NovelToon NovelToon

Perjalanan Hidup Jinan

Bab. 1

Namanya Jinan, semenjak kepergian kedua orang tuanya di usia Jinan yang baru menginjak empat belas tahun, Jinan terpaksa harus hidup sendiri karena tidak ada satupun saudara dari orang tuanya yang berniat untuk menampungnya. Beberapa tetangga ada yang berniat untuk menampung Jinan di malam hari, namun gadis yang baru beranjak remaja itu tidak pernah mau tinggal bersama orang yang tidak ada hubungan kekerabatan dengannya meskipun hanya untuk sekedar tidur di malam hari.

Beruntung bagi Jinan, karena sedari kecil ia selalu diajarkan kemandirian oleh kedua orang tuanya. Meski berat untuk Jinan menjalani semua ini di usianya yang masih sangat muda, namun Jinan selalu semangat di setiap hari-harinya. Ia harus mengejar mimpinya untuk menjadi orang sukses, dan membuktikan pada saudaranya bahwa ia bisa berdiri tanpa bantuan mereka.

Demi mencukupi kebutuhan hidup untuk kedepannya, Jinan rela menjadi buruh cuci dan gosok dari rumah ke rumah sepulang ia sekolah. Terkadang ia ikut bantu-bantu di warung makan yang ada di pasar tradisional untuk biaya ia masuk SMA nanti. Ia tidak sampai hati jika harus menjual semua aset orang tuanya yang hanya berupa sebuah rumah dan beberapa perhiasan mas kawin orang tuanya hanya untuk ia bersekolah.

Di bulan kedua kehidupan Jihan yang pontang-panting demi mencari sesuap nasi, saat itu juga Jinan mulai putus asa akan hidupnya. Air mata pun tak pernah lelah keluar dari mata indah wanita itu. Jika boleh memilih, Jinan ingin sekali ikut dengan orang tuanya yang telah pergi meninggalkannya sendirian dengan segudang beban yang tak seharusnya ia pikul sendirian di saat seperti ini.

Namun kedatangan seorang wanita paruh baya yang dikenal Jinan sebagai sahabat baik kedua orang tuanya, akhirnya membuat Jinan bisa tersenyum kembali. Wanita yang kerap di sapa Jinan sebagai tante Linda itu dengan baik hatinya berniat untuk membiayai pendidikan Jinan hingga wanita itu tamat sekolah menengah atas. Jinan senang bukan main dengan tawaran tante Linda yang tanpa syarat itu. Bukankah jika dengan begitu Jinan tidak perlu bekerja ekstra lagi untuk membiayai sekolahnya? Jinan yang tidak pernah su'udzon kepada orang lain pun akhirnya dengan senang hati menerima semua kebaikan tante Linda.

Hingga setelah satu tahun Jinan tamat SMA, tante Linda tiba-tiba meminta Jinan untuk menikah dengan anak semata wayangnya yang bernama Romi Saputra.

Jinan terkejut bukan main dengan permintaan tante Linda. Ternyata kebaikan tante Linda padanya selama ini tidaklah setulus yang Jinan bayangkan. Jinan yang tidak mempunyai pilihan lain pun akhirnya mengiyakan permintaan tante Linda. 

Romi yang usianya terpaut lima tahun di atas Jinan ternyata tidak menolak permintaan mamanya. Jinan tidak tahu kenapa pria itu tidak menolak permintaan mamanya itu, ia juga tidak pernah berfikir apakah pria itu mencintainya atau tidak, Jinan hanya berharap bahwa pernikahan ini akan membawa berkah untuknya kedepan nanti. Apalagi Romi yang selama ini selalu baik padanya saat tante Linda mengajak pria itu mengunjunginya di rumah, membuat Jinan sedikit lebih tenang dengan perjodohan ini.

Satu minggu pertama Jinan dan Romi masih terlihat canggung dengan status baru mereka. Seiring berjalannya waktu, Romi terlihat lebih baik dengan segala sikapnya kepada Jinan, dan Jinan pun mulai merasa nyaman dengan sikap baik yang Romi berikan padanya.

Di minggu kedua, Jinan dengan ikhlas akhirnya memberikan kesuciannya untuk suaminya itu. Meski rasa cinta belum ada di antara mereka berdua, tapi Jinan yakin jika rasa itu akan tumbuh seiring berjalannya waktu selagi mereka terus bersama.

Semenjak Jinan memberikan kesuciannya pada Romi, setiap hari perlakuan pria itu pada Jinan terlihat jauh lebih baik dari sebelumnya. Mereka menjalani hari-harinya dengan sangat baik selayaknya pasangan suami istri pada umumnya. Jinan sangat senang dengan sikap Romi yang begitu baik kepadanya, begitu juga kedua mertuanya.

Malam itu, saat kedua mertua Jinan sedang melakukan perjalanan bisnis ke luar kota, Jinan meminta Romi untuk menginap di rumah orang tuanya dulu. Rumah kecil pinggir kota yang sudah hampir satu bulan tidak dihuni. Jinan sangat merindukan rumah itu. Rumah yang menjadi kenang-kenangannya bersama kedua orang tuanya dan juga saksi perjalanan hidup Jinan selama kurang lebih empat tahun sebelum ia menikah.

Romi dengan senang hati mengabulkan permintaan istrinya itu. Mereka pergi ke rumah orang tua Jinan di pagi hari, bersamaan dengan keberangkatan Romi menuju kantor.

"Kamu hati-hati di rumah. Aku ke kantor dulu ya," pamit Romi lalu meninggalkan Jinan di rumah kecil itu.

Seperti biasa, setiap jam makan siang kantor Romi akan menyempatkan dirinya untuk makan siang di rumah bersama istrinya. Jinan yang saat itu sedang berbelanja di warung dekat rumahnya tiba-tiba terkejut karena ternyata dompetnya tertinggal di rumah suaminya.

Dengan rasa malu yang teramat sangat, Jinan akhirnya memberanikan diri untuk mengutang di warung tersebut.

"Setelah suami saya pulang nanti siang, saya akan bayar kok, Bude," janji Jinan pada ibu pemilik warung sayur tersebut.

"Iya nggak papa kok, Jinan. Kamu santai saja, kayak baru kenal sehari aja sama saya."

Dengan raut wajah leganya, Jinan kembali ke rumah untuk menyiapkan makan siang untuk suaminya. Saat jam sudah menunjukkan pukul 12:30 Jinan belum juga mendapatkan suaminya pulang ke rumah. Ia akhirnya mencoba menghubungi Romi untuk menanyakan keberadaan pria itu.

"Maaf Jinan, hari ini aku akan makan di luar dengan klienku. Maaf ya aku lupa menghubungimu," ujar Romi saat Jinan menanyakan keberadaannya.

Jinan menghela nafasnya. Ia menatap semua hidangan di atas meja dengan wajah tak bersemangat.

"Sia-sia dong aku berhutang dengan bude Wati."

Jinan kembali menghela nafasnya, ia harus bisa memaklumi kesibukan suaminya itu. Bagaimanapun juga, Romi bekerja semata-mata untuk menafkahinya.

Jinan memutuskan untuk makan sendirian siang itu. Tak lupa sebagian makanan yang masih tersisa ia letakkan di dalam lemari dapur agar bisa di panaskan untuk makan malam nanti.

Setelah selesai dengan makan siangnya, Jinan memutuskan untuk sholat dzuhur terlebih dahulu sebelum pergi menuju rumah suaminya untuk mengambil dompetnya yang ketinggalan. Ia tidak mau menumpuk hutang lebih lama kepada orang lain, ia takut kelupaan nantinya. Meski hanya beberapa ribu, hutang tetaplah hutang, yang jika tidak dibayar maka akan ditagih hingga di akhirat nanti.

Jinan pergi ke rumah suaminya dengan menggunakan jasa ojek online. Setiba di tempat tujuan, Jinan meminta supir ojol tersebut untuk menunggu karena ia tidak memiliki uang sepeserpun di dalam tasnya untuk membayar.

Jinan mengernyitkan keningnya saat melihat mobil suaminya ada di halaman rumah. Bukankah Romi bilang akan makan siang dengan kliennya? Apakah sudah selesai atau Romi sengaja meninggalkan mobilnya di rumah? Tapi kenapa? Itu mustahil sekali. Dan bukankah kunci rumah ada padanya saat ini?

Pintu rumah yang tidak terkunci membuat Jinan langsung saja memasuki rumah. Ia tidak melihat siapapun di dalam sana. Mungkin Romi sedang istirahat di dalam kamar atau sedang ada di dapur, pikirnya.

Saat Jinan menginjakkan kakinya di lantai dua rumah itu, kuping jinan menangkap suara seorang wanita dan suara seorang pria yang sedang berbincang di dalam kamarnya dengan nada suara yang terdengar parau dan menjijikan. Jinan yakin seratus persen jika suara pria itu adalah suara suaminya, Romi. Tapi siapa wanita yang bersamanya itu?

Jinan menelan ludahnya. Tubuhnya sudah bergetar hebat saat telinganya mendengar jelas percakapan kedua manusia itu.

"Sayang, kapan kita menikah? Aku tidak bisa bersembunyi seperti ini terus."

"Bersabarlah. Kita akan menikah setelah aku menceraikan Jinan, Sayang."

"Apa kau yakin akan menceraikannya? Aku tidak tega melihat wanita itu, Rom," ujar wanita tersebut.

"Kamu tenang saja, dia akan baik-baik saja."

"Tapi kamu sudah merampas kesuciannya Rom."

"Sayang, dia yang menyerahkannya padaku. Lagian 'kan aku suaminya, wajar saja jika aku mengambil kesuciannya."

"Apa kau mulai mencintainya setelah melakukan itu bersamanya?"

"Sayang, dia itu hanyalah mainanku saat kau tidak ada disisiku. Kau tahu? Aku bahkan selalu membayangkanmu saat melakukan hal menyenangkan itu bersamanya."

"Kau gila, Rom."

"Sudahlah, jangan membahas dia lagi. Kita nikmati saja waktu berdua kita siang ini, sebentar lagi waktu makan siangku akan berakhir. Jarang-jarang 'kan kita bisa berduaan lagi seperti ini setelah sekian lama."

Percakapan kedua manusia itu sungguh membuat kaki Jinan lemas. Rasanya ia tidak sangguh lagi untuk melangkah.

"Jadi selama ini aku hanya menjadi mainannya saja di atas ranjang?"

******

Like, Coment, dan Vote 💕

Bab. 2

Jinan meneteskan air matanya. Telinga Jinan kini terasa sakit saat suara-suara aneh mulai terdengar dari dalam kamar yang biasa ia tempati bersama Romi. Karena tak ada pilihan lain, akhirnya Jinan memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar itu.

Sedetik kemudian, suara-suara aneh tersebut lenyap seketika. Jinan kembali mengetuk pintu kamarnya, ia tidak berani membuka pintu itu begitu saja. Ia tidak sanggup jika apa yang ia bayangkan, terlihat oleh mata kepalanya sendiri.

"Siapa?" teriak Romi dari dalam sana saat Jinan kembali mengetuk pintu.

"Mas," seru Jinan gugup.

Tak ada sahutan dari dalam sana. Jinan diam sejenak sebelum kembali berucap.

"Mas, aku sudah tahu semuanya. Maaf, aku tidak sengaja mendengar pembicaraanmu," seru Jinan disertai isakan kecil yang tak dapat ia tahan.

Masih tak ada sahutan dari dalam sana. Jinan bahkan bingun harus apa sekarang. Ia ingin pergi dari sana, tapi ingatannya akan driver ojol yang masih menunggu di depan sana dan hutang sayuran pada bude Wati -pemilik warung sayur- membuatnya mau tak mau harus tetap berada di sana dan mengetuk pintu kembali sampai Romi datang membuka pintu.

"Mas, aku minta tolong. Tolong ambilkan dompetku yang ada di laci nakas. Aku mohon, setelah ini aku akan pergi."

Jinan berdiam di depan pintu, masih menunggu suaminya itu keluar. Beberapa menit kemudiam, handle pintu itupun bergerak. Terlihat Romi yang keluar kamar dengan hanya mengenakan boxer hitam serta bertelanjang dada.

Jinan menundukkan kepalanya saat melihat sosok suaminya yang keluar kamar dengan setengah tel4njang. Ia tidak berani melihat ke arah suaminya ataupun ke arah celah pintu kamar karena ia tidak ingin melihat sesuatu yang akan membuatnya mual lebih dari apa yang ia dengar beberapa menit lalu.

"Jinan," panggil Romi.

"Dompetnya?" pinta Jinan dengan menadahkan telapak tangannya di depan dada Romi tanpa menatap wajah pria tersebut.

Romo memberikan dompet Jinan pada empunya. "Jinan, maafkan aku."

"Maaf Mas, aku buru-buru. Assalamu'alaikum," pamit Jinan tanpa menatap wajah Romi sedikitpun.

"Wa'alaikumsalam," sahut Romi pelan sembari menatap Jinan hingga wanita itu menghilang dibalik anak tangga.

Jinan mengusap air matanya yang membasahi pipi, hatinya sangat sakit saat mendengar semua itu dari telinganya sendiri. Baru saja ingin memulai untuk mencintai, tapi rasa sakitnya karena dikhianati sudah teramat perih seperti ini, bagaimana jika ia sudah benar-benar mencintai pria itu? Ia tidak bisa membayangkannya. Beruntungnya ia yang belum sepenuhnya jatuh ke dalam cinta Romi yang salah ini.

Jinan kembali menghapus air matanya yang membasahi pipi. Ia tidak ingin menangisi sesuatu yang jelas tak pantas untuk ia tangisi.

"Tolong antar saya ke lokasi penjemputan tadi, Pak. Saya akan bayar dua kali lipat," ucap Jinan setelah berada di depan driver ojol tersebut.

Sepanjang perjalanan Jinan terlihat melamun, ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan atas hidupnya kedepan nanti. Berpisakah? Secepat ini? Baru saja ingin merasa bahagia, tapi takdir seolah tak mendukung Jinan untuk bahagia sekarang. Apakah ia tak pantas merasakan kebahagiaan?

Jinan memijit pelipisnya, pikiran-pikiran buruk kini mulai melayang indah di kepala Jinan, namun sedetik kemudian ia beristighfar atas semua pikiran buruknya itu.

"Astaghfirullah," gumamnya pelan nyaris tak bersuara.

Jinan kembali menjatuhkan air matanya. Jinan menangis bukan karena perbuatan kotor Romi, ia menangis melainkan karena menyesal karena sempat berpikir untuk menyalahkan Allah atas kejadian buruk yang menimpanya.

Setiba di depan rumah peninggalan orang tuanya, Jinan tak langsung masuk ke dalam rumah, ia mampir ke rumah Wati -pemilik warung sayur- untuk membayar belanjaan yang belum dibayarnya.

"Makasih ya, Jinan."

Jinan menganggukkan kepalanya. "Jinan pulang dulu ya, Bude. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Jinan terlihat tak bersemangat berjalan menuju rumahnya. Ia menghela nafas saat teringat kembali pada perkataan Romi tentang dirinya yang hanya sebagai mainan bagi pria itu.

Setiba di rumah, Jinan mengunci pintu dari dalam, lalu ia merebahkan tubuhnya di atas kasur sembari memejamkan matanya.

"Lagi-lagi aku salah menilai," gumam Jinan dengan tertawa getir.

Cukup lama Jinan meratapi kesialannya, hingga sampai wanita berhijab hijau lumut itu mulai terlelap karena tak sanggup lagi menahan lelah.

...

Ketukan pintu dan suara teriakan seseorang dari luar rumah membangunkan Jinan dari tidur nyenyaknya. Wanita itu menggeliatkan tubuhnya, ia menyipitkan matanya saat suara seorang pria yang ia kenal terus memanggil namanya dari arah luar rumahnya.

"Hooaam."

Jinan membenarkan hijabnya yang berantakan karena tak sengaja dipakainya tidur tadi. Jinan berjalan menuju pintu masuk, saat pintu terbuka, terlihat sosok Romi yang berdiri di depan sana dengan tangan yang menggenggam tas kerjanya.

Jinan berdehem sejenak, lalu ia membuka pintu lebih lebar untuk mempersilahkan suaminya itu masuk.

Setelah Romi masuk dan mendudukkan tubuhnya di kursi kayu ruang tamu, Jinan menutup pintu dan menguncinya. Jinan berjalan hendak masuk ke dalam kamar, namun saat ia baru sampai meja ruang tamu, langkahnya terhenti karena Romi memanggilnya.

"Jinan."

Jinan menatap jam dinding sejenak. "Aku sholat dulu, Mas," ujarnya lalu meninggalkan Romi sendirian di ruang tamu.

Romi diam saja sembari memperhatikan Jinan yang mulai memasuki kamarnya. Tak lama dari itu, Jinan terlihat keluar kamar dengan hijab yang sudah terlepas dari kepalanya. Jinan berjalan menuju dapur tanpa menghiraukan Romi yang masih duduk di ruang tamu dengan ponsel pintarnya.

Enam menit kemudian, Jinan berjalan ke arah Romi dengan segelas teh hangat di atas piring kecil sebagai tatakan gelas.

Jinan meletakkan gelas teh itu di atas meja dan hendak meninggalkan Romi tanpa mengucapkan sepatah katapun.

"Jinan," panggil romi dan berhasil menghentikan langkah kaki jinan yang baru berjalan beberapa langkah.

"Aku sholat dulu," ujar Jinan tanpa berbalik menatap Romi, kemudian ia melanjutkan kembali langkahnya.

Romi menghela nafasnya. Baru pertama kali selama ia mengenal Jinan, wanita itu bersikap cuek dan terkesan tak perduli seperti itu padanya. Padahal selama ini Jinan selalu bersikap ramah padanya meski ia tak pernah melihat wanita itu ceriah ataupun gembira. Dan sekarang, Jinan terlihat berubah setelah pertemuan mereka di rumahnya tadi siang.

"Maafkan aku, Jinan. Tak seharusnya aku mempermainkanmu seperti ini," gumam Romi pelan.

Romi menyeruput teh hangat buatan istrinya itu, lalu ia mengutak-atik kembali ponselnya sembari menunggu Jinan selesai sholat.

Setengah jam kemudian, Jinan terlihat keluar kamar dengan beberapa baju di tangannya.

"Jinan," panggil Romi dan berhasil menghentikan langkah Jinan yang hendak menuju dapur.

Jinan menoleh menatap Romi. "Aku mandi dulu, tubuhku sudah sangat lengket karena keringat. Kipas angin di dalam kamarku rusak."

Jinan kembali melangkahkan kakinya menuju dapur untuk mengambil handuk, lalu ia masuk ke dalam kamar mandi.

Setelah selesai mandi, saat Jinan membuka pintu kamar mandi, Jinan terkejut melihat Romi yang sudah berdiri di depan pintu kamar mandi.

"Kamu ngapain di sini, Mas?" tanya Jinan.

"Jinan, maafkan aku. Aku–"

"Mandilah dulu, tubuhmu sudah sangat bau," potong Jinan lalu berjalan meninggalkan Romi yang masih di depan pintu kamar mandi.

Romi hanya diam melihat istrinya yang benar-benar berubah itu. Ia menghela nafasnya lalu meraih handuk yang ada di dapur, kemudian masuk ke dalam kamar mandi.

Selama Romi membersihkam tubuhnya di dalam kamar mandi, Jinan terlihat sibuk dengan membersihkan kamar bekas orang tuanya dulu untuk ditempati Romi malam ini. Mulai sekarang Jinan tidak akan lagi mau tidur satu kamar dengan Romi. Ia tidak mau tidur dengan pria yang sudah seenak jidat berbuat zina dengan wanita yang bukan mahramnya dan tega mempermainkannya.

******

Like, Coment, dan Vote 💕

Bab. 3

Saat Romi keluar dari kamar mandi, Jinan masih terlihat menyapu kamar itu. Romi yang tak mendapati istrinya di dalam kamarnya pun lantas mencari ke ruang tamu, dapur, hingga halaman depan. Karena tak juga menemukan keberadaan Jinan, Romi terpaksa berteriak memanggil nama Jinan dari arah ruang tamu. Jinan yang mendengar teriakan suaminya itu pun langsung keluar kamar.

"Ada apa?" tanya Jinan di depan pintu kamar bekas orang tuanya.

Romi mengernyitkan keningnya saat melihat Jinan berdiri di depan kamar yang bersebelahan dengan kamar mereka sedang memegang sapu.

"Kamu ngapain di kamar itu?" tanya Romi.

"Aku mau membersihkan kamar untuk Mas Romi tempati."

"Loh, kamar kamu memangnya kenapa? Kok kita tidur di kamar itu?" tanya Romi heran. Padahal seingat dia, kamar Jinan tidak ada masalah apa pun saat ia mengganti baju di sana tadi.

"Maaf Mas, sepertinya kita tidak bisa tidur di satu kamar lagi."

Romi kembali mengerutkan keningnya. "Apa maksud kamu?"

"Seharusnya Mas lah yang lebih tahu maksudku."

"Jinan, Mas minta maaf. Mas sebenarnya–"

"Setelah aku selesai membersihkan kamar ini, baru kita bicara," ujar Jinan lalu kembali memasuki kamar untuk melanjutkan aktifitasnya yang sempat tertunda.

Romi yang baru saja hendak berdiri akhirnya mengurungkan niatnya untuk menghampiri istrinya itu. Entah apakah pria itu cukup sadar diri bahwa ia memang bersalah dalam hal ini, atau memang ia tak perduli. Semua itu hanya dirinyalah dan Tuhan yang tahu.

Sekitar lima belas menit menunggu, akhirnya Jinan selesai juga dengan pekerjaan rumahnya. Jinan mendudukkan tubuhnya di kursi kayu single samping Romi. Wanita itu menatap sembarang tanpa mrngucapkan sepatahpun pada Romi.

Dua menit terdiam, Romi akhirnya membuka percakapan.

"Jinan, maafkan Mas. Mas tidak bermaksud untuk ...."

Romi tidak melanjutkan perkataannya, pria itu terlihat seperti kesulitan dalam merangkai kata selanjutnya yang seharusnya ia ucapkan.

Jinan masih diam memperhatikan wajah suaminya itu.

"Jinan."

"Apa aku serendah itu di matamu, Mas?" tanya Jinan menyela Romi yang ingin bicara.

"Aku salah apa sama kamu, Mas? Apa aku merebut sesuatu darimu, sehingga kamu ingin membalas dendam padaku? Kenapa kamu tega mempermainkan pernikahan kita, Mas?"

"Jinan, Mas minta maaf. Mas tidak bermaksud mempermainkan pernikahan ini. "

"Jadi semua ini apa, Mas? Pernikahan kita bahkan baru satu bulan, dan kamu dengan tega menghancurkannya dalam waktu dekat. Kamu bahkan tega menjadikanku mainanmu di atas ranjang. Apa kamu mau menyamakanku seperti seorang pel4cur, Mas? Yang dengan mudahnya rela menjadi penghangat ranjangmu di saat orang yang kamu inginkan tidak ada di sisimu. Dan pernikahan ini hanyalah topeng." Sebutir air mata jatuh membasahi pipi tirus Jinan. "Apa aku serendah itu di matamu?" tanya Jinan lirih.

"Maafkan Mas, Jinan," ucap Romi sedikit menyesal.

"Bahkan kalian berani berbuat mesum di kamar yang biasa kita tempati, Mas."

"Jinan–"

"Sejak kapan, Mas?"

Romi diam sejenak memandang Jinan dengan pandangan bingung, ia bingung akan maksud dari pertanyaan Jinan. Sejak kapan apanya?

"Sejak kapan kamu berselingkuh dariku hingga sampai berani berbuat zina dibelakangku, Mas? Apakah baru siang tadi? Atau baru beberapa hari setelah kita menikah? Atau bahkan sebelum kita menikah?"

"Jinan." Romi menjeda ucapannya sejenak. "Mas ... Mas dan Aurel sudah menjalin hubungan sebelum kita dijodohkan oleh mama."

Jinan menatap Romi serius, menunggu pria itu untuk menjelaskan semuanya.

Romi menatap Jinan dalam, ia menghembuskan nafasnya panjang sebelum menceritakan semuanya pada wanita yang baru menjadi istrinya kurang lebih satu bulan ini.

"Mas dan Aurel adalah teman satu kampus. Kami menjalin hubungan sudah dua tahun. Mas sangat mencintai Aurel, Jinan. Mas tidak bisa hidup tanpanya. Tapi Mas juga tidak bisa menolak permintaan mama untuk menikahimu."

"Dua tahun? Kamu bilang dua tahun?"

"Maafkan Mas, Jinan."

"Kenapa kamu menerima perjodohan ini kalau kamu sudah memiliki kekasih, Mas? Seharusnya kamu bilang dari awal jika kamu sudah memiliki kekasih."

"Mas tidak bisa menolak permintaan mama, Jinan. Mama akan menghapus nama Mas dari daftar keluarga jika Mas menolak perjodohan ini. Mas sungguh minta maaf sama kamu, Mas tidak bermaksud mempermainkan kamu ataupun pernikahan ini."

"Terus, apa maksud kebaikan kamu selama satu bulan ini padaku, Mas? Kalau kamu tidak mencintaiku, lalu kenapa kamu berbuat baik padaku? Menjadi sosok suami terbaik di mataku. Kenapa, Mas? Kenapa?"

"Maafkan Mas, Jinan. Mas hanya berusaha untuk menerima kehadiranmu sebagai istri Mas dan Mas juga ingin berusaha menjadi suami yang baik dan adil."

"Tunggu," ucap Jinan.

Jinan mengernyitkan keningnya. "Apa maksud Mas dengan menerima kehadiranku sebagai istrimu dan menjadi suami yang baik dan adil? Adil apanya, Mas?"

"Jinan, Mas benar-benar tidak bisa jauh dari Aurel. Mas mencintainya, Jinan. Mas mohon, mengertilah. Aurel bahkan tidak masalah jika memang harus menjadi madumu. Dia ikhlas, Jinan."

Jinan tertawa sarkas. "Menjadi maduku? Mas mau poligami?" tanya Jinan sekaligus menebak.

"Jinan–"

"Maaf, Mas. Aku tidak bisa jika harus membagi cintaku pada wanita lain. Bahkan di saat rasa ini belum tumbuh sekalip–"

"Aurel sedang hamil anakku, Jinan," potong Romi dan berhasil membuat Jinan membelalakkan matanya.

Hening melanda. Jinan maupun Romi hanya saling tatap tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Tak terasa air mata Jinan kembali membasahi pipi tirusnya. Ia tidak tahu harus percaya atau tidak dengan perkataan terakhir Romi.

"Aurel hamil anak Mas, Jinan. Usia kandungannya sudah hampir memasuki dua puluh minggu."

Jinan menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Dua puluh minggu? Apa ia tidak salah dengar?

"Mas mohon pengertian dari kamu, Jinan. Mas sangat mencintai dia, Jinan. Tolong Mas, Jinan. Tolong jangan buat dia setres karena permasalahan hubungan kita. Mas tidak mau sampai terjadi apa pun dengan kandungannya. Tolong Mas, Jinan."

Jinan menggelengkan kepalanya tak percaya. Bagaimana bisa seorang pria yang ia anggap baik dan terkesan tak pernah berbuat ulah kini ternyata bisa membuat wanita yang bukan mahramnya hamil di luar nikah. "Kamu gila, Mas."

Romi beranjak dari duduknya, ia menopang lututnya di hadapan Jinan. Namun sebelum Romi memegang tangan Jinan, Jinan sudah lebih dulu berdiri dan bergeser agar Romi tak menyentuh tangannya. Entahla, sepertinya Jinan mulai merasa jijik pada pria di depannya itu setelah mengetahui semua perlakuan busuk suaminya itu.

"Sepertinya pernikahan ini memang bukan jalanku untuk menemukan kebahagiaan," batin Jinan.

"Jinan, Mas mohon."

Jinan kembali menggelengkan kepalanya. "Ceraikan aku."

Romi terbelalak mendengar ucapan singkat dari istrinya itu, ia menggelengkan kepalanya tak setuju. "Tidak boleh, aku tidak boleh bercerai dengan Jinan sekarang," batin Romi.

"Jinan, Mas mohon maafkan Mas, Jinan. Mas janji akan berlaku adil pada kalian berdua. Mas janji, Jinan. Please jangan bercerai, Jinan."

Romi memohon dengan mengatupkan kedua tangannya di dada. Pria itu bahkan rela bersujud di kaki istrinya meski Jinan terus menjauh.

"Kenapa, Mas? Bukankah kamu sendiri yang ingin menceraikanku agar segera bisa menikahi perempuan itu? Sekarang aku sudah mengabulkan keinginanmu, dan kamu bisa menikahi wanita itu."

"Tidak Jinan, kamu pasti salah dengar. Mas tidak ada niatan untuk menceraikanmu. Percayalah," ucap Romi penuh kesungguhan.

"Ceraikan aku sekarang atau aku adukan semua perbuatan kejimu ini pada mamamu," ucap Jinan bagai serangan dadakan bagi Romi.

Romi mendongak menatap Jinan. Apa ia tidak salah dengar? Jinan ingin mengadukan perbuatannya pada mamanya? Tidak, ini bukan Jinan. Seberat apa pun permasalahan Jinan, wanita ini tidak akan pernah mengadukan apa pun pada siapapun. Ia mengenal Jinan sudah hampir enam tahun, dan Jinan bukan tipe orang yang suka mengadu. Tidak, Romi tidak percaya ini.

"Jinan, please. Mas tahu kamu hanya mengancam. Mas ... Mas janji akan berlaku adil pada kalian Jinan, Mas janji."

"Mengancam? Heh, baiklah, aku akan menelfon mamamu sekarang."

Jinan berlalu ke kamar untuk meraih ponselnya. Romi menatap tak percaya akan kepergian Jinan. Ia mengikuti Jinan ke kamarnya.  Baru saja akan masuk ke dalam kamar, wanita itu sudah lebih dulu keluar kamar dengan ponsel dalam genggamannya.

"Jinan please, jangan. Mas tahu Mas salah, Mas minta maaf, Jinan. Please maafin Mas. Mas akan lakukan apa pun untukmu, tapi please jangan adukan semua ini sama mama, Jinan."

Romi berlutut hingga bersujud di hadapan Jinan. Jinan tidak tahu apakah pria itu menyesali perbuatannya padanya atau hanya karena tidak ingin aibnya terbongkar saja. Tapi yang jelas Jinan sudah tak perduli lagi, yang ia inginkan sekarang hanyalah perceraian. Meski menyakitkan, tapi sepertinya itu lebih baik dari pada hidup dengan seorang pecundang yang tidak bisa menghargai suatu hubungan. Terlebih pada hubungan mereka yang baru berjalan satu bulan.

"Talak aku sekarang, Mas," desak Jinan.

Mata Romi kesana kemari, sepertinya pria itu sedang berpikir sebelum memutuskan ke mana ia akan melangkah. Jangan sampai ia salah mengambil keputusan dan membuat hidupnya sendiri hancur.

"Tapi bagaimana dengan mama jika Mas menceraikanmu, Jinan? Mas tidak mau jika mama sampai tau semua ini."

Jinan menarik salah satu sudut bibitnya. "Kamu pengecut, Mas."

Jinan menghembuskan nafasnya berat. "Baiklah, aku akan yang akan menjelaskan pada mamamu tentang perceraian ini."

Romi mengernyitkan alisnya. "Apa kamu akan mengadukan perbuatanku ini, Jinan?" tanya Romi was-was.

"Seharusnya aku memang harus mengadukan semua ini pada kedua orang tuamu, Mas. Tapi sayang sekali, aku cukup penakut untuk mengecewakan orang yang sudah berjasa dalam hidupku selama beberapa tahun belakang ini." Jinan menjeda ucapannya sejenak. "Meski pada akhirnya aku sendirilah yang salah dalam menilai semua kebaikan kalian selama ini padaku," lanjutnya.

Romi tersenyum tipis mendengan ucapan Jinan. Ia sedikit lega jika memang Jinan tidak akan mengadukan perbuatannya pada kedua orang tuanya. Tapi bagaimana dengan rencana awalnya? Seharusnya ia menceraikan Jinan setelah enam bulan pernikahan, bukan di umur pernikahan mereka yang baru satu bulan.

Dengan berat hati Romi akhirnya mentalak Jinan saat itu juga. Dari pada mamanya tahu semua perlakuannya selama ini, bisa-bisa ia tidak akan mendapatkan sepeserpun harta orang tuanya. Dan lebih lagi, hubungannya dengan Aurel akan semakin sulit untuk mendapatkan restu dari orang tuanya.

******

Like, Coment, dan Vote 💕

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!