NovelToon NovelToon

Cinta Tulus Mantan Office Girl

Berangkat ke Jakarta

Di ujung timur sebuah desa, matahari pagi mulai menampakan wujudnya. Ratusan burung-burung dan ayam-ayam pun sudah mulai saling bersahut-sahutan merdu. Mereka berlomba menyapa cakrawala, sekaligus memanggil para penghuni desa kecil ini untuk bangun dari tidur lelapnya.

Sebagian dari para penduduk sudah ada yang turun ke sawah, untuk memulai aktifitas mereka seperti biasanya. Sementara sebagian kecil lagi, ada yang memikul dagangannya di bahu dan siap berkeliling mencari rezeki.

Semua tampak berjalan normal dan baik-baik saja, terkecuali di salah satu rumah berdinding bambu dan bata tanpa plester, yang letaknya agak menjorok ke dalam desa.

"Mbah! Mbah!" Seorang gadis berpakaian sederhana keluar dari rumah dengan langkah tergopoh-gopoh. Ia berteriak-teriak memanggil sang nenek yang lagi-lagi hilang entah ke mana. Tanpa alas kaki, gadis itu berlari menuju tempat-tempat yang sekiranya biasa dikunjungi sang nenek.

Namun, hasilnya tetap sama, neneknya tidak berada di mana pun.

Tidak kehabisan akal, Sekar bergegas lari menuju satu-satunya Masjid yang berdiri kokoh di tengah-tengah Desa. Gadis itu meminta tolong pada seorang muadzin untuk mengumumkan kehilangan neneknya lewat pengeras suara Masjid. Ia berharap, dengan adanya pengumuman tersebut, siapa pun dapat mengantar sang nenek pulang, ketika berpapasan dengan Beliau.

Meski Sekar sudah membuatkan kalung dan gelang berisi identitas sang nenek, ia tetap saja merasa khawatir.

"Matur nuwun, Pakde," ucap Sekar setelah pengumuman tersebut tersiar ke seluruh Desa. Gadis itu berniat memulai pencariannya lagi.

“Sekar!" Sebuah suara memanggil gadis itu dari kejauhan.

Sekar menoleh, dan rona lega segera menghiasi wajah cantik gadis itu, ketika melihat Dino, tetangganya, berjalan sambil menggandeng sang nenek. Ia segera berlari menghampiri mereka.

“Ketemu Mbah, di mana, Mas?” tanya Sekar dengan napas terengah.

"Mbahmu lagi ngejar ayam Pak Sukri. Katanya itu kamu!" jawab Dino sembari tertawa terbahak-bahak.

Sekar spontan mencibir. "Ini aku loh, Mbah! Aku masih jadi manusia nih!" Ia mendekatkan wajahnya pada Mbah Bhanuwati. Namun, beliau tidak menanggapi protes cucunya.

Maklum saja, penyakit alzheimer yang diidap Mbah Bhanuwati membuat dirinya lupa akan orang-orang sekitar, tak terkecuali pada keluarganya sendiri.

"Ya sudah kalau begitu, makasih banyak ya, Mas," Sekar mengambil alih sang nenek.

"Smaa-sama, Sekar. Oh iya, kamu jadi berangkat ke Jakarta?" tanya Dino tiba-tiba.

"Iya, Mas. Kenapa emangnya?" Sekar balik bertanya.

Dino menatap Sekar dan Mbah Bhanuwati perihatin. "Ndak sayang karo Mbah sama Budemu?"

Sekar menghela napasnya. Ini adalah pertanyaan kesekian kali yang Dino ajukan tiap mereka bertemu. Kentara sekali, duda tanpa anak itu sebenarnya sedang mencoba menghalangi kepergian Sekar.

"Mau bagaimana lagi Mas, demi sesuap nasi." Jawab Sekar pasrah.

Di usianya yang ke-25, Sekar memang masih saja bekerja serabutan di sesa. Terkadang, ia terpaksa bekerja sampai keluar desa, meski hanya menjadi buruh cuci dengan bayaran sepuluh ribu rupiah sehari. Nominal yang tidak cukup untuk keperluan sehari-hari.

Sekar bahkan tak selalu diupah dengan uang, melainkan hasil panen, seperti dengan sekantung beras, beberapa singkong dan juga jagung. Ia bahkan pernah dibayar dengan setumpuk kardus bekas yang akhirnya dijual ke pengepul.

Sementara sang bude, Gayatri, membantu Sekar mencari pundi-pundi rupiah dengan berjualan nasi uduk di depan rumah mereka.

Namun, karena kondisi Mbah Bhanuwati yang akhir-akhir ini semakin parah, mau tidak mau salah satu di antara mereka harus mengalah agar bisa fokus menjaga beliau.

Dari situlah Sekar bertekad ingin mencari pekerjaan yang layak di Jakarta. Tidak perlu posisi yang tinggi, ia sadar diri, asal bisa mendapatkan gaji tetap setiap bulannya untuk keluarga, itu sudah lebih dari cukup.

"Emangnya udah ada panggilan dari beberapa lamaran yang kamu buat?" Dino tampak ragu. Ia tampak khawatir karena Sekar hanya memiliki ijazah SMP.

"Belum aku lihat lagi, Mas. Nanti siangan aku baru ke warnet!" jawab Sekar. "Ya sudah, aku pulang dulu, yo?"

"Iyo!" Dino menatap Sekar hingga gadis itu hilang di balik tikungan.

"Sekar, andai kamu mau kupinang, setidaknya hidupmu tidak akan sesusah ini," gumam pria itu lirih.

...***...

Sekar memberikan uang lima ribuan kusam pada seorang remaja penjaga warnet. Gadis itu memilih salah satu bilik yang paling dekat dengan kipas angin, sebelum kemudian menyalakan komputernya.

Gadis itu dengan seksama memeriksa jawaban dari puluhan email lamaran kerja yang beberapa hari lalu ia kirim.

Sekar terus menggulir tombol mouse pada komputernya, guna memperhatikan setiap email yang masuk. Mata gadis itu kemudian berhenti pada satu-satunya email balasan dari Umbara Corporation, salah satu perusahaan terbaik di bidang teknologi, yang berpusat di Jakarta.

...*...

...UMBARA CORPORATION...

...Jalan Batu Naga Air, No. 36. Telp (021) 73xxxxx...

...Jakarta....

Jakarta, xx Oktober 20xx

Nomor: 192/UC/010/20xx

Perihal: Panggilan Wawancara

Lampiran:

Yth. Sdri. Sekar Ayu Parmaditha.

di Tempat

Menanggapi surat lamaran kerja Saudari, maka dengan ini kami mengharap kedatangan Saudari pada:

Hari, Tanggal: Kamis, xx Oktober 20xx.

Waktu: Pukul 08.00 s.d selesai.

Keperluan: Wawancara kerja.

Tempat: Gedung C Umbara Corporation, lantai 13.

Pada kesempatan tersebut, kami mengharap Saudari melengkapi:

Ijazah asli;

Transkrip Nilai asli;

Berpakaian rapi dan formal.

Demikian surat panggilan ini dibuat. Atas perhatian Saudari, saya ucapkan terima kasih.

 

Manager Personalia,

Nadia Fazrul, SE

Setelah membaca email balasan tersebut, Sekar memekik kegirangan. Gadis itu segera berlari meninggalkan warnet menuju rumahnya.

Sesampainya di rumah, Sekar menerjang Bude Gayatri yang tengah sibuk mencuci singkong di dapur, sembari berteriak-teriak histeris.

"Ono opo toh, Nduk?" tanya Bude Gayatri yang terkejut mendapat perlakuan heboh dari Sekar.

"Aku dapat panggilan kerja, Bude!" sahut Sekar disertai tawa riang.

"Alhamdulillah, ya Allah! Jadi kamu benar-benar akan berangkat ke Jakarta?" Gayatri turut bahagia, meski hatinya sedikit khawatir.

"Iya, Bude. Ini demi masa depan kita yang lebih baik!" katanya menggebu-gebu. "Aku ingin Bude dan Mbah tinggal di rumah yang layak dan makan makanan bergizi!" Sekar menggenggam erat tangan sang bude.

"Yang harusnya makan makanan bergizi itu kamu. Mbah sama Bude wis tuwek, ndak perlu makanan bergizi." Bude Gayatri tersenyum lembut.

"Ihh, Bude!" Sekar merengut. "Pokoknya aku harus mencari uang yang banyak untuk kita! Ya sudah, aku siap-siap dulu ya, Bude!" Sekar beranjak dari dapur menuju kamarnya dengan langkah riang.

"Jangan berisik, Nduk, Mbahmu baru saja tidur." Gayatri memperingati sang keponakan tercinta, sambil menggelengkan kepalanya.

"Ups!" Gadis itu mengatupkan mulutnya seketika. Ia berjinjit masuk ke dalam kamarnya yang bersebelahan dengan kamar sang nenek.

Gayatri tersenyum tipis. Sembari sibuk memasukan singkong ke panci untuk direbus, wanita tua itu diam-diam menangis.

Rumah pasti akan sepi jika Sekar tidak ada, sebab yang selama ini mencerahkan suasana adalah gadis itu. Gadis manis yatim piatu yang harus kehilangan orang tuanya di usia 15 tahun karena wabah penyakit.

...***...

"Nduk, Bude masuk, ya?" Gayatri berdiri di ambang pintu kamar Sekar, ketika gadis itu tengah mematut diri di cermin usang miliknya yang telah retak.

"Iya, Bude!" balas Sekar riang.

"Duduk sini," titah Gayatri yang kini duduk di kasur milik Sekar tanpa dipan. Beliau kemudian membuka sebuah kotak biskuit yang sudah penyok di hadapan Sekar, lalu mengeluarkan lima buah gelang emas, beserta dua buah kalung, dan sepasang cincin kawin dati dalam sana.

Wanita itu meletakkan perhiasan-perhiasan tersebut di tangan Sekar.

"Ini opo toh, Bude?" tanya Sekar kebingungan.

"Ini semua perhiasan peninggalan ibumu. Sepasang cincin itu adalah cincin pernikahan ibu dan bapakmu. Juallah sebagai modalmu hidup di Jakarta. Kamu ndak mungkin pergi tanpa bekal, Nduk," terang Bude Gayatri.

Sekar yang terkejut, kontan menolak. "Jangan, Bude! Kalau dijual, nanti peninggalan ibu sama bapak nggak ada lagi!" sergahnya sembari mengembalikan benda-benda berkilau itu ke dalam kotak.

Namun, Gayatri menahan tangan Sekar. "Ini memang pesan dari beliau sewaktu sakit, Nduk. Jangan membantah apa kata orang tua. Hidup di Jakarta keras. Kamu akan menggelandang kalau ndak punya bekal sama sekali." Wanita berusia enam puluhan itu itu menatap Sekar lekat-lekat. "Perhiasan-perhiasan ini nilainya mungkin kecil, tapi Bude rasa akan cukup untuk bayar sewa kamar dan makanmu sehari-hari, sampai waktu gajian."

Sekar termangu memandangi perhiasan-perhiasan yang kini berada di tangannya. Airmata mulai menetes membasahi pipi gadis itu. Dengan cepat, Sekar menubruk Gayatri dan memeluk beliau erat. "Doakan Sekar ya, Bude?"

"Pasti, Nduk. Sehat-sehat di sana, ya? Ingat, kamu harus menjaga diri dengan baik. Walau kita miskin, kita lahir dari keluarga baik-baik!" Nasihat tegas Gayatri yang langsung dicamkan dengan baik oleh Sekar.

...***...

Sekar lagi-lagi memeluk budenya erat, seolah tidak rela meninggalkan kedua orang tercintanya di sini. Terlebih, usia mereka sudah cukup tua. Namun, Sekar tidak punya pilihan lain, ia harus bisa merubah nasibnya, agar bisa hidup layak bersama sang nenek dan budenya.

"Sudah, cepat pergi! Nanti ketinggalan bus, Nduk!" Gayatri berusaha melepaskan pelukan Sekar, meski terasa berat.

"Sebentar lagi, Bude," jawab Sekar lirih.

"Nanti sampai di sana, aku akan mengabari Bude lewat Mas Dino, ya?" kata gadis itu kemudian.

"Iyo, Nduk."

Setelah puas berpelukan dengan Gayatri, Sekar beralih memeluk neneknya. "Sekar berangkat ya, Mbah? Doakan Sekar ya, Mbah?" Meski sang nenek tidak akan mengerti apa yang ia bicarakan, Sekar tetap meminta restu beliau.

Gadis itu menyalami keduanya sebelum berangkat bersama Dino. Pria itu secara sukarela menawarkan tumpangan untuk Sekar sampai ke Terminal.

...***...

"Makasih yo, Mas," ucap Sekar ketika turun dari motor.

"Sama-sama." Dino merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah bungkusan hitam tebal. "Ini untukmu, Sekar," ujar Dino.

"Apa ini, Mas?" Sekar berniat membuka bungkusan itu. Ia pikir, bungkusan itu adalah camilan untuk bekalnya di jalan.

Dino buru-buru menahannya. "Jangan di sini, bahaya! Kamu tahu ada banyak preman-preman berkeliaran 'kan? Buka saja ketika sudah sampai di tempatmu," kata Dino, yang malah membuat Sekar semakin penasaran.

Saat ia hendak menanyakan hal lebih lanjut, Dino memutus perkataannya.

"Uangmu juga sudah kami simpan dengan aman, belum?" tanya pria berusia 37 tahun itu.

Sekar mengangguk. Siang tadi,.gadis itu menjual perhiasan orang tuanya ditemani Dino. Ia hanya menjual Gelang dan Kalungnya saja, sementara sepasang cincin pernikahan kedua orang tuanya disimpan sebagai kenang-kenangan.

"Makasih yo, Mas. Aku titip Bude sama Mbah." Sekar mengambil tangan Dino dan membawanya ke kening.

"Pasti! Ya sudah, hati-hati di jalan. Kabari aku kalau sudah sampai," pesan pria itu.

"Iyo." Sekar bergegas masuk ke dalam Bus.

Gadis itu duduk dengan nyaman di samping kaca jendela. Matanya menatap sekeliling, memandangi para penumpang yang juga akan berangkat bersama ta ke Jakarta. Dari barang-barang yang mereka bawa, mereka sepertinya juga hendak merantau di ibu kota tersebut.

Sepuluh menit kemudian bun pun berangkat. Sekar melambaikan tangannya pada Dino yang masih setia menunggu di luar sana.

"Hati-hati!" teriak Dino.

Sekar mengangguk semangat. Gadis itu mengambil napasnya dalam-dalam, berharap Jakarta bisa merubah nasibnya dan keluarga kecilnya.

Wawancara kerja

Sebuah sedan mewah berhenti anggun di depan lobi utama Umbara Corporation. Kilatan catnya yang mengilap memantulkan cahaya pagi yang lembut. Sejumlah karyawan telah berbaris rapi, membentuk lorong kecil penuh hormat, menanti kedatangan sosok yang mereka junjung.

"Pagi, Pak!" serempak para karyawan membungkukan badan mereka, ketika seorang pria bertubuh tinggi tegap nan berwibawa turun dari dalam mobil.

Arion Raditya Umbara, nama pria tersebut, membalas sapaan itu dengan senyum ramah yang nyaris menjadi rutinitas hariannya. Dengan aura dingin tapi memesona, ia melangkah menuju pintu utama gedung.

"Jadwalku?" tanya Arion pada seseorang yang setia berjalan di belakangnya.

"Jam sembilan nanti Bapak akan mengadakan pertemuan dengan tim 5 untuk melihat presentasi mereka, terkait teknologi yang akan mereka terapkan pada mobil pintar. Ada di salah satu map yang saya berikan kemarin," jawab pria itu.

"Lalu?"

Beberapa karyawan wanita yang lewat buru-buru membungkukkan badannya sembari menyapa dengan suara nyaris berbisik, "selamat pagi, Pak Arion!"

Arion membalas sapaan itu dengan senyum tipis, lalu kembali fokus pada pendampingnya.

"Siangnya, Bapak dijadwalkan makan bersama Ibu Erlina dan Nona Adhisty di Golden Mountain Restaurant. Setelah itu, menghadiri seminar yang dipimpin Pak Tristan."

"Batalkan makan siangnya!" potong Arion, suaranya serupa pisau es yang membelah udara.

"Baik, Pak." Tanpa banyak bertanya, pria itu menuruti perkataannya. Mereka kemudian melangkah masuk ke dalam lift menuju lantai tiga puluh.

...***...

Sekar baru saja menuruni bus yang membawanya dari kampung halaman, pada pukul enam pagi. Perjalanan yang seharusnya lebih singkat berubah menjadi lebih lama beberapa jam karena kemacetan yang panjang dan melelahkan.

Karena waktu yang terlalu sempit untuk mencari tempat tinggal lebih dulu, Sekar memutuskan untuk mencari pom bensin terdekat. untuk berganti pakaian dan menyegarkan diri seadanya.

Gadis itu kemudian memanggil taksi menuju gedung Umbara Corporation.

"Mau ke mana, Mbak?" tanya supir taksi ramah, membuka percakapan.

"Gedung C, Umbara Corporation, Pak!" jawab Sekar.

"Wah! Mau wawancara ya, Mbak?" tanya si supir lagi.

Sekar tersenyum, mengiyakan pertanyaan supir taksi tersebut.

"Perusahaan gede itu, Mbak! Beruntung banget kalau bisa masuk sana!" ungkap sang supir taksi dengan nada antusias.

"Saya cuma melamar jadi office girl, Pak," kata Sekar jujur.

Sang supir yang berusia lima puluhan itu kontan menatap Sekar melalui kaca spion tengah. "Jangan salah Mbak, mau office girl, office boy, satpam, gajinya nggak kalah besar di sana! Mudah-mudahan wawancaranya lancar ya, Mbak?"

"Terima kasih, Pak," jawab Sekar dengan mata berbinar, seakan kata-kata itu menjadi embun yang menyejukkan. Sebab, jika benar, ia tak perlu khawatir lagi akan kehidupan mbah dan budenya di kampung.

Begitu memasuki kompleks perkantoran, Sekar mulai terpana. Sebab, di hadapannya membentang deretan gedung-gedung mewah yang menjulang gagah, bak benteng peradaban modern. Rasanya mustahil seorang gadis kampung sederhana kini berdiri di antara keangkuhan dunia megah ini.

"Yang mana gedung Umbara, Pak?" tanyanya dengan mata berbinar.

"Ini semua milik Umbara, Mbak. Gedung C itu di depan sana!" jawab sang sopir bangga.

Sekar hanya bisa membuka mulut tanpa suara. Hatinya penuh decak kagum.

Setelah sampai dan membayar serta menyelipkan selembar tips sebagai ucapan terima kasih, Sekar menyeret dua buah koper besar menuju gerbang gedung. Dengan malu-malu, ia menghampiri seorang security paruh baya yang berjaga di sana.

"Permisi, Pak! Saya mau wawancara kerja. Lewat mana, ya?" tanyanya dengan suara nyaris tenggelam.

Security yang sekiranya berusia 40 tahunan itu memandangi Sekar dari atas ke bawah, terutama pada dua buah koper besar yang ia bawa.

Mengetahui ke mana arah pandang sang security, Sekar meringis malu. "Saya dari Kampung dan baru sampai tadi pagi, Pak, jadi belum sempat ke mana-mana."

Security yang memperkenalkan diri sebagai Pak Ali itu tersenyum ramah. "Kalau begitu, ikut saya dulu."

Ali ternyata membawa Sekar ke sebuah gudang penyimpanan terkunci di lantai 1. Ia menyuruh Sekar untuk meletakkan barang-barangnya di sana sebelum naik ke lantai 13.

"Tidak elok kalau datang wawancara membawa barang sebanyak itu." katanya bijak.

Sekar membungkukkan badan berulang kali, mengucapkan terima kasih dengan tulus.

"Kalau sudah selesai, cari saya lagi, ya," tambah Ali.

Dengan hati penuh rasa syukur, Sekar menganggukkan kepalanya.

Syukurlah, hari pertamanya menginjakkan kaki di ibu kota tidak seburuk yang pernah ia dengar.

...***...

"Dengan sistem ini, tanpa membuang-buang waktu mobil akan langsung menuju rumah sakit terdekat, sekaligus menghubungi polisi dalam waktu yang bersamaan!" Danu, pemimpin Tim 5, sedang mempresentasikan hasil kerja mereka di depan Arion.

"Bagaimana jika pengemudi mobil tidak sadarkan diri saat itu? Apa yang bisa dilakukan mobil itu ketika sampai di rumah sakit, sedangkan tidak ada siapa pun yang dapat dimintai keterangan?" Arion membuka suaranya. Beberapa orang yang berada di sana terlihat saling berbisik, menyetujui pertanyaan sang pimpinan.

Danu tersenyum, tampak telah menebak adanya pertanyaan tersebut. "Ini jawabannya ...." Danu menampilkan sebuah gambar ilustrasi rancangannya di layar proyektor.

"Setelah kecelakaan terjadi, jika kondisi si pengemudi masih hidup, AI otomatis akan memindai tubuh si pengemudi dan mencatatnya ke dalam sistem. Jadi, sesampainya di Rumah Sakit, mobil akan menampilkan rincian kondisi korban di layar monitor yang terdapat di sana."

Arion mengangguk tipis, sebelum kemudian mengajukan pertanyaan kritis kembali. "Bukankah akan merusak TKP, jika mobil tiba-tiba pergi begitu saja sambil membawa korban?"

Danu mengembuskan napasnya. Meski kali ini sedikit grogi, ia tetap tampak percaya diri. "AI akan merekam setiap detail kejadian dengan tingkat akurasi tinggi, dan ini hanya berlaku pada kecelakaan tunggal tanpa saksi mata saja, dengan catatan kondisi korban harus segera mendapat tindakan medis."

Arion tampak berpikir. Presentasi yang dilakukan tim 5 sangat bagus. Ide gila mereka patut diapresiasi. Namun, yang pasti masih banyak kekurangan pada teknologi kecerdasan buatan itu, terutama pada rusaknya tempat kejadian perkara saat kecelakaan.

"Saya suka presentasi kalian," puji Arion tulus. "kalau begitu, akan saya pertimbangkan!" Pria itu kemudian berdiri dari kursi kebesarannya dan pamit undur diri.

Keenam anggota tim 5 kontan ikut berdiri dan membungkukan badannya. Meski belum mendapat jawaban pasti, tetapi mereka tampak cukup puas dengan pujian Arion. Pasalnya, sang pimpinan merupakan orang yang sangat kritis dan pemilih. Ia dikenal sangat ketat jika hendak memutuskan sesuatu.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Arion pada Aiden, tangan kanannya, ketika mereka keluar dari ruang meeting.

"Saya rasa, tidak ada salahnya dicoba, Pak," Jawab Aiden.

...***...

Di ruang wawancara, Sekar duduk tenang di hadapan Nadia, sang HRD.

"Nilaimu cukup gemilang untuk lulusan SMP," ujar Nadia setelah meneliti dokumen Sekar. "Sayang sekali kami harus berhenti sekolah."

Sekar hanya tersenyum, tidak ingin berkomentar.

Nadia kemudian menutup mapnya dan menghela napas ringan. Sambil tersenyum, wanita itu berkata, "mulai besok, kamu harus datang pukul tujuh tepat. Seragammu akan disiapkan besok, sedangkan ID-mu baru akan keluar dalam tiga hari. Kamu akan ditempatkan di gedung utama."

Sekar membelalak. "Saya benar-benar diterima, Bu?" Suaranya bergetar.

Nadia mengangguk. "Sebenarnya butuh beberapa hari untuk memutuskan, tapi kami sedang kekurangan orang." Jelas Nadia. "Namun, ingat Sekar, perusahaan ini keras. Sekecil apapun jabatanmu, kamu harus memiliki sifat disiplin dan sungguh-sungguh. Kami membayar tinggi karena kami menuntut yang terbaik."

Sekar memasang wajah serius. Gadis itu berjanji akan mendengarkan dan mengingat betul semua perkataan Nadia.

"Baiklah kalau begitu, selamat bergabung." Bu Nadia mengulurkan tangannya yang langsung disambut Sekar antusias. Gadis itu bahkan mencium tangan Nadia sembari mengucapkan kata terima kasih berkali-kali.

Tidak sia-sia rasanya perjuangan Sekar yang menunggu dari pagi sampai masuk waktu jam makan siang seperti ini.

Selesai wawancara Sekar mengambil kembali koper-kopernya yang dititipkan di gudang pada security.

"Kamu sudah tahu akan tinggal di mana, Sekar?" tanya Ali saat Sekar hendak pamit.

"Belum, Pak." Sekar meringis.

Ali kemudian mencatat sebuah alamat dan memberikannya pada Sekar. "Coba pergi ke alamat ini. Kebetulan salah satu security di sini juga tinggal di sana. Tempatnya memang kecil, tapi cukup nyaman."

Sekar menerima kertas tersebut dengan secercah cahaya di wajahnya. Ia tidak perlu berkeliling kota mencari tempat tinggal. "Terima kasih ya, Pak! Kalau begitu saya pamit dulu."

"Hati-hati,"

Sekar memgangguk semangat, sambil menarik kopernya keluar dari gedung kantor. Dari sana, ia masih harus berjalan kaki keluar dari komplek perkantoran, dengan jarak yang tidak terlalu jauh.

Sementara, di sisi lain, Aiden dan Arion terlihat baru saja keluar dari gedung kantor utama.

"Anda ingin makan siang di mana, Pak?" tanya Aiden.

"Tempat biasa saja," jawab Arion sekenanya.

"Baik!"

Sekar mengelap keningnya yang sudah dipenuhi oleh keringat. Meski jaraknya dekat, tapi jika dalam keadaan lapar ternyata cukup menyiksa diri.

Gadis itu berhenti sejenak untuk mengambil sebotol air mineral dari dalam tas selempang miliknya, dan meminum air tersebut sampai habis.

Dahi Arion mengernyit, saat matanya menangkap sesosok gadis aneh yang berjalan sendirian di atas trotoar sembari menarik dua buah koper besar. Dari pakaian yang dikenakan gadis itu, sepertinya ia baru saja melakukan wawancara.

Namun, sejak kapan wawancara sambil membawa-bawa dua buah koper berukuran besar?

"Kabur dari rumah?" gumam Arion.

"Ada apa, Pak?" tanya Aiden yang ternyata mendengar gumamannya.

"Tidak!"

Sekar yang masih beristirahat, sontak melihat mobil yang dikendarai Aiden bergerak melewati dirinya.

Hati gadis itu mendadak merana. "Andai saja aku bisa merasakan empuknya kursi mobil itu!"

Sekar kontan menutup mulutnya. Seketika ia menampar pipinya sendiri beberapa kali. "Bersyukur Sekar, bersyukur!"

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Note: AI atau Artificial Intelligence, merupakan program komputer yang dirancang mengikuti tindakan dan pola pikir manusia.

Tempat Kost Sekar

Arion dan Aiden tiba di salah satu rumah makan sederhana langganan mereka, yang letaknya tak jauh dari Kantor.

"Eh, Nak Arion dan Nak Aiden!" sapa Bu Saroh, pemilik rumah makan berusia 60 tahunan.

"Sudah sepi, Bu?" tanya Arion. Matanya memandang sekeliling tempat yang biasanya ramai oleh para pengunjung.

"Hari ini Ibu nggak masak banyak, tapi, untung saja Ibu sudah menyiapkan makanan kalian. Takut-takut kalau kalian makan siang di sini," kata Bu Saroh dengan suara seraknya. "Seperti biasa, kan?" sambung wanita itu.

Arion mengangguk sopan lalu memilih duduk di salah satu meja yang berada tepat di sudut ruangan.

Rumah makan ini telah berdiri selama hampir 25 tahun. Arion mengenal tempat ini dari Dewandaru, sang ayah. Beliau adalah pelanggan setia Bu Saroh semasa hidup, sampai akhirnya ia menggantikan kebiasaan sang ayah.

Hampir setiap hari Arion akan menyempatkan waktunya untuk makan siang langsung di sana. Namun, jika ia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya, maka Jaka, cucu Bu Saroh, akan dengan senang hati mengantar pesanan Arion ke kantor yang jaraknya tak sampai sepuluh menit.

Dua nasi rames dengan dua gelas teh hangat pun tersaji di hadapan Arion dan Aiden.

"Terima kasih, Bu," ucap Arion ramah, diikuti Aiden.

Bu Saroh menepuk-nepuk pundak Arion lembut. Baru saja wanita itu hendak ke belakang, seorang pelanggan lain masuk ke dalam rumah makan tersebut.

Pelanggan itu duduk tepat di depan Arion, dengan posisi membelakangi dirinya. Ia tampak sangat kerepotan mengatur kedua koper besar yang dibawanya.

Arion menoleh, matanya menelisik penampilan orang asing itu.

"Dia, gadis yang tadi?" batin Arion, saat menyadari dua buah koper yang dibawa si pelanggan.

Bu Saroh pun menghampirinya. "Mau makan apa, Nak? Tapi maaf ya, lauknya tinggal sedikit. Ibu nggak masak banyak hari ini."

"Tidak apa-apa, Bu, seadanya saja," jawab Sekar yang nyaris kuwalahan. Bu Saroh mengangguk lalu segera membuatkan makanan untuk Sekar.

Tak butuh waktu lama, Bu Saroh menghidangkan sepiring nasi rames dengan lauk sederhana untuk Sekar.

"Terima kasih, Bu," ucap Sekar.

"Sama-sama." Bu Saroh tersenyum ramah. Wanita itu beralih menatap sekumpulan barang bawaan Sekar.

Beliau tergelitik untuk bertanya langsung, "dari mana mau ke mana, Nak?"

"Saya baru datang dari kampung untuk wawancara kerja, Bu," terang Sekar.

"Oh. Di mana?" tanya Bu Saroh lagi.

"Umbara, Bu, dekat dari sini." Mendengar jawaban Sekar, Arion dan Aiden mengalihkan pandangan mereka sejenak.

"Oh, Ibu tahu! Terus bagaimana hasilnya?" Bu Saroh terdengar antusias. Matanya melirik sedikit ke arah Arion dan Aiden.

"Alhamdulillah, diterima, Bu. Besok sudah mulai kerja. Sekarang saya lagi mau ke tempat kos." Raut wajah Sekar berubah sumringah.

"Alhamdulillah. Semoga betah ya, Nak? Jakarta keras, kamu harus punya mental sekuat baja." Bu Saroh menepuk-nepuk pundak Sekar.

"Terima kasih, Bu," ucap Sekar ramah.

"Ya sudah, Ibu jadi ganggu acara makanmu. Bilang Ibu kalau mau nambah ya," kata Bu Saroh sebelum pergi meninggalkan Sekar.

...***...

DUGH!

Sekar menghentikan kegiatan makannya, ketika salah satu koper yang ia letakan jatuh dari posisi semula. Aiden, pria yang menabrak koper tersebut segera meminta maaf dan membantu mendirikan koper Sekar.

"Sekali lagi saya minta maaf, Nona," ucap Aiden penuh penyesalan.

"Tidak apa-apa, kok, tidak apa-apa." Sekar tertawa kecil.

"Terima kasih," Aiden membungkukan badannya santun, dan pergi berlalu bersama seorang pria yang sudah lebih dulu keluar dari rumah makan itu.

"Sopan dan kaku sekali. Apa semua orang kaya seperti itu?" batin Sekar.

...***...

Butuh waktu lama bagi Sekar untuk sampai di tempat kos yang Ali maksud. Maklum, gadis itu benar-benar baru pertama kali datang ke Jakarta.

Netra hitamnya memandang takjub pada sebuah bangunan memanjang berlantai tiga, yang setiap lantainya terdiri dari sepuluh pintu dengan halaman yang dapat menampung kendaraan para penghuni kos.

Sekar segera menekan bel yang terpasang di pagar.

Tak lama, seorang pria paruh baya keluar dari dalam bangunan kos.

"Permisi Pak, apa masih ada yang kosong?" tanya Sekar sopan.

"Mau ngisi ya, Neng? Mari lihat-lihat dulu!" ajak bapak penjaga tersebut.

"Saya Dirman, penjaga tempat kos ini. Neng namanya siapa dan dari mana?" tanya Pak Dirman, begitu Sekar sudah masuk ke dalam.

"Saya Sekar, Pak. Saya baru datang dari kampung untuk bekerja." Jawab Sekar.

"Oh, merantau. Kerja di mana, Neng?"

"Umbara, Pak." Mendengar jawaban Sekar, Pak Dirman langsung mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Di sini juga ada yang kerja di tempat itu, Neng. Namanya Lastri. Dia security wanita di sana!" ungkap Pak Dirman.

"Oh," Sekar tertawa kecil. Ia mengira teman yang Ali maksud adalah seorang pria, mengingat pekerjaan mereka adalah security.

Pak Dirman mengajak Sekar naik ke lantai dua bangunan, lalu membuka kamar bernomor 201 yang terletak persis di sebelah tangga. "Kamar Lastri berada di sebelah kamar ini, Neng," beritahu Pak Dirman. Beliau pun segera mempersilakan Sekar untuk melihat-lihat ke dalam.

Di dalam kamar, ia mendapati sebuah kasur dengan dipan kayu yang terletak persis di sudut ruangan. Sementara berhadapan dengan kasur, ada sebuah meja dengan televisi flat berukuran sedang dan lemari satu pintu.

Kamar mandi terletak persis di belakangnya, bersebelahan dengan tempat cuci piring dan memasak. Di sana juga sudah terdapat kompor bertungku tunggal beserta gasnya.

Meski kecil, kamar itu terlihat nyaman dan bersih. Sekar sangat menyukainya.

"Isinya lumayan lengkap, hanya tinggal keperluan pribadi saja. Untuk air minum, Neng bisa masak, tapi kebanyakan penghuni di sini lebih pilih beli di luar." Pak Dirman bersuara. "Untuk listriknya token ya, Neng, bisa beli sendiri di minimarket atau titip ke Bapak," sambung pria paruh baya itu.

Sekar mengangguk paham. Mereka lantas membicarakan soal harga sewa, sebelum akhirnya Sekar menyerahkan sejumlah uang pada Pak Dirman untuk sewa kos selama satu bulan kedepan.

"Saya terima ya, Neng," ujar Pak Dirman. "Kuitansinya ada di bawah. Nanti saya buatkan. Ini kuncinya ada tiga buah, dua untuk kamar dan satu untuk pagar. Takut-takut kalau pulang lembur." Pak Dirman menyerahkan kunci tersebut pada Sekar.

"Terima kasih ya, Pak," ucap Sekar.

"Sama-sama, Neng. Mudah-mudahan kerasan tinggal di sini," kata Pak Dirman seraya pamit undur diri.

Selepas Pak Dirman pergi, Sekar lantas mengunci pintu kamar dan berbaring di atas kasur. "Ahh! Akhirnya bisa tidur juga!" pekiknya tertahan.

Gadis itu menatap jam kecil yang berada di atas meja televisi. "Masih siang, istirahat dulu sebentar, baru aku akan mandi dan mencari makan." Katanya sembari memejamkan mata.

"Eh–" Sekar kontan membuka matanya kembali, saat mengingat barang pemberian Dino yang belum dibuka. Segera saja gadis itu membongkar kopernya dan mencari benda tersebut.

"Ini, apa, sih?" gumamnya sembari membolak-balikan benda yang lebih mirip paket itu, sebab dilapisi beberapa plastik hitam dan dilakban kuat.

Sekar mengambil gunting kecil yang ia bawa dan membukanya perlahan-lahan.

Dan, betapa terkejutnya gadis itu ketika mendapati sebuah ponsel model lama yang tersimpan rapi di dalam kotak dus susu.

Secarik kertas mencuat bersamaan dengan ponsel tersebut.

Jangan nolak! Ponsel ini kuberikan supaya memudahkanmu berkomunikasi dengan Mbah dan Bude. Ponsel ini memang bukan ponsel baru, tapi masih layak pakai. Aku harap kamu bisa pakai dengan baik.

Ingat, jangan sampai hilang atau rusak!

Berhati-hatilah di sana. Langsung telepon aku kalau ada apa-apa.

Mata Sekar seketika berkaca-kaca. Sejak dulu, Dino memang selalu ada untuknya. Pria itu juga telah lama menaruh perasaan, dan beberapa kali mengajak Sekar menjalin hubungan serius,

Namun, Sekar selalu menolak. Ia hanya menganggap Dino sebagai kakak laki-lakinya saja.

Maklum, Dino adalah anak dari keluarga terpandang di Desa mereka, yang membuat ia merasa tak pantas untuk Dino. Terlebih lagi, keluarga Dino juga tidak setuju dengan Sekar.

"Terima kasih ya, Mas," batin Sekar pilu. Lagi-lagi ia harus bergantung pada Dino.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!