Karya ini mendapatkan penghargaan juara Harapan di You are a written Sesson 6. 😅🤭 maaf kepotong entah kenapa.
********************
Kaina menatap dua insan yang tengah memadu kasih. Hatinya hancur berkeping-keping. Kaina menekan dadanya yang teramat sakit.
Dua tahun ia bertahan dengan segenap cintanya. Tapi, semuanya musnah bagai abu yang terbang. Sang suami sejak awal tidak mencintainya.
"Jangan mengharap apapun dengan pernikahan ini!" ujarnya waktu itu.
Ya, ini semua salahku. Aku yang memaksa perjodohan ini. Padahal aku tahu jika Sam memiliki kekasih dan kekasihnya adalah kakak sendiri.
Trisya adalah gadis cantik. Seorang model terkenal. Kesayangan keluarga. Sebenarnya ia bukan kakak kandungku. Ia adalah putri bawaan ibuku.
Sedang aku. Aku hanya anak yang tak dianggap. Sebagus apapun nilaiku. Tidak ada yang mau memuji.
Mungkin hanya ayah yang tersenyum walau sekilas. Ibuku? Hanya menganggapku antara ada dan tiada.
Perjodohan ku terjadi antara ayah bang Sam dan ayahku ketika masa sekolah. Mereka adalah sahabat.
Ayah menikahi ibu yang janda dengan anak satu. Aku terlahir setelah setahun pernikahan mereka.
Semenjak aku mengetahui jika aku dijodohkan dengan pria idamanku, bang Sam.
Aku selayak cicak yang menempel terus ketika ia datang ke rumah. Ayah sampai marah karena kelakuanku.
"Jangan buat malu!"
Saat itu sebenarnya aku hanya mengejek Trisya. Bahwa apapun usahanya. Akulah yang akan menikah dengan bang Sam.
Walau kini aku menyesali apa yang telah kuputuskan. Bang Sam menunjukkan bahwa aku adalah istri yang sama sekali tidak ia inginkan.
Bahkan dengan gamblang ia mempertontonkan kemesraannya di depanku. Entah itu berciuman bahkan bercinta.
Ya, mereka bercinta. Mereka mengaku telah menikah Sirri. Walau aku tidak percaya.
Andai aku bisa mengulang kisah ...
"Heek!!" Aku terkejut.
"Kaina, kenapa kau tidur di kelas!" suara bentakan mengagetkanku.
"Ah!" aku memijat pelipis. Pusing mendera.
"Kau kenapa? Apa kau sakit?" aku menatap suara yang berbicara padaku.
"Bu Rosmala?" aku sedikit terkejut. Di mana aku?
Kuedarkan pandangan. Kelas?
"Ini tanggal berapa?" tanyaku.
"Ini tanggal 20 April," jawab bu Rosmala, "kamu kenapa?"
"Tahun berapa?" tanyaku lagi.
"2019," aku membeliakkan mata mendengar jawaban itu.
Jadi ini dua minggu sudah aku mengetahui perjodohanku dengan bang Sam?
"Kaina, kau kenapa?" Aku menutup mataku.
"Jika kau memang tidak enak badan. Ibu sarankan kau pulang saja," saran Bu Rosmala.
Aku menggeleng. "Tidak apa-apa Bu. Saya mungkin sedikit tertidur tadi. Maaf."
Permintaan maafku cukup membuat satu kelas terkejut. Ya, memang siapa yang tidak mengenalku.
Kaina Syarifah Agatha. Putri seorang pengusaha kaya raya. Cantik dengan kecerdasan di atas rata-rata. Aku adalah seorang yang sangat sombong juga angkuh.
Semua orang membenciku. Aku maklum akan itu.
"Tidak apa, Kaina. Ibu mengerti."
See? Siapa memang yang berani macam-macam denganku. Kampus ini milik ayahku.
"Apa saya tidak dihukum?" pertanyaanku ini membuat semuanya shock termasuk Bu Rosmala.
"Baiklah ... coba kau kerjakan ini," ujarnya sambil meninggalkan rumus akuntansi di papan tulis.
Aku menatap sebentar rumus itu. Lalu hanya butuh satu menit. Rumus itu sudah selesai kukerjakan.
Pintar kan aku?
Bu Rosmala menatap jawabku. Ia manggut-manggut. Aku melirik sekitar. Banyak cibiran tersembunyi.
Aku hanya menghela napas. Sebenarnya tidak habis pikir dengan mereka ini.
Ketika melihat orang bodoh dari mereka. Mereka tidak segan mengejek bahkan membully. Jika ada yang lebih pintar. Mereka tidak suka.
Apa mereka ingin semua orang sama dengan otak mereka? Pas-pasan gitu? Tapi jika idola mereka yang pintar mereka memujanya jika tidak ya pasti dibela. Kan aneh.
Bel berbunyi. Aku sudah merapikan alat tulisku. Aku ingat, hari ini Pak Udin, supir pribadi ayahku tidak akan datang menjemput. Alasannya pak Udin lupa.
Aku tertawa miris. Bahkan orang yang bekerja di rumah saja sangat membenciku.
"Pak Udin sengaja kah nggak jemput aku!" Teriakku kesal.
"Ti-tidak, Non. Sa-saya benar-benar lupa!" Jawabnya sambil terbata.
Aku mengamuk, mengusirnya juga istrinya yang bekerja sebagai pembantu di sana. Tak peduli pembelaan Trisya terhadap mereka. Aku mengamuk sejadi-jadinya. Dengan terpaksa ayahku memecat pak Udin dan istrinya dengan pesangon yang sangat besar.
Aku memilih naik angkutan kota ketimbang taksi. Berdirinya aku di halte mengundang banyak mata menatapku. Aneh.
Mereka tidak percaya dengan apa yang dilihat. Seorang princess naik angkutan umum.
Ketika mobil berwarna hijau dengan angka 56 di kaca depan mobil. Aku naik bersama beberapa orang.
Aku sengaja duduk dekat pintu, enggan berinteraksi dengan siapa pun, menatap jalan yang dilalui.
Sampai aku depan komplek perumahan. Untuk menuju rumah, aku sengaja berjalan kaki ketimbang naik ojek. Bukan apa-apa. Ongkosnya sangat mahal. Padahal hanya berjarak tidak lebih dari 200meter saja. Tapi, harus merogoh kocek hingga tiga puluh ribu. Jika diberi lima puluh ribu, mereka beralasan tidak ada kembalian.
Aku berjalan perlahan, menikmati pemandangan. Sengaja memperlambat. Karena aku ingat juga jika ada pertemuan keluarga.
Ketika sampai gerbang, aku membuka sendiri pintu pagar. Mang Ujo, satpam rumah tengah tertidur.
Krieet!
Mendengar bunyi pagar terbuka, mang Jaya terbangun dan kaget melihatku membuka pintu pagar.
"Non ..."
"Sudah tidak apa-apa, Mang," ucapku sambil menutup pintu pagar.
Sampai halaman kulihat pak Udin berlari ke arahku.
Dengan wajah bersalah. Walau aku tahu itu hanya akting belaka. Ia meminta maaf. Aku hanya mengangguk saja. Memilih mengabaikannya.
Pak Udin terkejut ketika aku melewatinya. Selain mobil ayah ada mobil lain di sana. Aku kenal, siapa pemilik mobil itu.
Namun aku memilih berjalan lewat garasi bukan pintu utama. Melihat aku yang lewat dapur membuat Bik Ijah, istri pak Udin kaget.
Aku mencomot udang tepung yang sudah digoreng dari piring.
"Ah ... anas!" teriakku tertahan sambil mengipas mulut.
Kuambil gelas dan mengisinya dengan air putih dari lemari pendingin. Meneguknya cepat.
"Bik. Tolong nanti makan malamnya anterin ke kamar ya. Aku rada pusing," pintaku pada Bik Ijah.
"I-iya, Non."
"Makasih, Bik!" ujarku sambil mencium kening Bik Ijah.
Aku sedikit berlari menuju kamar. Sengaja. Tapi ....
"Kai!" Ayah memanggil.
"Ya," terpaksa berhenti.
"Kau tidak memberi salam pada Om Surya dan Tante Rina?" Aku lupa jika hari ini mereka juga datang.
Aku berjalan menghampiri tamu ayahku. Netraku melirik sosok tegap yang duduk dengan muka datar. Tangannya sibuk dengan ponselnya.
"Selamat sore, Om, Tan!" sapaku sambil mencium punggung tangan mereka satu persatu.
"Maaf saya tinggal dulu ke kamar," ucapku beralasan.
Mereka sepertinya aneh melihat sikapku. Terutama bang Sam. Aku tidak peduli.
Tujuanku adalah kebahagian semua orang. Termasuk diriku sendiri.
Ya, aku memutuskan untuk merubah takdir. Setelah tersadar, mendapat kesempatan kedua.
Bergegas menuju kamar. Sebelum ditanya apa pun oleh ayah tentunya.
Usai mandi dan berpakaian rumahan. Aku langsung merebahkan badan. Tak butuh waktu lama aku tertidur.
POV'S Kaina end.
Pagi hari Kaina terbangun dengan segar. Ia langsung berdiri membuka gorden. Masih gelap karena baru pukul 04.30.
Menanti adzan subuh. Kaina memilih untuk mandi. Setelah mandi dan berbusana. Ia mengambil wudhu.
Setelah wudhu. Kai keluar kamar mandi, mencari mukena juga sajadah. Sudah lama ia meninggalkan ibadah wajibnya itu.
"Aku harus memperbaiki diri," begitu tekadnya.
Gadis itu menggelar sajadah, kemudian memakai mukenanya. Di sana ada rak yang berisi banyak buku. Kai mengambil Al-qur'an. Membacanya secara perlahan.
Al-Baqarah adalah surah pertama yang ia baca. Hampir satu jus gadis itu membaca, hingga terdengar adzan subuh. Barulah ia menghentikan bacaannya. Diberi tanda agar nanti ketika membaca kembali, ia ingat sudah sampai ayat berapa.
Usai sholat. Kai membereskan kamarnya. Selama ini ia tidak pernah bebenah. Bukan berarti dia tidak bisa. Tapi, kan ada pembantu. Jadi dalam pikirannya buat apa dia membereskan kamarnya.
Namun, sekarang ia rubah. Ia tidak mau lagi bersikap buruk. Gadis itu ingin merubah kesan semua orang menjadi baik padanya, walau itu sulit. Tapi, apa salahnya mencoba.
Usai membereskan kamar. Kai, menuju dapur. Sampai sana ia melihat bik Ijah dan beberapa pembantu lainnya tengah sibuk menyiapkan sarapan.
Semua kaget ketika melihat Kai sudah ada di dapur pagi-pagi begini.
"Non, ngapain di dapur. Nanti pakaiannya bau," ujar Tuti. Pembantu termuda di sini.
"Tidak apa-apa. Aku hanya mau masak buat bekalku nanti," jawabku sambil mengambil bahan-bahan dari lemari pendingin.
"Biar saya saja, Non," ujar bik Ijah ingin menyerobot pekerjaanku.
"Tidak, Bik. Aku saja. Bibik kerjain yang lain aja, bukannya sekarang Ibu besar dan sudah bangun? Lebih baik Bibik ke sana," ujar Kai.
Bik Ijah menurut. Wanita berusia tiga puluhan itu berlalu dan pergi ke kamar ibuku.
Tini ingin mengekori. "Mau kemana, Tin?" tanyaku yang membuat Tini terkejut.
"Ah ... mau bantuin Bik Ijah, Non," jawab Tini..
"Nggak usah. Kamu kerjain yang lain aja!" titah Kai yang tidak bisa disanggah Tini.
Ah ... beruntung Kai tahu dan ingat semuanya. Tini adalah seseorang yang akan menghancurkan pernikahan ayah dan ibu Kai.
Gadis belaga polos itu, menggoda ayah dengan tubuh moleknya. Tentu, Kai tidak terima.
Walau Kai tidak begitu diperhatikan oleh kedua orang tuanya. Tapi, mereka adalah segalanya bagi Kai.
Jadi sebelum ada api. Sebaiknya langsung dipadamkan saja bara yang sudah kelihatan, bukan. kai langsung menyiramnya.
Kai mengambil beberapa nugget ayam, sosis juga dua butir telur. Pertama Kali menggoreng nugget dan sosisnya terlebih dahulu. Kemudian ia membuat omlet.
Usai memasak untuk bekalnya. Ia segera memasukkannya ke dalam wadah. Gadis itu ingat jika hari ini akan ada kuliah tambahan mendadak.
Saat itu Kai memaki pak Bejo yang tidak juga mengantar makan siang untuknya. Kai termasuk tidak suka makan di kantin atau di mana pun kecuali restoran milik keluarga.
Akibat hal itu, Kai jatuh sakit karena maag kronis. Sakit tentunya ketika tahu jika pak Bejo juga sengaja tidak mengantar makanan ke kampus.
Setelah memasukkan semuanya ke wadah. Kai membawa wadah itu ke kamarnya. Gadis itu segera mandi, hari ini ada kuliah pagi. Jadi ia harus buru-buru berangkat.
Semua kaget ketika Kai buru-buru keluar rumah setelah mencium tangan kedua orang tuanya.
Tidak memakai supir. Karena Kai ingat jika semua mobil dibilang rusak oleh pak Bejo. Supir di rumah ada dua. Selain pak Udin tentunya.
"Kenapa Kai tidak pakai mobil, Pak Udin?" Tanya Umar, ayah Kai.
"Mobil rusak semua," jawab pak Udin.
"Oh, kalau begitu biar saya telepon bengkel untuk datang ke sini ...."
Brum ... brumm! Bunyi mesin mobil menyala.
"Loh itu nyala?" Kata Umar heran.
"Ah ... anu ...," Pak Udin tergagap.
Umar menghela napas panjang. "Jangan seperti itu lagi ya Pak. Dia juga putriku, seburuk apapun dia. Jadi kau harus menghormatinya!"
"M-maaf, Tuan," ujar Udin tergagap sambil menunduk.
"Ya sudah, sekarang kita berangkat. Bu, Ayah pergi dulu ya. Assalamualaikum!"
"Iya, Yah. Wa'alaikum salam!"
Bersambung..
Usai mata kuliah, Kaina sengaja duduk sebentar di kelas. Lima belas menit ia duduk kemudian ia berdiri.
Berjalan melewati koridor kampus. Sampai pelataran parkir Kai cukup terkejut pak Udin sudah menunggunya.
"Non!" panggilnya.
Ting!
Bertepatan ponsel Kai berbunyi. Sebuah notifikasi pesan masuk.
( Seluruh mahasiswa/i semester akhir ada penambahan mata kuliah bagi yang ingin cepat mengajukan skripsi agar mengikuti mata kelas ini)
"Pak, mending Bapak pulang aja deh. Soalnya saya ada kelas tambahan," ujarku pada pak Udin.
"Nggak apa-apa, Non. Saya nunggu aja," ujarnya.
Aku menatap wajah pak Udin. Tidak seperti biasa, pria usia empat puluh tahun itu tidak lagi nyinyir di depanku.
"Aku bisa lama loh, pulangnya. Mungkin empat jam, karena mau kejar skripsi," jelasku.
Pak Udin sepertinya berpikir lama. Akhirnya memilih untuk pulang, karena cukup lama menunggu.
Kai menghela napas. Dia baru ingat lagi jika, dulu, ia tidak mengambil full mata kuliah karena memutuskan untuk menunda skripsi. Kali ini, gadis itu ingin segera menyelesaikan kuliahnya.
Kaina mendapat beasiswa S2 nya salah satunya di Kanada, padahal ia belum juga lulus kuliah. Karena kejeniusan gadis itu, hingga banyak universitas ternama di luar negeri memberinya beasiswa agar berminat untuk menempuh studi di tempat mereka.
Kai sudah merancang semuanya untuk mengelak perjodohan tersebut.
"Semoga semuanya lancar," ujar Kai bermonolog.
Bergegas masuk kelas untuk mengejar delapan semester selanjutnya.
Sampai rumah pak Udin masuk rumah melalui garasi. Pria itu duduk kemudian menyenderkan bahunya di kursi.
Bik Ijah memberinya segelas kopi hitam tanpa gula. Pria itu menyeruput kopinya.
"Bukannya tadi Bapak jemput Non Kai. Mana?" tanya Ijah istrinya.
"Tadi disuruh pulang dulu, kata Non, dia mau ngambil kuliah delapan semester," jawab Udin.
"Pak, sepertinya Non Kai berubah deh," ujar Ijah.
"Berubah?" tanya Udin, "berubah bagaimana?"
"Tadi pagi Non Kai masak sendiri buat bekalnya. Udah itu pas mau bebenah kamarnya. Eh ... udah rapi aja kasurnya," jawab Ijah panjang lebar.
"Hmmm ... kemarin, Bapak bilang lupa jemput Non Kai. Dia nggak marah sama sekali. Padahal Bapak sengaja nggak jemput Nona yang sombong itu," ujar Udin.
"Bahkan tadi pagi, Non Kai tidak minta anter sama sekali. Padahal kalo diminta juga Bapak bakal bilang mobil rusak semua," lanjutnya.
"Eh ... gara-gara itu Bapak malah ditegur oleh Tuan besar."
"Jangan lagi kayak gitu, Pak. Mana ada sih Nona muda yang nggak sombong? Dulu kita pernah kerja malah lebih sombong dari Non Kai, loh," ujar Ijah memperingati.
"Iya Bu. Makanya Bapak merasa bersalah sama Non Kai. Oh ya, nanti jam 15.45. bangunin Bapak ya," pinta Udin pada Ijah.
"Buat apa, Pak?" tanya Ijah.
"Mau jemput, Non Kai," jawab Udin.
"Oh, ya udah. Sekarang Bapak makan dulu gih, sudah Ibu siapin," ujar Ijah menyuruh suaminya makan.
"Iya, Bu. Makasih," ucap Udin kemudian ia berdiri menuju meja makan khusus pembantu di ruangan itu.
Pukul 17.12. Kai sudah keluar kelas. Ia berjalan menuju lobby kampus. Gadis itu cukup terkejut ketika lagi-lagi mendapat Udin sudah berada di depan lobby kampus.
"Sore, Non," sapa Udin.
"Sore, Pak," Kai tidak mempermasalahkan juga mempertanyakan kenapa pak Udin menjemputnya lagi.
Biasanya pria itu sangat enggan untuk berurusan dengannya. Kai menaiki mobil setelah Udin membuka pintu untuknya.
Perlakuan Udin lagi-lagi membuat Kai terkejut. Tapi, gadis itu membiarkannya.
Perlahan mobil merk Maserati berwarna biru metalik itu bergerak membelah jalan ibukota.
Sepanjang perjalanan, Kai hanya diam. Suasana canggung tercipta. Pak Udin sesekali mencuri pandang pada tuannya.
"Non," panggil Udin.
"Hmmm," saut Kai.
"Maafin saya ya, Non," ujarnya tulus.
"Maaf buat apa, Pak?" tanya Kai yang cukup terkejut dengan ungkapan supirnya tersebut.
"Saya minta maaf dengan kelakuan saya yang kurang ajar selama ini. Padahal, Nona adalah majikan saya," jawab Udin merasa bersalah.
"Oh, itu. Oke nggak masalah. Saya juga minta maaf jika selama ini prilaku saya sangat buruk di mata Pak Udin," ucap Kai sambil menatap netra Udin melalui kaca spion tengah.
"Iya, Non."
Perjalanan hening kembali hingga sampai rumah. Ketika turun dari mobil, kebetulan ayah juga baru datang dan turun.
"Assalamualaikum, Yah. Selamat sore," sapa Kai lalu menyalim tangan ayahnya.
Umar tersenyum melihat perubahan drastis putrinya. Selama ini, gadis itu selalu berbuat onar. Siapa sangka Kaina berubah total.
"Assalamualaikum!" baik Umar dan Kai mengucap salam bersamaan ketika masuk rumah.
"Wa'alaikum salam," balas Arin, ibu Kai.
Kai langsung menyalim ibunya. Hal itu membuat wanita setengah baya itu cukup terkejut. Biasanya Kai cuek dan langsung menuju kamar. Bahkan dari pagi tadi Kai sudah berubah sikapnya.
"Kai masuk kamar dulu ya, Bu," ucap Kai.
Hanya deheman pendek keluar dari mulut wanita yang melahirkan Kai. Gadis itu tidak merespon secara berlebihan, malah dengan santai Kai berjalan menuju kamarnya.
Lagi-lagi Arin terkejut. Biasanya Kai akan mengoceh tanpa henti jika gadis itu merasa diabaikan, hingga membuat ia naik darah.
"Yah, Kai kenapa?" tanya Arin pada suaminya.
"Memang kenapa dengan Kai?" tanya Umar berbalik.
Arin menatap netra suaminya. Mencoba mencari sesuatu yang diketahui oleh suaminya itu. Tapi, tidak ada. Umar juga tidak tahu apa-apa.
"Bukankah itu jadi lebih baik, Bu?' Arin hanya mengendikkan bahu.
"Ya sudah. Nanti jika bosan, dia bakal berulah lagi," ucap Arin meremehkan.
Umar menghela napas. Pria itu sedikit tahu mengapa anak gadisnya memberontak. Karena memang dia kurang perhatian.
Malam hari, seperti biasa acara makan malam. Kai sengaja tidak ikut makan malam bersama keluarga dengan alasan mengerjakan skripsinya. Ya, gadis itu langsung bisa menyusun skripsi karena telah menyelesaikan semesternya.
Sebenarnya, Kai sengaja. Karena malam ini Sam datang sambil menggandeng Trisya dengan mesra.
"Assalamualaikum," salam Trisya ketika masuk rumah.
"Wa'alaikum salam," balas Bik Ijah yang membuka pintu.
Dua insan itu masuk sambil bergandengan. Umar melihat itu sangat tidak suka. Karena Sam adalah jodoh untuk Kai, putrinya.
Melihat tatapan tajam dari Umar. Trisya langsung melepas gandengannya. Gadis itu lupa bersikap santun pada Umar, ayah tirinya. Walau ia berat hati tidak terima. Tapi, demi mendapat muka yang baik. Maka segala cara akan ia lakukan.
"Selamat malam, Om, Tante," sapa Sam.
"Malam Sam. Ayo, makan malam bersama. Kebetulan kami baru mulai," ajak Arin pada dua insan yang datang.
Sebenarnya Arin lebih suka jika Sam dijodohkan dengan Trisya. Tapi, perjodohan itu harus dengan anak kandung dari Umar. Jadi, mau tak mau, wanita itu menyetujuinya. Toh, Kaina juga putrinya.
Baik Sam dan Trisya duduk di kursi bersebelahan. Trisya bermaksud untuk mengambil makanan untuk Sam.
"Sam bisa melakukan itu sendiri, kan?" tanya Umar yang menghentikan aksi Trisya.
Sam sedikit gugup. Ia mengambil sendiri makanannya. Padahal ia akan senang hati jika wanita pujaannya itu mengambil makanan untuknya.
Di tengah makan malam, sebenarnya netra Sam sibuk menatap kursi kosong di depannya. Kursi yang biasa Kai tempati.
Kai. Gadis yang dua minggu kemarin selalu menatapnya dengan pemujaan dan cinta. Bahkan menempel selayak cicak pada dirinya.
Sudah dua hari ini, Kai tidak lagi menunjukkan batang hidungnya. Bahkan pertemuan kemarin sepertinya Kai hanya melirik saja.
'Ada apa dengan gadis bodoh itu!' umpat Sam dalam hati kesal.
'Ah, kenapa harus kesal. Justru itu lebih baik jika dia tidak ada kan? Sungguh membuat mataku sakit saja melihat dandanannya,' umpatnya lagi dalam hati.
"Yah, kok Kai tidak ikut makan malam?" tanya Trisya.
'Ah ... gadisku memang perhatian pada saudaranya,' puji Sam dalam hati.
"Iya, dia sedang menyusun skripsinya," jawab Umar.
"Loh kok dia nggak sopan gitu sih?!" ujar Trisya protes.
"Tidak. Tadi dia sudah minta ijin sama Ayah, agar bisa mengerjakan tugasnya fokus," jawaban Umar membuat Trisya bungkam.
"Iya. Tapi, mestinya waktu berkumpul bersama kita itu jangan dilewatkan dong, Yah," bela Arin.
"Sudahlah, toh selama ini dia tidak pernah melewatkan makan malam dengan kita. Bahkan perlakuan kalian juga tidak baik-baik amat ketika dia ada di meja makan," ujar Umar yang membuat semuanya kicep dan tertunduk.
"Ah ... Ayah pusing. Maaf, Sam. Om langsung istirahat ya, jika kau sudah tidak ada keperluan, kau boleh pulang secepatnya," ungkap Umar mengusir secara halus Sam.
"Ah ... iya, Om. Aku juga segera pulang sekarang. Ini sudah terlalu malam," ujar Sam merasa tersindir.
Pria itu menyalim satu persatu calon mertuanya. Kemudian Sam diantar oleh Umar.
"Tidak usah mengantar. Sebaiknya, Om segera istirahat," ujar Sam tidak enak hati ketika Umar berjalan bersamanya menuju mobil.
"Tidak apa-apa. Oh ya, salam untuk kedua orang tuamu, ya," ucap Umar.
"Baik, Om. Assalamualaikum!" salam Sam ketika sudah memasuki mobilnya.
"Wa'alaikum salam," Sam menutup kaca mobil.
Secara perlahan mobil Mercedes classic itu keluar halaman dan meninggalkan komplek.
Ketika di kamar. Arin sedikit protes dengan kelakuan Umar, suaminya malam tadi.
"Kenapa sih Ayah tadi?"
"Tidak ada apa-apa. Tidurlah. Aku ngantuk!" ujar Umar sambil merebahkan tubuhnya ke ranjang.
Perlahan ia mulai memejamkan matanya. Arin mendengkus kesal. Tapi, perlahan ia juga menyusul suaminya ke alam mimpi.
Umar terbangun. Tenggorokannya kering saat itu. Ketika ia hendak mengambil gelas. Gelas itu kosong.
Umar Syahab Agatha, turun dari ranjang menuju dapur. Ketika sampai depan pintu kamar Kai. Perlahan pria itu mendengar sayup-sayup orang mengaji.
Umar tidak yakin dengan pendengarannya. Pria itu mengucek kuping dan sekali lagi mencoba mendengar suara itu.
Benar saja. Suara orang mengaji kembali terdengar. Umar sangat yakin jika itu suara putrinya.
Pria itu tersenyum bangga. Tiba-tiba.
"Tuan ...." Pria itu menoleh.
Sosok gadis berpakaian cukup seksi berjalan perlahan. Umar menyipitkan mata. Mencoba melihat siapa yang berjalan.
Tiba-tiba pintu kamar Kai terbuka. Anak gadisnya menghalangi pandangan Umar pada sosok yang tadi mendekatinya.
"Ayah sedang apa di depan pintu kamar Kai?"
"Oh ... tidak ada. Tadi, Ayah mau ambil air untuk minum. Tapi mendengar ada orang yang mengaji di kamarmu. Apa kau mengaji, Nak?"
"Iya, baru saja selesai sambil menunggu subuh. Ya, sudah Kai ambilkan air untuk Ayah. Ayah kembali lagi saja ke kamar, nanti Kai antar," ujar Kai panjang lebar sambil mengambil gelas dari tangan Umar.
"Baiklah. Terima kasih, Sayang," ujar Umar sambil mencium kening Kai.
"Sama-sama, Yah," ujar Kai tersenyum.
Ketika Kai berbalik. Tini yang tadi ada di sana sudah tidak ada. Kai bernapas lega. Lalu ia berjalan menuruni tangga menuju dapur, masih mengenakan mukena.
Gadis itu mendapati Tini dengan baju tidur menerawang. Kai menggeleng, tidak percaya.
"Lain kali, jangan keluyuran dengan baju seperti itu dalam rumah!" ujar Kai memperingati.
Tini yang terkejut hanya menelan saliva kasar.
"Sekali lagi kudapati kau mencoba mengganggu ketentraman rumah ini. Aku pastikan kau terusir secara tidak hormat dari sini!" ancam Kai dengan tatapan dingin.
Bersambung.
Kai yang tengah memakai mukena itu. Langsung mengambil air dalam gelas dan berlalu dari dapur sambil membawa gelas tadi untuk ayahnya.
Sampai depan kamar ayahnya, gadis itu mengetuk pintu. Kemudian masuk setelah mendengar perintah untuk masuk.
Arin yang baru bangun melihat putrinya yang masih mengenakan mukena sambil memegang gelas berisi air. Wanita itu masih menggeliat di atas tempat tidur.
"Ayah, ini airnya," ujarnya.
"Letakkan di atas nakas, Sayang!" ternyata Umar berada di kamar mandi.
Kai meletakkan gelas itu di atas nakas. Kemudian ia berjingkat menaiki kasur lalu mencium lembut kening ibunya.
"Selamat pagi, Bu," sapanya kemudian ia menuruni tempat tidur.
"Selamat pagi, Kai," balas Arin.
Umar keluar dari kamar mandi sudah lengkap mengenakan kokonya.
"Bu, yuk bangun. Kita jamaah bareng," ajak Umar.
"Sebentar Yah," Arin beranjak perlahan turun dari kasurnya, malas.
Wanita itu ke kamar mandi, untuk berwudhu. Sebenarnya baru kali ini wanita itu mengerjakan sholat subuh berjamaah. Karena sebelum-sebelumnya sang suami juga jarang bangun pagi-pagi begini.
Selesai Arin mengenakan mukena. Mereka berjalan menuju musholla yang ada di lantai tiga. Rumah mereka memang besar.
Sebelum naik. Umar mengetuk pintu kamar Trisya. Tidak ada jawaban.
"Apa Trisya pergi lagi?" tanya Umar pada Arin, yang dijawab gendikan bahu saja.
Umar membuka pintu kamar. Benar saja. Trisya tidak ada di kamar menandakan ia tidak ada atau belum pulang.
"Kenapa akhir-akhir ini, dia jarang pulang? Bukannya jadwal pemotretan sudah selesai?" tanya Umar.
"Sudah lah, Yah. Kita buruan ke mushala, itu sudah adzan subuh," ajak Kai menghentikan pertanyaan ayahnya.
Gadis itu tidak mau subuh ini diwarnai oleh drama. Akhirnya Umar menghentikan keinginan tahuannya.
Mereka pun pergi ke mushala keluarga yang ada di lantai tiga. Usai sholat. Arin bergegas kembali ke kamar. Sedang Kai mengambil Qur'an yang ada di sana dan membacanya.
Umar masih berdiam dan mendengar lantunan merdu suara Kai yang mengaji. Hati pria paru baya itu sangat senang atas perubahan putrinya itu.
Usai mengaji. Kai berusaha meminta sesuatu pada ayahnya.
"Yah ... boleh tidak aku beli motor buat pergi ke kampus?" tanyanya.
"Motor? Buat apa. Kan di rumah sudah banyak mobil. Buat apa kamu beli motor?"
"Ayo lah, Yah. Kadang waktuku itu tidak bisa diprediksi kapan ngampusnya. Terlebih sekarang skripsi. Jadi dari pada Pak Udin atau Pak Bejo repot bolak-balik antar jemput. Mending aku beli motor," jelas Kai panjang lebar.
"Boleh ya, Yah," rayu Kai.
Umar berpikir panjang. Kemudian ia mengangguk. Anggukan Umar disambut antusias Kai dengan memeluknya erat.
"Makasih Yah. Oh ya. Nanti aku magang di kantor Ayah aja ya," ujarnya.
"Loh kenapa berubah? Bukannya kamu kemarin minta magang di kantornya Sam?" tanya Umar heran.
Kai tersenyum canggung. Tidak mungkin ia membocorkan apa yang bakal terjadi ketika ia bekerja di sana.
Kai sangat ingat sekali bagaimana Sam mempermalukannya di depan semua karyawannya ketika Trisya datang. Padahal Kai sudah bekerja sangat baik.
Bagaimana Trisya yang sengaja menyenggol kopi yang dibawanya ketika Sam menyuruhnya, hingga kopi itu tumpah dan mengenai baju Trisya.
"Apa kau buta, hah!" bentak Sam waktu itu.
"Kau tahu berapa harga baju kesayanganku ini!" makinya sinis. "Aku tahu, kau anak kesayangan Ayahmu. Kau bisa meminta gantinya. Tapi, kau tidak bisa mengganti waktu yang kujalani ketika membeli baju ini!"
"Sudah Sayang, tidak apa-apa," ujar Trisya lembut menengahi.
"Aku tidak sengaja menumpahkan kopi itu. Dia menyenggol ku!" Aku membela diri.
"Apa katamu. Kau menyalahkan kekasihku?!" bentak Sam tak terima.
"Jika kau tidak percaya. Kau bisa cek CCTV," ujar Kai tenang walau dengan muka merah menahan amarah.
Sam terdiam. Sebenarnya ia tahu jika Trisya sengaja menyenggol lengan Kai. Tapi, ia menutupi kesalahan kekasihnya.
Mendengar ucapan Kai. Trisya tentu tidak bisa berkutik. Jelas ia salah akan itu.
"Sudah. Kau bersihkan itu. Aku tidak mau ada kesalahan lagi. Mengerti!" Sam masih membela Trisya.
"Sayang!" panggilan Umar menyadarkan Kai.
"Ah ... iya, Yah," jawab Kai.
"Kenapa. Apa yang kau pikirkan. Apa terjadi sesuatu pada hubungan kalian?" tanya Umar.
Kai menggeleng. Gadis itu hanya mengulas senyum manis untuk ayahnya.
"Yah, jika perjodohan itu tidak diteruskan, tidak apa-apa kan?" tanya Kai hati-hati.
Umar mengerutkan dahinya. Ia sangat tahu jika Kai sangat mencintai Sam dengan tulus. Walau kelakuan anak gadisnya terlalu berlebihan pada Sam.
"Sebenarnya, Ayah tidak enak jika membatalkan perjodohan ini. Ayah banyak hutang budi pada ayahnya Sam. Terlebih dengan neneknya Sam," ujar Umar dengan nada menyesal.
"Ya sudah, tidak apa-apa. Tapi, Yah. Bisakah, Ayah memecat Tini. Aku tidak suka tingkahnya yang kecentilan," pinta Kai cemberut.
Umar tertawa ringan ketika Kai memanyunkan bibirnya.
"Kecentilan bagaimana maksudmu?"
"Iya, masa tadi dia keluyuran hanya memakai daster tipis banget, sampai kelihatan warna **********," jawab Kai kesal.
Umar mengingat kejadian barusan. Pria itu memang melihat Tini tengah berjalan mendekatinya dengan gaya sensual. Walau ia tak yakin. Hanya saja tiba-tiba Kai membuka pintu dan langsung menutupi pandangannya.
"Lalu dari mana kau bisa keluar tiba-tiba dari kamarmu tadi?"
"Feeling, Yah," jawab Kai enteng..
Umar tersenyum lebar hingga menampakan giginya yang putih dan rapi.
"Ayah sebenarnya juga risih dengan kelakuannya beberapa hari ini. Baiklah. Ayah akan memindahkannya bekerja di rumah nenekmu," ujar Ayah lagi.
Kai akhirnya tersenyum lega mendengar hal itu.
*********
Benar saja. Umar langsung menyuruh Pak Udin untuk membawa Tini ke rumah nenek. Alasannya di sana kekurangan pekerja.
Dengan wajah ditekuk. Tini berangkat menuju kota B. Jarak antar kota B dan Kota J bekisar empat jam perjalanan.
Kai kini berada di showroom motor. Pilihannya jatuh pada Motorsport model reli. Jangan salah. Kai adalah gadis tomboy dengan segudang keahlian termasuk menjalankan kendaraan roda dua dalam kecepatan tinggi.
Motor akan sampai rumah Kai dalam tiga hari ke depan. Berarti tepat, ketika ia magang di tempat ayahnya.
Kai sudah mengurus kepindahan magangnya tadi sebelum pergi ke showroom. Beruntung permintaan magang belum diserahkan ke pihak perusahaan. Jadi Kai masih ada waktu untuk mengubahnya walau sangat mendadak.
Sedangkan di tempat lain, Sam mendapat laporan tentang peserta magang. Matanya mencari sosok yang selalu mengganggunya belakangan.
"Loh ... kenapa, nama Kaina tidak ada dalam daftar list pekerja magang ya?" tanyanya pada diri sendiri.
Pria itu menggunakan telepon kantornya.
"Halo, Ran. Coba cek kenapa nama Kaina Syarifah Agatha tidak masuk dalam list?"
Setelah mendapat jawaban dari ujung telepon, Sam menutup panggilan. Hanya waktu dua menit telepon berbunyi.
"Halo!"
"Maaf Pak, peserta magang atas nama Kaina Syarifah Agatha mengundurkan diri dari peserta magang di perusahaan kita," jelas Ran, manager HRD.
"Apa alasannya?" tanya Sam sambil mengerutkan keningnya.
"Maaf Pak, kami tidak tahu!" jawab Ran lagi.
"Baik, terima kasih. Lanjutkan kerjamu!" titah Sam kemudian menutup telepon.
"Ada apa denganmu, Kai?" tanya Sam mulai bingung. "Sudah beberapa hari ini, kau seperti menghindar dariku?"
Sam sangat tidak nyaman dengan sikap Kai belakangan ini. Bahkan gadis itu tidak lagi merecokinya dengan ribuan pesan singkat. Bahkan kadang ia telepon walau hanya mendengar suara Sam saja.
"Halo!" bentak Sam ketika Kai menelpon entah keberapa kalinya.
Pria itu sangat kesal akan ulah gadis yang dijodohkan dengannya itu. Padahal berkali-kali ia berbuat kasar. Tapi, tidak berimbas pada Kai. Justru malah makin menjadi.
Namun setelah nyaris seminggu ini. Kai benar-benar tidak mengganggunya sama sekali.
Nyes!
"Ssshhh! Kenapa dadaku tiba-tiba sakit?" keluh Sam sambil memegang dadanya.
Tiba-tiba kelebatan wajah Kai yang tersenyum manja padanya melintas. Entah mengapa, ia merindukan rengekan manja dari gadis itu.
"Aish ... sialan. Bukankah itu bagus jika dia tidak menggangguku lagi!" umpat Sam bermonolog.
"Tapi ... Aku beneran rindu," Sam menghela napas.
Sam membuka applikasi WhatsApp. Mencari pesan dari Kai terakhir. Pria itu lupa jika nama gadis itu tidak ia simpan.
Ketika melihat foto profil di akun gadis itu, ternyata hanya gambar siluet hitam. Sam mengernyit. Ia sangat yakin jika kemarin foto Kai masih terpampang di akunnya.
Sam mencoba meneleponnya.
"Maaf nomor yang anda tuju. Salah!"
Sam terkejut. Ia sangat yakin yang dipencet adalah nomor Kai. Berulang kali ia mencoba menghubungi nomor itu. Lagi-lagi jawaban sama yang ia dengar dari operator seluler.
"Apa dia ganti nomor?" tanya Sam bingung.
Sam makin gelisah. Entah kenapa, ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Hatinya yang sedih langsung gembira.
"Halo Kai!"
"Loh kok Kai sih. Ini aku sayang, Trisya!" sebuah suara menyadarkannya.
"Ah, maaf. Kupikir tadi Kai yang menghubungiku," ujar Sam beralasan.
"Kenapa lagi dia. Apa buat ulah lagi?" tanya Trisya di seberang telepon.
"Ah ... sudah lah, tidak usah dibahas. Ada apa, sayang?" tanya Sam mengalihkan pembicaraan.
"Ah ... begini sayang. Tadi kan aku dapat job buat foto tas branded terbaru. Limited loh," jawab Trisya.
Sam yang sangat tahu apa yang diinginkan kekasihnya itu. Langsung memberikan jawaban yang membuat Trisya sangat senang.
"Kau ambil itu, jika kau ingin dan kirim tagihannya padaku."
"Tapi, Sayang. Harganya tiga ratus juta."
"Tidak masalah jika untuk wanita secantik kamu, Sayang," ujar Sam sambil membayangkan betapa bahagianya wajah Trisya sekarang.
"Ah ... Kau memang yang terbaik. Aku mencintaimu!" pekik Trisya kegirangan.
"I love you too," balas Sam sambil tersenyum.
Percakapan berakhir. Pria itu kembali tersenyum senang karena dapat membahagiakan kekasihnya.
Namun sejurus kemudian. Sam mulai membandingkan antara Trisya dan Kai.
Kai yang selalu ia tolak jika ingin dibelikan sesuatu darinya. Sam ingat ketika terakhir bagaimana usaha Kai merayu pria itu membelikannya baju rajut gambar Minie mouse. Padahal harganya tidak lebih dari satu juta.
Namun Sam langsung mencapnya dengan sebutan gadis matre. Walau akhirnya gadis itu membeli dengan uangnya sendiri.
"Kai ...."
Sedang di tempat lain. Kai yang tengah mencari sumber data untuk skripsi tiba-tiba bersin.
"Ah ... siapa yang ngomongin gue ini!" ujarnya kesal sambil mengusap hidungnya yang berasa gatal.
Bersambung..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!