NovelToon NovelToon

I'Ll Never Forget You

Impian yang menjadi nyata

'Jika cinta itu menyakitkan, kenapa dengan sukarela kamu masih menggenggamnya?'

Seorang gadis dengan poni depan dan rambut sebahu yang tergurai tampak tersenyum kecil membaca kalimat singkat dari sebuah buku yang sedang di pegangnya.

"Itu namanya orang bodoh!" celetuk teman laki-laki yang duduk tepat didepannya.

"Bodoh? Bagaimana bisa dibilang bodoh? Itu namanya setia!" sahut si gadis tak mau kalah.

"Coba kamu bayangkan, jika kamu harus menggenggam durian kecil yang penuh duri. Menggenggamnya dengan sangat erat. Bukankah itu akan membuatmu terluka? Kalimat tadi sama seperti itu," ucap laki-laki itu.

"Fani, Hansen cukup! Jakarta sudah cukup panas lalu dengar kalian berisik semakin membuat pengap," seru seorang gadis yang sebaya dengan keduanya sambil duduk di kursi kosong sebelah Fani. "Kalian berdua ini kenapa selalu meributkan hal-hal sepele?" tanya gadis berambut pendek itu. Gayanya terlihat sedikit tomboy namun modis.

"Riri, kenapa kamu lama sekali?" tanya Fani yang mengalihkan pembicaraan.

"Aku sibuk, banyak sekali novel-novel yang harus aku edit. Lihat lingkar mataku semakin menghitam," sahut Riri sembari menyantap makan siangnya di kantin.

Fani dan Hansen tampak menatap Riri yang terlihat seperti sangat kelaparan sedang mereka berdua sudah selesai menghabiskan makan siangnya.

"Eh novel apa itu?" tanya Riri dengan mata yang terus menyoroti buku yang sedari tadi dipegang Fani.

"Kisah sempurna karya Vivian," jawab Fani.

"Vivian? Penulis yang kamu suka itu bukan?" tanya Riri dengan mulut yang penuh.

Fani mengangguk. "Aku sudah membaca ke enam novel buatannya. Aku suka banget."

"Kamu suka novel-novelnya karena apa? Bukannya penulis lain ceritanya terlihat lebih menarik?" tanya Hansen.

"Dari enam novel yang aku baca, kesemuanya punya satu kesamaan yaitu sama-sama tentang penantian. Seperti novel ini." Fani menunjuk novel yang dipegangnya.

"Memang itu bercerita tentang apa?" tanya Riri penasaran.

"Novel ini bercerita tentang seorang perempuan yang memiliki suami tukang selingkuh namun terus memaafkan sang suami. Disini si perempuan benar-benar sabar menunggu si suami sadar dan kembali padanya," terang Fani.

"Benar kataku tadi itu bodoh namanya," timpal Hansen kesal.

"Aku bilang gak bodoh. Meski si suami tukang selingkuh tapi si istri percaya bahwa hal-hal manis yang pernah mereka lalui pasti bisa membawa suaminya kembali padanya. Dan dengan kepercayaan yang seperti itu benar-benar terwujud. Bukannya luar biasa?" Fani tampak terkagum-kagum.

"Kali ini aku setuju dengan Hansen. Perempuan dalam novel itu sangat bodoh. Sekalipun sang suami kembali tentu ada sedikit noda hitam dalam pernikahan mereka. Kalau aku jadi si perempuan, sudah ku tendang sampai luar pulau suami begitu," seru Riri terlihat gemas.

"Ini aku berandai-andai.. Kalau aku bisa bertemu Vivian, aku ingin memintanya membuatkan sebuah novel untukku. Aku ingin aku sendiri yang merancang alur ceritanya," ucap Fani dengan tatapan yang seolah sedang memikirkan sesuatu.

"Daripada mengkhayal yang tak pasti lebih baik kamu keluar dari bagian editor dan menjadi penulis aja. Lalu kamu tulis cerita yang kamu ingin tulis, kan beres kalau gitu," timpal Hansen yang berujung mendapat pukulan kecil di kepalanya.

"Kamu memang mau menulis cerita tentang apa? Jangan-jangan tentang laki-laki itu?" tanya Riri seolah peka.

Fani mengangguk tak menyangkal. "Aku hanya takut kalau suatu saat nanti aku melupakannya," jawab Fani pelan.

"Justru bagus kalau kamu melupakan laki-laki itu. Fani, kamu itu perempuan yang cantik, meski tidak terlalu pintar tapi kamu pantas mendapat kebahagiaan. Jangan hanya karena satu laki-laki seperti itu kamu kehilangan kebahagiaan kamu." Riri memberi nasihat.

"Aku tahu. Aku hanya masih belum bisa melupakannya," jawab Fani singkat.

"Fani, ternyata kamu disini!" seru seorang laki-laki yang menghampirinya dengan nafas terengah-engah.

"Andre? Kenapa?" tanya Fani bingung.

"Kamu cepat ke ruang bos. Ditunggu, sekarang!" seru laki-laki itu sembari duduk disamping Hansen dan meminum minuman Hansen yang tampak menganggur diatas meja kantin.

Fani tak bertanya apa-apa lagi dan langsung bergegas menaiki lift ke lantai tiga kantornya. Gadis itu berjalan cepat dan mengetuk sebuah pintu.

"Masuklah," seru seseorang dari dalam ruangan.

Fani langsung membuka pintu itu dan berjalan masuk kedalam. Dilihatnya seorang wanita muda berambut pendek sebahu yang sebaya dengannya mengenakan blouse berwarna cokelat muda dan celana panjang kain berwarna hitam tengah duduk di depan meja sang bos.

Saat melihat kedatangan Fani, wanita itu membalikkan tubuhnya dan berdiri. Menatap Fani dengan tatapan yang ramah.

Fani tampak bingung untuk apa si bos memanggil dirinya kesana. "Cepat beri salam," tegur si bos padanya.

Fani langsung mengulurkan tangan kanannya dan diterima dengan uluran tangan kanan si wanita itu. "Fani. Salah satu editor disini," seru Fani memperkenalkan diri.

Wanita itu tersenyum ramah, "Vivian."

Fani langsung membelalakan matanya seolah tak percaya. Benarkan sosok wanita yang berada di hadapannya adalah si penulis favoritnya?

"Beliau ini seorang penulis dan sudah menerbitkan enam karya novel yang populer. Kalau tidak salah yang paling baru berjudul 'kisah sempurna'. Dan novel itu sangat laku dipasaran," terang si bos yang semakin membuat Fani tersenyum lebar sembari tak henti menatap wanita muda dihadapannya.

Fani mengangguk. "Saya membaca semua karya novel anda, dan saya sangat suka. Ini saya sedang membaca novel terbaru anda," ucap Fani sembari menunjukkan novel yang tadi menjadi perdebatan di kantin.

"Terima kasih," jawab Vivian ramah. Suaranya terdengar sangat halus dan hangat.

"Baguslah, kalau begitu aku tidak salah menunjukmu untuk menjadi editornya," celetuk si bos.

"E-editor?" Fani tampak tak percaya bahwa ia akan bekerja sama dengan penulis kesukaannya.

"Jadi begini biar aku jelaskan. Bu Vivian ini ingin sekali bekerja sama dengan penerbit kita untuk novel yang nanti akan di buatnya. Hanya saja bu Vivian ini masih belum mendapat ide untuk novel terbarunya. Beliau ingin seorang editor yang juga bisa memberinya ide cerita dengan plot yang menyegarkan," jelas pak bos panjang lebar.

"Lalu mengapa aku bisa terpilih pak bos?" tanya Fani pada atasannya.

"Pertanyaan yang bagus! Bukannya kamu selalu mengatakan padaku ingin membuat sebuah cerita yang alurnya kamu sendiri yang mengaturnya. Ini kesempatan yang baik," terang pak bos.

Fani tampak tak terkejut sama sekali. Bukan tanpa sebab, pak bos adalah teman kuliahnya sendiri. Orang yang tahu tentang apa yang di inginkannya. Bisa dibilang mereka cukup dekat.

"Apakah kamu mau bekerjasama dengan saya dan memberitahu saya cerita apa yang ingin ditulis?" tanya Vivian sembari tersenyum.

Tanpa ragu Fani langsung menganggukkan kepalanya menyetujui. Bagaimana dirinya bisa keberatan jika itu adalah mimpinya sejak dulu?

"Tentu!" sahutnya penuh semangat.

Dalam hati, gadis itu masih merasa semua seperti mimpi. Kisah yang lama dipendam dalam ingatannya sebentar lagi akan tertuang dalam sebuah guratan bersampul.

Kotak Kenangan

Langit sudah berubah menjadi lebih redup saat Fani berdiri di depan pintu ruang atasannya. Gadis itu terlihat sumringah dan tak bisa berhenti tersenyum.

Buku yang dibacanya siang tadi masih berada di tangannya. Sambil memandang buku itu, dia berkata "Sebentar lagi aku akan memiliki tulisan tentang kisahku sendiri!"

Pak bos yang baru keluar dari ruangannya tampak terkejut melihat Fani berdiri dihadapannya. "Hei, kenapa kamu masih disini?" tanya atasannya.

"Tunggu kamu," jawab Fani cepat sembari langsung menghampiri sang atasan.

"Kenapa? Kok tumben?" tanya pak bos lagi.

Fani tak menjawab pertanyaan itu, dan justru memeluk lengan kiri sang atasan sambil terus tersenyum. Keduanya berjalan menuju ke lift.

"Apa sebahagia itukah?" tanya sang atasan lagi saat keduanya sudah berada di dalam lift.

Fani mengangguk berkali-kali. "Evan, aku pikir kamu lupa sama apa yang pernah aku ceritakan!"

"Mana mungkin aku lupa. Apalagi kalau itu adalah impian terbesar kamu. Sebagai orang yang paling dekat denganmu, tentu aku harus membantu mewujudkannya saat ada kesempatan!" timpal sang atasan yang bernama Evan itu.

"Apa semua ini hanya kebetulan? Bagaimana bisa Vivian memilih kita sebagai penerbitnya? Apa kamu memohon padanya?" tanya Fani yang merasa mulai curiga.

"Kamu pikir aku apa? Bagaimana mungkin aku memohon-mohon? Otakmu sudah mulai gak beres," timpal Evan.

"Lalu bagaimana bisa hal-hal seperti itu berjalan sesuai dengan keinginanku?" tanya Fani lagi.

"Kalau begitu bisa saja semesta sedang membantumu!" jawab Evan yang kini melepaskan pelukan tangan Fani dan justru berbalik merangkul pundak gadis itu. "Karena kamu sudah mendapatkan apa yang kamu mau, maka kamu harus berusaha lebih keras lagi!" lanjutnya.

"Tentu! Aku akan berusaha menceritakan setiap detailnya!" jawab Fani berapi-api.

Kini Evan yang terlihat tersenyum kecil melihat antusias Fani. "Ternyata di dunia ini masih ada laki-laki yang seberuntung itu," gumam Evan pelan.

"Maksudnya?" Fani tak paham maksud ucapan Evan barusan.

"Dia beruntung karena meski dia meninggalkanmu dan tak peduli padamu atau bahkan sekarang mungkin dia sudah tak mengingatmu tapi ada seseorang yang selalu mengingatnya dan berusaha keras untuk tak menghapus setiap jejak dirinya. Bukankah itu bisa dikatakan dia sungguh beruntung?" jelas Evan.

Fani menghentikan langkah kakinya saat akan masuk kedalam mobil milik Evan, padahal laki-laki itu sudah membuka pintu mobilnya.

"Jika kamu benar-benar mencintai seseorang, sesakit apa pun itu kamu pasti enggan untuk melepasnya. Namun, jika kamu tak benar-benar mencintainya maka semudah apa pun jalannya kamu akan melepasnya begitu saja," jawab Fani sembari menatap Evan.

Evan menyadari untaian kalimat itu menyiratkan sebuah makna. "Apa aku boleh numpang makan malam dirumahmu?" tanya Evan mengalihkan pembicaraan.

Laki-laki itu menyadari bahwa sepertinya cinta Fani untuk seseorang yang tak pernah dirinya tahu cukup dalam. Dan yang menjadi kepastian, tak ada ruang dalam hati gadis dihadapannya bagi siapapun, termasuk dirinya.

"Kenapa masih bertanya? Bukannya kamu sering numpang makan di rumahku? Hahaha.." Fani tertawa kecil membuat Evan menutup pintu mobil sambil sedikit tersipu.

**

Sesampai dirumahnya, Fani langsung masuk kedalam kamar sementara Evan tampak mengobrol dengan mama Fani didapur. Wanita paruh baya itu tengah sibuk memasak makanan untuk makan malam.

"Kamu istirahat saja atau sana mengobrol dengan Fani, jangan bantu-bantu disini. Pasti lelahkan setelah bekerja seharian," seru mama Fani lembut.

"Kalau begitu saya ke kamar Fani ya tante," pamit Evan.

"Kamu ini, seperti dirumah siapa aja," sahut mama Fani.

Evan perlahan pergi meninggalkan mama Fani yang terlihat sangat sibuk memotong sesuatu dan berjalan ke arah sebaliknya. Laki-laki itu mengetuk sebuah pintu yang sedikit terbuka.

Dilihatnya Fani tengah duduk di depan sebuah meja sembari memandangi sebuah kotak besi berukuran 20cm x 20cm berwarna merah tua. "Kamu sedang melihat apa? Serius banget." Pertanyaan Evan otomatis membuyarkan lamunan Fani.

"Ini semua barang-barang yang sudah ku simpan selama sembilan tahun. Dan ini pertama kali aku membukanya lagi," terang Fani.

Evan berjalan pelan menghampiri Fani dan berdiri di samping gadis itu. Laki-laki itu dengan seksama melihat selembar foto, sebatang pensil 2B yang terlihat usang, satu kartu sim telepon genggam, beberapa lembar potongan koran, sebuah gambar goresan pensil yang tak begitu jelas terlihat karena tertutup barang-barang di atasnya dan sebuah ponsel tua.

"Memang kapan terakhir kali kamu melihat benda-benda ini?" tanya Evan pelan.

"Sembilan tahun yang lalu. Tepat saat hari terakhir ujian nasional SMA. Aku masih ingat. Aku memasukan semua barang-barang ini sambil tak henti-hentinya menangis. Dan baru sekarang aku berani membukanya," jawab Fani dengan wajah sedih.

Evan tanpa permisi meraih selembar foto yang menarik perhatiannya. "Apa ini orangnya?" tanya Evan sembari terus menatap foto itu.

Foto seorang remaja laki-laki yang sedang memegang sebuah piala. Remaja laki-laki itu tampak tersenyum dengan bangga dan penuh kemenangan.

"Hmm.."

"Lalu ini?" Evan mengambil beberapa potongan koran yang tampak usang.

"Aku memotong koran disekolah setiap ada berita kalau dia menang perlombaan," terang Fani.

"Wah, ternyata dia pintar," ucap Evan yang terus menatap potongan-potongan koran ditangannya.

"Dia memang pintar, apalagi untuk pelajaran matematika. Dia seperti dewanya matematika. Semua soal yang sulit dengan mudah dia kerjakan," cerita Fani yang tak menyadari bahwa dirinya tersenyum saat mengingat tentang masa lalu.

"Lalu, apa dalam novel yang akan dibuat oleh Vivian, kamu juga akan menceritakan tentang kisah barang-barang ini?" tanya Evan penasaran.

Fani mengangguk. "Setiap barang di dalam kotak ini menyimpan senyuman dan air mata. Dimana kedua hal itu yang membuat kisah ku dan orang itu menjadi berharga, setidaknya untukku."

"Siapa namanya?" tanya Evan menatap Fani yang terlihat tak henti memandang foto dalam kotak itu.

"Hanniel.. Hanniel Adrian Wijaya.." jawab gadis itu.

"Sepertinya, didalam hati mu tak ada ruang untuk siapapun. Benar begitu?" ucap Evan pelan. Namun dalam nada bicara laki-laki itu seolah menyiratkan sesuatu.

"Van, aku.."

"Belum siap?" Evan memotong pembicaraan Fani.

"Bagaimana kamu bisa siap menerima hati yang lain kalau hatimu sendiri terkunci didalam kotak itu? Sampai kapan pun kamu mungkin tidak akan pernah bisa menerima hati yang lain," lanjut Evan.

Fani terdiam lalu mengangguk. "Aku masih belum rela untuk melepasnya. Kenangan-kenangan itu selalu berputar didalam kepalaku. Aku masih ingin terus menggenggamnya, seolah semua hal baru saja terjadi hari kemarin."

Evan terdiam mendengar penuturan Fani yang menurutnya sudah menjelaskan banyak hal.

"Jika dia memang untukmu maka dia akan kembali padamu, tapi jika bukan maka sekuat apa pun kamu menggenggamnya, dia akan menghilang.." ucap Evan sambil menatap sepasang mata Fani yang juga menatapnya.

Tak ada pembicaraan apa-apa lagi diantara kedua orang itu sampai mama Fani mengetuk pintu kamar anak gadisnya, "Ayo, makan malam sudah siap!"

Kisah masa lalu

Fani berulangkali melirik jam tangannya. Gadis itu tampak gelisah dan hal itu disadari oleh Hansen yang kebetulan duduk disebelahnya.

"Kenapa kamu kayak cacing kepanasan gitu?" tanya Hansen.

"Jam tiga sore aku punya janji bertemu dengan Vivian, tapi pekerjaanku masih menumpuk. Lihat!" Fani menunjuk beberapa naskah yang bertumpang tindih menjadi satu.

Hansen tertawa. "Apa kalian sudah akan memulai proyek pembuatan novelnya?" tanya Hansen.

Fani mengangguk. "Hei bukannya masih baru seminggu yang lalu kalian bertemu? Sudah mau langsung dimulai saja!" timpal Riri yang juga ikut nimbrung. Kebetulan meja kerja ketiga orang itu berdekatan.

"Semalam Vivian menghubungiku, katanya dia ingin cepat-cepat menulis dan mempublishnya," terang Fani.

"Beruntung sekali anak cantik satu ini.." ucap Riri.

"Pergilah!" seru Evan yang tiba-tiba muncul di belakang Fani.

Laki-laki itu berjalan menghampiri Fani. "Pergi sekarang daripada nanti terlambat," perintah Evan lagi.

"Lalu pekerjaan ku bagaimana?" tanya Fani dengan raut wajah memelas.

"Pekerjaan mu sebagian akan di berikan pada yang lain," jawab Evan. "Oh iya Andre, nanti tolong bilang ke manajer mereka kalau Fani cukup berikan tiga naskah untuk editing," lanjutnya pada sang sekertaris.

Andre tampak mengangguk mengerti.

"Berarti aku boleh pergi?" tanya Fani ragu.

Evan mengangguk. Sementara dua orang lain disana tampak saling melempar pandang dan berbisik. "Sepertinya aku mengendus sesuatu!" bisik Riri pelan.

"Kalian lanjutkan pekerjaan kalian. Jangan terlalu banyak bergosip!" seru Evan sebelum berlalu pergi.

**

Fani terus melihat sebuah pesan di ponselnya. Gadis itu menyamakan alamat yang terpampang di hadapannya dengan pesan yang dikirim Vivian tadi malam.

"Sama! Aku gak salah alamat!" gumamnya.

Gadis itu dengan mantap melangkahkan kakinya masuk kesebuah apartemen dan memencet tombol lift. Tak bisa disangkal bahwa jantungnya berdegup cukup kencang memikirkan bahwa dia akan bertemu penulis favoritnya.

Tiba dilantai lima, Fani langsung melangkahkan kakinya keluar dari lift. "501," serunya senang karena berhasil menemukan tempat yang dia cari.

Gadis itu tampak menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya membunyikan bel. Tak butuh waktu lama, seorang wanita muda membukakan pintu dari dalam.

"Wah sudah datang. Ayo masuk!" seru Vivian ramah.

Dengan sedikit sungkan Fani melangkahkan kakinya kedalam. Matanya tak kuasa berkeliling menatap kediaman Vivian yang tampak bersih dan rapih.

Apartemen itu terlihat cukup luas dengan perabotan yang bergaya minimalis. Tak terlalu mencolok namun berkesan elegan.

"Barusan aku akan menghubungimu. Aku khawatir kamu tidak bisa menemukan tempat ini. Sini duduk," ucap Vivian melepas canggung diantara mereka berdua.

Fani langsung menggeleng sembari tertawa kecil. "Tempat ini cukup mudah ditemukan karena berada ditengah kota, bu."

Saat keduanya sudah duduk di sofa, Vivian tersenyum. "Sepertinya kita berdua berada di umur yang sama. Aku dua puluh delapan tahun. Kamu?" tanya Vivian.

"Aku juga. Sama!"

"Kalau begitu kita buat kesepakatan. Jangan panggil aku ibu. Kita kan seumuran dan kedepannya kita akan lebih sering bertemu. Mungkin lebih baik saling panggil nama saja supaya terdengar lebih akrab," usul Vivian.

Fani mengangguk setuju. Tak disangka bahwa Vivian begitu ramah padanya. Sama sekali tak ada kesan arogan untuk penulis yang sudah memiliki nama.

"Hmm.. Sebelum kita mulai, apa aku boleh bertanya sesuatu?" tanya Vivian ragu-ragu.

"Tanya saja," timpal Fani cepat.

"Sebelumnya maaf karena sepertinya ini pertanyaan privasi. Hmm, apa kamu adalah pacarnya Evan?" tanya Vivian.

Fani yang mendengar pertanyaan itu tertawa. "Bukan. Aku bukan pacarnya. Kami hanya berteman sejak di bangku kuliah. Hanya itu saja."

Vivian masih terpaku menatap Fani yang duduk disampingnya. Gadis itu teringat saat Evan mendatangi kediamannya, meminta bantuannya agar mau bekerja sama untuk mewujudkan keinginan gadis muda yang duduk disampingnya.

'Jangan berkata apa-apa padanya. Cukup bantu dia mewujudkan keinginannya!' pesan Evan saat itu.

"Apa kamu dan Evan saling mengenal sebelumnya?" tanya Fani.

Vivian langsung menggeleng. "Tidak, aku baru mengenalnya saat aku datang ke kantor waktu itu," jawab Vivian berbohong.

Padahal cerita yang sebenarnya, dirinya dan Evan sudah saling mengenal selama enam bulan. Keduanya bertemu saat ada pertemuan antara penerbit-penerbit se-kota Jakarta dan Vivian hadir sebagai narasumber.

"Hmm.. Gimana kalau kita mulai membicarakan pekerjaan?" tanya Vivian mengalihkan pembicaraan.

"Baiklah. Aku harus memulainya dari mana?" tanya Fani tak bisa menutupi semangatnya.

"Kisah seperti apa yang ingin kamu buat? Dimulai dan akhirnya akan seperti apa? Atau kalau boleh jika itu kisah nyata, bisakah aku mendengar ceritanya secara keseluruhan?" tanya Vivian.

Fani tampak mengigit bibir bawahnya pelan. Wajahnya menampilkan senyuman kecil. Tatapannya seolah sedang menerawang jauh.

"Kisah ini dimulai di bulan Agustus tahun 2008," ucap Fani.

"Kalau begitu, 14 tahun yang lalu??" tanya Vivian yang terlihat terkejut. Tak menyangka bahwa dirinya akan menulis kisah yang ternyata sudah cukup lampau.

Fani mengangguk. "Saat itu aku masih duduk di kelas 3 SMP. Saat itu aku juga sama sekali belum mengenal orang itu. Tapi, aku mulai merasa tertarik dengannya saat teman sebangku ku menceritakan tentangnya," ucapan Fani terhenti sejenak menatap Vivian.

"Sepertinya akan agak membosankan. Apa tidak apa-apa?" tanya Fani tak enak hati.

"Jangan sungkan. Aku pikir justru sepertinya kisah itu akan menarik. Kisah tentang cinta dimasa lalu. Aku ingin mendengar secara keseluruhan!" Vivian tampak memasang mimik wajah serius.

"Setelah aku merasa tertarik dengan orang itu, aku mencoba mencari nomor ponselnya. Karena aku dan dia tak pernah berada dalam satu kelas yang sama sejak kelas 1 SMP. Saat itu aku ingat kalau di kartu perpustakaan tercantum nomor ponsel masing-masing siswa. Dan aku langsung mendapatkannya. Bukan hanya nomor ponselnya, tapi juga dengan nomor telepon rumahnya."

Fani terdiam sejenak.

"Setelah aku mendapatkan nomor ponselnya, langsung malam itu juga aku mengirim pesan padanya. Dulu tidak seperti sekarang. Jadi aku hanya mengirim pesan sms biasa, mengajaknya berkenalan. Dan jujur dulu aku hanya iseng memberanikan diri. Aku juga tak berharap kalau dia akan membalas pesanku. Tapi aku kaget sewaktu bangun tidur pagi keesokan harinya dan mengecek ponselku, ada balasan pesan darinya."

"Lalu? Aku penasaran, kalau boleh tahu siapa nama laki-laki itu?" tanya Vivian terlihat dengan wajah serius menunggu jawaban dari bibir Fani.

Namun Fani terdiam sejenak seolah tak ingin menyebut namanya. "Bolehkah kita hanya memanggilnya dengan sebutan 'dia' atau 'orang itu'?" tanya Fani dan Vivian mengiyakan.

"Sejak tanggal 26 Agustus tahun 2008, aku dan dia saling berbalas pesan singkat. Sampai pada akhirnya dia tahu jika itu adalah aku, padahal aku sama sekali tak menyebutkan nama ku dan dia pun tak bertanya apa-apa. Setiap kami berpapasan disekolah, kami pura-pura tak saling mengenal. Padahal hampir di setiap malam kami berdua akan berbicara lewat sambungan telepon. Entah itu dia yang membantuku belajar atau hanya sekedar mengobrol sampai aku tertidur."

Fani meminum seteguk air yang berada di atas meja tamu karena kerongkongannya mengering dan mulai melanjutkan cerita masa lalunya.

Kedua gadis itu tak sadar jika langit sudah berubah gelap. Sampai pada akhirnya Fani memutuskan untuk mengakhiri ceritanya.

"Sepertinya seluruh cerita gak akan bisa diceritakan sekaligus karena sudah malam," ucap Fani tak enak hati.

"Hmm kalau gitu nanti akan aku kerjakan dulu beberapa bab, lalu saat kurang bahan aku akan menghubungimu untuk mendengar kelanjutannya. Bagaimana?" usul Vivian dan Fani langsung setuju.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!