NovelToon NovelToon

KEMALA

Galuh dan Kemala

Pranggg

Serpihan piring berserakan di lantai keramik model kuno, lauk serta nasi bertebaran diantara pecahan piring. Gadis berambut ikal kecoklatan itu nampak ketakutan, dia menutup kedua mata dan telinganya.

"Makan itu, itu yang pantas untukmu. Dasar pembawa sial, bisanya cuman nyusahin," ujar seorang wanita paruh baya, dengan berkacak pinggang.

"Bersihkan semua sebelum Pakde mu pulang, atau kau tau akibatnya." wanita itu melangkah pergi, meninggalkan gadis berperawakan kecil itu.

Kemala. Usianya baru 17 tahun. Namun, dia sudah menyandang status janda, suaminya seorang juragan kaya yang ingin menjadikan Kemala istri ke empatnya. Tak ada pilihan lain Kemala menerima pinangan pak Broto, karena Budhe Siti yang terus mendesaknya.

Kemala seorang yatim piatu. Ibunya meninggal saat melahirkannya, dan ayahnya mengalami kecelakaan tak lama setelah ibu Kemala meninggal. Kemala di rawat Pakde atau Kakak laki-laki dari Ayahnya. Namun, apa mau di kata, istri Pakde Afan menganggap Kemala hanya benalu dalam rumah mereka.

Menikahlah dan kurangi beban Pakde mu, kamu hanya benalu. Pembawa sial, lebih cepat kamu keluar dari rumah ini lebih baik.

Kata kata itu selalu terngiang di telinga Kemala. Namun, nasib berkata lain saat Kemala menerima pinangan pak Broto, di malam pertama mereka pak Broto meninggal karena serangan jantung. Keluarga besar pak Broto dan istri istrinya menyalahkan Kemala atas meninggalnya pak Broto.

Dengan derai air mata, Kemala memungut tiap butir nasi dan lauk yang masih bisa dimakan. Karena hanya itu jatah makannya hari ini, dengan susah payah Kemala mengunyah dan menelan makanan yang seperti bara api.

"Bu, Pak Kemala mau ikut kalian," lirih Kemala dalam isaknya.

Sudah terlalu lama rasanya Kemala hidup dalam siksaan kelam Budhe rasa ibu tiri. Tidak semua ibu tiri kejam namun Budhe Kemala versi ibu tiri Cinderella. Sejak kecil Kemala makan hanya dari sisa kakak sepupunya, tak urung badan Kemala tak bisa tumbuh keatas, semua perkejaan rumah Kemala yang mengerjakannya. Budhe dan Dewi hanya baik saat Pakde ada di rumah.

Kemala membereskan pecahan piring yang berserakan, sebelum Pakde Afan pulang dari ladang. Setelah selesai Kemala bergegas mengambil sapu untuk memberikan rumah.

"Sapu yang bersih, biar suamimu nggak mati lagi," ejek Dewi, kakak sepupu Kemala Dengan sengaja Dewi menghentakkan sepatunya yang kotor di lantai yang telah di bersihkan Kemala. Kemala hanya bisa mengelus dadanya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, sudah pulang Pakde." Kemala berjalan menyambut pria paruh baya itu, menyalami tangan Afan dan mencium punggung tangannya dengan takzim.

Afan hanya mengangguk, wajahnya penuh dengan peluh. Afan hanyalah petani biasa dia menggarap ladang dan sawah warisan keluarga.

Kemala segera pergi ke dapur, untuk mengambilkan segera air putih.

"Ini Pakde." Kemala menyodorkan segelas air putih untuk Afan yang sedang duduk di balai teras rumah.

"Kamu sudah makan Nduk."

"Sudah Pakde," jawab Kemala dengan senyum manisnya. Afan meneguk habis air yang terasa segar di tenggorokannya.

"Nduk, apa kamu ingin sekolah lagi," untuk kesekian kalinya Afan bertanya kepada keponakan satu satunya.

"Ndak Pakde, Kemala nggak pingin," bohong besar, sekali lagi Kemala mengucapkan kebohongan. Kemala selalu iri melihat Dewi dan anak anak lainnya memakai seragam, berjalan ke sekolah bersama-sama setiap pagi, berkumpul dengan teman sebayanya. Tapi Kemala tidak ingin membebani Afan, dia sadar dia hanya beban di rumah ini.

"Jangan khawatir soal biaya Nduk, hasil kebun Pakde insyaallah cukup."

"Mboten Pakde, Kemala bisa baca tulis sudah bersyukur," ujar Kemala dengan senyum tipis di bibirnya.

"Ya wes Nduk, Pakde ga mekso." Afan merebahkan tubuhnya di kursi panjang sambil menikmati semilir angin. Kemala kembali ke dalam untuk meletakkan gelas kosong bekas Afan minum.

Maaf Pakde Kemala hanya jadi beban Pakde, lirih Kemala.

******

Seorang pria dengan muka kusut, menghempaskan tubuhnya di sofa, menarik dasinya agar lebih longgar.

"Huuuf... " dia menghembuskan nafasnya kasar.

"Capek," ujar seorang wanita paruh baya, sambil membawakan segelas teh lemon hangat.

"Iya Ma." Pria itu meraih dan menyesap minuman yang merilekskan tubuhnya.

"Makanya cepet cari istri," celetuk Shinta, Pada anak keduanya.

"Ma, jangan mulai deh, Galuh capek," ujar pria berusia 27 tahun itu.

Tubuhnya yang atletis, dengan paras yang tampan dengan bulu harus di sekitar rahang tegasnya, tinggi tegap, berkulit putih, perkejaan yang mapan, berpendidikan tinggi, kurang apalagi coba. Namun, semua itu tak bisa membuat wanita terkesan padanya. Karena sifatnya yang tertutup dan cenderung cuek pada orang lain. Banyak sudah calon yang di tawarkan oleh Shinta namun semua di tolak mentah-mentah.

"Kamu pikir Mama nggak capek nunggu kamu pulang tiap malem, Mama kan pingin cepet punya cucu."

"Kan udah ada Cici."

"Beda, Galuh, Mama harus ke Jepang dulu kalau liat Cici, Kalau kamu punya anak kan enak tiap hari Mama bisa main sama anak kamu," ujar Mama Shinta dengan penuh semangat.

"Mama, nikah aja belum ngomongin cucu terus."

"Makanya cepat nikah!"

"Ma, nggak segampang itu." Galuh mengusap wajahnya kasar.

"Gampang, anak cewek temen temen Mama pada ngantri jadi istri kamu, kamu aja yang pemilih."

"Enggak, Galuh nggakal mau di jodohin lagi, Galuh punya pilihan sendiri!" tegas Galuh.

"Mana, kenalin donk sama Mama."

"Nanti."

"Nanti nanti, paling kamu bohongin Mama, Mama ga mau tau, dalam tiga bulan kamu ga bawa dia kemari, Mama bakalan jodohin kamu sama Tantri anaknya Tante Gina," Ancam Mama Shinta.

"iya iya Ma," ujar Galuh sambil bangkit dari duduknya, lalu melangkah ke arah kamarnya.

"Galuh, tunggu."

Langkah Galuh terhenti, lalu menoleh kearah Mamanya.

"Pacar kamu cewek kan?" tanya Mama Shinta,sambil menatap Galuh penuh selidik.

"Cewek Ma cewek, terong Galuh masih normal, bukan terong kukusan!" Galung menekuk mukanya masam, bisa bisanya Mamanya bertanya seperti itu, ga nikah nikah bukan berarti Galuh putar haluan.

Buukkk

Galuh menjatuhkan tubuhnya di atas kasur super empuk miliknya. tangannya terbuka lebar, mata Coklat miliknya menerawang menatap langit langit kamarnya.

"Agghh.. sial. Mana bisa aku bawa cewek, cewek siapa coba, apa aku bawa cewek jadi jadian ya." Galuh memejamkan matanya, tak lama dengkuran halus terdengar dari pria itu.

Dion

Kemala tergopoh-gopoh berjalan sambil membawa rantang dan teko aluminium, tubuhnya yang tak tumbuh ke atas, nampak keberatan membawa beban di kedua tangannya. Hari ini ladang pakde panen. Kemala di mengirimkan makanan dan minuman untuk Pakde Afan.

"Kemala.. Mala!"

Merasa mendengar seseorang yang memanggilnya, Kemala mengehentikan langkah kakinya, lalu menoleh ke belakang. Benar saja seorang pria memakai celana jeans dan kaos berwarna putih dengan sepatu merek tanda centang, penampilan yang terlalu mewah untuk di pakai di desa tempat Kemala tinggal. Pria itu sedang berlari ke arahnya, tak butuh waktu lama untuk laki laki berperawakan tinggi itu menyusul langkah Kemala. Kemala menyipitkan matanya, mencoba mengenali wajah yang mulai mendekat.

"Kemala," panggil pria itu lagi setelah jaraknya sudah tinggal selangkah dengan Kemala.

"Mas Dion." mata kemala terbelalak saat melihat wajah pria itu dari dekat.

Kemala maju selangkah mendekat dengan wajah sumringah. Namun, sedetik kemudian Kemala mundur dua langkah lebar sambil menundukkan wajahnya.

"Kemala kau kenapa?" Dion melangkah mendekat, Kemala beringsut mundur.

"Ga pa pa, Mas." Kemala kembali melanjutkan langkahnya, meninggalkan Dion.

Dalam hati Kemala sangat senang, bisa bertemu dengan Dion. Seseorang yang menganggapnya sebagai manusia normal bukan wanita pembawa sial. Akan tetapi apalah daya, status Kemala yang sekarang seorang janda, membuat Kemala memilih menjauh dari Dion. Ia tidak ingin nama baik Dion tercemar oleh manusia seperti dirinya.

"Kemala tunggu." Dion menahan pundak Kemala, Kemala terjingkat kaget. Ini adalah pertama kali dia di sentuh seorang pria.

"Aku sudah tahu semuanya, maafkan aku yang tak bisa pulang, saat pak Broto memaksa menikahi mu," ucapan Dion terdengar sendu.

"Tidak Mas, Kemala tidak apa apa, semua juga sudah berlalu."

"Tolong mas Dion lepaskan pundak Kemala, ga enak di lihat orang," imbuh Kemala.

"Jelas kau tidak baik baik saja Mala, aku juga.Aku tidak baik baik saja saat aku dengar kau menikah dengan Broto," ujar Dion dengan nada tinggi.

Seakan tuli, Kemala melangkah begitu saja. Hatinya terasa berbunga bunga mendengar ada orang lain yang perduli padanya. Akan tetapi dia tidak ingin Dion tercemar, cukup dia saja yang di cemooh orang.

"KEMALA Berhenti!" teriak Dion.

"KEMALA aku mencintaimu, kau dengar itu!" teriak Dion lagi dengan lantang, langkah Kemala terhenti. Kakinya terasa lemas tak bertulang.

Inilah yang paling Kemala takutkan, ungkapan cinta dari Dion, yang juga di cintainya. Bagaimana Kemala akan mengubur rasa cintanya, kalau Dion malah dengan lantang mengungkapkan perasaannya. Tubuh Kemala gemetar, perlahan Kemala duduk di atas jalan setapak, meletakkan kedua benda berat yang di jinjingnya. Kemala menutup wajahnya dengan kedua tangannya, tangis Kemala pecah namun lirih saja, karena Kemala berusaha menahan suaranya.

"Kemala," lirih Dion yang sudah berada di sisi Kemala.

"Mas Dion jahat... Mas Dion ga usah ngomong soal itu... sekarang Kemala harus gimana Mas?" ucapan Kemala terputus putus oleh tangisnya.

Dion tersenyum simpul. Dion tau bener Kemala merasakan hal yang sama dengannya. Mereka sudah dekat sedari kecil, dan rasa itu tumbuh saat mereka beranjak dewasa. Namun, status sosial mereka menjadi halangan. Kemala hanya bisa mencintai dalam diam, dan Dion dia menuruti kemauan ibunya untuk kuliah di kota. Namun, jarak dan waktu tak bisa menghapus rasa dalam hati, kini Dion kembali, dia tak perduli dengan status Kemala. Apalagi Dion sudah berkerja di sebuah perusahaan di kota, membuatnya lebih yakin untuk kembali pada Kemala.

"Cukup terima aku," ucap Dion.

"Tapi Mas." Kemala menengadahkan wajahnya yang berlinang air mata.

"Ssstt, sebentar lagi aku akan melamar mu," imbuh Dion lagi.

"Ga Mas, Mas ga bisa, Kemala ga seperti dulu lagi. Kemala seorang janda pembawa sial," kedua mata Kemala sudah menganak sungai dengan air matanya.

"Aku tidak perduli, kau tetap Kemala ku yang dulu, Kemala kecil yang manis, yang selalu bermanja dengan ku," ucap Dion, sambil mengelus lembut rambut ikal kecoklatan itu.

Rasa hangat di rasakan kemala dari sentuhan tangan orang terkasih. Tidak ada seorangpun yang memperlakukan Kemala seperti Dion, yang memanusiakan Kemala lebih tepatnya. Dion mengusap lembut pipi Kemala yang basah.

"Ayo kita ke ladang, sekalian aku mau ngomong sama Pakde Afan."

Kemala mengangguk kecil, dia menerima uluran tangan Dion untuk membantunya berdiri.

"Aku bantu bawa ya," ujar Dion mengambil teko yang berisi minuman dingin.

"Jangan Mas berat."

"Maka dari itu, makanya aku bantuin, kamu kan calon istriku."

Pipi Kemala bersemu merah mendengar ucapan Dion. Mereka pun berjalan menuju ladang pakde Afan. Kemala masih berjalan dengan menjaga jarak dua langkah dari Dion. Dion hanya tersenyum dan membiarkan Kemala senyaman dirinya saja, toh sebentar lagi mereka tak akan terpisahkan.

Kesungguhan Dion

Dengan senyuman yang merekah Dion kembali ke rumahnya, rumah yang cukup besar diantara rumah lain disekitarnya, dengan bersiul riang, Dion membuka pagar besi setinggi pinggang orang dewasa.

"Pak anakmu kelihatannya seneng banget," ujar seorang wanita paruh baya kepada suaminya.

"Iya Bu," ucap suaminya yang memakai kaos dalam dan celana kolor, duduk santai di teras sambil menyesap kopinya.

"Assalamualaikum, Pak, Bu," Dion mencium takzim tangan kedua orangtuanya secara bergantian.

"Kamu kenapa, kok kelihatan seneng banget," ucap Ibu Dion, Dion malah cengar-cengir sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Kamu itu di tanya kok malah cengengesan ga jelas" ujar si Bapak.

"Dion pingin nikah, Pak, Bu,"

"Apa, Nikah," ucap sang Ibu kaget, sementara sang Bapak hampir menyemburkan kopinya.

"Kamu itu, baru pulang kok bilang mau nikah, nikah sama siapa?,"

"Sama Kemala, Bu," jawab Dion singkat

"Apa,! Kemala, janda sialan itu, kamu mau nikah sama dia, ga Ibu ga setuju, kamu boleh nikah sama siapa saja kecuali dia," mata wanita itu melotot, heran.

"Bu, Kemala bukan janda sial seperti yang Ibu bilang, lagi pula Ibu juga sudah kenal Kemala sejak kecil, kenapa Ibu ga setuju," ujar Dion kesal.

"Kemala wanita yang baik Bu," imbuh Dion.

"Nah ini, belum apa apa kamu sudah berani bantah Ibu, pokoknya Ibu ga setuju,"

"Bapak jangan diam saja, kasih tau anakmu ini,"

"Ayo bicarakan di dalam, ga enak di dengar tetangga," dengan perlahan bapak bangkit dari duduknya, dan berjalan masuk mendahului anak dan istrinya.

"Kalian berdua duduk," ujar si Bapak. sejenak mereka diam, wajah Dion tampak merah, berusaha menahan emosi, begitu juga ibunya.

"Pokoknya Ini ga setuju titik."

"Bu," Dion berusaha memelas.

"Kamu itu, harusnya sadar Dion, Bapak kamu Lurah, kok kamu mau nikah sama janda ga bener, mau taruh dimana muka Ibu,"

"Bu, yang Lurah itu Bapak, lagi pula Kemala wanita baik baik, apa salahnya dengan janda, dia janda karena di tinggal mati Bu, ga ada yang salah dengan itu," ujar Dion dengan serius.

"Bapak jangan diam saja, nasehati anakmu ini, Mash muda kok maunya sama janda itu lho," ketus ibu Lurah.

"Kamu yakin dengan keputusan mu?," ujar Pak lurah.

"Yakin Pak, sangat yakin, Dion mau secepatnya menikahi Kemala," jawab Dion dengan serius.

"Bapak ini apa apaan, kok malah dukung Dion, pokoknya ibu ga setuju Pak,"

"Bu, Dion sudah dewasa, sudah bisa mengambil keputusan untuk hidupnya sendiri," ujar Pak lurah santai.

"Tapi ibu ga setuju pa, Dion bisa dapat gadis mana saja di desa ini,"

"Kau Ibu ga setuju, Dion akan bawa Kemala kawin lari dan tak akan pernah menginjakkan kaki Dion kerumah ini lagi," Ucap Dion dengan serius.

"Dion, berani kamu," ujar bu lurah dengan wajahnya yang tak kalah merah.

"Sudah, Ibu, Dion," tegas Pak lurah.

"Dion, kapan kamu mau melamar Kemala?" ucap pak Lurah datar.

"Besok Pak, saya tadi sudah bicara dengan Pakde Kemala, acara sederhana saja, antara keluarga inti saja," ujar Dion dengan wajah berbinar, Dion begitu senang mendapat dukungan dari Bapaknya.

"Baik, besok kita kesana."

"Bapak apa apaan sih, malah dukung Dion," Ibu lurah menekuk wajahnya, benar benar Bapak dan anak sama saja ga bisa di kasih tau.

"Ibu kita bicarakan di dalam, Dion besok ba'da magrib kita kerumahnya Afan," ujar pak lurah sambil bangkit dari duduknya, dia berjalan ke arah kamar di ikuti sang istri dengan wajahnya yang masam.

Dion masuk ke dalam kamar, melompat lompat di atas kasur empuknya, bunga bermekaran di hatinya, dia jatuh kan dirinya terlentang di atas kasur, tangannya meraih guling di sampingnya, di peluk erat lalu di cium beberapa kali.

******

Senja telah berlalu, semua umat muslim telah menyelesaikan ibadah sholat magrib, Dion dan Bapak ibunya telah bersiap di depan rumah Kemala.

"Assalamualaikum," ucap Pak Lurah.

"Waalaikumsalam, mari masuk Pak, Bu," Afan dan Siti.

Bapak dan Ibu Dion, masuk dan memberikan seserahan kepada Pakde dan Budhe Kemala.

"Kemala sini Nak," Afan memanggil keponakan dengan lembut.

Kemala berjalan perlahan ke ruang tamu, memakai baju kebaya dengan rambutnya yang di gelung ke atas, polesan bedak serta lipstik warna merah, membuat Kemala terlihat semakin manis, Kemala dudu di samping Afan pipinya merah merona saat Dion menatapnya dengan ingin.

"Nak Dion, sudah lihatnya," Afan tergelak melihat Dion yang salah tingkah.

"Langsung saja Pak Afan, niat kami kesini mau melamar Kemala untuk anak kami Dion," ujar pak lurah, sementara Bu lurah hanya Diam.

"Kami tergantung Kemala saja, bagaimana Kemala kami terima lamaran ini," tanya Afan kepada keponakannya, dengan malu malu Kemala menganggukkan kepalanya, tak ada yang tahu jantung Kemala yang berdenyut tak karuan.

"Alhamdulillah," ujar Dion lantang sambil mengadahkan kedua tangannya.

"Hus, Dion bikin malu," ujar Pak lurah sambil menepuk pundak putranya, Dion menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, saking senangnya Dion tak sadar melakukan itu.

"Pernikahan akan kami adakan..

"Di laksanakan minggu depan Pakde," seloroh Dion memotong ucapan Bapaknya. Bu lurah melirik kesal pada anaknya, sementara pak lurah mengelengkan kepalanya.

"Wah, Nak Dion sudah ga sabaran ya," goda Afan.

"Iya Pakde, habis nikah saya akan langsung bawa Kemala ke kota, jadi lebih cepat lebih baik, karena waktu cuti saya juga tidak lama," ujar Dion menjelaskan.

"Baiklah, Minggu depan Akad nikah di adakan di rumah kami saja, acaranya sederhana saja ya , mengingat waktu persiapan yang singkat, Kemala tidak apa apa kan Nduk," ujar Pak lurah. Kemala mengelengkan kepalanya, sungguh irit bicara hanya bibirnya yang terus menarik ke atas, dan pipinya yang sudah seperti tomat.

"Alhamdulillah, kalau begitu karena semua jelas maka kamu undur diri dulu," ujar pak lurah.

"Baik pak," mereka berempat saling berjabat tangan, dua wanita paruh baya itu juga meskipun dengan enggan.

Afan dan istrinya berjalan mengantar kepulangan ,Bapak dan Ibu Dion, belum sampai mobil Dion kembali kepada Kemala, Dion meraih tangan Kemala.

"Tunggu aku ya Kemala," lirih Dion, lalu dia mengecup lembut tangan Kemala, Kemala terkejut pipinya kembali merona, seperti di sengat listrik, pertama' kali dia diperlakukan seperti itu, dengan pak Broto dulu pun tidak.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!