Di ujung timur sebuah desa, matahari pagi mulai menampakan wujudnya. Ratusan burung-burung dan ayam-ayam pun, sudah mulai saling bersahut-sahutan merdu. Mereka berlomba menyapa cakrawala, sekaligus memanggil para penghuni desa kecil ini untuk bangun dari tidur lelapnya.
Sebagian dari para penduduk sudah ada yang turun ke sawah untuk memulai aktifitas mereka seperti biasanya. Sementara sebagian kecil lagi, ada yang memikul dagangannya di bahu dan siap berkeliling mencari rezeki.
Semua tampak berjalan normal dan baik-baik saja, terkecuali di salah satu rumah berdinding bambu dan bata tanpa plester, yang letaknya agak menjorok ke dalam desa.
"Mbah! Mbah!" seorang gadis berpakaian sederhana keluar dari rumah dengan tergopoh-gopoh. Ia berteriak-teriak memanggil sang nenek yang lagi-lagi hilang entah ke mana. Tanpa alas kaki, gadis itu berlari menuju tempat-tempat yang sekiranya beliau biasa kunjungi.
Setelah beberapa lama mencari hasilnya tetap saja nihil. Sang nenek tidak terlihat di manapun.
Tidak ingin kehabisan akal, Sekar segera berlari menuju satu-satunya Masjid yang berdiri kokoh di tengah-tengah Desa. Gadis itu meminta tolong seorang muadzin untuk mengumumkan kehilangan neneknya lewat pengeras suara Masjid. Dia berharap dengan adanya pengumuman tersebut, siapa pun dapat mengantar sang nenek pulang ketika berpapasan dengan Beliau.
Meski Sekar sudah membuatkan kalung dan gelang berisi identitas neneknya, ia tetap saja merasa khawatir.
"Matur nuwun, Pakde," ucap Sekar setelah pengumuman tersebut tersiar ke seluruh Desa. Gadis itu berniat memulai pencariannya lagi.
"Sekar!" suara teriakan seorang pria yang memanggil dirinya terdengar dari kejauhan. Sekar menoleh ke sumber suara tersebut.
Raut kelegaan langsung terpancar dari wajah cantik Sekar, tatkala melihat Dino, salah seorang tetangganya, berjalan bersama sang nenek. Gadis itu bergegas lari menghampiri keduanya.
"Ketemu Mbah di mana, Mas?" tanya Sekar dengan napas tersendat.
"Mbahmu ngejar ayam Pak Sukri. Katanya itu kamu," jawab Dino sembari tertawa terbahak-bahak.
Sekar mencibir lalu berkata, "ini aku loh, Mbah! Aku masih jadi manusia ini." Ia mendekatkan wajahnya pada Mbah Bhanuwati. Namun Beliau tidak menanggapi protes cucunya. Maklum, penyakit alzheimer yang diidap Mbah Bhanuwati membuat dirinya lupa akan orang-orang sekitar, tak terkecuali keluarganya.
"Ya sudah kalau begitu, makasih banyak ya, Mas," Sekar mengambil alih sang nenek.
"Kamu jadi berangkat ke Jakarta, Sekar?" tanya Dino tiba-tiba.
"Iya, Mas. Kenapa memangnya?" Sekar balik bertanya.
Dino menatap Sekar dan Mbah Bhanuwati prihatin. "Ndak sayang karo Mbah sama Budemu?"
Sekar menghela napasnya. Ini adalah pertanyaan kesekian kali yang Dino ajukan setiap kali mereka bertemu. Kentara sekali, Duda tanpa anak itu sedang mencoba menghalangi kepergian Sekar.
"Mau bagaimana lagi Mas, demi sesuap nasi." Jawab Sekar pasrah.
Di usianya yang ke-25, Sekar memang masih saja bekerja serabutan di Desa. Terkadang ia terpaksa bekerja sampai keluar Desa. Itu pun hanya menjadi buruh cuci dengan bayaran sepuluh ribu rupiah sehari. Nominal yang tidak cukup untuk keperluan sehari-hari mereka. Apa lagi, terkadang Sekar hanya dibayar dengan sekantung beras, beberapa singkong dan juga jagung. Ia juga pernah dibayar dengan setumpuk kardus bekas, yang akhirnya dijual ke pengepul.
Sementara budenya, Gayatri, membantu Sekar mencari pundi-pundi rupiah dengan berjualan nasi uduk di depan rumah mereka. Tetapi karena kondisi Mbah Bhanuwati yang akhir-akhir ini semakin parah, mau tidak mau salah satu di antara mereka harus mengalah agar bisa fokus menjaga beliau.
Dari situlah Sekar bertekad ingin mencari pekerjaan yang layak di Jakarta. Tidak perlu posisi yang tinggi, ia sadar diri, asal bisa mendapatkan gaji tetap setiap bulan untuk nenek dan budenya, itu sudah lebih dari cukup.
"Memang sudah ada panggilan dari beberapa lamaran yang kau ajukan?" Dino tampak ragu. Ia tampak khawatir karena Sekar hanya memiliki ijazah SMP.
"Belum aku lihat lagi, Mas. Nanti siangan aku akan ke warnet." Jawab Sekar. "Ya sudah, aku pulang dulu, yo?"
"Iyo." Dino menatap Sekar hingga gadis itu hilang di balik tikungan.
"Sekar, andai kamu mau kupinang, setidaknya hidupmu tidak akan sesusah ini."
...***...
Sekar memberikan uang lima ribuan kusam pada seorang remaja penjaga warnet. Gadis itu memilih salah satu bilik yang paling dekat dengan kipas angin.
Ia menyalakan komputer, lalu segera memeriksa jawaban dari puluhan email lamaran kerja yang beberapa hari lalu ia kirim.
Gadis itu menggulir tombol mouse pada komputernya. Matanya awas memperhatikan setiap email yang masuk, sampai akhirnya ia terpaku pada salah satu email balasan dari Umbara Corporation, salah satu Perusahaan terbaik di bidang Teknologi.
...*...
...UMBARA CORPORATION...
...Jalan Batu Naga No. 36 Telp (021) 73xxxxx...
...Jakarta....
Jakarta, xx Oktober 2021
Nomor: 192/UC/010/2021
Perihal: Panggilan Wawancara
Lampiran:
Yth. Sdri. Sekar Ayu Parmaditha.
di Tempat
Menanggapi surat lamaran kerja Saudari, maka dengan ini kami mengharap kedatangan Saudari pada:
Hari, Tanggal: Kamis, xx Oktober 2021.
Waktu: Pukul 08.00 s.d selesai.
Keperluan: Wawancara kerja.
Tempat: Gedung C Umbara Corporation, lantai 13.
Pada kesempatan tersebut, kami mengharap Saudari melengkapi:
Ijazah asli;
Transkrip Nilai asli;
Berpakaian rapi dan formal.
Demikian surat panggilan ini dibuat. Atas perhatian Saudari, saya ucapkan terima kasih.
Manager Personalia,
Nadia Fazrul, SE
...*...
Setelah membaca email balasan tersebut, Sekar memekik kegirangan. Gadis itu segera berlari meninggalkan warnet menuju rumahnya.
Sesampainya di rumah, Sekar menerjang Bude Gayatri yang tengah sibuk mencuci singkong di dapur, sembari berteriak-teriak histeris.
"Ono opo toh, Nduk?" tanya Bude Gayatri yang terkejut mendapat perlakuan heboh dari Sekar.
"Aku dapat panggilan kerja, Bude!" sahut Sekar disertai tawa riang.
"Alhamdulillah, ya Allah. Jadi kamu benar-benar akan berangkat ke Jakarta?"
"Iya, Bude. Ini demi masa depan kita yang lebih baik!" katanya menggebu-gebu. "Aku ingin Bude dan Mbah tinggal di rumah yang layak dan makan makanan bergizi." Sekar menggenggam erat tangan sang bude.
"Yang harusnya makan makanan bergizi itu kamu. Mbah sama Bude wis tuwek, tidak perlu makanan bergizi." Bude Gayatri tersenyum lembut.
"Ihh, Bude!" Sekar merengut. "Pokoknya aku harus mencari uang yang banyak untuk kita! Ya sudah, aku siap-siap dulu Bude," ia beranjak dari dapur menuju kamarnya seraya memekik kegirangan.
"Jangan berisik, Nduk, Mbahmu baru saja tidur." Bude Gayatri memperingati.
"Ups," Gadis itu mengatupkan mulutnya seketika. Ia berjinjit masuk ke dalam kamarnya yang bersebelahan dengan kamar sang nenek.
Bude Gayatri menggeleng-gelengkan kepalanya. Sembari tangannya sibuk memasukan singkong ke panci untuk direbus, wanita paruh baya itu menangis.
Rumah pasti akan sepi jika Sekar tidak ada, sebab yang selama ini menceriakan suasana adalah Sekar, gadis manis yatim piatu yang harus kehilangan orang tuanya di usia 15 tahun karena wabah penyakit.
...***...
"Nduk, Bude masuk, ya?" Bude Gayatri berdiri di ambang pintu kamar Sekar. Gadis itu rupanya tengah mematut diri di cermin usang miliknya yang telah retak.
"Duduk sini," titah Bude. Sekar menurut dan duduk di kasur tanpa dipan miliknya.
Bude Gayatri membuka sebuah kotak biskuit yang sudah penyok di depan Sekar, lalu mengeluarkan lima buah gelang emas beserta dua buah kalung dan sepasang cincin kawin.
Wanita itu meletakan perhiasan-perhiasan tersebut di tangan Sekar.
"Ini opo toh, Bude?" tanya Sekar kebingungan.
"Ini adalah perhiasan peninggalan ibumu. Sepasang cincin itu adalah cincin pernikahan ibu dan bapakmu. Jual lah sebagai modalmu hidup di Jakarta. Kamu tidak mungkin pergi tanpa bekal, Nduk," terang Bude Gayatri.
Sekar kontan menolak. "Jangan, Bude! Kalau dijual nanti peninggalan ibu sama bapak tidak ada lagi."
Bude Gayatri menahan tangan Sekar. "Ini memang pesan dari beliau sewaktu sakit, Nduk. Jangan membantah apa kata orang tua. Hidup di Jakarta keras. Kau akan menggelandang jika tidak memiliki bekal sama sekali." Wanita paruh baya itu menatap Sekar lekat-lekat. "Perhiasan-perhiasan ini memang nilainya kecil, tetapi Bude rasa, ini cukup untuk membayar kamar sewa dan makanmu sehari-hari sampai gajian berikutnya."
Sekar termangu memandangi perhiasan-perhiasan yang kini berada di tangannya kini. Air mata mulai menetes membasahi pipi gadis itu. Dengan cepat, Sekar menubruk budenya dan memeluk beliau erat. "Doakan Sekar ya, Bude?"
"Pasti, Nduk. Sehat-sehat di sana, ya? Ingat, kau harus menjaga dirimu dengan baik. Walau kita miskin, kita lahir dari keluarga baik-baik!" nasihat tegas Bude Gayatri. Sekar mengangguk patuh.
...***...
Sekar lagi-lagi memeluk budenya erat. Sebenarnya ia tidak rela meninggalkan kedua orang tercintanya di sini, terlebih mereka sudah tua. Namun Sekar tidak punya pilihan lain.
"Sudah, cepat pergi. Nanti ketinggalan Bus!" Bude Gayatri berusaha melepaskan pelukan Sekar.
"Sebentar lagi, Bude," jawab Sekar lirih.
"Nanti sampai di sana, aku akan mengabari Bude lewat Mas Dino, ya?"
"Iyo, Nduk."
Sekar beralih memeluk neneknya. "Sekar berangkat ya, Mbah? Doakan Sekar ya, Mbah?" Meski sang nenek tidak akan mengerti apa yang ia bicarakan, Sekar tetap meminta restu beliau.
Gadis itu menyalami keduanya sebelum berangkat bersama Dino. Pria itu secara sukarela menawarkan tumpangan untuk Sekar sampai ke Terminal.
...***...
"Makasih yo, Mas," ucap Sekar ketika turun dari motor.
"Sama-sama." Dino merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah bungkusan hitam tebal.
"Ini untukmu,"
"Apa ini, Mas?" Sekar berniat membuka bungkusan itu. Ia pikir, mungkin itu adalah makanan untuk bekalnya di jalan.
Dino buru-buru menahannya. "Jangan di sini, bahaya! Kau tahu banyak preman-preman berkeliaran 'kan? Buka saja ketika sudah sampai di tempatmu," kata Dino.
"Uangmu juga sudah kau simpan dengan aman belum?" tanya pria berusia 37 tahun itu.
Sekar mengangguk. Siang tadi gadis itu menjual perhiasan orang tuanya ditemani Dino. Dia hanya menjual Gelang dan Kalung saja, sementara sepasang cincin pernikahan kedua orang tuanya disimpan sebagai kenang-kenangan.
"Makasih yo, Mas. Aku titip Bude sama Mbah." Sekar mengambil tangan Dino dan membawanya ke kening.
"Pasti. Ya sudah, hati-hati di jalan. Kabari aku kalau sudah sampai," pesan pria itu.
"Iyo." Sekar bergegas masuk ke dalam Bus.
Gadis itu duduk dengan nyaman di samping kaca jendela. Matanya menatap sekeliling. Tampaknya ada banyak orang yang akan berangkat ke Jakarta untuk merantau, terlihat dari tas-tas dan barang bawaan mereka. Bahkan, ada beberapa yang sibuk membaca sebuah kertas berisi alamat yang dituju.
Sepuluh menit kemudian Bus pun berangkat. Sekar melambaikan tangannya pada Dino yang masih setia menunggu di luar sana.
"Hati-hati!" teriak Dino. Sekar mengangguk semangat.
Gadis itu mengambil napasnya dalam-dalam.
Semoga saja, Jakarta bisa merubah nasibnya dan keluarganya.
Sebuah mobil Sedan mewah baru saja terparkir di depan lobby gedung utama Umbara Corporation. Terlihat beberapa orang karyawan berdiri sejajar di sana untuk menyambut kedatangan pimpinan mereka.
Seorang pria berperawakan tinggi tegap turun dari mobil tersebut. Ia berjalan memutar menuju pintu belakang.
"Pagi, Pak!" serempak para karyawan membungkukan badan mereka, tatkala seorang pria bertubuh tinggi menjulang turun dari dalam mobil.
Arion Raditya Umbara membalas sapaan para karyawannya dengan senyum ramah seperti biasa, sebelum melangkahkan kaki masuk ke dalam gedung Kantor.
"Jadwalku?" tanya Arion pada seseorang yang setia berjalan di belakangnya.
"Jam 9 nanti Bapak akan mengadakan pertemuan dengan tim 5 untuk melihat presentasi mereka, terkait teknologi yang akan mereka terapkan pada mobil pintar. Ada di salah satu proposal yang saya berikan kemarin," jawab pria itu.
"Lalu?"
"Pagi, Pak Arion," sapa beberapa karyawan wanita yang berpapasan dengannya sembari menundukan kepala.
Arion tersenyum seraya menjawab sapaan para karyawan wanita tersebut.
"Pada siang hari, Anda akan makan siang bersama dengan Ibu Erlina dan Nona Adhisty di Golden Mountain Restaurant. Setelah itu Anda akan langsung menghadiri seminar Pak Tristan."
"Batalkan makan siangnya!" sahut Arion dingin.
"Baik, Pak." Keduanya berjalan masuk ke dalam lift menuju lantai 30.
...***...
Sekar baru saja turun dari Busnya. Ia sampai di terminal tepat pukul 6 pagi. Busnya terjebak macet sehingga ia harus sampai 3 jam lebih lama dari waktu yang ditentukan.
Dari terminal menuju Kantor membutuhkan waktu kurang lebih satu setengah jam perjalanan. Otomatis ia tidak akan sempat mencari tempat tinggal terlebih dahulu. Alhasil, gadis itu memilih mencari pom bensin untuk mandi dan berganti pakaian.
Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, ia bergegas menuju Gedung Umbara Corporation menggunakan taksi.
"Mau ke mana, Mbak?" tanya Bapak supir taksi.
"Gedung C, Umbara Corporation, Pak," jawab Sekar.
"Wah! Mau wawancara ya, Mbak?" tanya si Bapak lagi.
Sekar tersenyum mengiyakan pertanyaan supir taksi tersebut.
"Perusahaan gede itu, Mbak! Beruntung banget kalau bisa masuk sana!" ungkap si bapak supir taksi.
"Saya cuma OG, Pak,"
Bapak supir tersebut kontan menatap Sekar antusias, melalui kaca spion tengah. "Jangan salah Mbak, mau OG, OB, Satpam, gajinya besar di sana. Mudah-mudahan wawancaranya lancar ya, Mbak?"
"Terima kasih, Pak," Sekar tersenyum sumringah mendengar perkataan bapak tersebut. Jika memang benar demikian, ia tak perlu khawatir lagi akan kehidupan mbah dan budenya di kampung.
Beberapa saat kemudian, taksi yang ditumpanginya memasuki area komplek perkantoran. Sekar tak dapat menahan kekaguman, kala indera penglihatannya menangkap sederetan gedung-gedung mewah yang tinggi menjulang di sisi kanan kiri mereka.
"Yang mana Kantor Umbara, Pak?" tanya Sekar tanpa mengalihkan pandangannya.
"Ini semua milik Umbara, Mbak. Nah, gedung C itu ada di depan sana!" mendengar jawaban bapak supir taksi, Sekar kontan membuka mulutnya.
Setelah sampai di depan Gedung, Sekar lantas membayar dan turun dari taksi tersebut. Tidak lupa ia mengucapkan terima kasih pada beliau. Gadis itu kemudian menghampiri salah satu security yang tengah berjaga di depan.
"Permisi, Pak, saya mau wawancara kerja. Lewat mana ya, Pak?" tanya Sekar malu-malu.
Security yang sekiranya berusia 40 tahunan itu memandangi Sekar dari atas ke bawah, terutama pada dua buah koper besar yang Sekar bawa.
Mengetahui ke mana arah pandang sang security, Sekar tertawa kecil. "Saya dari Kampung dan baru sampai tadi pagi, Pak, jadi belum sempat ke mana-mana."
"Kalau begitu ikut saya dulu," ujar security bernama Ali tersebut, yang langsung diiyakan Sekar.
Ali ternyata membawa Sekar ke sebuah gudang penyimpanan terkunci di lantai 1. Dia menyuruh Sekar untuk meletakan barang-barangnya di sana, sebelum naik ke lantai 13.
"Tidak enak jika wawancara membawa barang-barang yang tidak perlu." Jawab Ali kala Sekar menanyakan alasannya.
Sekar kontan berterima kasih atas kebaikan Ali. Ia merasa sangat terbantu.
"Kalau sudah selesai temui saya lagi. Nanti akan saya bukakan kembali."
"Terima kasih sekali lagi, Pak," ucap Sekar seraya membungkukan badannya berulang kali. Dia pun bergegas naik ke dalam lift yang ditunjuk oleh Ali.
...***...
"Dengan sistem tersebut, tanpa membuang-buang waktu AI akan langsung mengantarnya rumah sakit terdekat. Dia juga akan menghubungi kantor polisi terdekat dalam waktu yang bersamaan." Danu, pemimpin Tim 5 mempresentasikan hasil kerja mereka di depan Arion.
"Bagaimana jika pengemudi mobil tidak sadarkan diri saat itu? Apa yang bisa mobil itu lakukan ketika sampai di rumah sakit, sedangkan tidak ada siapa pun yang dapat dimintai keterangan?" Arion membuka suaranya. Beberapa orang yang berada di sana terlihat saling berbisik, menyetujui pertanyaan sang pimpinan.
"Kami sudah memikirkan hal itu, dan ini lah jawabannya ...," Danu menampilkan sebuah gambar ilustrasi rancangannya di layar proyektor.
"Setelah kecelakaan terjadi, jika kondisi si pengemudi masih hidup, AI otomatis akan memindai tubuh si pengemudi tersebut dan mencatatnya ke dalam sistem. Jadi, sesampainya di Rumah Sakit, AI akan menampilkan rincian kondisi korban di layar monitor yang terdapat di dalam mobil."
"Bukankah akan merusak TKP jika mobil tiba-tiba pergi begitu saja dengan membawa korban?" tanya Arion lagi.
"AI akan merekam setiap detail kejadian dengan sangat akurat. Lagi pula ini hanya berlaku pada kecelakaan tunggal tanpa saksi mata saja. Serta jika kondisi korban harus segera mendapat tindakan medis secepatnya."
Arion tampak berpikir. Presentasi yang dilakukan tim 5 sangat bagus. Ide gila mereka patut diapresiasi. Tetapi pastinya, masih banyak kekurangan pada teknologi kecerdasan buatan itu, terutama rusaknya tempat kejadian perkara kecelakaan.
"Saya suka presentasi kalian," puji Arion tulus. "kalau begitu, akan saya pertimbangkan," pria itu berdiri dari kursi kebesarannya dan pamit undur diri.
Keenam anggota tim 5 kontan ikut berdiri dan membungkukan badannya. Meski belum mendapat jawaban pasti, tetapi mereka tampak cukup puas dengan pujian Arion. Pasalnya Arion adalah tipe orang pemilih. Ia dikenal sangat ketat jika hendak memutuskan sesuatu.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Arion pada Aiden, tangan kanannya, ketika mereka keluar dari ruang meeting.
"Saya rasa tidak ada salahnya dicoba." Jawab Aiden.
...***...
"Meski hanya lulusan SMP, nilaimu cukup gemilang. Sayang sekali kau harus berhenti sekolah," ujar Nadia ketika selesai melihat ijazah Sekar.
Sekar tersenyum kalem. Ia tidak ingin berkomentar.
Nadia menutup berkas-berkas Sekar. Beliau menghembuskan napasnya lalu tersenyum ramah pada gadis itu. "Mulai besok kau bisa datang ke kantor pukul 7 tepat. Untuk seragam bisa kau dapatkan besok, sedangkan ID-mu, kau harus menunggu sekitar tiga hari lagi. Kau akan ditempatkan di gedung utama Umbara."
Sekar membelalakan matanya. "Saya beneran kerja di sini, Bu?" tanyanya tak percaya.
Nadia mengangguk. "Sebenarnya butuh waktu beberapa hari untuk memutuskan. Tetapi berhubung kami kekurangan orang, maka keputusan harus dibuat di hari yang sama." Jelas Nadia. "Tapi ingat Sekar, kesalahan sedikit pun perusahaan tidak akan pernah mentolerirnya. Dan yang terpenting, sekecil apapun jabatanmu di sini, kau tetap harus disiplin dan bekerja sungguh-sungguh. Itulah mengapa perusahaan berani menggaji lebih tinggi dibanding yang lainnya."
Sekar memasang wajah serius. Gadis itu berjanji akan mendengarkan dan mengingat betul semua perkataan wanita itu.
"Baiklah kalau begitu, selamat bergabung." Bu Nadia mengulurkan tangannya yang langsung disambut Sekar antusias. Gadis itu bahkan mencium tangan Nadia sembari mengucapkan kata terima kasih berkali-kali. Tidak sia-sia rasanya menunggu hingga masuk waktu jam makan siang seperti ini.
...***...
Selesai wawancara Sekar mengambil kembali koper-kopernya yang dititipkan pada security.
"Kau sudah tahu akan tinggal di mana, Sekar?" tanya Ali.
"Belum, Pak." Sekar meringis.
"Kalau begitu, coba kau pergi ke alamat ini. Kebetulan salah satu security di sini juga tinggal di sana. Tempatnya memang kecil, tetapi untuk seseorang yang hanya tinggal sendirian sepertinya cukup nyaman." Ali mencatat sebuah alamat pada secarik kertas dan memberikannya pada Sekar.
Sekar menerima kertas tersebut. "Terima kasih ya, Pak, kalau begitu saya pamit dulu."
"Hati-hati,"
"Iya." Sekar menarik kopernya keluar dari Gedung Kantor. Untunglah jarak gedung ke gerbang pintu masuk tidak terlalu jauh, jadi dia bisa menghemat sedikit energinya.
"Anda ingin makan siang di mana, Pak?" tanya Aiden pada Arion. Mobil mereka baru keluar dari gedung kantor utama.
"Tempat biasa saja."
"Baik."
Sekar mengelap dahinya yang sudah dipenuhi peluh. Meski jaraknya dekat, jika dalam keadaan lapar seperti ini rupanya cukup menyiksa diri. Gadis itu berhenti sejenak untuk mengambil sebotol air mineral dari dalam tas selempang miliknya dan meminum air tersebut sampai habis.
Dahi Arion mengernyit kala matanya menangkap sesosok gadis aneh berjalan sendirian di atas trotoar sembari menarik dua buah koper. Dari pakaian yang dikenakan gadis itu, sepertinya ia baru saja melakukan wawancara. Tetapi, sejak kapan melakukan wawancara harus sambil membawa-bawa dua buah koper berukuran besar?
"Kabur dari rumah?" gumam Arion.
"Ada apa, Pak?" tanya Aiden yang ternyata mendengar gumamannya.
"Tidak."
Sekar melihat sebuah mobil mewah yang bergerak melewati dirinya. Hatinya mendadak merana.
"Andai aku bisa merasakan empuknya kursi mobil itu," Sekar kontan menutup mulutnya. Seketika ia menampar pipinya sendiri beberapa kali. "Bersyukur Sekar, bersyukur!"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Note: AI atau Artificial Intelligence, merupakan program komputer yang dirancang mengikuti tindakan dan pola pikir manusia.
Arion dan Aiden tiba di salah satu rumah makan sederhana langganan mereka, yang terletak tak jauh dari Kantor.
"Eh, Nak Arion dan Nak Aiden," sapa Bu Saroh, pemilik rumah makan berusia 60 tahunan.
"Sudah sepi, Bu?" tanya Arion. Matanya memandang sekeliling tempat yang biasanya ramai oleh para pengunjung.
"Hari ini Ibu tidak masak banyak. Untung saja Ibu sudah menyiapkan makanan kalian, takut-takut kalian makan siang di sini," kata Bu Saroh dengan suara seraknya. "Seperti biasa, kan?" sambung wanita itu.
Arion mengangguk lalu memilih duduk di salah satu meja yang berada tepat di sudut ruangan.
Rumah makan ini telah berdiri selama hampir 25 tahun. Arion mengenal tempat ini dari Dewandaru, sang Ayah. Beliau adalah pelanggan setia Bu Saroh semasa hidup, sampai akhirnya ia menggantikan kebiasaan Ayahnya tersebut.
Hampir setiap hari Arion akan menyempatkan waktunya untuk makan siang langsung di sana. Namun jika ia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya, maka Jaka, cucu Bu Saroh akan dengan senang hati mengantar pesanan Arion ke kantor yang jaraknya tak sampai 10 menit.
Dua nasi rames dengan dua gelas air teh hangat dihidangkan Bu Saroh untuk Arion dan Aiden.
"Terima kasih, Bu," ucap Arion ramah, diikuti Aiden.
Bu Saroh menepuk-nepuk pundak Arion lembut. Baru saja wanita itu hendak ke belakang, seorang pelanggan lainnya masuk ke dalam rumah makan tersebut. Ia duduk tepat di depan Arion, dengan posisi membelakangi dirinya. Si pelanggan terlihat sangat kerepotan mengatur kedua koper besar yang ia bawa.
Arion menoleh, matanya menelisik penampilan orang asing itu. Sepertinya tampang orang itu sedikit familiar.
"Dia, gadis yang tadi?" batin Arion menebak.
Bu Saroh menghampiri Sekar dan bertanya, "mau makan apa, Nak? Tapi maaf, lauknya tinggal sedikit. Ibu tidak masak banyak hari ini."
"Tidak apa-apa, Bu, seadanya saja." Jawab Sekar. Bu Saroh mengangguk lalu segera membuatkan makanan untuk Sekar.
Tak butuh waktu lama, Bu Saroh menghidangkan sepiring nasi rames dengan lauk sederhana untuk Sekar.
"Terima kasih, Bu," ucap Sekar.
"Sama-sama." Bu Saroh tersenyum ramah. Wanita itu beralih menatap sekumpulan barang bawaan Sekar. Beliau tergelitik untuk bertanya langsung, "dari mana mau ke mana, Nak?"
"Ahh, aku baru datang dari kampung untuk wawancara kerja, Bu," terang Sekar.
"Oh. Di mana?" tanya Bu Saroh lagi.
"Umbara, Bu, dekat dari sini." Mendengar jawaban Sekar, Arion dan Aiden mengalihkan pandangannya sejenak.
"Oh, Ibu tahu. Terus bagaimana? Diterima?" Bu Saroh terdengar antusias. Matanya melirik sedikit ke arah Arion dan Aiden.
"Alhamdulillah, diterima. Besok sudah mulai kerja. Sekarang aku sedang menuju tempat indekos." Raut wajah Sekar berubah sumringah.
"Alhamdulillah. Semoga betah ya, Nak? Jakarta keras, kau harus punya mental sekuat baja." Bu Saroh menepuk-nepuk pundah Sekar.
"Terima kasih, Bu," ucap Sekar.
"Ya sudah, Ibu jadi menginterupsi acara makanmu. Bilang Ibu kalau butuh sesuatu," kata Bu Saroh sebelum pergi meninggalkan Sekar.
...***...
DUGH!
Sekar menghentikan kegiatan makannya, ketika salah satu koper yang ia letakan tak jauh dari tempat duduknya, jatuh dari posisi semula. Aiden, pria yang menabrak koper tersebut meminta maaf dan membantu mendirikan koper Sekar.
"Sekali lagi saya minta maaf, Nona," ucap Aiden penuh penyesalan.
"Tidak apa-apa, kok, tidak apa-apa." Sekar tertawa kecil.
"Terima kasih," Aiden membungkukan badannya dan pergi berlalu bersama seorang pria yang sudah lebih dulu keluar dari rumah makan itu.
"Sopan dan kaku sekali. Apa semua orang kaya seperti itu?" batin Sekar.
...***...
Butuh waktu lama bagi Sekar untuk sampai di tempat indekos yang Ali maksud. Maklum, gadis itu benar-benar baru pertama kali datang ke Jakarta.
Netra hitamnya takjub memandangi sebuah bangunan memanjang berlantai tiga. Setiap lantai terdiri dari sepuluh pintu dengan halaman yang dapat menampung kendaraan para penghuni kos.
Sekar segera menekan bel yang terpasang di pagar. Tak lama, seorang pria paruh baya keluar dari dalam bangunan kost.
"Permisi Pak, apa masih ada yang kosong?" tanya Sekar sopan.
"Mau ngisi ya, Neng? Mari lihat-lihat dulu," ajak bapak penjaga tersebut.
"Saya Dirman, penjaga tempat kost ini. Neng namanya siapa dan dari mana?" tanya Pak Dirman begitu Sekar sudah masuk ke dalam.
"Saya Sekar, Pak. Saya baru datang dari kampung untuk bekerja." Jawab Sekar.
"Oh, merantau. Kerja di mana, Neng?"
"Umbara, Pak." Mendengar jawaban Sekar, Pak Dirman langsung mengangguk-anggukan kepalanya.
"Di sini juga ada yang bekerja di sana, Neng. Namanya Lastri. Dia security wanita di kantor itu."
"Oh," Sekar tertawa kecil. Ia mengira teman yang Ali maksud adalah seorang pria, mengingat pekerjaan mereka adalah security.
Pak Dirman mengajak Sekar naik ke lantai dua bangunan. Pria paruh baya itu membuka kamar bernomor 201 yang terletak persis di sebelah tangga. "Kamar Lastri berada di sebelah kamar ini, Neng," beritahu Pak Dirman. Beliau segera mempersilakan Sekar untuk melihat-lihat ke dalam.
Sekar menyembulkan kepalanya ke dalam kamar. Ia langsung mendapati sebuah kasur berdipan kayu yang terletak persis di sudut ruangan, sebelah kiri pintu. Berhadapan dengan kasur, ada sebuah meja dengan televisi flat berukuran sedang di atasnya, sementara di samping televisi berdiri sebuah lemari satu pintu.
Kamar mandi terletak persis di belakangnya, bersebelahan dengan tempat cuci piring dan memasak. Sudah ada kompor bertungku tunggal beserta gasnya.
Meski kecil, kamar itu terlihat nyaman dan bersih. Sekar sangat menyukainya.
"Isinya lumayan lengkap, hanya tinggal keperluan pribadi saja. Untuk air minum, Neng bisa masak. Tetapi kebanyakan penghuni di sini lebih memilih membeli di luar." Pak Dirman bersuara. "Sedangkan listriknya berupa voucher. Neng bisa beli sendiri di minimarket atau titip ke Bapak," sambung pria paruh baya itu.
Sekar mengangguk paham. Mereka lantas membicarakan soal harga sewa.
Sekar menyerahkan sejumlah uang pada Pak Dirman untuk sewa kos selama satu bulan kedepan. "Saya terima ya, Neng," ujar Pak Dirman. "Kuitansinya ada di bawah. Nanti saya buatkan. Ini kuncinya ada tiga buah, dua untuk kamar dan satu untuk pagar, takut-takut kalau pulang lembur." Pak Dirman menyerahkan kunci tersebut pada Sekar.
"Terima kasih ya, Pak," ucap Sekar.
"Sama-sama Neng. Mudah-mudahan kerasan tinggal di sini," kata Pak Dirman seraya pamit undur diri.
Selepas Pak Dirman pergi, Sekar lantas mengunci pintu kamar dan berbaring di atas kasur. "Ahh! Akhirnya bisa tidur juga!" pekiknya tertahan.
Gadis itu menatap jam kecil yang berada di atas meja televisi. "Masih siang, istirahat dulu sebentar baru aku akan mandi dan mencari makan." Katanya sembari memejamkan mata.
"Eh–" Sekar kontan membuka matanya kembali saat mengingat barang pemberian Dino yang belum ia buka. Segera saja gadis itu membongkar kopernya dan mencari benda tersebut.
"Ini apa, sih?" gumamnya sembari membolak-balikan benda yang lebih mirip paket itu, sebab dilapisi beberapa plastik hitam dan dilakban kuat.
Sekar mengambil gunting kecil yang ia bawa dan membukanya perlahan-lahan.
Betapa terkejutnya gadis itu ketika mendapati sebuah ponsel model lama yang tersimpan rapi di dalam kotak dus susu.
Secarik kertas mencuat bersamaan dengan ponsel tersebut.
Jangan menolak! Ini kuberikan agar memudahkanmu menghubungi Mbah dan Bude. Ponsel ini memang bukan ponsel baru, tetapi masih sangat layak pakai. Aku harap kau menggunakannya dengan baik.
Ingat, jangan sampai hilang atau rusak!
Berhati-hatilah di sana. Segera hubungi aku jika ada apa-apa.
Mata gadis itu berkaca-kaca. Sejak dulu, Dino memang selalu ada untuk Sekar. Pria itu juga telah lama menaruh perasaan padanya.
Beberapa kali Dino mengajak Sekar menjalin hubungan serius, tetapi Sekar selalu menolak. Ia hanya menganggap Dino sebagai kakak laki-lakinya saja. Dino adalah anak dari keluarga terpandang di Desa mereka. Itu sebabnya Sekar selalu menolak perasaan Dino. Toh, keluarga Dino juga tidak setuju dengannya karena status sosial mereka yang sangat jauh berbeda.
"Terima kasih ya, Mas," batin Sekar pilu. Lagi-lagi ia harus bergantung pada Dino.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!