melimpahiku kasih sayang yang begitu besar.
Pernikahanku dengan Ardhi bukan karena kami sama-sama cinta. Tapi, karena rasa cinta kami yang sama. Ardhi menikah demi papanya yang sangat berharap Ardhi mempunyai anak dan istri, dan diriku, menerima Ardhi demi Panti Asuhan. Cinta yang sama, cinta Ardhi pada papanya, sedang aku cinta kepada seluruh penghuni panti Asuhan, apalagi bunda Aiswa.
Ardhi berjanji akan memberikan lahan itu untuk Panti, asal aku mau menjadi istrinya, kami pun menikah.
Bahkan 4 tahun pernikahan ini, dia dan aku belum tahu apa itu cinta, yang kami tahu, kami berusaha membuat pasangan bahagia.
Perlakuan lembut Ardhi, keperduliannya, kasih sayang kedua orang tuanya, membuatku lupa, sebab apa kami bisa menikah.
Aku berjalan santai memandangi taman bunga yang ada di samping rumah, memandangi tanaman mama Rita yang tumbuh subur.
Tlink!
Sebuah notifikasi membuyarkan segala kekagumanku.
Beb, vitamin kamu, susu kehamilan kamu jangan lupa.
Aku tersenyum membaca pesan dari sahabatku, Ishana. Dia salah satu orang yang sangat protektif menjagaku selain Ardhi dan mama Rita, walau dari kejauhan, dia terus menanyakan keadaan kami.
Di sahabatku, kami sama-sama berasal dari Panti Asuhan, hanya saja dia diadopsi sedang aku masih menetap di Panti Asuhan. Ishana, dia seorang perawat di Rumah Sakit milik keluarga Ardhi.
Iya, semuanya sudah mas Ardhi berikan sama aku.
Pesanku yang aku kirim pada Ishana.
Tidak cuma Ishana sih, tapi, semua orang sangat mencemaskan diriku, bagaimana tidak, ini kehamilan yang keempat yang bisa bertahan sampai sejauh ini.
Kehamilan pertama hanya bertahan beberapa minggu, kehamilan kedua dan ketiga juga hanya merasakan sebentar.
"Sayang … kamu mau kemana?"
Tiba-tiba mama Rita ada di dekatku, di tangannya ada nampan yang berisi 2 cangkir teh.
"Nggak kemana-mana ma, bosan di dalam kamar," jawabku.
"Mau ikut mama ke sana?"
Mama Rita menunjuk kearah gazebo yang menghadap ke kolam renang. Di sana terlihat papa Wisnu tengah bersantai.
"Boleh ma, aku ikut ke sana."
Mama Rita memanggil pelayan, minta bawakan nampan yang dia pegang. Tangan mama yang tadinya memegang nampan, kini kedua tangan itu memegangi kedua tanganku, sedang nampan itu sudah diantar pelayang ke gazebo tempat papa bersantai.
Akhirnya kami sampai di Gazebo, papa tersenyum bahagia melihat kami.
"Apa kabar menantu dan cucu papa?"
Mata papa tertuju pada perut buncitku.
"Kami baik pa," jawabku.
"Padahal cuma 2 bulan lagi, penerus Ardhi akan lahir, tapi kenapa 2 bulan rasanya lebih lama dari 4 tahun." Papa menggelengkan kepalanya, senyuman juga menghiasi wajahnya.
"Papa selalu berkhayal, cucu-cucu papa bermain di kolam renang bersama kamu dan Ardhi, aduh rasanya papa sangat tidak sabar."
Keinginan papa dari dulu hanya ingin cucu, aku sangat kasihan, karena kami terlalu lama memenuhi keinginan terbesar papa.
"Papa sudah minum obat?" tanya mama.
"Sudah dong, papa mau sehat, karena papa mau bermain sama cucu papa nanti."
"Sejak kehamilan kamu, papa nggak susah lagi diminta minum obat, bahkan duluan papa kapan waktunya minum obat."
Mama membelai rambut kepalaku dan memelukku.
"Terima kasih Risma, kamu berhasil meluluhkan hati Ardhi, dan kamu membantu Ardhi memenuhi mimpi papanya."
"Terima kasih juga ma, mama dan papa mencurahiku dengan begitu banyak kasih sayang, kasih sayang orang tua yang selama ini belum ku rasa."
Mama melepas pelukannya, dan menciumku dengan begitu lembut.
"Aku hanya tau kasih sayang bunda Aiswa, dan kasih sayang dari saudara yang ku dapat dari penghuni Panti Asuhan."
"Kamu memang anak kami." ucap mama.
Kami bertiga duduk santai di gazebo, memandangi keindahan tanaman hias yang tumbuh di sana.
"Ishana, dia apa kabar? Lama dia tidak main ke sini," ucap mama.
"Katanya, papanya sakit, ibunya juga sudah meninggal, jadi habis piket, Ishana langsung jaga papanya," jawabku.
"Aku keliling dalam rumah, ternyata kalian di sini."
Kami menoleh kearah suara itu, siapa lagi, dia Ardhi manusia yang paling tampan bagiku.
Dia langsung duduk di sampingku, membelai perut bulat ini dan berbicara dengan anak kami.
"Halo sayang, lagi apa?" ocehnya.
Bla bla bla bla, banyak kata yang dia ucapkan untuk anak kami, dia selalu seperti ini jika di dekatku, tapi aku juga bahagia dia seperti ini.
"Nggak kerja Dhi?" tanya mama.
"Enggak dulu ma, aku selesaikan beberapa pekerjaan dari rumah saja."
Cukup lama Ardhi bermain dengan perut bulatku, akhirnya dia berhenti dan duduk di sampingku.
Nyuttt!
Apa ini? Kenapa perutku tiba-tiba sakit.
"Awhh!"
Jeritan lepas dari mulutku, karena rasa sakit itu semakin menguat, aku tidak tahan.
"Mass!" Aku tidak tahu harus berkata apa.
"Sayang ada apa?" Wajah Ardhi begitu panik.
"Pe-rut aku! Sa-kit!"
"Argh!" Sebelah tanganku bertumpu menahan bobot tubuh, sedang tangan yang satu memegangi perut, rasa sakitnya semakin menguat.
"Ma, aku bawa Risma ke Rumah Sakit."
Ardhi langsung menggendongku, Ardhi belum melangkahkan kakinya, tapi di sana papa tiba-tiba pingsan.
"Papa!" Mama menjerit.
Antara sadar dan tidak, kulihat beberapa pelayan langsung mengangkat tubuh papa, pandanganku semakin kabur.
Harapanku, semoga papa baik-baik saja, dan anakku juga selamat.
***
Author POV
Risma berada di ruang penanganan, beberapa tim medis masih memeriksanya. Di ruang yang berbeda, Wisnu juga tengah diperiksa.
15 menit berlalu, Ardhi dan Rita diminta dokter Jully ke ruangannya. Di sana ada 2 dokter yang berbeda tengah menunggu mereka. Dokter Sonia, dokter kandungan yang menangani Risma, dan dokter Farhan, spesialis jantung yang menangani Wisnu.
"Kita mulai dari siapa?" tanya Jully.
"Risma dulu," sela Ardhi.
Kedua bola mata Rita melotot, dia tidak habis pikir Ardhi begitu memikirkan istrinya dan lupa akan kondisi papanya.
"Rahim Risma ada masalah." Dokter Sonia mulai menjelaskan keadaan Risma dengan bahasa medis.
"Operasi kali ini, kami harus mengangkat bayi itu dan juga rahim Risma, demi keselamatan Risma." Doker Sonia menjelaskan panjang lebar hal yang membahayakan Risma jika rahimnya tidak diangkat.
Ardhi hanya bisa memijat pelipisnya, sangat sakit membayangkan keadaan Risma, dan pastinya Risma sangat down jika mengetahui hal ini nantinya.
"Kalian semua sudah tahu bukan, kalau Tuan Wisnu bisa bertahan sejauh ini karena semangatnya menanti cucunya lahir, sekarang aku tidak tau apa yang terjadi, jika Tuan Wisnu tau keadaan Risma." Dokter Farhan juga menjelaskan keadaan Tuan Wisnu saat ini.
Ardhi semakin kalut, satu sisi papanya sangat menginginkan cucu, sedang istrinya dipastikan tidak bisa hamil lagi.
Rita betah membisu, sesekali dia mengusap air mata yang terlanjur menetes dari pelupuk matanya.
Demi keselamatan Risma, Ardhi terpaksa menandatangani surat persetujuan atas tindakan medis yang akan diambil oleh tim medis yang menangani Risma. Nyawa Risma selamat, entah bagaimana nanti Risma menjalani harinya.
Operasi Risma tengah berlangsung, Ardhi masih setia berada di depan ruangan operasi. Berulang kali kedua telapak tangannya mengusap wajahnya.
"Bagaimana ini?"
Suara itu membuyarkan lamunan Ardhi. Terlihat Rita datang dengan wajah penuh kecemasan.
"Apanya?" Tanya Ardhi.
"Apanya bagaimana? Papamu! Risma!" Wajah Rita sungguh hancur.
"Aku benar-benar tidak mengerti ma, otakku rasanya beku!" Ardhi me-re-mas rambut kepalanya.
"Cintamu sudah membuatmu lupa pada kedua orang tuamu rupanya." Sorot mata yang begitu tajam dari sepasang mata Rita tertuju pada Ardhi. "Kamu lupa, alasan apa sebelumnya membuat kamu mau menikah?"
Ardhi membisu. Dia teringat alasan dia ingin cepat menikah karena ingin memberi kebahagiaan pada papanya di sisa umurnya.
"Cepat atau lambat, papamu memang akan mati, mama juga, kamu juga, Risma juga, semua makhluk yang bernyawa akan menemui kematian, tapi … mama hanya ingin papa mendapatkan keinginan dia sebelum dia pergi meninggalkan kita."
Ardhi mematung, ingin sekali memeluk mamanya, namun dirinya juga saat ini sangat hancur.
"Sekarang Risma tidak bisa hamil lagi setelah ini, sedang papamu?!" Rita berusaha menahan suaranya. Bukan tidak mau mengerti posisi Risma, tapi keadaan suaminya membuat Rita hanya fokus pada suaminya.
"Ma, bisakah kita saat ini fokus pada Risma dan papa dulu? Jangan bahas anak."
Ardhi meraih kedua tangan Rita. "Mama ingat dulu, kata dokter umur papa tidak lama, ternyata papa bisa bertahan sampai sekarang, berarti papa pasti bisa ma …."
Rita melepas kasar tangan Ardhi yang memegangi kedua telapak tangannya. "Yang membuat papa kamu bertahan itu penantiannya!"
"Maa--"
"Kesembuhan papamu cuma itu Ardhi!" Potong Rita begitu cepat. "Risma memang tidak bisa memberi anak, tapi wanita lain bisa!"
Ardhi bungkam. Dia tidak mengira mamanya memikirkan hal sejauh ini.
Tapi, dia juga tidak buta dan tidak tuli, dia sangat sadar, kekuatan papanya hanya karena ingin melihat cucu yang hadir dari pernikahannya kelak.
"Nyonya Rita dan Tuan Ardhi, kalian di panggil dokter Farhan, dokter menunggu kalian di ruangannya." Ucapan salah satu perawat yang datang menghentikan ketegangan antara ibu dan anak itu.
"Mama saja ya yang menemui dokter Farhan, aku mau menunggu Risma saja di sini."
Hati Rita begitu hancur melihat putranya, sebagai seorang ibu, dia sangat bangga Ardhi adalah laki-laki yang setia, bagaimanapun keadaan istrinya, Ardhi tidak berubah.
Tapi sebagai seorang istri, hati Rita hancur, dia tidak bisa membantu suaminya memenuhi keinginan terbesarnya, yaitu menimang cucu, karena putra semata wayangnya itu dipastikan akan tetap setia pada istrinya.
"Andai mama bisa memilih, lebih baik mama tidak punya anak, daripada punya, namun bisanya hanya menyakiti mama!"
Ardhi memejamkan matanya mendengar ucapan mamanya yang begitu tajam.
Rita masih menatap tajam pada Ardhi. "Sekarang aku tidak mengenal lagi siapa pemuda yang ada di depan mataku ini!" Rita pergi begitu saja membawa segala kekecewaan dan luka hatinya.
Mata Ardhi terus memandangi punggung mamanya, pikirannya kacau, apakah dia bisa tetap menjaga hati Risma, atau mewujudkan mimpi papanya.
Matahari kini tidak lagi menyinari bumi bagian itu. Gelap … hanya kerlipan bintang yang kini menghiasi langit.
Tidak ada perkembangan bagi Wisnu, penyakitnya sudah parah, hanya semangat dan impiannya yang membuat laki-laki itu mampu bertahan. Rita hanya bisa menangis mendengar segala penjelasan dokter Farhan.
Sedang di ruangan lain, operasi Risma berjalan lancar, wanita malang itu kini kehilangan bayinya juga kehilangan rahimnya.
Ardhi hanya bisa menatap sendu kearah ranjang Rumah Sakit itu. Kalau kedua mata Risma terbuka, ia tidak tahu kata apa yang akan dia ucap untuk menyemangati istrinya.
Kehilangan bayinya lagi, itu saja adalah luka paling mendalam bagi Risma, tapi Ardhi selalu menyemangati Risma, kalau mereka akan punya bayi lagi, Risma pun kembali bangkit. Sedang untuk saat ini? Bagaimana Ardhi menguatkan istrinya.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukkan menyadarkan Ardhi, dia segera berjalan menuju pintu dan membukanya, terlihat sosok mamanya, wajah yang selalu ceria itu terlihat sangat hancur dan sedih.
"Mama." Ardhi berusaha menyambut mamanya.
Rita masuk begitu saja ke ruangan Risma, dia memandangi wanita yang masih tidak sadarkan diri itu. Rita duduk di sofa yang ada di ruangan itu sambil memijat kepalanya yang begitu pusing. Menantunya belum sadar, tapi demi keinginan terbesar suaminya, dia harus sekejam ini pada Risma. "Papamu." jerit Rita.
"Papa kenapa?" Ardhi duduk di samping mamanya.
"Keadaannya semakin memburuk, sedang Risma, sampai kapanpun dia tidak bisa mewujudkan keinginan papamu, karena dia tidak punya rahim lagi, demi papamu, mama mohon menikah lagi ...."
Ardhi langsung menjauhi mamanya. "Sampai kapanpun aku tidak akan menyakiti Risma."
Hancur sudah harapan Rita, dia hanya bisa menangis dan pergi dari ruangan itu.
Saat pandangan mata Ardhi tertuju pada Risma, ternyata wanita itu sudah membuka kedua matanya.
"Sayang ...." Ardhi langsung mendekati istrinya.
"Apa yang mama katakan tadi?" Butiran crystal bening mulai berjatuhan di ujung pelupuk mata Risma.
Ardhi diam, dia tidak tahu harus menjawab apa.
"Aku--" Risma tidak mampu berkata lagi, membayangkan keadaannya saat ini.
Dia teringat kejadian 4 tahun lalu, di mana Ardhi dan dirinya sepakat untuk menikah, sedang saat ini dirinya tidak mampu mewujudkan keinginan itu.
"Mama benar, sebaiknya mas menikah lagi."
"Sampai kapanpun aku tidak akan menikah lagi."
Risma berusaha membujuk Ardhi, agar lebih mengutamakan kedua orang tuanya, daripada perasaannya, namun semua itu gagal.
Seminggu berlalu, keadaan Risma mulai membaik, tapi tidak dengan Wisnu. Laki-laki itu masih di rawat di Rumah Sakit.
Karena keadaan Risma yang membaik, Risma diizinkan untuk pulang, Ardhi pun segera membawa Risma pulang. Beruntung ada bi Atin yang datang ke Rumah Sakit, dia pun membantu Ardhi membereskan barang-barang mereka.
Ardhi, Risma bi Atin, masih dalam perjalanan pulang. Ketiganya diam. Namun perhatian Ardhi tertuju pada seorang wanita yang terus berlari, terlihat dia dikejar beberapa orang.
"Bukankah itu Ishana?"
Ardhi diam, Risma lebih dulu mengenali wanita itu. "Bi, buka kunci mobil di dekat bibi, sedang bibi langsung geser ya." pinta Ardhi, dia memacu mobilnya kearah Ishana, dan berhenti tepat di depan Ishana.
"Ishana masuk!" Teriak Risma.
Sepersekian detik kemudian, Ishana sudah berada di dalam mobil Ardhi, terdengar jelas napasnya masih memburu.
"Kamu kenapa di kejar-kejar pria berbadan tegap itu Na?" tanya Risma.
"Kakakku, dia punya hutang sama rentenir, kakak kabur meninggalkan hutang, papa sakit di Rumah Sakit, aku tidak tahu harus bagaiana lagi." Ishana masih berusaha mengatur napasnya.
"Sejak mama meninggal, papa sering sakit-sakitan, ditambah kelakuan kak Fajri, penyakit papa makin parah, hariku juga mulai tidak tenang, andai papa mengizinkan aku menjadi istri keempat si rentenir mungkin semua ini akan berakhir."
Mendengar ucapan Ishana barusan, sebuah ide terlintas di benak Risma.
Ishana menyandarkan punggungnya di sandaran kursi mobil Ardhi.
"Hutang kakak kamu berapa Na?" tanya Risma.
"Jangan bilang kamu mau bayarin, maaf tidak usah."
Risma terdiam, masalah uang, Ishana sangat tidak mau membebani siapapun.
"Terlalu banyak hutangku padamu Ris, jangan buat aku menambahi lagi, aku tidak sanggup." Ishana masih mengatur napasnya.
"Papa kamu?" tanya Risma.
"Masih di Rumah Sakit, ada teman aku yang bantu mantau kalau aku pergi gini."
"Kamu ke Rumah aku dulu ya," pinta Risma.
Ishana ingin menolak, karena papanya juga mungkin butuh dia, namun mengingat Risma kehilangan bayinya, membuat Ishana tidak tega menolak permintaan Risma sahabatnya.
Sesampai di rumah, keadaan terasa sepi, hanya ada para pelayan yang lalu lalang melakukan tugas mereka. Ishana dan bi Atin keluar dari mobil bersamaan, sedang Ardhi tengah membantu Risma keluar dari mobil. Ishana tersenyum melihat keromantisan pasangan itu.
Barang-barang Ardhi dan Risma sudah di turunkan para pelayan, sedang Risma meminta Ishana menemaninya di kamarnya. Karena ada Ishana, Ardhi memilih menghabiskan waktu di ruang kerjanya, sambil mengerjakan pekerjaannya dari sana.
Di kamar Risma.
Risma dan Ishana berdiri di balkon kamar itu, mata Risma memandangi sayu pemandangan indah yang terhampar di bawah sana.
"Na, aku ingin cerita boleh?"
Ishana meletakkan telapak tangannya di pundak Risma. "Cerita saja, aku siap dengar."
"Kamu ingat, apa sebab pernikahan aku sama mas Ardhi?"
Ishana tersenyum, dia adalah saksi bagaimana Ardhi melamar Risma dengan persyaratan. "Sangat ingat, tapi kak Ardhi sangat sayang padamu, lihat perlakuannya saat ini."
"Kamu ingat, kalau mimpi kedua orang tua Ardhi ingin memiliki cucu dari keturunannya sendiri?"
Ishana terdiam, dia hanya bisa memijat pundak Risma. "Jangan khawatir, kalian pasti bisa."
Buliran air mata mengalir deras di pipi Risma. Dia mulai menceritakan keadaannya.
Melihat sahabatnya menangis seperti itu, Ishana hanya bisa memeluk Risma. Lidahnya kelu, dirinya tidak tahu harus berkata apa, Ishana pun ikut menangis.
"Na, bantu aku mewujudkan mimpi kedua orang tua Ardhi."
Duggg!
Jantung Ishana seakan meledak mendengar permintaan sahabatnya.
Risma melepaskan pelukan mereka, kedua tangannya memegangi pundak Ishana, wanita itu diam seperti patung. "Daripada kamu menikahi bandot tua itu, lebih baik kamu jadi saudariku dalam rumah tangga ini."
"Na, tolong aku, hanya kamu yang aku percaya, aku percaya sama kamu, kamu tidak akan merebut mas Ardhi dariku."
"Sekarang aku tidak punya rahim, laki-laki mana yang nerima aku, kalau aku salah memilihkan istri untuk Ardhi?"
"Kamu baik Na, kamu tidak akan membiarkanku terdepak dari keluarga ini."
"Ada aku, atau tidak ada aku, cinta kak Ardhi kuat buat kamu Risma."
"Tapi tidak ada ketenangan Na, kedua orang tua Ardhi pasti sangat ingin cucu, apalagi itu adalah impian papa. Jika aku tidak berbesar hati, aku akan kehilangan kasih sayang mama Rita."
"Tolong aku Na, kita bertiga bisa bahagia dalam ikatan pernikahan ini ...." Risma terus memohon pada Ishana.
Tangis Ishana kini pecah. "Tega kamu Ma!" Ishana berusaha untuk meneruskan ucapannya. "Kamu tau, aku tuh sayang banget sama kamu, kamu malah minta aku menjadi wanita yang akan membuat kamu cemburu sepanjang hidup kamu, aku gak bisa!" Ishana melepaskan tangan Risma yang memegangi kedua pundaknya, dan pergi dari sana.
"Na, tolong aku ...." tangis Risma pecah, wanita itu memerosotkan tubuhnya ke lantai balkon.
Langkah kaki Ishana terhenti. "Masih banyak wanita lain yang bisa kamu pilih untuk menjadi istri kedua kak Ardhi, kenapa harus aku?"
"Cuma kamu yang aku percaya yang bisa bahagiain mas Ardhi."
"Lebih baik aku bunuh kamu, daripada aku sakitin kamu."
"Ishana, tolong aku ...." tangis Risma semakin pecah. "Sejak kecil kita selalu bersama, berbagi apa saja, kenapa tidak kalau kita harus berbagi suami?"
"Aku mengorbankan keselamatanku demi dirimu, kenapa kamu tidak mau menolongku ...." tangis Risma semakin pilu.
Ishana terdiam, selama ini Risma selalu memberikan apa saja, memberi pertolongan, bahkan saat ibu angkatnya meninggal Risma yang membantunya, yang tidak pernah Ishana lupakan, Risma berani mengorbankan nyawa demi dirinya.
"Baik, tapi jika kak Ardhi mau, kalau kak Ardhi menolak, aku juga menolak, 1 yang harus kamu ingat, aku melakukan ini demi kamu, dan atas permintaan kamu."
Risma bersusah payah bangkit dari posisinya, dia segera memeluk Ishana. "Terima kasih Na."
Sedang Ishana hanya diam meratapi nasibnya, kenapa dirinya harus menjadi orang ketiga dalam sebuah hubungan.
***
Ishana diminta Risma menunggu di ruang tamu, sedang Risma menemui Ardhi di ruangan kerjanya.
"Ada apa sayang? Apa Ishana sudah pergi?" Ardhi kaget menyadari kehadiran Risma di ruang kerjanya.
"Mas aku mau bicara."
Risma langsung mengutarakan semua keinginan dan rencananya.
"Kamu gila?!" Ardhi sangat geram mendengar permintaan Risma.
"Aku hidup bersamamu 4 tahun lamanya, aku yakin, Ishana adalah wanita yang tepat untuk melengkapi kekurangan kita, lagian aku sudah nggak sempurna mas, menjalani tugasku pun tak sebebas dulu, pelayananku sama mas akan terbatas, kehadiran Ishana akan menolong kita semua."
Ardhi bersikukuh menolak keinginan Risma.
"Baik, mas pilih menandatangi surat yang mana? Surat menikah lagi, atau surat kematian papa?"
"Jika mas egois, mas akan menyesal selamanya, karena mengecewakan papa di akhir hayatnya."
Ardhi masih memikirkan perkataan Risma, surat menikah lagi, apa surat kematian. Dia berusaha mengumpulkan kesadarannya.
"Kematian itu pasti datang, hanya saja kamu ingin melihat papa pergi dengan cara apa? Bahagia karena keinginannya terkabul, atau--" Risma sengaja menggantung ucapannya.
Ya Allah, kenapa alur hidupku seperti ini? Banyak orang yang lebih jahat dariku hidupnya malah damai dan mulus. Kenapa aku harus membahagiakan satu dan melukai yang satu?
"Setiap wanita ingin dicinta sepenuhnya oleh pasangan, tapi kamu, malah membagi semua itu dengan orang lain, kamu siap dengan segala ujian dan badai yang akan menantimu di depan sana?"
Risma menganggukkan kepalanya.
"Kalau kamu siap, aku hanya bisa menuruti apa yang kamu mau. Aku tau kamu pastinya tidak menginginkan hal ini, tapi harus kamu ingat, aku menyetujui semua ini, karena kamu."
Risma tersenyum mendengar jawaban Ardhi, dia langsung memeluk suaminya. "Kita datangi mama papa sekarang."
"Kita baru sampai sayang," bujuk Ardhi.
"Apa kamu yakin papa bisa menunggu lebih lama lagi?"
Ardhi menghela napasnya begitu dalam, lagi-lagi dirinya harus mengalah.
Ardhi, Risma, dan Ishana langsung menuju Rumah Sakit Lagi.
Beberapa langkah lagi Ardhi, Ishana dan Risma akan sampai di ruangan Wisnu, namun saat yang sama Rita keluar dari pintu itu. Sorot matanya memperlihatkan kalau si punya diri sangat marah. "Mau apa kalian ke sini!?"
"Menjenguk papa, mah." jawab Risma.
"Tidak perlu, mendengar suaramu papa malah akan semakin malas untuk sehat, alasan dia untuk bertahan sudah tidak ada lagi! 4 tahun penantian ini, kalian pikir mudah bertahan selama 4 tahun ini?" Air mata menetes begitu deras dari pelupuk mata Rita.
"Setiap malam, aku mendengar keluh kesahnya betapa beratnya dia melewati harinya, sedang kalian!" Rita menarik napas begitu dalam, berusaha mengontrol kemarahannya.
"Sedang kalian? Kalian sangat bahagia menikmati hari-hari kalian, kalian lupa ada orang yang berusaha keras untuk bertahan hidup hanya demi penantiannya menimang atau melihat cucunya, hanya itu keinginan papa kalian. Tapi keputusan Ardhi sudah membunuh papanya, untuk membaik sulit saat ini, jadi lebih baik kalian pulang saja!"
"Untuk membuat papa semangat adalah cucu kan mah?" tanya Risma.
"Kau bodoh apa pura-pura bodoh?" Rita seakan tidak kuat lagi menahan emosinya.
"Sayang kita pulang saja," bujuk Ardhi.
"Iya, pulang saja sana bocah pecinta! Jangan coba-coba datang kemari! Anggap kami semua sudah tiada!" bentak Rita.
"Kami kesini, harapan kami supaya papa bisa bangun," rengek Risma. Risma terus berusaha untuk bicara. "Ma …." rengeknya.
"Percuma, kalau kamu mau pun, suamimu nggak bakal mau."
"Risma kita pulang!" Bentak Ardhi.
Risma menoleh kearah Rita. "Maa, aku bersedia ma, aku sendiri yang akan carikan rahim buat suamiku, maksudku aku akan pilihkan istri untuk suamiku."
Risma melingkarkan tangannya di bahu Ishana. "Dia yang ku pilih sebagai istri kedua mas Ardhi, dia adalah wanita yang tepat untuk jadi istri mas Ardhi."
Rita terdiam, seketika kemarahannya padam.
"Mas Ardhi juga bersedia ma, kami semua melakukan ini demi papa, cinta kami pada mama dan papa."
Kedua bola mata Rita yang sebelumnya terlihat begitu marah, kini sepasang mata itu tampak berkaca-kaca, dirinya tidak menyangka menantunya berbesar hati memilihkan istri untuk Ardhi putranya. Rita mendekari Risma dan memeluknya. "Terima kasih Nak."
Melihat sinar kasih sayang kembali terpancar dari mata mamanya, Ardhi merasa bahagia. Dia segera menelepon Derby, Sekretaris pribadinya, untuk mengurus segala macam perlengkapan untuk menikah lagi.
"Bolehkah kami menemui papa?" ucap Risma.
Rita melepaskan pelukannya. "Tentu saja." Rita menhujani wajah Risma dengan ciuman, dia tahu bagaimana beratnya seorang wanita meminta suaminya menikah lagi.
Mereka semua berada di ruangan Wisnu. Mata itu masih terpejam begitu rapat.
Perlahan Ardhi mendekati papanya., memegang telapak tangan Wisnu, telapat tangan yang dulu begitu kuat memandunya, sekarang tangan itu terlihat keriput dan lemah. Ardhi perlahan meraih dan mencium tangan yang banyak melakukan segala hal untuknya itu.
"Papa ingin bermain dengan cucu papa kan? Kalau papa lemah seperti ini, bagaimana Ardhi semangat mendatangkan cucu buat papa? Ardhi lemah lihat papa seperti ini."
Ardhi semakin dalam mencium telapak tangan papanya. "Risma tidak akan mampu melahirkan 100 cucu buat papa, namun jika 100 cucu bisa membuat papa bahagia, Ardhi rela menikahi 10 wanita demi mendatangkan kebahagiaan untuk papa." Ardhi semakin terisak. "Maafin Ardhi pa ...."
Laki-laki itu berusaha tegar, demi memberi semangat pada papanya. "Ardhi gak bercanda pa, bahkan Ardhi akan menikah lagi demi memenuhi mimpi papa, kalau mata papa tertutup, bagaimana papa melihat mimpi papa?"
Perlahan Ardhi melepaskan tangan papanya, dan meletakkannya kembali perlahan. Dia berjalan kearah Risma dan Ishana, dia menarik kedua wanita itu mendekat pada Wisnu.
"Risma, istriku, dia menantu papa, dan Ishana adalah calon menantu papa yang kedua, ayo pa bangun."
Tapi tidak ada reaksi pada Wisnu.
Ardhi menatap sayu kearah Rita. "Ma, sepertinya dua istri tidak mampu untuk membuat papa kuat kembali, tolong carikan 98 wanita lagi," rengek Ardhi.
"Hhhhhh!" Suara napas terdengar dari arah ranjang Wisnu.
Hal itu membuat wajah setiap orang dihiasi senyuman.
Ardhi tersenyum dan mendekati papanya. "Papa mau 100 menantu?"
Wisnu berusaha memukul putranya, namun tenaganya begitu lemah.
Selesai di ruangan papanya, Ardhi, Risma dan Ishana menuju ruang perawatan Wisnu. Ishana menceritakan niat mereka. Mendengar segala rencana 3 orang itu, Purnama hanya bisa menangis.
Andai dirinya berdaya, dia tidak mau Ishana menyerahkan diri untuk dimadu siapapun. Purnama tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi apa daya pahlawannya selama ini tidak bisa dihubungi. Dirinya pasrah dengan permintaan Ishana, agar diizinkan menjadi madu sahabatnya.
***
Seminggu berlalu, Ardhi melunasi hutang anak laki-laki Purnama, melunasi pengobatan Purnama ayah angkat Ishana, dan mengatur pernikahan keduanya dengan Ishana.
Pernikahan Ishana dan Ardhi hanya dilaksanakan di KUA, Ardhi maupun Ishana, menolak jika pernikahan mereka dirayakan.
Disebuah ruangan yang ada di KUA. Risma hanya berduaan dengan Ardhi, dengan telaten dia membantu Ardhi mengenakan jas pengantin yang senada dengan kebaya yang Ishana kenakan.
"Ingat mas, perlakukan Ishana dengan baik ya," ucap Risma.
Ardhi hanya diam. Dia sama sekali tidak menginginkan pernikahan kedua ini.
Risma meraih tangan Ardhi, dia ingin melepas cincin nikah yang selama 4 tahun ini tersemat di jari manis Ardhi.
"Apa-apaan kamu?" Ardhi menepis tangan Risma, dia tidak mau melepaskan cincin pernikahannya dengan Risma.
"Kosongkan sementara saja mas, setelah akad, terserah mas mau pakai yang mana."
"Aku tidak akan melepasnya, biar saja cincin yang Ishana sematkan nanti pada jari yang lain, karena jari ini mewakili hatiku, hanya kamu yang menempati."
Risma pasrah, Ardhi bersikeras tidak mau melepas cincin nikah mereka.
Sedang di ruangan lain, Ishana hanya bersama Purnama.
"Harusnya Ayah bahagia melihatmu menikah nak, tapi saat ini ayah sedih."
"Janga sedih Ayah, mungkin memang takdirku menjadi yang kedua."
Acara pernikahan itu pun akan segera berlangsung. Ardhi memasuki ruangan bersama Risma, sedang Ishana dengan Ayahnya. Saat hampir sampai di meja akad, Risma langsung menggandeng Ishana, dan membantu wanita itu duduk di samping suaminya.
Risma menepuk pundak Ardhi, memberikan senyuman manisnya, lalu mencium Ishana sebelum pergi menuju tempat duduknya kembali.
Akad nikah Ardhi dan Ishana, hanya di saksikan beberapa orang dari Panti Asuhan Bunda Aiswa dan keluarga Ardhi. Ishana menikah dengan wali hakim, karena kedua orang tuanya tidak tau di mana keberadaannya.
Risma menyaksikan langsung akad nikah suaminya, saat Ardhi menjabat tangan wali hakim yang bertindak sebagai wali nikah Ishana. Sekujur tubuh Risma bergetar, bagaimanapun dia bilang dia bahagia, rasa sakit itu tetap ada.
Suara 'Sah' pun lantang terucap kedua saksi. Hal itu bagaikan salju yang turun di tengah panasnya terik matahari, namun juga bagai jutaaan anak panah yang melesak bersamaan, menusuk tepat di jantung Risma. Sakit menyadari kalau sekarang Ardhi bukan hanya miliknya seorang.
Sedang di depan sana, setelah Ardhi menyematkan cincin di jari manis Ishana, Ishana bingung dia harus menyematkan cincin di jari Ardhi yang mana.
"Maaf," ucap Ishana. Dia menyematkan cincin di jari manis Ardhi yang sudah tersemat satu cincin. Hingga ada dua cincin di jari manis Ardhi.
Setelah selesai acara itu, Ardhi diminta mencium istrinya.
Risma memejamkan kedua matanya, kala ciuman Ardhi mendarat diantara kedua alis Ishana, sedang Ishana langsung mencium punggung telapak tangan Ardhi.
...Hak enggkau ya Allah memberikan ujian apa saja kepada makhluk, sebagai makhlukmu aku hanya berusaha kuat atas segala cobaan yang datang, tapi … bolehkan aku mengeluh padamu? Kenapa engkau berikan ujian seberat ini?...
Air mata pun mengalir begitu saja membasahi pipi Risma. Hal itu dilihat oleh Rita, wanita itu langsung memeluk Risma, memberikan kekuatan pada wanita itu.
"Maafkan kami."
Risma berusaha tersenyum. "Kalian tidak salah."
Setiap pasang pengantin merasakan bahagia saat akad pernikahan mereka, berbeda jauh dengan Ardhi dan Ishana, keduanya sama sekali tidak bahagia karena pernikaha ini, mereka menikah hanya karena rasa cinta mereka pada wanita yang sama, yaitu Risma.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!