NovelToon NovelToon

_Cinta Beda Dimensi_

Perjodohan

“Bu.. Nana mohon jangan terima perjodohan ini! Nana gak sanggup hidup dimadu. Nana tak ingin rumah tangga orang lain hancur gara-gara Nana. Nana tak ingin hidup Nana dipenuhi dengan pertengkaran, selalu dihinggapi rasa bersalah. Nana mohon Bu! Nana tak ingin banyak perselisihan, Nana hanya ingin hidup damai. Kita sama-sama perempuan, Nana tak ingin menyakiti perasaan perempuan lain, karena Nana pun tak ingin disakiti. Bu, Nana hanya ingin hidup tenang dan tentram dengan pasangan yang Nana pilih Bu. Nana mohon, batalkan perjodohan ini! Bantu Nana meyakini ayah, agar ayah tak menerima perjodohan ini. Ibu sanggup melihat hidup Nana menderita? Ibu ingin hidup Nana hancur karena menikah dengan seseorang yang tak nana cintai? Nana mohon Bu...”

Rengek wanita itu mengiba bersujud di kaki sang ibu. Dia tak berani mengangkat kepala, sebelum sang ibu memenuhi permintaannya. Sang ibu hanya bisa menangis terngungu menyaksikan anak gadis yang amat dia sayangi berada diambang keputusasaan, dia tak bisa membantu hanya bisa berdoa demi kebaikan hidup sang anak kedepannya.

“Yang sabar Nak. Maaf, Ibu tak bisa membantumu! Ayahmu keras Nak, segala keputusan yang sudah ditetapkan tak bisa dibantah. Ibu sudah coba membujuk ayah, tapi kamu tau sendiri Nak. Ayahmu malah marah-marah, menonjok kaca dan melukai tangannya sendiri.” Ujar sang ibu mengelus lembut kepala Naima.

Dua wanita itu menangis berpelukan, melepaskan segala beban berat yang mencengkram dadanya.

Sumarni tak bisa membantah ucapan sang suami yang sudah tidak bisa di ganggu gugat lagi, walaupun beribu alasan penolakan yang dia berikan, dia tak bisa merobohkan tembok keras dan tegas sifat yang melekat pada diri suaminya.

“Nak, berlapang dada lah. Kamu harus bisa menerima takdir yang Tuhan tetapkan! Mungkin ini terbaik untuk mu. Ibu yakin segala sesuatu yang menurut mu buruk, mungkin itu terbaik menurut Tuhan, begitu pun sebaliknya. Ibu mohon, belajarlah menerima keadaan. Walaupun tak sesuai harapan, perbanyaklah doa mintalah petunjuk terbaik sama Gusti Allah Nak.” Sumarni memberi petuah kepada Naima yang belum berhenti menangis, sesekali diusap lembut rambut Nana untuk menenangkan.

“Bu, bukan Nana tak menerima takdir! Ini sangat menyakitkan bagi Nana, Nana masih ingin hidup bebas bu! Nana ingin mencari seseorang yang tepat untuk hidup Nana. Demi Tuhan, Nana tak bisa menerima perjodohan ini Bu!” Jawab Naima mendongakkan wajah menatap sang Ibu dengan wajah bersimbah air mata.

“Bu.. apa salah, Nana ingin menentukan hidup Nana sendiri?? Nana ingin seperti orang lain Bu, yang bisa menemukan kebahagiaan yang mereka impikan. Tanpa keterikatan sebuah hubungan, apalagi perjodohan! Nana masih muda bu, 22 tahun bukan kategori wanita berumur tua. Nana masih ingin mewujudkan segala keinginan Ibu dan Ayah, tapi bukan sebuah pernikahan. Nana tak masalah bila perjodohan ini dengan lelaki lajang ataupun duda! Tapi ini, Dia lelaki beristri Bu! Apa tanggapan orang-orang Bu! Ibu pasti tau dampak jika Nana menerima perjodohan ini? Nana pasti jadi bahan gunjingan masyarakat Bu! Nana bisa dijadikan bahan bullyan! Nana pasti dikucilkan! Belum lagi sumpah serapah orang pada Nana, membayangkan saja Nana sudah tak sanggup Bu!" Nana memegang erat tangan sumarni, dia meminta dukungan sang ibu untuk membenarkan perkataannya.

“Nak, tak perlu kita mendengar omongan orang lain yang menjatuhkan kita, jangan ditanggapi. Toh, jika mereka lelah mereka akan berhenti sendiri. Kita hanya perlu tutup kuping serapat-rapatnya. Biar orang lain berkata apa, asalkan kita tidak seperti yang mereka katakan.” ucap sang Ibu menasehati Nana

“Itu beda konteks Bu! Nana disini yang bersalah, sampai kapanpun Nana yang disalahkan. Lagian sekarang bukan zaman nya perjodohan, bukan lagi zamannya Siti Nurbaya Bu!" Sahut Naima berdiri membelakangi Sumarni.

“Ibu tau Nak. Ini juga bukan keinginan Ibu, tapi apa daya takdir yang menuntun menghampiri mu. Ikhlaskan! Tabah kan hatimu! Ibu dan Ayah hanya ingin terbaik untukmu."

Sumarni memeluk erat Naima dari arah belakang, mereka menangis menumpahkan rasa sesak di hati.

-

-

 

Naima nama gadis berusia 22 tahun. Berparas ayu, berbudi pekerti luhur, dan memiliki sifat penyayang. Ia harus rela dijodohkan oleh sang ayah dengan anak sahabatnya yang sudah menikah. Yah, ia harus rela dijadikan istri kedua sang anak, entah apa alasannya, hanya orang tua mereka yang tahu.

Perjodohan itu terjadi karena sebuah kesepakatan balas budi, dimana Pak Maja ayah Naima berhutang budi kepada Pak Nurdin sahabat yang telah menolongnya dari jeratan lintah darat.

Pak Nurdin tak meminta balasan berupa materi, yang dia inginkan hanya Naima menikah dengan sang anak dan menjadi menantu idamannya. Dia jatuh hati kepada Naima karena perangai dan tutur katanya yang lembut.

Pak Maja selaku sahabat tak bisa menolak, dia hanya bisa pasrah atas keputusan Pak Nurdin. Dia tak ingin di cap sebagai sahabat tak tahu diri. Walaupun hati kecilnya menolak, dia harus belajar menerima demi kesejahteraan hidup sang anak kedepannya.

Bukan ia tak memikirkan perasaan sang anak. Tapi apa daya, dia tak ingin anaknya hidup dalam kekurangan. Cukup ia yang hidup dalam kesusahan, anaknya jangan sampai merasakan. Kehidupan sederhana yang mereka nikmati sekarang tak lain dari uluran tangan Pak Nurdin, dia yang membantu kehidupan Pak Maja dari sulitnya memenuhi kebutuhan hidup.

-

-

Dua anak manusia tenggelam dengan pikirannya masing-masing. Asap rokok mengepul memenuhi ruangan, menjadi teman dalam kebisuan. Hujan turun rintik-rintik menambah syahdu kondisi di villa itu.

“Jangan pikirkan masalah anak mu Ja. Tenang saja! Aku tak mungkin menyengsarakan Nana. Aku janji akan menjaga anakmu! Aku sudah menganggap anakmu sebagai anakku sendiri. Aku minta maaf memaksakan kehendakku pada Putri mu. Entahlah melihat Nana mengingatkanku pada Meira anakku yang meninggal dua tahun lalu,” ucap Pak Nurdin memecahkan kebisuan dengan mata berkaca-kaca.

Dia berdiri mematung di depan kaca yang memperlihatkan suasana indah di sekitar vila sore itu.

“Bukan itu yang aku pikirkan Din. Tapi kesiapan Nana, dari kemarin dia sudah menolak perjodohan ini. Dia tidak siap menjadi istri kedua Din, terlalu banyak resikonya! Anakku masih labil, anakku ketakutan! Dia punya mimpi Din, aku tak sanggup harus mengubur mimpinya. Perjodohan ini pasti mengganggu psikisnya, ditambah omongan tetangga yang akan menyudutkannya. Aku takut Din!” Sahut Pak Maja dengan wajah yang sudah bersimbah air mata. Dia berdiri mensejajarkan diri dengan Pak Nurdin.

Di lubuk hati terdalamnya, tersimpan rasa cinta yang begitu besar kepada sang anak. Diantara kebimbangan hati, dia harus memilih kehidupan yang lebih layak yang tidak bisa dia berikan kepada sang anak.

“Maafkan aku Ja! Memang aku salah, terlalu memaksakan keinginan ku. Tapi aku tak bisa membohongi perasaanku, aku sangat menginginkan anakmu menjadi pendamping anakku. Dia wanita yang kupilih untuk merubah sikap Dewa Ja! Aku yakin hanya dia yang bisa merubahnya. Aku ingin mengamanahkan hartaku ditangan yang tepat Ja. Di tangan anakmu! Bukan ditangan anakku ataupun ditangan menantuku! Karena aku tahu sendiri kelakuan mereka seperti apa.” Sahut Pak Nurdin menepuk bahu sahabatnya, tatapan nya sendu mengingat perangai sang anak dan menantu yang sering menyakiti hatinya.

“Tapi tidak harus perjodohan Din. Tanpa ada perjodohan pun, kau bisa menganggap anakku menjadi anakmu. Kau sahabatku dari dulu, aku sudah menganggap mu saudaraku. Aku tak tahu harus berbuat apa sekarang!"

“Aku hanya ingin ada ikatan dengan anakmu Ja, tak lebih dari itu. Aku punya alasan sendiri mengapa aku melakukan ini. Aku tak bisa menceritakan alasannya padamu sekarang. Tunggu waktu tepat! Aku akan menceritakan segalanya padamu!"

Ucap Pak Nurdin memegang tangan Pak Maja, dan mereka pun berpelukan.

-

Bersimbing

Jangan lupa like, comment, dan masukkan ke favorit yah reader..

Dukungan reader, energi buat author 🙏

Jangan ditunggu kelanjutannya, nanti nonghol sendiri 🤭

Hatur nuhun.

Penolakan Ayah

“Ayah Nana mohon! Jangan teruskan perjodohan ini. Nana gak mau Yah! Nana belum siap menikah, apalagi menjadi istri kedua. Nana mohon yah... Ayah minta apapun akan Nana kabulkan, asal tidak menikahi suami orang!” Naima duduk bersimpuh di kaki sang ayah. Sudah dua jam dia duduk tanpa merubah posisi. Walaupun kakinya pegal tapi tak dirasa, ia mencoba menahan, demi sebuah tujuan agar ayahnya membatalkan perjodohan konyol itu.

“Nana, maaf. Ayah tidak bisa menerima alasanmu. Ini demi kebaikan mu Nak!” Sang Ayah melepas wajah sang anak dipangkuan Nya. Ia berdiri berjalan ke pendopo rumah meninggalkan Naima seorang diri.

“Kebaikan yang mana Yah? Apakah menikahi suami orang adalah suatu kebaikan?Tidak Ayah! Itu sebuah kesalahan! Kesalahan karena merenggut milik orang lain!" ucap Naima menyusul sang ayah berjalan ke pendopo rumah.

Suasana sore itu cukup tenang, hamparan perkebunan teh membentang luas sejauh mata memandang. Hembusan angin sepoi-sepoi memberi kesan kedamaian untuk orang terlelap dalam belaian. Suara jangkrik menggema memberitahu bahwa kegelapan akan segera menyapa, sang surya yang mulai menguning meninggalkan cakrawala menuju ke peraduannya.

“Nak, percayalah. Ayah ingin yang terbaik untukmu. Beribu cara akan Ayah lakukan demi kebahagiaan mu, walaupun harus bertaruh nyawa. Ayah rela nak, karena tujuan ayah cuman satu. Ayah ingin hidup kamu bahagia tanpa kekurangan.”

Suasana tenang itu kini berubah menjadi sendu, isak tangis ayah dan anak terdengar. Menandakan kebimbangan dalam mengambil keputusan, mencoba bertahan untuk menolak takdir.

“Yah, Nana sudah bahagia tinggal bersama Ayah dan Ibu walaupun tak berkecukupan. Asal ayah tahu kebahagiaan Nana bukan tentang hidup mewah, ataupun harta berlimpah. Tapi kebahagiaan Nana adalah kalian, terlahir dari keluarga ini adalah kebahagiaan yang tak ternilai bagi Nana Yah!“

Dengan tatapan kosong Naima berbicara tanpa melihat wajah sang ayah.

“Ayah sangat sangat menyayangi mu nak. Ayah harap kamu menerima perjodohan ini! Soal rasa, nanti juga terbiasa. Asal kamu belajar membuka hati Nak.” Pak Maja menghampiri Naima memegang kedua bahunya.

“Tak semudah itu yah! Perihal rasa tak bisa dipaksa! Awal perjodohan ini pun sudah tak sehat yah, wanita mana yang mau di madu? Wanita mana yang mau berbagi? Tidak ada yah! Tidak ada wanita yang ingin seperti itu, begitu pun Nana!” Ucap Naima memandang wajah sang ayah, ia melepas tangan ayah dibahunya.

“Ayah tau ini berat untuk kamu, tapi ayah yakin kamu bisa!"

“Nana tak yakin yah, hati Nana menolak. Nana sudah coba membukanya, tapi hati kecil Nana tak mengizinkan. Ayah pernah bilang, segala sesuatu harus mengikuti kata hati, dan inilah jawaban hati Nana.” Naima mengusap dadanya perlahan, menetralisir sesak di dadanya.

Ternyata meluluhkan hati sang ayah tak semudah yang ia bayangkan.

“Nak tak semua orang memandang istri kedua itu rendah, perebut, ataupun tak laku. Tidak nak, jika mereka berpikir seperti itu, maka tak akan pernah ada kata poligami. Mereka punya mata dan punya hati, mereka tak akan gampang menghakimi. Setiap orang punya alasan nak, entah atas nama cinta ataupun pengorbanan.” Pak Maja menghapus air mata di pipinya

“Terus, alasan Ayah apa? Sebegitu rela Ayah menjadikan Nana istri kedua Mas Dewa!” Naima menepis tangan Pak Maja di pipinya.

“Ayah punya alasan Nak! Alasan yang tak bisa Ayah beritahu padamu!"

“Tapi yah, Nana butuh kejelasan dari semua ini. Agar Nana bisa menerima semua ini secara perlahan-lahan. Jika alasannya pun tak jelas, beritahu Nana bagaimana cara menerimanya!” Suara Naima naik satu oktaf terbawa suasana

“Alasannya nanti kamu tau sendiri! Sudah jangan membantah Ayah! Suka tidak suka kamu harus menerima perjodohan ini! Ayah tak mau tahu! Lusa Pak Nurdin kerumah kita, untuk melamarmu persiapkan dirimu! ” ucap Pak Maja dengan nada suara yang meninggi.

Pak Maja meninggalkan Naima, dia langsung masuk kedalam kamarnya.

Adzan magrib berkumandang, menambah syahdu suasana hati Naima. Keputusan sang ayah sudah bulat, tidak bisa dibantah lagi. Bagaimana pun caranya, dia harus menerima, tak bisa berkelit ataupun menyangkal lagi.

 

-

-

Desa Ci jangkar, merupakan sebuah perkampungan di kaki Gunung Waleran. Gunung yang menjulang tinggi yang menjadi icon pendakian, sekaligus tempat mata pencahariaan penduduk setempat. Gunung itu terkenal dengan adanya Tapak Sewu, Tapak sewu merupakan sejenis hutan larangan. Tempat ini tidak terjamah oleh manusia, konon siapa saja yang masuk kesana tak akan pernah pulang dengan selamat. Saking angkernya tempat tersebut, jalur pendakian tidak melewati tempat itu, melainkan berputar melawan arah kejalur kiri, karena hutan terlarang berada di jalur pendakian sebelah kanan yang terdapat banyak jurang terjal, dan posisinya berada di pos 4, yang dekat dengan puncak gunung tersebut.

Ada 5 pos keamanan di gunung waleran, setiap pos di jaga 4 Sampai 5 orang. Setiap pos dijaga ketat, agar menetralisir kejadian yang tak diinginkan. Saking ketatnya, pendaki harus berangkat perombongan dipandu satu petugas sampai pos 2, dan rombongan itu harus berjumlah ganjil, tidak boleh genap.

Kebanyakan pendaki berasal dari luar daerah, yang didominasi para pemuda pemudi dari kota.

 

-

-

“ Naima, buka pintunya Nak! Keluarga Pak Nurdin sudah datang!” Sumarni mengetuk pintu Naima dengan pelan,

Ceklek

“Masuk Bu!" Jawab Naima dengan wajah lesu.

“Kenapa belum siap-siap Nak? Pak Nurdin sudah datang bersama Dewa dan istrinya.” ucap sang ibu membelai lembut pipi Naima.

“Aku berharap mereka tak datang kesini Bu, tapi akhirnya datang juga.” ujar Naima pasrah memegang tangan sang ibu.

“Gak boleh gitu Nak! Hargai itikad mereka, jauh-jauh mereka datang kesini." ujar Sumarni dengan mata mengembun, lalu ia berjalan ke arah lemari pakaian Naima.

“Sini ibu bantu kamu bersiap!” Sumarni mengalihkan pembicaraan. Dia memilih pakaian yang akan digunakan Naima, padahal sebenarnya dia menghindari Naima agar tidak melihat air mata yang lolos disudut matanya.

 

-

-

“Disaksikan oleh Niken istri pertama, dan kedua orang tuamu. Dengan mengucap bismillah...” Ucap Pak Nurdin terjeda dengan raut wajah serius menatap Naima

“Naima, apa kamu bersedia menerima itikad baik keluarga Bapak untuk meminangmu menjadi istri kedua anak Bapak yang bernama Dewa?”

Semua mata memandang wajah Naima, mereka menunggu keputusan yang akan Naima ambil. Sang Ayah harap harap cemas menunggu jawaban yang akan putrinya ucapkan.

Naima menarik nafas sejenak, dengan sorot mata memandang semua orang yang ada diruangan itu,

“Ayah, Ibu, Pak Nurdin, Mas Dewa dan Mbak Niken, dengan kesungguhan hati. Maaf saya menolak lamaran ini!"

Jederrr

Ucapan Naima mengagetkan semua orang diruangan itu.

“ NAIMAAAAA!!!”

 -

**Bersimbing

Prepare nana on the way ke dunia lain😅

Jangan lupa like, comment.

Biar Author semangat up nya🤗**

Meira

“Puas kamu Nak mempermalukan Ayah Ibu seperti ini! Puas kamu membuat keluarga kita malu!! Lihat Ayah mu Nak! Dia sampai jatuh sakit!" Sang ibu menunjuk ke arah kamar, yang didalamnya tergeletak Pak Maja yang masih tak sadarkan diri.

“Kami kecewa padamu! Entahlah, ibu pikir kamu sudah mulai menerima takdir. Tapi nyatanya, kamu masih mempertahankan ego mu! Terlalu mengikuti perasaan mu tanpa memikirkan perasaan kami. Padahal harus kamu tahu kami melakukan ini demi kebaikan mu!” ucap Sumarni kecewa dengan mata memerah. Sikap lemah lembutnya kini hilang, berganti dengan rasa marah dan kecewa.

Ia pergi kebelakang rumah untuk menenangkan diri.

Setelah penolakan itu, keluarga Pak Nurdin langsung undur diri dari rumah Naima. Wajah Pak nuyrdin terlihat kecewa, dengan tatapan mata berkaca-kaca. Sementara Dewa menanggapinya cuek dengan tatapan wajah kosong, entahlah apa yang dirasa. Dia seperti orang linglung yang tak memiliki gairah hidup. Lain lagi dengan Niken bibirnya tersungging dengan tersenyum sinis.

Pak Maja sangat kecewa dengan keputusan Putrinya, ia tak bisa mengendalikan diri. Darah tinggi yang dideritanya tiba-tiba naik, ia langsung jatuh tak sadarkan diri.

“Maaf bu, Nana tak bermaksud membuat Ayah sakit. Nana hanya mengikuti kata hati Nana. Tapi Nana tak tahu dampaknya seperti ini!” Ucap Naima menangis memegang tangan Sumarni. Ia menyesal telah gegabah mengambil keputusan. Melihat ayahnya sakit jiwanya pun ikut sakit, mungkin itu yang dinamakan ikatan kuat antara ayah dan anak.

Sumarni melepas genggaman tangan Naima, dan menatap tajam matanya.

“Asal kamu tahu! Kami berhutang  budi besar kepada keluarga Pak Nurdin. Kamu harus tau Naima! Selain dia membantu membayar hutang ayahmu kepada Juragan Karsa, Pak Nurdin dengan rela mendonorkan mata anaknya untuk mu!! Mata yang bisa melihat itu ialah mata Meira Na mata sahabat Mu!! Meira dengan suka rela mendonor nya untuk mu! Meira melakukan ini agar Pak Nurdin tak merasa kesepian dan kehilangan. Walaupun raganya mati, tapi dia dapat hidup dengan harapan bisa melihat ayahnya setiap hari. Dan Pak Nurdin merasakan sosok anaknya hidup di ragamu. Inilah salah satu alasan kenapa Pak Nurdin menginginkanmu menjadi menantunya!" Sumarni berbicara penuh penekanan dengan bercucuran air mata. Suaranya sengaja di pelankan, agar tak terdengar sang suami ataupun orang lain.

“Kamu bukan saja menyakiti hati Ayah dan Ibu! Tapi kamu juga menyakiti hati Pak Nurdin dan juga Meira Na!” ucap Sumarni dengan suara yang tersengal.

“Ibu tidak bohong kan??” Tanya Naima dengan wajah shock. Ia tak menyangka yang mendonorkan mata untuknya adalah Meira sahabatnya, yang sudah pergi menghadap Ilahi karena sebuah kecelakaan yang menimpah mereka bersamaan.

“Tidak! Ibu tidak berbohong padamu! Ini kenyataan nya!!” Jawab Sumarni dengan menggelengkan kepala

“Dan maaf, kami merahasiakannya dari mu. Atas permintaan Meira! Seharusnya kamu memikirkan resiko jika menolaknya, bukan malah mengikuti ego mu!” Jawab Sumarni seraya masuk ke dalam rumah.

Naima menangis putus asa dengan menangkupkan tangan kedua matanya.

“Meira.. mata mu.. ini mata mu.. Ternyata kamu menepati janji, untuk selalu bersama ku.” Naima menangis bersimbah dengan menangkup wajahnya.

-

Naima terdiam mengingat kejadian 2 tahun lalu,

-

Meira gadis cantik yang beruntung, dia terlahir dari keluarga yang berkecukupan. Ayah nya pemilik perkebunan teh dan perkebunan karet yang luasnya berhektar-hektar, semua perkebunan karet yang ada di desa ci jangkar adalah milik Ayah nya.

Meira berteman dengan Nana sedari kecil. Ia mengenal Nana karena  sering ikut ayahnya berkunjung ke rumah sahabatnya yaitu Pak Maja, yang tempat tinggalnya  hanya berbeda kecamatan saja. Meira kecil memiliki sifat humble dan mudah bergaul. Ia bisa membaur dengan kalangan manapun.

Dan kejadian naas itu terjadi 2 tahun lalu, ketika Meira mengajak Naima berbelanja ke pusat kota.

-

“Hallo Nana, apa kabar?” Sapa Meira mengagetkan Naima yang sedang membaca buku.

“Meira ngagetin aja! Ucap salam kek, main nyelonong aja, kebiasaan!” Sungut Naima berdiri. Walaupun kesal, ia langsung memeluk Meira. Sahabat baik yang sangat dirindukannya

“Hehehe kan suprise Na.. Kamu sehat?? Tumben gak kerja?" Tanya Meira membalas pelukan nya.

“Sekarang libur Ra. Pak Agus pulang ke rumahnya yang ada di kota. Orang tuanya sakit, makanya tokonya tutup. Jadi aku libur deh." Terang Naima dengan mata berbinar.

Naima bekerja di toko sembako milik Pak Agus yang jaraknya tidak jauh di rumahnya. Pak agus merupakan pria rantauan dari kota, yang lebih memilih tinggal di perkampungan, mengikuti jejak istrinya yang berasal dari desa tersebut.

“Kamu tumben udah ada di rumah? Emang libur kuliahnya?” Tanya Naima menarik tangan Meira untuk duduk di kursi yang terlihat sudah lapuk.

Biasanya Naima berjumpa Meira antara akhir tahun dan hari raya. Mereka jarang bertemu karena kesibukan Meira yang sedang melanjutkan studi di ibu kota.  

“Aku belum libur kuliah Na, tapi pengen pulang. Jadi pulang aja. Tugas mah gampang, nanti nyusul aja." Sahut Meira sambil merapihkan rambut sebahunya.

Naima heran dengan ucapan Meira, biasanya Meira paling anti bolos kuliah.

“Tumben-tumbenan kamu Ra. Kesambet dimana? Biasanya juga kamu paling anti numpuk tugas!” ujar Naima sambil meletakkan air minum di atas meja

“Aku pengen refresh otak dulu Na. Mumet kuliah mulu. Besok kita jalan-jalan yuk! Kamu masih liburkan?”

“Libur kayaknya. Pak Agus sampai sekarang belum ngasih kabar, gak tau dia pulang kesini kapan. Emang jalan-jalan kemana Ra?” Tanya Naima duduk anteng disamping Meira.

“Aku mau ngajakin kamu ke kota, kita belanja-belanja gitu. Di rumah aku males ketemu Niken mulu, paling kesel itu harus nanggepin si Niken ngomong. Udah tau Bang Dewa gak suka sama dia, dia  tetep aja datang ke rumah. Mau ngusir gak enak. Menurut aku si Niken spesies wanita yang gak punya malu deh!” Ujar Meira dengan tersungut-sungut.

Dia paling tidak menyukai Niken, teman kerja sang abang yang menaruh rasa pada abangnya.

“Dari raut wajahmu, aku bisa lihat kamu tak menyukai Niken. Kenapa? Padahal dia cantik loh!” Kelakar Naima memancing emosi Meira.

“Cantik darimana nya? Cantikan aku lah.. Entahlah perasaan aku mengatakan Niken punya niat terselubung sama keluargaku. Entah kepada papa ataupun pada Bang Dewa!" Meira menjawab dengan mimik wajah serius.

“Jangan soudzon sama orang, gak ada yang bisa tau hati seseorang. Mungkin itu perasaan kamu aja Ra." ucap Naima memegang tangan Meira memberikan kekuatan.

“Bisa jadi sih, tapi yah tetap aja aku gak suka sama dia. Kalau bisa jangan sampe keluarga ku punya hubungan sama keluarga si Niken itu!”

“Gimana kalau Bang dewa berjodoh sama Niken, hayoo." Godanya. Meira langsung mendelik menatap kesal ke arah temannya itu.

“Aku harap jangan sampe Na! Aku gak ridho jika Bang Dewa punya hubungan sama si Niken! Apalagi sampe nikah, Ihhh amit-amit deh!" jawab meira mengepal tangan menggetok ke kepala nya sendiri berulang-ulang.

“Jangan gitu, jodohkan sudah di atur sama Tuhan. Jadi kalau mereka berjodoh yah kamu harus bisa menerima! Menerima Niken jadi kakak ipar kamu hahaha." Tawa keras Naima yang mendapat pelototan tajam dari Meira.

“No no no! Lebih baik kamu jadi kakak iparku ! Nanti aku bantu comlangin deh sama Bang Dewa!" Goda Meira membalas kejahilan Naima.

“Gak mau ah, mending nyari pacar sendiri aja hahaha.”

 

-

-

 “Ra, seriusan kamu bawa mobil sendiri? Kamu udah punya SIM kan?” Tanya Naima setelah berpamitan dengan ayah ibunya.

“Seriusanlah! Lagian kuliah aku bawa mobil sendiri Na, jadi udah biasa. Niih kamu bisa liat SIM aku” Meira membuka dompetnya dan menunjukkan SIM-nya kearah Naima

“Yaudah, kalau udah punya. Jadi aku tenang. Soalnya ini perdana aku dibawa kamu." ujar Naima sambil memasang sabuk pengaman.

“Tenang, bersamaku kamu aman terkendali!"

Lambat laun mobil yang dikendarai mereka meninggalkan perkampungan, menuju perkotaan. Kondisi perjalanan cukup lengang, sehingga Meira pun menaikan kecepatan mobilnya.

“Ra jangan ngebut-ngebut aku takut! Biar lambat, asal selamat!” Naima ketakutan memegang erat sabuk pengaman. Sementara Meira malah tertawa dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kamu tenang aja! Asal pake sabuk pengaman, aman kok."

“Ra, turunin kecepatannya itu ada ibu-ibu yang mau nyebrang!" ucap Naima kaget menunjuk ke arah depan.

Meira menginjak rem, tapi rem tak berfungsi. Ia mulai panik

“Ra, gak papa kan? Kenapa wajah kamu kok panik?" Tanya Naima dengan wajah tak kalah panik.

“Mobilnya gak bisa di rem Na! Rem nya blongg! Padahal dua hari lalu baru aku ganti, malem juga dipake masih baik-baik aja." Jawab Meira dengan wajah pucat.

“Sepertinya ada yang menyabotase rem mobil aku..”

“ Meira awassssssss”

Meira berusaha mengendalikan mobil agar tidak menabrak ibu ibu yang sedang menyeberang jalan. Tapi naas, mobil Meira malah menabrak bis yang sedang melaju kencang dari arah berlawanan. Mobil mereka terpental menubruk pembatas jalan.

“ Na..na..na..na.. “ suara pelan Meira memanggil Naima yang sudah tak sadarkan diri dengan darah mengalir dikepalanya, suara Meira semakin lemah dan ia menyusul Naima tak sadarkan diri.

-

Bersambung

Tabirnya perlahan-lahan mulai terbuka yah reader..

Jangan lupa subscribe akun author yah😜 gratis ini😇

like

commemt

dan masukkan ke favorit, biar tau kelanjutan ceritanya.

Gomawo 🥰

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!