NovelToon NovelToon

Unsaying Words

Pendahuluan

Chris dan Rina adalah dua orang asing yang karena sebuah takdir, akhirnya dipertemukan dan dipersatukan dalam suatu ikatan pernikahan.

Rina menyadari bahwa pernikahannya tidak didasari awal yang kuat, namun ia berusaha menjalaninya dengan serius dan mencoba menjadi isteri yang baik untuk suaminya. Chris di sisi lain, memiliki traumatis cukup mendalam di masa lalunya yang membuatnya sulit untuk membuka diri dan memulai hubungan serius dengan lawan jenisnya.

Kedua orang ini terombang-ambing dalam sebuah kapal yang terancam karam. Di saat Rina berusaha untuk berjuang mempertahankan bahtera rumah tangganya, Chris justru masih merasa takut yang membuatnya sering kali mengucapkan kata-kata yang tanpa disadarinya menyakiti isterinya, dan itu dilakukannya berulang kali dalam masa pernikahan mereka.

Sampai suatu saat, Rina merasa perjuangannya selama ini sudah cukup dan memutuskan untuk melepaskan suaminya. Namun justru di saat kritis inilah, Chris baru menyadari bahwa ia membutuhkan isterinya, jauh melebihi isterinya membutuhkan dirinya.

Bisakah Chris menyelamatkan serpihan-serpihan dari rumah tangganya dengan Rina dan menyusunnya kembali, atau justru harus menerima kenyataan bahwa sesuatu yang telah dirusaknya tidak akan pernah dapat kembali seperti sebelumnya?

***

DISCLAIMER!

Jika ada kesamaan nama tokoh, karakter atau alur cerita dengan karya lain atau pun kondisi yang sebenarnya, maka itu semua hanya kebetulan dan tidak disengaja.

Author sudah membaca dan menonton ratusan, mungkin ribuan film, drama, novel baik dari karya anak bangsa maupun luar, online maupun offline, sehingga adanya kemiripan dari beberapa referensi yang sudah di baca adalah hal yang sulit untuk dihindari.

Sedapat mungkin Author tidak mengambil bahan atau referensi dari karya seni apapun secara spesifik. Dan karya ini adalah murni dari pemikiran sendiri, dan dalam prosesnya sama sekali tidak ada studi yang secara khusus dilakukan.

Apabila ada yang merasa berkeberatan dengan karya ini, maka harap dapat menyampaikannya dengan baik dan disertai dengan dasar yang kuat, karena Author pun secara terbuka bersedia untuk menerima masukan dan kritik, yang sifatnya membangun.

Adanya kritikan yang bersifat SARA atau pun mem-bash dan menyerang secara langsung atau pun tidak langsung, tidak akan pernah ditanggapi karena tidak akan ada gunanya.

Terima kasih dan selamat membaca.

BAB I - Dia telah pergi

Rina melihat dokumen pengajuan perceraian tersebut dengan nanar. Menutup matanya, ia menguatkan diri mengambil pena dari atas meja dan menggoreskan tanda tangannya di kolom yang berisi namanya. Setelah itu, ia melepaskan cincin pertunangan dan juga pernikahannya secara perlahan. Dari dompetnya pun, ia mengeluarkan beberapa kartu dan menyimpan semuanya dalam sebuah amplop coklat.

Dengan perlahan, ia melangkah menuju kamar utama dan membukanya. Seperti biasanya, kamar tersebut terlihat rapih dan wangi. Kamar yang besar dan meski minimalis, terlihat bahwa keseluruhan furtinure-nya berharga mahal dan menunjukkan selera pemiliknya yang elegan. Meski demikian, yang ada di depan matanya dan terpatri dalam benaknya hanyalah kejadian malam itu, kejadian yang tidak akan pernah dilupakannya.

Pertama dan sepertinya, untuk terakhir kalinya pula dalam hidupnya.

***

"Nomor yang Anda hubungi tidak aktif. Silahkan coba beberapa saat lagi."

Kesal, Chris menekan ulang nomor yang ditujunya dan mendengarkan pesan dengan suara monoton yang sama beberapa kali. Akhirnya ia melemparkan ponselnya ke kursi di depannya.

Rich yang duduk di depannya pun menjadi sasaran lemparan kekesalan atasannya. Tanpa berkata apapun, ia meletakkan ponsel Chris di kursi sebelahnya dan malah mengambil miliknya sendiri ketika melihat ada notifikasi pesan masuk.

"Ada apa, Bos?"

Chris mengusap wajahnya dan mengarahkan pandangannya ke arah luar pesawat. Dalam hatinya, ia tidak mau berasumsi apapun. Ia tidak berani.

"Nomor Rina tidak aktif beberapa hari ini."

Rich yang saat itu sedang memegang ponselnya terdiam sebelum menjawab.

"Kebetulan sekali bos. Ibu Megan baru mengatakan kalau sudah beberapa hari ini rumah terlihat kosong."

Tubuh Chris menegang mendengar informasi yang tidak ingin didengarnya itu. Ia merasa jantungnya mulai berdetak liar, perutnya terkontraksi dan tanpa disadari, ia menahan nafas.

"Maksudmu?"

"Pagi ini Ibu Megan datang ke apartemen untuk membersihkan rumah seperti biasa, tapi katanya sudah beberapa hari ini ia tidak menemukan makanan di meja makan."

Rich memandang Chris sekilas untuk melihat reaksinya. Ia pun melanjutkan hati-hati.

"Biasanya iste... maksudku Rina. Biasanya Rina selalu memberikan sisa masakan buat Ibu Megan dan meletakkannya di meja makan. Tapi sudah beberapa hari ini tidak ada."

Ia melanjutkan membaca pesan di ponselnya sambil mengernyitkan dahinya.

"Ibu Megan selama ini tidak pernah membersihkan kamar Rina. Tapi, karena khawatir ia memeriksa kamarnya. Dan curiga kalau sepertinya sudah cukup lama tidak ditempati."

Tiba-tiba Chris merebut ponsel itu, membuat Rich kaget. Pria itu akhirnya hanya diam, membiarkan atasannya memegang ponselnya.

Chris membaca satu demi satu pesan-pesan dari asisten rumah tangganya. Apa yang dikatakan Rich sama seperti yang diutarakan oleh Ibu Megan dalam chat-nya.

Pria itu merasa badannya melemas. Ia mengembalikan ponsel itu ke Rich sambil menghela nafasnya dengan berat. Menutup matanya, ia mengurut kepalanya yang mulai terasa sakit.

Khawatir, Rich bertanya, "Bos, Anda tidak apa-apa?"

"Saya tidak tahu." Jawabnya pelan, suaranya terdengar serak.

Mata Chris yang membuka perlahan terlihat sedikit merah ketika menatap pria di depannya.

"Saya tidak tahu, Rich."

Ia mengarahkan pandangannya kembali ke jendela. Saat ini, otak Chris kacau dan ia tidak tahu harus berfikir apa. Tanpa diinginkannya kedua bola matanya mulai terlihat basah, ketika ia mengingat kejadian terakhir sebelum meninggalkan apartemennya.

Rich terlihat cukup shock dengan apa yang dilihatnya. Ini tidak seperti bos yang dikenalnya.

Sebenarnya apa yang telah terjadi? Ia bertanya-tanya dalam hati dengan bingung. Tapi melihat atasannya tampak kalut, ia pun tidak berani untuk menanyakannya lebih jauh.

Ia tidak mau kejadian beberapa minggu lalu terjadi lagi, ketika bosnya menghajar habis-habisan orang yang telah menghianatinya. Baru kali itu selama bekerja bersama Chris, Rich melihatnya emosional dan terlihat lepas kontrol.

Suasana pun kembali hening dan karena Rich tidak punya cukup nyali untuk mengajak bosnya berbincang lagi, akhirnya ia pun memfokuskan diri kembali pada laptop di pangkuannya, tanpa mengganggu Chris yang tampak masih termenung membuang pandangan ke luar.

***

Saat membuka pintu apartemen, Chris langsung menuju ruang tengah. Biasanya setiap dia pulang kantor atau dari perjalanan dinas, ia akan selalu menemukan makanan di meja makan. Dia juga akan selalu menemukan selimut tipis yang tersampir di sofa tengah. Sofa yang sering digunakan Rina untuk menunggu dirinya pulang, seberapa malam pun itu.

Namun hari ini, ia hanya menemukan meja makan yang kosong. Sofa pun terlihat rapih, tanpa ada tanda-tanda ada yang pernah mendudukinya. Ia bahkan tidak mencium wangi masakan yang mulai terasa familiar di hidungnya dan dirindukannya setiap ia pulang ke rumah.

Ketika membuka kulkas pun, ia hanya menemukan beberapa minuman dingin. Kondisinya terlihat bersih dan dalam freezer tidak ada bahan makanan apapun, bahkan sebutir telur pun tidak ada. Rina tidak meninggalkan apapun untuk dirinya.

Chris menutup pintu kulkas dengan lesu. Tanpa diinginkannya, jantungnya berdebar-debar terutama ketika ia melangkah dan membuka pintu kamar tamu yang biasanya digunakan Rina. Ini adalah kali pertamanya ia masuk ke kamar itu semenjak ditempati oleh isterinya.

Suasana kamar tidur pun terlihat dingin, ia tidak mencium harum khas yang secara tidak sadar tersimpan dalam otaknya dan mulai dicari-carinya. Benar seperti kata Ibu Megan, kamar ini seperti sudah tidak ditempati beberapa hari.

Dahi Chris tampak mengernyit ketika ia melihat meja rias yang tampak masih penuh dengan berbagai botol parfum dan juga skin care yang pernah ia berikan pada isterinya. Ia mengambil salah satunya, dan menyadari bahwa isinya tampak tidak berkurang sedikit pun. Chris juga menemukan beberapa botol lain dengan kondisi yang hampir sama.

Semua yang ada di atas meja rias isterinya, tampak masih baru dan terlihat seperti pajangan saja. Ada sedikit rasa tercubit yang ia rasakan di hatinya, namun ia tidak tahu penyebabnya.

Menghela nafas, ia pun beralih membuka lemari pakaian yang ada di depannya. Saat itulah Chris merasa hatinya semakin mencelos.

Dalam lemari besar tersebut, masih terlihat tumpukan baju yang pernah diberikannya dulu. Di sisi lemari lain pun, ia melihat berbagai macam gaun, sepatu dan juga tas-tas yang tampak tidak tersentuh. Ia mengenali beberapa gaun dan tas yang dulu pernah dikenakan isterinya ketika mereka menghadiri pertemuan keluarga. Namun barang-barang yang lain tampak tidak pernah digunakan, bahkan price tag-nya pun banyak yang masih belum dilepas.

Tidak percaya, ia pun meraih laci tempat perhiasan dan menemukan sejumlah perhiasan dalam kondisi yang serupa. Lengkap dan tampak tidak tersentuh.

Chris tidak mampu berkata-kata. Bukannya isterinya itu menikahinya untuk uangnya? Kalau demikian, kenapa ia tidak membawa perhiasan-perhiasan tersebut yang jelas-jelas kalau dijual, isterinya masih bisa hidup berfoya-foya dalam jangka waktu yang lama.

Ia mulai bertanya-tanya dalam hati, sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar.

Benak Chris mulai memikirkan hal-hal negatif, bahwa isterinya sengaja menghilang untuk mengujinya. Rina tidak pernah berniat untuk meninggalkannya, karena ia pasti akan berusaha menguras harta pria itu dulu. Karena alasan inilah, kenapa Chris sampai memperlakukan isterinya itu tidak sebagaimana mestinya, meski sebenarnya hati kecilnya menolak keras.

Tidak mau berlama-lama dengan pikirannya, Chris pun bergegas keluar dan masuk ke kamarnya sendiri. Sesampainya di sana, ia langsung membuka baju dan masuk ke kamar mandi. Selama di bawah guyuran air shower, Chris berusaha untuk menghilangkan pikiran-pikiran negatifnya tentang isterinya, apalagi otaknya sudah cukup lelah menghadapi permasalahan perusahaan yang tengah dihadapinya. Setelah puas membersihkan dirinya, ia pun segera mematikan keran shower dan mengambil handuk untuk mengeringkan tubuhnya.

Ketika melihat kaca, Chris melihat bayangannya sendiri yang menampilkan seorang pria bugar di usia 38 tahun. Tinggi badannya jauh di atas rata-rata dengan otot-otot badan yang cukup atletis, berkat hobinya yang menyempatkan diri untuk berenang tiap hari di rumahnya. Kesenangannya untuk berolah raga pun biasanya muncul kuat ketika Chris mengalami permasalahan. Dibanding lari ke minuman atau perempuan seperti pria-pria lain seusianya dan semapan dirinya, ia lebih memilih menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan atau pun memforsir tubuhnya ketika berolahraga. Ia berusaha menghargai dirinya sendiri dengan tidak merendahkan dirinya untuk hal-hal tersebut.

Sebagai pria yang normal, tentu saja Chris punya kebutuhan-kebutuhan biologis yang perlu disalurkannya. Namun demikian, ia bersyukur bahwa kondisi tubuhnya tidak membuatnya menjadi hilang akal sehat hanya karena ***** seperti yang sering terjadi pada teman-temannya. Daya nalar Chris cukup sehat untuk dapat melihat realita, bahwa seringkali teman-temannya menjadi terjebak dalam dua kehidupan wanita bahkan lebih. Selain cukup memusingkan baik dari sisi uang dan juga mental, ia juga tidak berniat menambah masalah yang menurutnya tidak penting dalam hidupnya.

Seringkali ia memang menyerah dan akhirnya memuaskan dirinya sendiri. Ia bahkan pernah tergoda untuk beberapa kali mencoba mencari partner, namun hati nuraninya membuatnya sering berhenti di tengah jalan. Ia tidak mau jerih payahnya untuk menjaga dirinya sendiri menjadi tercemar, hanya gara-gara masalah di ************ yang tidak mampu diatasinya. Chris juga tidak tahu kenapa ia berusaha sekeras itu, namun yang ia tahu bahwa ia tidak mau mengecewakan dirinya sendiri dan terutama ibunya. Ibunya adalah orang yang paling berharga di dunia ini bagi Chris. Ia bahkan bersedia melakukan segalanya untuk ibunya, termasuk menikahi wanita yang tidak dicintainya.

BAB II - Ingatan Chris (1)

Sambil mengeringkan rambutnya, Chris berjalan ke arah tempat tidur dan mengambil ponselnya. Ia memeriksa beberapa email yang masuk dan juga menelepon Rich untuk memberikan instruksi yang harus dijalankannya besok pagi. Selesai melakukan koordinasi singkat masalah pekerjaan, ia langsung menuju lemari baju dan memakai pakaian rumahnya. Sambil mendesah, Chris membaringkan tubuhnya di kasurnya yang nyaman. Ia adalah tipe pria rumahan, sehingga meskipun merasakan berbagai fasilitas mewah selama melakukan perjalanan dinas, namun rumah tetap tempat yang paling nyaman untuk dirinya.

Saat menenggelamkan wajah ke bantalnya yang empuk dan hampir masuk dalam dunia mimpi, otak Chris mulai menyadari sesuatu yang akhirnya membuatnya kembali bangkit dan duduk menyender ke kepala tempat tidur. Matanya menangkap sesuatu yang terlihat janggal di laci meja samping tempat tidurnya. Lacinya terlihat terbuka sedikit, dan tampak ada sesuatu di dalamnya. Sepanjang ingatan Chris, ia hampir tidak pernah menggunakan laci tersebut sehingga situasi ini membuatnya mengernyitkan dahinya. Ia pun membuka laci itu dan mengeluarkan sebuah amplop coklat dengan tulisan: to Chris di permukaannya.

Chris menimang-nimang amplop yang ada di tangannya dan merasa ada beberapa benda yang saling bergesekan di dalamnya. Ia tidak mengenali tulisan tersebut namun hatinya mulai menerka-nerka mengenai siapa pengirimnya, apalagi ia tahu akses yang dimiliki orang-orang untuk keluar-masuk ke wilayah pribadinya cukup terbatas. Tidak, ia tahu pasti siapa pemilik amplop ini dan otaknya pun cukup waras untuk dapat berasumsi mengenai isinya. Namun entah kenapa, tanpa diinginkannya hatinya mulai merasa takut untuk membukanya.

Dengan perlahan, ia pun menuangkan isi amplop tersebut di kasur dan terlihat sebuah dokumen, selembar kertas, beberapa kartu dan dua cincin yang sangat dikenalinya karena ia yang membelinya. Chris meraih cincin-cincin tersebut, itu adalah cincin pertunangan dan pernikahan yang dengan terpaksa ia berikan pada isterinya. Ia menyadari betapa sederhananya cincin-cincin tersebut, bahkan ia mengingat bahwa ia hanya sekedar mengeluarkan uang untuk membayarnya namun tidak pernah membantu untuk memilih modelnya. Ingatannya kembali di saat ia berada di toko perhiasan bersama dengan Rina.

Flashback 1,5 tahun yang lalu.

"Cepatlah memilih. Saya tidak punya banyak waktu." Chris memeriksa jam tangannya dan menyadari bahwa ia hanya memiliki waktu 1 jam untuk menyelesaikan urusan yang menurutnya sepele ini. Ia telah dihubungi oleh Rich bahwa mereka akan ada meeting dadakan, membuatnya lebih tidak sabar untuk segera kembali ke kantor.

Saat itu, Chris sekilas menyadari mengenai raut muka Rina yang terlihat bingung dan malah menanyakan pada Chris mengapa mereka berada di toko perhiasan tersebut. Menahan kekesalannya, Chris menjawab bahwa mereka harus membeli cincin pertunangan dan juga perkawinan untuk Rina. Ia bahkan tidak menyadari bahwa ia seharusnya membeli cincin tersebut sepasang dan hanya ingin segera menjalankan titah ibunya saja.

Setelah melihat-lihat sebentar, akhirnya Rina menjatuhkan pilihannya pada 2 buah cincin di hadapan Chris. "Saya mau model ini."

Melihat cincin-cincin itu, Chris sadar bahwa modelnya sederhana tapi ia tidak mau terlalu memikirkannya, karena ia yakin Rina akan mulai menuntutnya saat mereka sudah resmi menikah nanti. Mungkin ia hanya pura-pura saja sebagai wanita sederhana. Toh semua wanita menurutnya sama, hanya mau pada pria yang berduit saja. Hal ini tidak jauh berbeda dengan Rina yang ia juga tahu, menikahinya karena faktor uang. Alasan inilah yang membuat Chris menjadi kurang menghargai calon isterinya itu dari awal pertemuan mereka.

Ketika membayar kedua cincin itu, Rina tampak memandangnya dengan tatapan aneh. Wanita itu seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi terlihat ragu-ragu.

"Kenapa?" tanya Chris. Ia kurang suka dengan tatapan Rina yang membuatnya kurang nyaman. Seolah-olah ia melakukan suatu kesalahan.

"Kalau tidak suka, nanti setelah menikah saya akan membelikan yang lebih mahal. Tapi sekarang, pakai saja yang ini. Saya tidak punya waktu untuk memilih *****-bengek yang tidak perlu seperti ini." Chris berbicara dengan ketus, untuk menutupi ketidaknyamannya.

Rina dengan cepat meraih kantong perhiasan itu dari tangan Chris dan sambil tersenyum menjawab segera, "Tidak. Tidak apa-apa. Yang seperti ini juga cukup. Terima kasih."

Wanita itu memutuskan untuk tidak memperpanjang masalah, karena ia tahu maksud dari pernikahan mereka. Ia akan mencoba untuk bersabar dan fokus pada tujuannya saja.

Hari itu pun berlalu begitu saja dan mereka berdua kembali ke aktivitas masing-masing. Chris yang dijemput oleh Rich kembali ke kantor, dan Rina memilih untuk menggunakan taksi untuk kembali ke tempat kerjanya. Chris tidak menyadari, bahwa itu adalah kali pertama ia akan mulai menyakiti Rina dengan kata-katanya.

Kembali ke masa sekarang.

Ketika melihat cincin-cincin itu, Chris menyadari bahwa ia tidak pernah melihat Rina membuka kedua cincinnya meski saat ia mencuci atau pun memasak. Memasak. Ingatan Chris kembali lagi ke masa-masa saat Rina masih berada dalam apartemen ini. Meski ia tidak mau mengakui secara langsung, tapi perut dan lidahnya tidak bisa memungkiri kalau ia menikmati makanan yang isterinya masak. Mereka memang hampir tidak pernah makan malam bersama, namun Rina tampak selalu berusaha untuk dapat menemani dan melayani tiap kali Chris makan, salarut apapun itu.

Kalau dipikir-pikir, Chris hampir selalu menanti-nantikan untuk dapat pulang ke rumah dan menikmati masakan isterinya. Sebisa mungkin ia menolak berbagai undangan makan malam dari partner-partner kerjanya hanya agar dapat segera kembali ke rumah. Pada saat ia pulang pun, Rina hanya akan menyambutnya di depan sofa dan menyiapkan makanan untuknya. Setelah itu, isterinya akan masuk ke kamar tamu atau sengaja menyibukkan diri dengan hal lain, dan baru kembali ruang makan ketika Chris sudah berada dalam kamarnya. Sejak kejadian pertengkaran malam itu, Rina memang tampak ingin menghindari dirinya.

Flashback 3 bulan lalu.

Chris dan Rina masuk ke dalam apartemen dengan raut muka yang sama-sama masam. Mereka baru kembali dari rumah ibu Chris, dan Chris sangat tidak menyukai percakapan yang terjadi saat makan malam di sana. Sambil menutup pintu apartemen dengan keras, Chris berbalik ke arah Rina. Di ruang tengah, mereka saling berhadap-hadapan. Chris menatap isterinya dengan tajam dan penuh tuduhan, sedangkan isterinya terlihat merasa bersalah.

"Apa maksudmu tadi?"

Suara Chris terdengar berat dan dalam. Ia mencoba untuk tidak terbawa emosi, dan hal inilah yang ditakuti oleh Rina karena Chris adalah pria yang sangat rasional. Ia menilai sesuatu berdasarkan apa yang dilihat atau didengarnya, dan bukan yang dirasakannya. Rina merasa ia berhadapan dengan seorang hakim dibanding seorang suami. Tiap kali mereka bertengkar, Rina harus bisa memberikan argumen yang jelas dan tegas pada suaminya. Ia tidak bisa hanya melakukan konfrontasi dengan menggunakan hatinya, tapi juga harus dengan otaknya.

Sedangkan Chris sendiri saat ini benar-benar mencoba menahan emosinya. Pertemuan dengan keluarganya tadi membuatnya merasa jadi pesakitan. Dikarenakan kata-kata isterinya, pertanyaan demi pertanyaan malah dilontarkan oleh ibu dan adik-adiknya. Chris jadi kelabakan untuk menjawabnya, karena hal ini sama sekali tidak pernah terfikirkan olehnya. Isterinya sendiri saat itu malah kabur ke dapur, dengan alasan mengambil makanan.

Rina tahu saat itu seharusnya saat itu ia bertanggungjawab terhadap kata-katanya, tapi malah pergi meninggalkan suaminya yang kebingungan.

Menarik nafasnya dengan sulit, wanita itu mencoba untuk menjawab hati-hati.

"Aku-, Aku hanya menjawab pertanyaan mamah."

"Hanya menjawab, ya?" Dengan geram Chris bertanya.

Ia mulai melangkah maju mendekati isterinya. Saat Chris maju satu langkah, Rina akan mundur dua langkah dan seterusnya sampai isterinya tersebut terpojok karena terhalang oleh meja pantry di dapur. Rina mulai merasa takut, bagaimana pun juga ukuran tubuh Chris dua kali lebih besar dan lebih berat dibanding dirinya. Tingginya hanya sebatas dagu Chris, dan ia tahu jika nekad maka bisa saja suaminya dapat membuatnya masuk rumah sakit hanya dengan mengayunkan sebelah tangannya begitu saja.

Jika suasananya berbeda, mungkin Rina tidak akan merasa takut. Ia juga cukup yakin bahwa suaminya tidak akan setega itu untuk menyakiti dirinya secara fisik. Tapi wajah dan tubuh suaminya yang terlihat menyeramkan saat ini membuat nyalinya bersembunyi entah kemana.

"Ch-, Chris, jangan mendekat."

Suara Rina mulai terdengar bergetar. Tapi suaminya tetap tidak berhenti untuk mendekatinya, meski Rina sudah terpojok ke pinggir meja.

"Jangan mendekat, Chris!"

Cicit Rina dengan kedua tangan yang membentuk kepalan kecil di depan dadanya, yang entah mengapa posisi isterinya justru terlihat lucu bagi Chris. Ia sama sekali tidak habis fikir, memangnya isterinya berfikir dia akan menyakitinya? Bodoh sekali!

Saat ini, jarak mereka hanya tinggal sepanjang lengan Chris.

"Apa maumu, Chris?"

Rina dengan panik mencari cara untuk melarikan diri. Ia benar-benar mulai takut pada suaminya dan merasa bodoh sudah berani untuk menantangnya.

"Mauku adalah agar kamu menutup mulutmu itu ketika berhadapan dengan mamah."

Chris menjawab dingin sambil menunjuk muka isterinya.

"A- Aku cuma mau membantu kita berdua saja, Chris."

Rina mulai memberikan penjelasan. Ia mau agar suaminya paham maksudnya saat itu.

"Kamu tahu kan kalau mamah tidak akan pernah berhenti bertanya. Setiap kali kita datang kesana, hanya hal itu yang ditanyakannya."

Merasa sedikit tenang karena suaminya masih diam di tempat, ia bertanya ragu-ragu.

"Atau- Atau, jangan-jangan kamu menginginkannya?"

Penjelasan Rina awalnya cukup dapat diterima oleh Chris, namun dahinya mulai berkerut ketika mendengar kalimat terakhirnya. Di otaknya sudah mulai terbentuk asumsi yang tidak disukainya, tapi ia mencoba hanya berdiri diam dan menunggu.

Ketika melihat suaminya masih tidak bergerak, Rina mencoba melanjutkan setelah mengisi oksigen dalam paru-parunya.

"Aku-, Aku tahu bahwa kita memang tidak pernah membicarakan masalah anak. Aku minta maaf karena tidak meminta pendapatmu dulu dan langsung mengatakan kalau kita tidak berencana memilikinya."

Rina menatap Chris dengan lebih intens, tatapannya penuh tekad. Jantungnya berdebar-debar, namun ia bersemangat. Ia ingin mengutarakan isi hatinya pada suaminya saat ini dan sekarang. Ia merasa selama berbulan-bulan pernikahannya, Rina merasa sekaranglah saatnya yang tepat untuk mencoba melangkah lebih jauh dalam hubungannya bersama Chris.

"Aku tahu bahwa hubungan kita tidak diawali dengan dasar yang baik. Tapi-"

Rina menelan ludahnya susah payah, ia membutuhkan banyak pompa keberaniannya saat ini.

"Aku mau mencoba Chris. Kalau memang kamu menginginkan seorang anak, aku bisa mencobanya. Kita bisa konsultasi ke dokter dan menanyakan-"

Saat kata-kata sang isteri sudah mulai masuk dan dicerna otaknya, Chris memandang tidak percaya ke arah Rina dan memotongnya.

"Sebentar, sebentar."

Chris mulai mundur menjauhi isterinya sambil mengangkat kedua tangannya.

"Kamu pikir pernikahan kita akan berlangsung selamanya?"

Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terkekeh kecil.

"Kamu tidak berfikir kalau saya bakal mencintai kamu, kan? Kamu tidak pernah berfikir kalau kita tidak akan bercerai, kan?"

Rina tampak shock mendengar perkataan Chris. Terus terang, ia tidak pernah berharap kalau Chris akan mencintainya semudah ia jatuh cinta pada Chris. Namun, ia tidak menyangka bahwa Chris ternyata benar-benar akan menutup dirinya terhadap kemungkinan tersebut mengingat mereka sudah hampir menikah 1 tahun lamanya. Paling tidak, tadinya ia berharap suaminya masih mau mencoba untuk menerimanya sebagai pendamping hidupnya. Kata-kata cerai dari suaminya membuat dirinya tertegun dan tidak percaya akan pernah mendengarnya.

Apakah Chris benar-benar tidak mau melihat usahanya untuk dapat menjadi isteri yang baik? Apakah ia memang terlalu naif dan buta karena sudah jatuh cinta pada suaminya sendiri? Sia-siakah usaha yang sudah dilakukannya selama ini? Atau dirinya-lah yang tidak mau melihat bahwa Chris memang sama sekali tidak pernah menganggap pernikahan mereka nyata? Pertanyaan-pertanyaan yang membanjiri benaknya membuat Rina hanya bisa terdiam.

Chris tiba-tiba membalik badannya dan mengambil dokumen yang berada di ruang tengah. Rina sudah menyadari keberadaan dokumen itu semenjak siang dan mengira itu adalah dokumen kantor Chris yang tertinggal, yang biasanya akan diambil oleh asisten pribadinya.

Suaminya mengulurkan dokumen tersebut pada Rina dan menggoyangkan tangannya, mengintsruksikan isterinya untuk mengambilnya. Dengan ragu, Rina pun mengambil dan melihat isinya. Ia berusaha untuk menekan keterkejutannya dan menelan rasa pahit yang tiba-tiba dirasakan di mulutnya. Isinya adalah: Surat Perjanjian Perceraian. Dokumen tersebut terdiri dari berbagai pasal yang tidak bisa dicerna oleh otak Rina. Ia tidak bisa berfikir saat ini.

Melihat isterinya hanya diam, Chris memutuskan untuk melanjutkan kata-katanya tadi.

"Tandatangani surat itu saat kamu sudah merasa siap. Saya tahu ayahmu sudah mendapatkan pengobatan yang terbaik beberapa bulan ini. Setelah bercerai pun, saya berjanji akan tetap menafkahi kamu dan juga membantu pengobatan ayahmu. Kalian tidak akan kekurangan."

"Ta- Tapi, kenapa?"

Rina memberanikan untuk bertanya, setelah ia mampu untuk menemukan suaranya kembali.

Chris menatap Rina dengan cukup terkejut dan mengangkat alisnya. Apakah isterinya senaif itu? Apakah ia benar-benar menyangka kalau mereka akan terikat selamanya? Atau jangan-jangan seperti dugaannya, isterinya adalah wanita yang serakah!

"Kamu benar-benar bertanya kenapa?"

Chris berusaha untuk mengontrol emosinya dan melanjutkan setelah menarik nafas panjang.

"Dengar, kita berdua sudah sama-sama tahu pernikahan seperti apa yang kita jalani sekarang. Saya tidak tahu dengan kamu, tapi saya sudah tidak bisa bersandiwara lagi. Saya kira 1 tahun sudah lebih dari cukup untuk menjalani pernikahan pura-pura ini. Dan saya kira sudah lebih dari cukup juga keluarga saya membantu kamu dan ayahmu."

Mendengar hal itu, hati Rina merasa sakit namun ia tidak mau kalah sebelum mencoba. Ia masih berharap dan yakin kalau pernikahannya dengan Chris masih bisa diselamatkan. Ia meletakkan dokumen tersebut di meja makan dan mencoba bersikap seolah-olah tindakan Chris ini tidak membuat hatinya remuk. Ia memandang suaminya dengan berani.

"Chris, kata siapa kalau aku hanya pura-pura menjadi isterimu? Mungkin itu yang kamu lakukan, tapi tidak dengan aku."

Rina benar-benar serius dengan setiap perkataannya. Melihat tatapan penuh intimidasi dari suaminya, ia berusaha untuk dapat tetap tegak berdiri dan menggenggam erat kedua tangannya di depan dadanya. Kakinya terasa mulai gemetar saat ini.

"Selama ini aku serius menjalankan perananku sebagai isterimu. Aku berusaha selalu memasak untukmu. Aku juga membantu membersihkan rumahmu. Ketika kita ke rumah mamah pun, aku mencoba untuk berperan sebagai isteri yang baik di hadapan keluargamu."

Rina merasa tidak terima jika usahanya beberapa bulan ini akan sia-sia saja. Dengan nafas mulai memburu, Rina melanjutkan pembelaan dirinya.

"Aku bahkan mau mencoba memiliki anak denganmu. Jadi apa yang kurang, Chris? Katakan padaku agar aku bisa memperbaiki diri!"

Mendengar perkataan isterinya, tiba-tiba Chris malah tertawa dengan keras. Pandangan yang awalnya tidak percaya pada isterinya, perlahan mulai berubah melecehkan. Ia tidak menyangka bahwa isterinya menganggap dirinya begitu bodoh untuk percaya begitu saja. Hanya karena isterinya sering memasak dan berakting baik di depan keluarganya, maka ia akan melupakan begitu saja kalau isterinya dari awal bertujuan mengincar uangnya?

Chris sebenarnya tidak pernah ingin membicarakan mengenai masalah ini dengan isterinya. Ia masih berusaha untuk dapat menerima keadaan ini dengan kepala dingin. Ia bersedia menerima Rina dan membantu keluarganya, tapi ia juga tidak berharap bahwa itu akan berlangsung selamanya. Saat dirasa ibunya sudah puas melihat dirinya menikah, ia juga ingin segera mengakhiri hubungan ini. Apalagi saat ini dirinya mulai merasa tersiksa harus terus menerus hidup bersama dalam satu atap dengan wanita yang tidak bisa disentuhnya.

Meski sebenarnya ingin, tapi Chris tidak mau memanfaatkan Rina untuk kepuasan pribadinya karena mereka tidak saling mencintai, dan ia juga masih terlalu takut untuk mencoba. Karena itu, ia benar-benar ingin segera mengakhiri hubungannya dengan Rina terutama ketika ia mulai menyadari adanya sedikit ketertarikan pada wanita itu.

"Kamu kira, saya mencari pembantu? Saya bisa mencari orang lain untuk memasak dan membersihkan rumah, tanpa harus menjadi seorang isteri. Kalau hanya seperti itu kriterianya, bisa-bisa Ibu Megan akan saya nikahi nantinya."

"Chris!" Rina sedikit menjerit mendengar perkataan suaminya yang terdengar kurang ajar.

"Kamu sadar siapa kamu? Kamu itu menikah dengan saya hanya karena butuh uang! Kamu bahkan mendekati mamah hanya untuk tujuan itu! Jadi jangan katakan kalau kamu punya kualitas untuk menjadi seorang isteri!"

Intonasi Chris yang mulai meninggi menyadarkan Rina. Ia menyesal telah menyulut kemarahan suaminya dengan mengungkit isu sensitif ini di waktu yang tidak tepat. Ia mulai takut kalau suaminya akan mengeluarkan kata-kata yang tidak ingin didengarnya.

"Chris, tolong-"

Tapi Chris tidak mau mendengar. Saat ini ia benar-benar merasa marah, marah pada keadaan yang membuatnya berada dalam posisi yang sulit. Pria itu berusaha untuk tidak berteriak. Cuping hidungnya tampak berkembang dan dadanya naik turun saat ia berusaha mengambil nafas dalam. Ia masih mencoba menahan dirinya untuk tidak meledak di hadapan isterinya.

"Dan ini-"

Ia menunjuk makanan sisa masakan tadi siang dan membanting piringnya cukup keras di meja makan, sampai isinya tumpah berantakan.

"Ini hanya sekedar masakan! Kamu tidak perlu sok-sokan untuk bermain rumah-rumahan di sini. Saya tidak pernah meminta kamu untuk memasak atau membersihkan rumah."

Hal yang dilakukan Chris membuat Rina kaget dan hanya bisa menatap nanar. Suaminya meski dingin dan ketus, namun tidak pernah bersikap kasar seperti ini. Dan semua perkataan Chris pun seolah-olah melemparkannya kembali dalam dunia nyata. Bahwa selama ini ia hanya sedang bermain rumah-rumahan dengan suaminya. Tidakkah suaminya bisa melihat betapa seriusnya Rina mencoba menjalankan perannya? Muka Rina mulai memerah, dan ia hanya bisa berharap bahwa Chris tidak melihat betapa kata-katanya tadi membuatnya hancur.

"Chris..."

Suara Rina terdengar lemah ketika ia berusaha membela dirinya untuk terakhir kali.

"Dan asal kamu tahu-"

Chris memotongnya kembali dan dengan posisi yang mengancam, menunjuk wajah Rina dengan jari telunjuknya.

"Kamu saya nikahi karena mamah yang meminta. Karena dia kasihan sama kamu, dan agar dia bisa membantu kamu tanpa ada banyak pertanyaan dari orang lain. Jadi, jangan pernah berharap kalau kamu bakal bisa masuk dalam keluarga saya."

Deg!

Dan perkataan terakhir Chris pun sukses meremukkan harapan Rina yang masih tersisa dengan sempurna.

"Terakhir, saya pun tidak pernah berniat untuk menyentuh kamu. Jadi jangan pernah mengungkit lagi mengenai masalah anak!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!