NovelToon NovelToon

Ketika Aku Jatuh Cinta

Rutinitas

Malam ini cuaca sangat cerah dipenuhi gemintang. Sarah yang baru saja selesai bekerja di sebuah kafe, masih berjalan seorang diri menuju tempat tinggalnya. Sebuah flat kecil yang hanya memiliki dua kamar, satu kamar mandi, juga satu ruangan lainnya yang ia jadikan ruangan serbaguna. Berfungsi sebagai dapur, ruang makan, ruang keluarga sekaligus sebagai ruang tamu.

Sarah berhenti di mini market yang berada tak jauh dari kafe tempat Ia bekerja. Menuju ke deretan makanan instan yang ada di sana, lalu setelah membanding-bandingkan harga ia terpaksa memilih makanan dengan harga paling rendah. Sisa uang di dompetnya menipis sementara tanggal gajian yang masih seminggu lagi. Belum lagi tagihan listrik dan Air yang Ia harus bayar tiap bulannya.

Huufffft

Sarah menarik nafasnya lalu mengeluarkannya dengan kasar. Ia duduk di kursi yang ada di depan mini market itu. Melihat taburan bintang yang tak pernah bosan memberikan cahayanya. Meski setiap pagi ia kembali tidak tampak dan menyembunyikan diri dari siang.

"Apakah itu kau, Nayla?" gumamnya pelan melihat sebuah bintang yang cahayanya tampak lebih terang dibanding yang lain. Matanya menerawang jauh menembus angkasa. Tatapannya nanar lalu sebelum kristal bening itu jatuh, Ia mengusapnya dengan jemari tangannya.

Sarah bergegas pulang ke rumahnya. Di sana Mamanya seorang diri. Seorang wanita paruh baya yang kini duduk di kursi roda karena stroke. Pada saat istirahat siang, Ia akan bergegas pulang untuk melihat keadaan Mamanya di rumah.

Sarah sangat ingin menyewa seorang perawat, untuk membantu menjaga Mamanya. Namun dengan gajinya yang bahkan nyaris tidak cukup untuk hidup mereka sehari-hari. Mustahil baginya untuk bisa membayar gaji seorang perawat. Sarah kembali menghembuskan nafas kasarnya, lalu berlari menuju rumahnya yang tak jauh dari posisinya.

Cklak

Suara daun pintu yang terbuka disusul Sarah yang masuk ke dalam. Kondisi ruangan itu masih gelap gulita, namun cahaya dari kamar sedikit menerangi dari celah pintu. Ia meraba saklar lampu di dinding lalu menghidupkannya.

Pemandangan pertama yang Ia lihat adalah sebuah meja osin yang ada di tengah ruangan berukuran 3,5 x 7,5 meter. Menyapu pandangannya ke kiri pintu, dua kamar tidur di mana Ia dan Mamanya tidur di kamar paling depan. Hanya ada satu kasur di sana, sementara barang yang lainnya ia letakkan di kamar sebelahnya.

Cklaaaaakk

Buka Sarah pintu kamar itu. Tampak Mamanya yang masih dalam keadaan berbaring. Mamanya tidak tidur, masih mengerjapkan matanya seraya menonton televisi kecil yang Ia pasang di dinding kamar sebagai penghibur Mamanya jika bosan.

"Assalamualaikum, Ma. Sarah sudah pulang." Mengalihkan perhatian sang Ibu yang sejak tadi terlihat menonton televisi.

Dengan susah payah, Mamanya tampak menjawab salamnya. Kondisi tubuhnya yang mati sebelah akibat stroke membuat ia sulit bicara. Pandangannya kini tertuju pada anak sulung kesayangannya itu. Di usia baru menginjak dua puluh tahun, putrinya itu sudah bekerja sekeras ini.

"Ma, kok nangis?" Sarah melihat di sudut netra perempuan paruh baya itu air mata yang mengalir. Setelah meletakkan tas di lantai lalu duduk di pinggir ranjang.

Mengusap air mata dari dua sudut netra Mamanya itu. "Jangan nangis dong Ma, Ara baru pulang udah lihat Mama nangis. Ara jadi sedih, hiks!" Isakan kecil keluar dari bibirnya.

"Ma-ma ka-sih-han li-hat kka-mu," ucap Mamanya terbata, sebab kondisi stroke membuat Ia susah berbicara.

"Ara sekarang cuma punya Mama. Nayla udah enggak ada. Mama semangat hidup Ara Ma. Mama jangan ngomong gitu lagi ya Mah!" pintanya lembut di akhir kalimatnya.

Mama mengangguk, lalu Sarah memeluk Mamanya. "Ara mandi dulu sebentar ya Mah, Ara bau keringet ya kan, hehehe!" Tergelak kecil mencoba mencairkan suasana di dalam kamar.

Mama tersenyum disusul Sarah yang beranjak ke kamar mandinya untuk membersihkan dirinya. Rutinitas hariannya yang padat membuat tubuhnya lengket karena keringat.

****

Kondisi cuaca pagi ini masih mendung, setelah kurang lebih dua jam sebelumnya hujan deras mengguyur jalanan ibukota. David melajukan mobil ke kantornya, menghindari ruas-ruas jalan yang tergenangi air akibat drainase yang tidak sanggup menampung debit air yang turun begitu lebat.

Tepat tiga puluh menit berkendara, David sampai di gedung perkantorannya. Ia melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Sudah enam bulan berlalu sejak Ia memutuskan keluar dari GM Corporation. Ia membangun perusahaan kecil yang bergerak di bidang IT. Perusahaannya hanya ada di dua lantai gedung ini, tepatnya lantai lima dan enam.

Ia membangun perusahaannya dari nol, dengan tabungannya selama bekerja dengan Barra di GM Corporation. DE Enterprise, sebuah nama yang Ia sematkan bagi perusahaannya.

David keluar dari lift, lalu di sambut para karyawannya yang berada di lantai enam. Mereka membungkukkan kepalanya seraya menyapa David. Ia membalas sapaan karyawannya dengan tersenyum dan anggukan kepala.

Tiba di ruangannya, Ia langsung mengambil posisi duduk di kursi kebesarannya. Meletakkan tasnya di atas meja, lalu merogoh ponsel yang berdering tiba-tiba.

"Halo Dav!" sapa suara seorang pria dari seberang sana.

"Halo. Barra, ada apa sepagi ini Kau menghubungiku?" tanyanya spontan.

"Dasar Kau ini! Begini, siang ini kita makan di Ers Caffe. Erlan baru kembali dari Singapura kemarin. Dia mengundang kita makan siang hari ini. Wilson dan Andien juga datang." Barra mengajak David.

"Siang ini ya?Hmmmm, bagaimana ya... ," belum siap David berbicara, orang di seberang telpon menyela.

"Jangan bilang Kau sibuk. Kami tidak menerima penolakanmu. Kosongkan waktumu siang ini, Brother!" ujar Barra tanpa rasa bersalah.

"Aku belum siap bicara. Iya, baiklah Aku akan datang. Tunggu saja!" ucapnya lalu panggilan pun terputus.

"Aku lupa menanyakan apa Papa dan Mama ikut?" gumamnya lirih seorang diri. "Bisa gawat kalau mereka ikut. Biasanya Mama akan memintaku menikah dan menikah. Aku sedang tidak ingin membicarakan itu sekarang," sambungnya lagi lalu menarik nafasnya kasar.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Segera Ia mempersilakan seseorang di luar ruangan untuk masuk.

Seorang wanita cantik yang merupakan sekretaris David masuk, membawa beberapa berkas di tangannya. "Pagi Pak David. Ini saya bawakan berkas-berkas yang perlu Bapak tanda tangani." meletakkan tumpukan berkas di atas meja.

"Lidia, apa ada kabar terbaru mengenai kerjasama dengan PT. Maju Bersama dari bagian marketing?" tanya David pada sekretarisnya itu.

"Sudah Pak, berkasnya ada di sini. PT.Maju Bersama setuju dengan desain web Serta aplikasi yang di presentasikan bagian marketing." Lidia menjelaskan rinci.

"Kerja bagus. Baiklah, terimakasih!" David langsung mengambil bolpoint di atas mejanya dan membuka berkas yang akan ditanda tanganinya.

"Kalau begitu, Saya permisi Pak!" Membungkukkan tubuhnya lalu Lidia pun beranjak ke luar ruangan.

.

.

To Be Continue

.

.

Hai hai, ketemu lagi ma Babang David nih. Ada yang kangen enggak??

Jangan lupa like dan komen ya ZHEYENKKKK❤️❤️❤️

Pandangan Pertama

Satu ketukan pintu membuyarkan fokus David pada berkas-berkas yang ada di tangannya.

"Masuk!" perintah David dari dalam.

Lidia masuk, membungkukkan tubuhnya. "Maaf Pak, sudah waktunya makan siang. Apa Bapak mau saya pesankan makanan?" tanya Sekretaris cantik itu, Lidia masih menatap wajah Sang Bos.

David melirik sesuatu yang melingkari pergelangannya. Ia segera ingat akan janjinya dengan Barra dan teman-temannya. Melirik sekilas kepada Lidia, lalu menggelengkan kepalanya.

"Tidak perlu! Aku ada janji makan siang bersama teman-temanku siang ini. Terimakasih Lidia."

"Kalau begitu Saya permisi dulu, Pak!" pamit Lidia lalu segera bergegas pergi dari hadapan Bosnya.

David segera membereskan berkas yang ada di mejanya, lalu beranjak pergi dari sana. Berjalan menuju lift. Setelah sampai di bawah, Ia langsung menuju tempat di mana mobilnya terparkir.

David melajukan mobilnya perlahan, melewati pintu keluar gedung perkantorannya. Setelah kendaraan roda empat itu berada di jalan raya, barulah David mempercepat laju kendaraannya.

Di perjalanan David menerima telfon dari Barra yang menanyakan keberadaannya. Segera setelah Ia mengembalikan panggilan itu, kembali Ia fokus pada jalan di depannya.

Beberapa saat berkendara, David mengubah rutenya dengan memasuki jalan kecil menghindari kemacetan. Ia memilih jalan alternatif yang tidak terlalu macet dan biasanya hanya dilewati motor. Tak lama kemudian, Ers Caffe mulai terlihat namun itu adalah bagian belakangnya. Tiba-tiba seorang wanita menyebrang dengan berlari, refleks Ia menekan klakson mobilnya hingga laju mobilnya terhenti secara mendadak.

Aaaaaaaarrgh

Suara teriakan seorang wanita yang hampir saja Ia tabrak. Wanita itu langsung terduduk ketika melihat mobil di depannya nyaris saja menabrak tubuhnya. Kakinya lemas seketika.

David keluar dari mobilnya lalu menghampiri wanita itu. Ia begitu frustrasi, hampir saja Ia menjadi terdakwa jika sampai menabrak orang.

"Anda ingin mati, Nona??" teriak David. "Jika Kau ingin mati, jangan membuat orang lain susah!! paham??" sambungnya lagi masih dengan ekspresi marah. Ia menarik rambutnya ke belakang.

"Ma-maaf!" ucap wanita itu lirih. Ia masih menunduk.

"Sss-saya mohon maaf." Suaranya bergetar seperti menahan tangis.

David melihat ke arah wanita itu, tubuhnya masih bergetar. Ia menarik nafas dalam, lalu menghampiri wanita yang masih terlihat shock itu.

"Saya mohon maaf, Nona. Saya tidak bermaksud membentak Anda. Saya juga sangat terkejut." David berjongkok di depan wanita yang masih menundukkan pandangannya. Perlahan wajah itu terangkat melihat David.

David tertegun sesaat, melihat wanita di hadapannya. Mata bulat yang kini sudah berair itu, hidung mancung, dan bibir mungil berwarna merah muda tanpa dipolesi pewarna. David tertegun sesaat, melihat seseorang di hadapannya kini. Ia tidak mengedipkan matanya hingga suara klakson sepeda motor yang lewat, membuyarkan kebisuannya.

Segera setelah tersadar, David langsung membantu wanita itu bangkit dari sana. Untuk sesaat, David merasa menjadi orang terbodoh di dunia. Ia tidak tau harus berkata dan melakukan apa.

"Tuan, maafkan Saya. Tadi Saya terburu-buru karena Saya ingin kembali ke tempat Saya bekerja. Maaf, maaf!" Menahan isakannya, suara wanita itu terdengar lirih namun masih bisa didengar jelas oleh David.

"Ya sudah. Aku juga salah karena mengemudi dengan kecepatan tinggi di jalan kecil seperti ini. Kau mau ke mana?" tanya David.

Sarah mengerjap beberapa kali. Netranya kini menangkap siluet David yang terlihat begitu tampan dan gagah. Seketika ingatan lamanya muncul. Tanpa di duga, Sarah lantas memundurkan langkahnya, menjauhi David.

David mengernyitkan dahinya melihat tingkah wanita di hadapannya. Raut wajahnya tiba-tiba berubah dan memundurkan posisinya sekarang.

"Ada apa?" tanya David memastikan.

"Maaf Tuan. Saya permisi! Saya harus kembali bekerja!" Sarah menundukkan tubuhnya dan tanpa menunggu reaksi David Ia segera berbalik dan berlari dari sana. Sementara David masih berdiri di sana, menatap kepergian wanita yang baru saja ditemuinya itu.

David memfokuskan penglihatannya. Ia tidak salah lihat, itu adalah Ers Caffe. Tempat wanita yang hampir ia tabrak tadi bekerja. Ia menyunggingkan senyumannya.

"Menarik," gumamnya perlahan dengan senyuman khasnya. Lalu kembali masuk ke mobil dan melajukan mobilnya perlahan, hingga tiba di pelataran parkir kafe.

...****...

David masuk ke Kafe tersebut langsung di sambut oleh dua orang yang mengenakan seragam Ers Caffe. Segera setelah menyebutkan nama orang yang mengundangnya, David diarahkan untuk naik ke lantai dua dan menuju ke sebuah ruangan privat di sana.

CKLAAAAK

Pintu terbuka dan begitu David masuk, semua mata tertuju padanya. Ada Mama Renata dan Papa Gunawan, Barra, Qiandra dan juga Baby Qiara, Erlan dan Om Andre, serta pasangan Wilson dan Andien.

"Welcome Bro!" teriak Wilson seperti biasa dengan gaya absurdnya.

Garis di kedua sudut bibir David tergambar jelas, menyapa setiap orang yang ada di sana.

"Wah, ada Qiara sini sama Om?" kedua tangan David terbuka siap menggendong baby Qiara yang sudah berumur hampir 12 bulan.

Qiara tertawa, Ia juga menyambut uluran tangan David dan masuk ke dalam gendongan Omnya.

"Qiara, ini bukan Om. Tapi 'U-WAK' !" Barra yang berada di sana menimpali ucapan David, dengan menekankan kata yang terakhir.

Lelucon itu mengundang tawa dari yang lainnya. David tetap cuek, Ia menciumi pipi gembul Qiara.

"Sudah sudah!" Mama Renata menyela. "David. duduklah kemari!" tunjuk Mama Renata kursi yang ada di sebelahnya.

Tak lama kemudian empat orang yang mengenakan seragam sama, masuk ke dalam membawa serving troley. Semua menu yang sudah di pesan di letakkan di atas meja persegi panjang yang cukup besar. Selama Erlan di Singapura, Ers Caffe sempat mengalami renovasi membuat Caffe yang semula minimalis itu kini menjadi lebih luas.

"Sarah, Bimo!" panggil Qiandra mengenali dua orang temannya itu. Sontak sang empunya nama melirik ke arah suara.

"Mbak Qiandra!" Sarah berteriak senang, lalu buru-buru menutup mulutnya. Sementara Bimo hanya mengangguk dan tersenyum ke arah Qiandra.

Qiandra segera menghampiri Sarah, lalu memeluk wanita itu sesaat. Ia sangat senang bisa menemui teman saat ia bekerja di sini dulu. Mengingat sudah banyak pekerja baru di sini, Qiandra tidak menyangka Ia masih bisa bertemu dengan dua orang ini.

"Kita bicara sebentar setelah Aku makan ya, Ra!" pinta Qiandra pada Sarah. "Aku kangen banget sama Kamu," sambung Qiandra disusul anggukan kepala oleh Sarah.

Qiandra pun kembali ke posisinya, lalu Sarah dan yang lain menghidangkan semua makanan yang mereka bawa dengan hati-hati. Seketika netra Sarah menangkap sosok lelaki yang baru ia temui tadi saat berlari ke kafe. Menajamkan kembali penglihatannya, bisa saja ia salah lihat. Namun sosok itu semakin jelas bahkan tersenyum.

"Lelaki tadi," gumamnya lirih.

Mendapatkan senyuman dari David, tiba-tiba saja hatinya yang sudah lama Ia tutup untuk siapapun itu berdebar.

Deg Deg Deg

Sarah menggelengkan kepalanya lalu segera beranjak dari sana bersama ketiga temannya yang lain.

.

.

To Be Continue

.

.

Bertemu Teman Lama

David dan yang lainnya baru saja menyelesaikan kegiatan mengisi perut mereka. Qiara tampak tengah menikmati makanannya yang di bawa dari rumah. Duduk di kursi khusus bayi, dengan mulut penuh dengan makanan sisa makanannya yang di bawa dari rumah.

Qiandra segera membersihkan mulut Qiara ketika sudah selesai. Barra membantunya memasukkan peralatan makan ke dalam tas. Keduanya tampak manis saat bekerja sama seperti ini. Mereka sengaja tidak membawa baby sitter yang biasa menjaga Qiara sebab mereka tidak jauh dari rumah dan tidak terlalu repot juga.

Sementara itu, Andin tampak murung melihat kegiatan sepasang suami istri di hadapannya itu. Sudah satu tahun lebih Ia menikah dengan Wilson, namun belum ada tanda-tanda Ia sudah hamil.

Meski Wilson sudah sering menyakinkannya bahwa Ia tidak mempermasalahkan itu semua. Namun selalu saja Ia tidak dapat menahan pemikiran-pemikiran buruk yang bersarang di kepalanya.

Usianya kini menginjak tiga puluh dua tahun. Di usia yang sudah cukup matang ini, ia bahkan belum memiliki seorang bayi. Dibandingkan dengan teman perempuan satu angkatannya, rata-rata mereka sudah memiliki satu, dua bahkan tiga anak.

Wilson yang duduk di sebelah Istrinya itu, menyadari perubahan air muka istrinya itu. Tanpa perlu menebak, ia juga tahu sebab perubahan air muka istrinya. Wilson tampak menarik nafas pelan, lalu secepat kilat menggamit mesra tangan sang istri dalam genggamannya.

Andin melihat Wilson yang kini menyunggingkan senyum sumringah. Hati kecilnya ingin menangis setiap kali melihat suaminya bersikap seperti ini. Namun ia mencoba menahan segala kemelut perasaanya. Bagaimana pun juga ini adalah suasana yang membahagiakan bisa berkumpul bersama teman dan keluarga.

"David, kapan Kau akan menikah?" suara Mama Renata terdengar membuka pembicaraan di antara mereka. "Apa Kau sudah punya pacar, hmm?" tanyanya lagi memainkan kedua alisnya.

"Ma, Aku hanya belum menemukan seseorang yang tepat." David memberikan jawaban pamungkasnya.

"Begitulah anak-anak ini. Kau lihat anakku, Erlan. Di usianya yang sudah akan menginjak kepala tiga, dia masih enggan menikah meski sudah punya pacar. Alasannya karena dia harus menunggu pacarnya selesai mengambil kuliah specialist di luar negeri." Papa Andre mengungkapkan keadaan Erlan yang tak jauh dari David.

"Kak Erlan sudah punya pacar?" tanya Qiandra antusias.

"Sudah setahun terakhir sejak Kami tinggal di Singapura. Ia bertemu seorang gadis di sana dan mereka berpacaran." Papa Andre mendengus kesal.

"Pa, sudahlah. Hubunganku bukan konsumsi publik!" tekankan Erlan pada papanya.

"Begitulah anak muda ini Renata, Gunawan. Entah harus menunggu kematian ku baru Ia akan menikah!" Papa Andre tampak memasang wajah cemberut, seperti anak kecil yang sedang merajuk.

"Haha, cukup doakan saja semoga mereka segera mendapat jodoh yang terbaik. Saat ini mungkin jodoh mereka belum tiba!" ucap Papa Gunawan mencairkan suasana.

Pintu kembali terbuka, beberapa orang pegawai kafe tampak masuk ke dalam. Mereka mengambil semua peralatan makan dan sisa makanan dari atas meja dan meletakkan dessert sebagai penutup.

Melihat para pelayan kafe itu mengingatkan Qiandra akan Sarah. Segera setelah selesai membereskan Qiara, Ia menitipkan Qiara dengan Mama dan Barra. Lalu meminta izin pada Barra untuk menemui Sarah sebentar.

Qiandra keluar dari ruangan tempat mereka berkumpul. Lalu turun ke lantai satu di mana ia akan bertemu sarah. Sempat merasa bingung sebab kafe ini sudah banyak mengalami renovasi sejak terakhir Ia tinggalkan. Akhirnya Qiandra melihat sosok yang ingin ditemuinya berada di dapur.

"Sarah!" panggil Qiandra seraya melambaikan tangannya.

Sarah yang sedang mengelap peralatan makan di sana menoleh segera ke arah sumber suara. Ia melihat sosok Qiandra tengah melambaikan tangannya.

"Mbak Qiandra!" ucapnya tak percaya. "Kok ke sini Mbak?" Sarah membuka apronnya lalu menemui Qiandra.

"Maaf, Aku sudah meminta izin dengan bos mu untuk mengganggu waktumu sebentar. Kau mau?" tanya Qiandra dengan bibir yang tak lepas dari senyuman.

"Baiklah. Di mana Kita akan berbicara, Mbak?" Sarah mengedarkan pandangannya melihat sekitar. "Di sana aja gimana?" Sambil menunjuk salah satu pojok yang berada di luar kaffe.

Qiandra hanya mengangguk lalu keduanya bergegas ke tempat yang dimaksud.

"Apa kabar Kamu Ra? Udah lama banget ya sejak terakhir Kita ketemu." Qiandra membuka percakapan.

"Aku sehat Mbak, Alhamdulillah. Iya, Mbak tiba-tiba ngilang gitu aja loh. Tiba-tiba Aku dengar kabar dari Kak Erlan Mbak udah nikah sama pengusaha. Pantas aja Mbak ninggalin kita!" jawab Sarah seraya menyunggingkan senyumnya.

"Ceritanya panjang Ra. Yang pasti ada masalah waktu itu, dan yah akhirnya Allah memberi solusi dari semua masalah Aku saat itu dengan jalan yang tidak pernah Aku bayangkan." Tersenyum pelik membayangkan masa sulit yang Ia lalui.

"Eh, gimana kondisi Adik dan Mama Kamu, Ra?" tanya Qiandra begitu tersadar kembli dari lamunannya.

"Nayla udah enggak ada Mbak, dia meninggal empat bulan lalu. Terus Mama sampai sekarang kena stroke, sejak Nayla meninggal,hiks..." Sarah menangis, tidak kuasa menahan kepiluannya.

"Innalilahi wa innailaihi roji'un. Ya Allah Ra, maaf Aku enggak tau. Terus gimana sekarang? Kalian masih tinggal di rumah lama?" Dengan antusias Qiandra bertanya.

Sarah mengangguk cepat. "Kondisi Mama belum banyak perkembangan, Mbak. Setiap istirahat siang, Aku lari pulang ke rumah. Soalnya Mama di rumah sendirian. Aku enggak sanggup bayar perawat buat ngejagain Mama." Sarah menceritakan kondisinya.

"Astaghfirullah. Ra, Kamu yang sabar ya. Mbak beneran enggak tau loh kondisi kamu sekarang. Maaf ya Mbak udah lama gak pernah kontak Kamu juga. Jadi, kuliah Kamu gimana?" tanya Qiandra kembali.

"Aku enggak kuliah Mbak. Uang yang Aku kumpulin buat kuliah habis buat pengobatan ibu. Sekarang Aku udah enggak punya tabungan sama sekali, cuma ngandalin gaji dari sini." Tertunduk sedih memikirkan keadaanya. "Tapi Aku akan nabung lagi kok, Aku pasti bisa kuliah." Sarah tersenyum penuh semangat mesti dalam hatinya kecil kemungkinan Ia bisa mengumpulkan uang untuk bisa kuliah.

"Ya udah, kalau Kamu enggak keberatan Aku mau bantu Kamu, Ra. Kamu ingat kan dulu Kamu selalu bantuin Aku kalau lagi susah. Sekarang biarin Aku bantu kamu ya Ra."

"Aku gak mau Kamu nolak bantuan Aku, Ra. Aku ikhlas bantuin Kamu. Aku bakal mencari seorang perawat untuk menjaga Mama." Qiandra meraih dan menggenggam tangan Qiandra.

"Mbak, Aku... " Sarah terdiam, netranya berkaca-kaca.

Qiandra menggelengkan kepalanya.

"Ra, Kamu ingat kan dulu Kamu pernah bilang apa sama Aku?" Sarah masih bergeming ditempatnya, namun netranya menatap lekat Qiandra.

"Ketika Kamu membantu Aku dulu, seyogyanya Aku lah yang membantu Kamu. Aku dapat kata-kata itu dari Kamu loh Ra. Jadi Aku mohon jangan ditolak ya."

"Tapi Mbak, ini terlalu banyak, hiks... " Sarah memelas, mulai terisak. Segera Qiandra memeluk Sarah dan menenangkannya.

"Ra, Mbak mohon maaf kalau selama Mbak bekerja di sini dulu Mbak terlalu fokus dengan kehidupan Mbak. Kamu selalu bantuin Mbak, enggak pernah absen nanyain kabar, tapi tidak sebaliknya. Sekarang Mbak mau membalas kebaikan yang Kamu." Tatapan memelas dari netra Qiandra membuat Sarah terenyuh.

.

.

TBC

❤️❤️❤️

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!