NovelToon NovelToon

(Siapa) Aku Tanpamu

Tetangga baru

Setelah hujan reda pagi itu, Dinda turun dari kamarnya menuju teras depan tempat dimana kedua orangtuanya sedang menikmati secangkir teh hangat dengan sepiring gorengan.

"Pagi Ma Pa, kok tumben ga bangunin aku sih pagi ini" protes Dinda pada orangtuanya sebab hari ini adalah hari Minggu namun sepertinya Dinda lupa akan hal itu.

"Hari ini kan Minggu sayang, kamu lupa?" ucap Mama sambil merapikan rambut anak tunggalnya yang berantakan. Sedangkan Papa hanya tersenyum menatap putri dan istrinya itu.

"Aishhh aku lupa Ma, duh harusnya aku tidak menyianyiakan waktu dengan bangun sepagi ini. Ya sudah Ma, aku ingin kekamar melanjutkan tidurku yaa" ucap Dinda sambil hendak berdiri meninggalkan kedua orangtuanya diteras depan.

"Bangun pagi itu bagus, biar jodohmu gak dipatok ayam" ejek sang Papa pada putrinya.

"Bukan jodoh kali Pa, tapi rezeki" balas Dinda yang malah tak jadi beranjak pergi kekamarnya.

"Jodoh juga rezeki kan ya Pa?" ucap Mamanya sambil menggerakkan kedua alisnya sebab telah bersekongkol untuk memojokkan sang putri.

"Mama ih, kok jadi ikut ikutan Papa sih bukannya belain aku" ucap Dinda sambil memasang wajah cemberut.

"Udah ah, aku kekamar aja, daripada digodain mulu sama Mama Papa. Udah bossssyan" sambungnya. Dinda langsung masuk menuju keruang tengah dengan langkah yang sengaja ia buat agar terdengar sampai teras depan bunyi sendalnya yang "plak plak plak plak" bersentuhan dengan lantai sebagai bentuk ketidaksenangannya dijahili oleh orangtuanya. Namun dalam hati sebenarnya ia pun tidak kesal atau marah terhadap orangtuanya, sebab terkadang hal seperti inilah yang membuat ia selalu rindu Mama Papanya bila tidak di jahili, ("tapi ya jangan sering sering, kan bete juga". Benak Dinda ya gaiiiss hehe).

Siang harinya

POV Dinda

"Huaammmmm, jam berapa ya nih kok laper banget rasanya ni perut" ujarku setelah terbangun dari tidurku yang panjang dan tidak bermimpi sama sekali. Padahal aku ingin sekali jika tidur lalu mengalami mimpi sehingga aku bisa ceritakan itu kepada teman-temanku sebab aku sering sekali mendengar teman-temanku bercerita tentang mimpi yang mereka alami. Namun aku justru setiap kali bermimpi sering lupa ketika bangun. (Bukan cuma Dinda yaa, author juga sering gitu. kalo Readers gimana ?)

"Ahhh udah jam setengah 12 ternyata, pantesan laper. Mandi dulu ah sebelum makan" ucapku setelah melihat jam di Handphone dan beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi.

Saat mandi, Mama menggedor pintu kamarku yang terkunci dari dalam itu sambil memanggil manggil aku.

"Dindaaaa, Dindaaaa, bangun nak. Udah siang ini, emangnya ga laper? Dindaaaa, Mama sama Papa mau kedepan yaa, ada tetangga baru tuh yang beli rumahnya Pak Lukman jadi mau kenalan sekalian bantu-bantu apa yang bisa dibantu" jerit sang Mama yang tidak mendengar bunyi shower dari kamar mandiku.

"Apa Ma? Ini udah bangun. Ga denger. Iya Iya" begitu responku setelah mematikan shower saat samar-samar mendengar Mamaku memanggil.

Seketika aku tertawa sebab bagiku lucu juga, kan aku ga denger apa yang Mama bilang, tapi "iya iya" aja padahal aku yakin kalo Mama pun tak mendengar responku dari kamar mandi. Lalu aku melanjutkan mandiku sampai selesai.

Setelah berpakaian rapi, aku turun kebawah menuju ruang makan. Terlihat lauk pauk yang sangat lezat dan menggoda mulai membuat riuh para penghuni perutku.

Langsung saja aku mengisi piringku dengan nasi yang penuh dan segala jenis lauknya. Tapi...

"Kok sepi ya? Maaaa.... Maaa..... Paaaa.... Biiii.... Biiii...." aku melihat sekeliling dan memangil penghuni rumah, namun tidak ada siapapun.

Hingga kemudian aku mendengar langkah kaki dari arah taman belakang, ternyata Bi Hanum baru saja memberi makan kucing peliharaan orangtuaku. Yaaa, orangtuaku. Sebab aku tak suka kucing dan hewan lainnya. Apapun itu, aku geliii.

"Bi, Mama Papa kemana ya? Kok ga ada" tanyaku pada Bi Hanum yang sedang mencuci tangannya di westafel.

"Oh, Mama Papa Non di depan. Dirumahnya Pak Lukman yang habis dijual itu. Soalnya sudah datang tetangga barunya non" kata Bi Hanum

Memang beberapa minggu lalu Pak Lukman menjual rumahnya karena ia dan keluarganya akan pindah ke Banten sesuai mutasi kerjanya. Aku cukup sedih karena harus berpisah dengan Ari, anaknya Pak Lukman yang usianya lebih muda satu tahun dariku dan ia sangat tampan. Aku naksir dia, tapi aku malu. Bahkan didepannya selalu bertingkah seolah-olah aku tidak menyukainya. Huh seandainya saja Ari tau jika setiap malam aku membayangkan wajahnya dan berharap dia jadi jodohku, iiihhh pasti ilfeel sekali dia. Sebab dia bukan hanya tau baik-burukku, tapi justru "buruk-burukku". "Ohhhh Ariiiiiii" batinku menjerit.

"Non, astaghfirullahal'adzim. Ngucap Non. Non kenapa? Bibi sampe kaget" ucap Bi Hanum dengan wajah paniknya sambil mengelus-elus pundakku. Saat itu juga aku sadar, bukan batinku yang menjerit. Tapi memang aku-nya yang menjerit. Duhh malunyaaaa.

"Gapapa Bi, aku... aku... cuma latihan vokal aja tadi. Maaf ya udah bikin Bibi cemas hehe". Itulah yang dapat kukatakan untuk menghilangkan maluku dihadapan Bi Hanum.

Untung saja Bi Hanum orangnya mangut-mangut saja alias lempeng, jadi ga banyak tanya lagi. Itu juga alasan kenapa ia jadi Asisten Rumah Tangga senior di rumah ini, karena kerjanya bagus dan tak terlalu ambil pusing dengan apapun yang yang di alami majikannya.

Ia benar-benar berbakti dan mangayomi para ART junior di rumahku. Meski segala hal yang mendesak berkaitan dengan urusan pekerjaan rumah di tentukan olehnya.

Papa mempercayainya untuk memperhatikan kucing peliharaan serta kebersihan kandang jika suami Bi Hanum berhalangan atau sedang tak bisa mengerjakannya. Bi Hanum sudah aku anggap sebagai nenek, karena cara perhatiannya padaku mengingatkanku pada mendiang nenekku yang diam namun sebenarnya peduli.

Flashback sedikit ya, waktu itu aku masih SMA dan pulang sekolah aku nongkrong dulu di salah satu Mall yang baru buka waktu itu. Sangking asyiknya aku berkumpul dengan teman-teman, aku sampai tak ingat pulang dan sedari pagi ponselku dalam mode hening.

Saat aku sampai rumah, kondisi hari sudah mulai malam dan tentu saja aku mendapat pelototan tajam dari papa karena tak mengabari jika hendak pulang malam. Aku juga sempat mikir akan di marahi, namun ternyata justru aku di diamkan saja oleh orangtuaku setelah kejadian itu.

Hingga sampai pada puncaknya, aku yang merasa bersalah pun akhirnya tak berani sarapan, makan siang, atau makan malam bersama orangtuaku di meja makan. Karena, sangat canggung jika berhadap-hadapan namun aku seperti tak dianggap.

Di sejak saat itulah aku mulai terbiasa makan di dalam kamar sendirian, dan itu di ketahui Bi Hanum. Hingga suatu hari, saat aku hendak membuka pintu untuk mengambil makan di bawah, aku menemukan nampan yang penuh dengan sepiring nasi beserta lauk pauknya dan segelas minuman serta 1 mangkok potongan buah.

Aku pikir itu adalah ulah Mama yang berusaha mengajakku berbaikan. Tapi, ternyata setelah aku selidiki, Bi Hanum-lah yang melakukannya. Sejak saat itu aku jadi sangat sayang dan dekat sama Bi hanum.

...-...

...-...

...-...

Haii, sebagai penulis yang baruuu banget aku mohon dukungan, saran, dan kritik kalian yaa agar aku makin jago nulis novelnya. Sebisa mungkin aku bakal up 1 episode perhari.

Terima kasih:)

2. Keluarga Om Setyo

Setelah menyelesaikan makan siangku, aku bergegas menyusul kedua orangtuaku karena akupun penasaran juga dengan siapa tetangga baru kami. Saat aku sudah sampai diteras depan, aku dapat melihat bahwa kedua orangtuaku sedang berbincang dengan sepasang suami istri yang bisa aku tebak pasti itu adalah tetangga baru kami. Namun aku juga dapat melihat di dekat mereka seorang laki-laki dewasa yang sangat cool dan cukup mempesona. Hanya saja dari jauh dia terlihat angkuh.

"Ma" langsung saja aku memanggil mamaku saat sudah didekatnya. Sebagai kode bahwa diantara mereka ada aku.

"Pak Bu, kenalin ini anak saya. Namanya Dinda. Anak saya satu-satunya" mama memperkenalkan aku kepada mereka. Sontak saja aku langsung mengulurkan tangan untuk bersalaman.

"Oh ini anaknya Bu, salam kenal Dinda. Panggil tante aja ya, kamu cantik banget. Ini suami tante, Om Setyo. Laki-laki tampan yang lagi ngaca depan jendela itu anak tante, namanya Ariel. Kayanya hanya tua sedikit dari kamu ya" ucap tante itu dengan sangat ramah sambil tersenyum kepadaku.

Aku hanya bisa tersenyum memamerkan gigi putihku sebab aku memang selalu merasa canggung jika bertemu orang asing. Selama berdiri ditengah para orangtua, aku merasa jenuh dan melihat sekeliling mencari sesuatu yang enak dipandang. Oups, justru aku melihat pria tampan dengan hoodie dan topi hitam yang membuatnya terlihat sedap dipandang. Dan... oh Tuhan, dia melihat kearahku, betapa malunya. Ketahuan memandangi, pasti aku di cap cewek agresif. Kuputar kepalaku dan berpura-pura melakukan olahraga leher. Sungguh memalukan.

"Om, Tante saya masuk dulu ya mau istirahat" terdengar suara berat dari arah samping kiriku. Ternyata itu suara laki-laki itu.

"Iya riel, gapapa masuk aja, kenalan dulu nih sama anak tante" kata Mamaku.

Dag dig dug... selalu saja jantungku ini punya kebiasaan berdebar setiap ketemu lelaki tampan. Norak sekali.

"Iya, tante"

"Kenalin, Ariel" sambungnya sambil mengulurkan tangannya padaku.

"Dinda" balasku sedikit kaku.

Dia tersenyum tipis saat menggenggam tanganku, pikirku dia pasti bisa menjadi teman baik suatu saat untuk mengganti Ari yang selalu menemaniku seharian bepergian jika sedang suntuk dirumah.

Setelah bersalaman singkat itu Ariel langsung masuk kerumahnya dengan berpamitan dulu kepada orangtuaku. Aku pun ikut berpamitan untuk pulang kerumah karena yang terpenting sudah menyapa dan berkenalan dengan tetangga baru kami.

POV Dinda end

Satu minggu berlalu, Dinda masih disibukkan dengan kegiatan perkuliahannya. Sampai-sampai ia tidak pernah lagi keluar rumah kecuali pergi ke kampus. Sama persis seperti saat ini, di hari minggu tapi Dinda disibukkan dengan kumpulan tugas dan kertas yang berserakan di dalam kamarnya. Tampilannya pun sangat kacau dengan pena yang sengaja ia letakkan di atas telinganya, rambut yang acak-acakan, dan mata yang lesu karena tidak tidur semalaman.

Saat sedang mengerjakan tugasnya, Dinda mendengar suara bel yang berbunyi menandakan ada tamu yang datang. Namun karena terus-terusan berbunyi, akhirnya Dinda berinisiatif untuk membukakannya. Meski biasanya selalu Bi Hanum yang membukakan pintu jika ada tamu yang datang. Mungkin Bi Hanum sedang sibuk di halaman belakang dan tidak mendengar bunyi bel.

Sampai dibawah, segera Dinda buka pintu untuk menyambut tamu yang sedari tadi menekan bel seperti orang yang tidak sabaran.

"Haa" kagetnya aku saat membuka pintu dan tampak wajah Ariel yang sedang berdiri membawa tentengan kresek di tangannya.

"Pagi Dinda, ini ada kue buatan Mama katanya sebagai bentuk terima kasih karena sudah banyak membantu sejak kepindahan kami kesini" ucap Ariel yang langsung nyerocos saja tanpa basa-basi.

"Oh, iya, pagi juga, emmm bilang sama tante dan om makasih juga ya" balas Dinda dengan berusaha sesopan mungkin.

"Iya sama-sama. Dinda, boleh nanya ga ?"

"Mau nanya apa ?"

"Udah cuci muka belom ?"

Shitttt... kenapa aku bisa lupa. Dan laki-laki ini mulutnya benar-benar tidak bisa disensor. Aku kan malu sekali.

"Eh iya, hehe..." responku sambil menggenggam keras gagang pintu.

"Karena sudah dapat jawabannya aku pulang dulu ya"

Ariel berlalu dari rumahku sambil terdengar senandung lagu aneh yang sama sekali tidak aku ketahui itu lagu apa.

Sakit tu orang, keliatan bahagia banget habis ngejatuhin orang. Dasar aneh.

Dinda menutup pintu dan beranjak kedapur untuk menata kue dari tante Setyo ke dalam piring. Namun karena bentuk dan wanginya menggoda, Dinda pun mencicipi kue itu. Lezat sekali kuenya, bahkan sudah habis setengah oleh Dinda.

Malam hari di teras rumah Dinda

POV Dinda

Seharian tidak keluar rumah dan hanya berdiam diri dikamar sambil ngerjain tugas benar-benar membuat aku bosan. Sehingga untuk mengurangi rasa bosanku, aku duduk menikmati indahnya bintang dilangit dengan sesekali melihat ke arah rumah om Setyo.

Sepi banget nih malam, perasaan kalo di kamar sering denger suara kendaraan lewat mulu. Giliran di pantengin depan rumah, kok ga ada yang lewat. Hiii jadi merinding.

(Begitulah kira-kira isi hati si Dinda yang tinggalnya di komplek perumahan, beda ya gaez ya sama author yang tinggalnya di tepi jalan raya lintas provinsi lagi, uh non stop kendaraan yang lewat. kok jadi curhat hihi, ampun ya gaez ya).

"Oi, menung aja. Ga takut kemasukan setan lo?" jerit Ariel yang tiba-tiba ada di depan pagar rumahku.

"Ai, oi, ai, oi aja. Kaget tau. Kok bisa nongol sih?" balasku dengan sewot karena kaget tiba-tiba ada suara.

"Hahaha ampun deh tadi kerumah yang kuning itu buat anter kue mama sambil jalan-jalan malam. Lagian juga udah malam ngapain melamun. Galau lu?"

"Cewek cantik kalo galau hukumnya haram. Dia dikasih kue, kok gue nggak?"

Sengaja gue tanya begitu, soalnya jaim sama nih orang kayanya ga guna. Dianya aja seenaknya ama gue.

"Lo kan udah tadi pagi, ya sekarang dia"

"Hahaha, ohh adil ya. Kaya suami poligami"

"Sue lu" jawabnya.

"Dahlah, gue mau pulang. Cape nih kaki kerja rodi mulu" sambungnya. Lalu melangkah meninggalkan halaman rumahku.

"Makasih ya mas" jawabku dengan selembut mungkin dan sambil menahan tawa yang tidak sanggup lagi ditahan.

"Iyee" jawabnya sambil tersenyum dan geleng-geleng kepala.

Setelah aku melihat Ariel masuk kedalam pagar rumahnya, aku pun ikut masuk kedalam rumahku karena memang tidak ada teman ngobrol juga disitu. Sesaat aku berpikir bahwa Ariel tidak seangkuh yang dulu aku sempat duga, justru ternyata orangnya ramah dan sudah terlihat watak menyebalkannya meski baru berbincang tadi pagi.

Kesan yang manis. Tak perlu di buat-buat untuk terlihat baik tapi sinyal baiknya tetap sampai kepada orang lain.

...-...

...-...

...-...

Jangan lupa di like ya guys, hargai usaha aku dikiiiittt aja hehe. Sampe ngemis nih aku😅😅

3. Akrab

Pagi yang cerah di hari Senin, tapi tidak secerah hati Dinda yang saat ini sangat enggan menyambut hari Senin bahkan rasanya tak ingin beranjak dari tempat tidur kesayangannya. Namun tugas-tugas yang telah ia kerjakan dengan segenap jiwa dan raga itu harus dikumpulkan hari ini juga. Alhasil, tanpa berlama-lama ia segera menyambar handuk yang biasa terjemur di jemuran balkonnya untuk segera mandi dan langsung kekampus.

Setelah mandi kurang lebih 20 menit, Dinda segera bersiap-siap dengan jeans dan kemeja flanel warna biru dongker kesukaannya, serta berdandan minimalis agar terkesan manis, meski yang memandang hanya Pak Kumis si satpam kampus. Meski dandannya minimalis, percayalah ada banyak sekali senior kampusnya yang berusaha mendekati Dinda yang kini baru semester pertama karena memiliki paras yang cantik mempesona tidak seperti mahasiswi lainnya yang pipinya seperti kena tamparan keras oleh kenyataan (hehe).

Pagi itu, Dinda turun ke meja makan dengan menenteng banyak berkas tugas di tangannya menuju meja makan untuk sekedar mengambil sehelai roti dengan olesan selai yang telah disediakan Bi Hanum lalu menyantapnya di mobil karena sudah tidak sempat untuk sarapan ria dimeja makan bersama orangtuanya.

"Ma, Pa aku berangkat ya. Udah telat nih soalnya"

"Hati-hati ya nak. Nanti jangan pulang telat. Kalo mau keluyuran izin dulu biar mama gak khawatir" pesan Mama kepada Dinda yang memang sudah terformat seperti itu karena setiap Dinda mau pergi selalu sama tidak pernah berubah ataupun terbalik susunannya. Bahkan Bi Hanum saja sampai hapal karena beliau memang sudah bekerja cukup lama disini.

"Iya mamaku sayang, byee..." balas Dinda menyalami kedua orangtuanya sebelum melangkah pergi menuju garasi mobil yang berada di samping rumahnya.

Saat hendak berlalu keluar pagar, terlihat Ariel sedang berjalan dengan posisi membelakangi tepat 5 meter di depan mobilnya. Sontak saja Dinda sengaja membunyikan klakson dengan sekali tekan tapi durasinya panjang. Ariel yang kaget pun memutar badannya untuk melihat siapa yang berani memecahkan gendang telinganya pagi ini.

Setelah tau bahwa itu Dinda, Ariel justru sengaja berjalan lebih pelan dan menepi kesebelah kanan lalu mereka justru berjalan beriringan. Yang satu duduk santai sambil nyetir, yang satunya jalan kaki. Mereka berbincang seperti dua orang yang tidak punya kerjaan.

"Pagi Ariel, sehat banget ya siang malam jalan kaki" ejek Dinda dengan posisi siku di pintu mobil, sudah seperti sopir angkot yang siap kebut-kebutan dijalanan.

"Bukannya nawarin tumpangan sebagai tetangga yang baik, malah ngeledek. Cih..." sahut Ariel yang berpura-pura akting seperti aktor antagonis dengan senyum menyeringainya.

Cakep banget sih ni cowok, seneng banget gue bisa godain dia. Apa gue tawarin tumpangan aja kali ya?

"Emang lu mau kemana? Kalo gue mau ngampus. Kampus gue deket dari sini. Kalo jauh, lu ga gue anterin hahaha"

"Kantor gue deket kok. Perusahaan Sa***t. Taukan lu?"

"Ya udah, masuk sini. Atau kalo lo bisa nyetir, lo aja deh nih biar gue yang pindah"

"Gue bisa nyetir, tapi males. Lo aja deh, gue juga kan entar yang turun duluan".

"Nyebelin ya bun" balas Dinda. Padahal ia sudah turun dari mobilnya agar Ariel bisa langsung masuk kemobil dan duduk di kursi kemudi. Malah ujung-ujungnya tetap Dinda juga yang nyetir.

"Haha, bukan nyebelin. Tapi sopan"

"Sopan darimana? Yang ada gue jadi telat nih gegara lu. Gue udah cape-cape turun, malah elunya ga mau nyetir"

"Santai dong bos, jangan bawel gitu dong. Besok pagi kalo lo mau pergi jam segini, bareng gue aja. Giliran gue yang anterin lo".

"Yakin nih ?"

"Iyalah, kapan sih gue becanda"

"Oke, besok anterin gue ngampus kalo gitu"

"Sip. Mana sini nomor hp lu biar gua telpon kalo mau berangkat"

"082375******. Kasih nama "cewe cantik" ya".

"Nggak, kasih nama "kutukan" aja hahaha"

"Eh, dah mau sampe nih. Mau turun dimana lo?" ucap Dinda mengakhiri perdebatan kecil mereka yang sepanjang perjalanan itu.

"Ya udah, noh depan dikit biar gua ga jauh-jauh jalan kakinya" ucap Ariel sambil menunjuk arah dekat pintu pagar kantornya.

"Makasih ya udah nganterin gue, btw panggil gue abang. Lu tuh masih bocah ya, gua 5 tahun lebih tua dari lu" sambung Ariel yang langsung saja keluar dari mobil setelah memberi siramin rohani kecil-kecilan kepada Dinda.

Dinda hanya bisa melongo sambil memperhatikan kepergian Ariel. Ia teringat waktu pertama kali bertemu dengan keluarga Ariel, tante bilang bahwa mereka hanya beda dua tahun.

Ih, ini pasti tante ngira aku yang ketuaan. Imut gini, masa beda 5 tahun jadi kaya 2 tahun. Emhh berarti umur Ariel 23 tahun, ga jauh jauh banget si.

"Astaga, gue kan mau ngampus. Kenapa jadi mikirin Ariel. Aaaaaa, jadi telat kan nih, bisa di tandain muka gue sama Pak Helmi perkara telat ngumpulin tugas. Tolong aku Tuhaan"

Dengan terburu-buru Dinda segera meninggalkan kantor Ariel dan menuju kampusnya. Untung saja jarak kantor dan kampus hanya selang 5 menitan. Namun tetap saja Dinda cemas, sebab ia sudah terlambat 2 menit sebelum waktu yang sudah ditentukan Pak Helmi untuk menyerahkan tugas.

"Aku kan udah berbuat baik Tuhan, tolong kerja samanya yaa... Bantulah hambamu ini biar ga telat. Menit di buat mundur kek" oceh Dinda bermonolog di dalam mobil.

Dinda sudah tak lagi peduli dengan sekitar sebab sendirinya pun sedang panik karena masih menyandang predikat junior saja ia sudah banyak tingkah, pikirnya. Bagaimana nanti jika sudah jadi senior di kampusnya.

Terlebih banyak yang bilang kalo makin lama kuliah tuh makin pusing. Apalagi seringnya ketemu orang baru selalu di tanya "Kuliah di mana?, Semester berapa? Ambil jurusan apa?". Ya kalo masih junior pasti semangatlah jawabnya. Karena semesternya masih sedikit.

Coba kalo yang sudah semester banyak, ganas pasti jawabannya. Di tanya "ambil jurusan apa?" jawabnya "ambil hikmahnya aja". Terus di tanya "Mudah ga jurusannya?" jawabnya "Mudah-mudahan masih bertahan". Sampe meme aja banyak yang ngangkat kisah tentang mahasiswa. Karena memang begitulah keluh-kesah mahasiswa.

Tapi buat yang tidak seberuntung Dinda, mereka-mereka yang memilih langsung bekerja tanpa kuliah. Kalian tetap istimewa dengan jalan yang kalian pilih. Belum tentu orang yang kalian pikir "beruntung" ini bisa mampu menjadi seperti kalian.

Yang harus kuat dengan segala kondisi, menahan untuk tak mengeluh meski jatuh berpuluh-puluh. Kita ini sama, meski Tuhan membedakan cara tuk mendewasakan kita.

Sejatinya, hidup ini adalah urusan-Nya, tapi manusia yang selalu meragukan takdir sehingga mencemaskan kehidupannya. Sedang di sana, di langit sana, mungkin Tuhan sedang tersenyum menatapnya yang gelisah seolah hidup berhenti sampai di sini ketika ia tak punya apa-apa.

Padahal Tuhan punya segala, bisa ia atur dengan hanya sekejap saja. Tugas kita sebagai manusia, merayuNya. Hingga ia menolong kita.

...-...

...-...

...-...

Jangan lupa di like dan komen ya guys, aku butuh support dari kalian agar novel ini bisa dengan semangat aku lanjutin☺

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!