Hai genk-genk sayangkuh, kakak-kakak dan adek-adek yang manis, gimana kabarnya semua? 🥰🤩 Semoga semua dalam keadaan baik dan diberikan kesehatan ya 😍🤩
Sudah lama ya kita tidak berjumpa. Terakhir kali saya menulis di noveltoon sekitar bulan November 2020. Lama juga ya 😅
Nah, akhirnya aku bisa kembali ke sini lagi setelah beberapa saat berkelana ke platform sebelah dan hibernasi 🤭
Jujur saja, aku rindu menulis di platform ini. Sebenarnya bukan rindu pada platformnya, tapi rindu pada kalian yang telah membuatku seperti ini. Tanpa kalian aku bukanlah siapa-siapa. Tanpa kalian tidak mungkin followerku jadi 30k. Tanpa kalian tidak mungkin jumlah like, favorite dan komen disetiap novelku akan sebegitu banyaknya. Tanpa kalian yang selalu mendukungku dengan memberi komentar positif, aku tidak akan menjadi seperti ini. Jadi geeeeeennnkkkk, aku benar-benar berterima kasih pada kalian semua. Aku tidak bohong, tapi dari lubuk hati terdalam, aku benar-benar mencintai kalian 🤧. Kalau kalian tidak percaya, belah saja dadaku, #eh 😋
Nah, kembali ke topik utama ya. Kemarin aku berjanji untuk menulis kisah Alesha, Alkha, Zoey dan Elisa. (Anak dari Alex, Khansa, Zico, Nisha, Rizal dan Mutia di novel sebelumnya).
Aku sudah mencoba untuk menulis cerita mereka. Sudah membuat outline juga. Tetapi, baru dapat 3 bab, otakku sudah buntu. Bingung, cerita itu mau kubawa kemana. Lama cerita itu aku diamkan, mencari ide yang sekiranya relevan untuk setting tahun 2040an. Dan.... pada akhirnya aku menyerah. Aku tidak mampu melanjutkan cerita mereka genk. Kalau dipaksa, takutnya cerita itu tidak akan pernah bisa kuselesaikan. Biarkan mereka hidup sebagai bocah-bocah kecil yang lucu dalam ingatan kalian 🤧🙏🙇♀️
Oleh sebab itu, untuk mengganti cerita yang tidak bisa kutulis, aku memutuskan untuk membuat cerita baru. Cerita yang membuatku bersemangat dan menggebu-gebu untuk menuliskannya.
Cerita itu berjudul "SECRETLY LOVING YOU"
Jadi ada beberapa ketentuan yang harus dibaca ya, agar kalian tidak bertanya-tanya lagi :
Novel ini akan di post di noveltoon sampai tamat.
Novel ini akan dikontrak di noveltoon (meskipun jumlah view, favorite, komen, like tidak banyak)
Jadi jangan khawatir akan dighosting 🤣 Novel ini tidak akan kupindahkan kemana-mana. Pokoknya sampai tamat!! 😁
Tapi .... Ada tapinya nih...
Berhubung aku menulis tiga cerita on going (Secretly Loving You post di noveltoon dan 2 cerita yang lain di platform sebelah) maka aku harus membagi jadwal untuk update. Jadi semisal nantinya updatenya tidak lancar, mohon dimengerti ya.
Untuk novel ini updatenya Senin, Selasa & Rabu. Sementara untuk novel di aplikasi sebelah update Kamis, Jum'at, Sabtu. Untuk hari Minggunya libur update Genk. (Update sewaktu-waktu bisa berubah, dengan pemberitahuan sebelumnya)
Sekian infonya kesayangan semua. Tetap jaga kesehatan ya dan happy reading 😚🤗
❤️ErKa❤️
Ini pengalaman ke dua belasku dalam wawancara di dunia kerja. Meskipun bukan pengalaman pertama, namun tetap tak bisa dipungkiri, selama beberapa hari ini aku kesulitan untuk berkonsentrasi. Berbagai artikel sudah kubaca. Praktik berbicara di depan cermin pun sudah dilakukan, namun semua itu tetap tidak mengurangi rasa gugup yang bersarang di dada.
Berbicara di depan orang menjadi momok yang menakutkan. Aku lebih memilih bekerja di belakang layar daripada harus bertatap muka dengan banyak orang. Untuk itulah aku memilih posisi ini. Menjadi back office di sebuah perusahaan jasa keuangan. Tentu saja aku tidak bisa melewatkan proses seleksi karyawan. Salah satunya adalah wawancara.
Tangan kananku mulai berkeringat. Sarung tangan terasa lembab. Setiap tarikan kecepatan, semakin mendekatkanku pada tujuan. Butiran keringat mulai menghiasi pelipis, membuat rambut, - yang dengan susah payah kutata rapi menjadi lepek. Terik matahari tidak bisa dikompromi.
Nasib tinggal di pinggiran kota. Tidak bisa menggunakan jasa taksi online karena masalah jangkauan jarak yang terlalu jauh. Aku hanya berharap masih diberi kesempatan untuk membenahi diri, sebelum giliranku tiba nanti.
Rasa gugup, cemas, tidak percaya diri, bingung membaur menjadi satu. Bibir tak berhenti komat-kamit, meyakinkan dan menghibur diri untuk tetap tenang, namun bayangan wawancara menegangkan tak bisa hilang.
Sudah puluhan lamaran pekerjaan kulayangkan. Sudah belasan tes kulakukan, namun selalu saja gagal. Aku selalu tidak lulus kualifikasi. Kelemahanku hanya satu yaitu di wawancara akhir.
Kali ini pun begitu. Ini adalah wawancara kesekian. Bayangan kegagalan-kegagalan sebelumnya membuatku menjadi semakin pesimis. Bisakah aku diterima kerja kali ini?
Dari puluhan lamaran yang kulayangkan, tidak ada satu pun yang berasal dari luar kota. Menjadi anak tunggal merupakan alasan utama. Orangtuaku tidak ingin berjauhan denganku.
Jarak antara rumah dan perusahaan tempatku melamar saat ini berkisar 40 kilometer. Perusahaan itu terletak di pusat kota, sementara rumahku berada di pinggiran. Aku berangkat satu jam lebih awal.
Siang itu kutelusuri jalanan dengan kecepatan 60 km/jam. Semakin mendekati pusat kota, lalu lintas pun semakin ramai. Hiruk pikuk kendaraan berlalu-lalang, kepulan asap dan suara klakson bersahut-sahutan. Lalu lintas di jalan tersebut tergolong ramai lancar. Menyadari tujuan sudah hampir di depan mata, membuat jantungku berdebar semakin kencang.
Dalam kurun waktu tak kurang dari sepuluh menit, gedung itu mulai terlihat. Kulewati jalan Gajah Mada dan mulai memasuki area Gajah Mada Square. Di kota Jember, area tersebut cukup terkenal strategis untuk bisnis.
Terdapat beberapa belas ruko yang berjejer hampir seragam. Ruko-ruko tersebut kebanyakan ditempati oleh perusahaan penyedia jasa keuangan semisal dari perbankan, asuransi, pegadaian dan juga koperasi.
Kulayangkan pandang, untuk melihat bangunan yang kucari. Jantungku kembali berdegup lebih kencang ketika kulihat bangunan bernuansa merah dengan logo kepak sayap burung berwarna merah.
Melihat bangunannya saja sudah membuatku berkeringat dingin, apalagi memasuki dan diwawancarai langsung oleh pimpinan di dalamnya?
Tidak mau terlalu banyak berpikir, kupacu motor secara perlahan dan kuparkir tepat di depan gedung.
Sudah ada belasan motor yang terparkir di sana. Entah itu motor karyawan atau pelamar kerja sepertiku.
"Mau interview Mbak?" Terdengar suara pria dewasa yang cukup mengejutkan. Aku cepat-cepat menoleh dan melihat pria berseragam coklat. Awalnya kukira seorang polisi, namun begitu membaca badge name yang tertera di dada, baru kusadari bahwa pria berusia akhir 30an tersebut seorang security.
"Iya Pak," jawabku sembari tetap berusaha memarkir motor.
"Biar saya bantu Mbak." Tanpa menunggu persetujuan, pak security segera merapikan motor dan membuatnya sejajar dengan motor yang lain.
"Silakan Mbak, ikuti saya," ucapnya lagi dengan nada sopan. Tanpa banyak bicara, aku pun mengikutinya.
Bangunan itu memiliki tiga lantai, yang mana lantai pertama dikhususkan sebagai area pelayanan sementara lantai kedua dan ketiga diperuntukkan karyawan.
Langkah demi langkah semakin membuatku gugup. Kupikir interview itu akan dilakukan di lantai pertama, namun nyatanya, security membawaku ke lantai tiga. Semakin tinggi gedung, maka akan semakin tinggi pula jabatan penghuninya. Menyadari hal itu, membuatku semakin berkeringat dingin. Perut mulas secara tiba-tiba. Sementara keinginan muntah mulai tak terbendung.
"Mbak, kita telah sampai. Silakan menunggu di sini." Pak security menunjuk kursi berwarna merah yang berada tepat di depan sebuah ruangan yang kuyakin sebagai ruang pimpinan.
"Ehm, iya Pak. Terima kasih." Aku duduk dengan kaki gemetar. Penyakitku mulai kambuh. Penyakit demam panggung yang susah untuk sembuh.
Perut semakin mulas, kaki mengetuk-ngetuk lantai tanpa sadar sementara gigi mulai bergemeretak.
"Minum Mbak?" suara itu mengalihkan pikiran. Kulihat pak security tengah menyorongkan sekeranjang air mineral. Aku menggeleng lemah.
"Jangan takut Mbak. Bos-bosnya enakan kok. Tidak semenyeramkan yang Mbak pikirkan ..." Suara menenangkan itu terputus begitu terdengar dering telepon di sampingnya. Pak security mengangkat gagang telepon dan terlihat mengangguk-anggukan kepala.
"Mbak Arsha, sekarang giliran Anda. Silahkan."
***
Ruangan itu didominasi oleh warna krem, sementara tirainya berwarna merah, menunjukkan logo dari perusahaan itu sendiri. Di sudut ruang terdapat meja kayu berpelitur coklat lengkap dengan monitor dan keyboard di atasnya. Kursi berwarna merah berada di baliknya. Dalam sekali lihat, bisa dipastikan bahwa meja itu milik seorang pimpinan.
Di tengah ruang terdapat dua sofa memanjang berwarna merah tua dengan meja berkaca tebal sebagai pemisah.
Terlalu memperhatikan detail ruang, membuatku sedikit melupakan kehadiran dua pria di dalamnya.
Di atas sofa, duduk seorang pria berusia sekitar 50 tahun dengan tinggi badan tak kurang dari 160 cm. Perawakannya tidak kurus ataupun gemuk. Biasa-biasa saja. Standar normal orang Indonesia. Memakai kemeja garis berwarna pink yang dipadu dengan celana krem. Wajahnya terlihat ramah dengan ujung bibir yang hampir selalu tersenyum.
Tampilan ramahnya sangat bertolak belakang dengan pria yang berdiri di sebelahnya. Pria itu terlihat menjulang. Sangat kontras dengan pria sebelumnya.
Pria itu memiliki tinggi tak kurang dari 180 cm. Tubuhnya tegap, meskipun tersembunyi dibalik kemeja formal. Memakai kemeja merah gelap berlengan panjang yang dipadu dengan celana hitam slimfit. Setelan itu tak mampu menyembunyikan otot tubuhnya yang liat. Aku terpana melihatnya.
Puas memperhatikan tampilan tubuh, mataku tanpa sadar bergerak memperhatikan wajahnya.
Deg ...
Jantungku seolah telah jatuh entah kemana. Dalam sekejab, mata lancangku telah bertemu pandang dengan mata paling dingin yang pernah kulihat. Seketika tubuhku menjadi kaku. Perasaan mual kembali datang.
Sang pemilik mata dingin memiliki wajah yang rupawan. Alis tebal yang terangkat tinggi, hidung mancung dan tegas, garis rahang yang kuat, serta bibir tipis yang nampaknya jarang sekali tersenyum. Sayang sekali, pria dengan wajah serupawan itu harus memiliki ekspresi sekaku itu.
"Dengan saudari Arsha Nayyara Usman?" tanyanya sembari menatap file di tangan. Bahkan suaranya pun terdengar sangat berat dan seksi, membuatku lagi-lagi harus menelan ludah.
"I-iya ...." Susah payah aku menganggukkan kepala sembari menjawab sebisanya.
"Silahkan duduk," tegasnya. Membuatku seperti tersangka yang tengah menjalani sidang vonis mati.
***
Happy Reading 🥰
Tubuhku begitu kaku. Terasa sulit untuk melangkah hanya untuk duduk di sofa yang jaraknya tak kurang dari dua meter saja. Pandangan dingin dan suara tak bersahabat itu yang menjadi pemicunya. Seketika ketakutan untuk diwawancara kembali datang melanda. Aku *******-***** tangan, untuk meredakan kegugupan.
"Hahaha, Armand! Kamu membuatnya takut! Hahaha. Ayo duduk, duduk. Santai saja." Suara tawa dan kelakar pria paruh baya itu sedikit mencairkan atmosfir ruang yang awalnya terasa sangat kaku. Aku menghembuskan napas. Seolah-olah beban hidup telah terangkat.
Perlahan aku duduk, berhadapan dengan pria paruh baya. Sementara pria bermata dingin tetap berdiri, memandangku dengan tatapan menilai.
"Mana CV-nya?" tanya pria paruh baya dengan tangan terulur tanpa melihat wajah si pria dingin. Dalam sedetik, file itu telah berpindah tangan.
"Hem, Arsha Nayyara Usman. Nama yang bagus. Apa artinya?"
"Ha?" Dengan bodohnya bibir ini langsung menjawab spontan. Jawaban-jawaban diplomatis untuk pertanyaan yang umum disiapkan, namun yang keluar justru tidak terbayangkan.
"Nama panggilanmu? Arsha? Nay? Ara?" Pria paruh baya melihat file sembari sesekali menatap wajahku.
"A-Arsha Pak ...."
"Oh, Arsha. Hem, Armand, Arsha. Arsha, Armand. Nama kalian cocok juga, hahaha!" Pria itu menoleh dengan tawa lebar, sementara pria di sebelahnya tetap bergeming. Ekspresinya kaku. Dari sorot mata seolah-olah mengatakan bahwa tak ada hal lucu untuk ditertawakan.
Pria paruh baya masih tak menyerah. Dia menyikut tubuh pria kaku yang bernama Armand dengan sikunya.
"Ayolah, jangan terlalu kaku. Nanti Arsha takut jadi anak buahmu," ledeknya, namun lagi-lagi ledekannya tak bersambut. Pria paruh baya menarik napas dalam-dalam dan mengangkut bahu. "Dasar pria kaku," dengusnya.
"Oh ya Arsha, rileks saja ya. Anggap saja sedang ngobrol dengan orangtua sendiri. Ayahmu umur berapa?"
"A-ayah saya Pak?"
"Iya, ayahmu."
"Ehm, sekitar awal 50-an Pak ...."
"Sama. Umurku juga 50-an. Sebentar lagi pensiun. Umurku dan ayahmu hampir sama. Jadi anggap saja sedang ngobrol dengan ayahmu. Santai saja ya. Mau permen?" Pria paruh baya yang kuketahui bernama Pak Marga dari name plate holdernya ini menyuguhkan semangkuk permen di hadapanku. Memaksaku untuk mengambilnya. Mau tak mau aku mengambil dan ikut-ikutan Pak Marga membuka bungkusnya.
"Ceritakan tentang dirimu, Arsha." Pertanyaan yang kutunggu dan telah kusiapkan jauh-jauh hari.
Aku memasang sikap tubuh sempurna. Duduk tegak dengan kedua tangan menyilang di atas pangkuan. Menarik napas dalam-dalam dan menatap mata lawan bicara. Aku siap di wawancara.
"Nama saya Arsha Nayyara Usman. Teman-teman memanggil saya Arsha, di rumah saya dipanggil Nay. Saya anak tunggal dari seorang ayah dan ibu yang hebat. Yang sangat memperjuangkan pendidikan putrinya. Menurut beliau tidak ada yang lebih penting selain akhlak dan pendidikan ...."
"Pekerjaan orangtuamu?"
"Ayah penjual krupuk rambak."
"Ibu?"
"Seorang ibu rumah tangga hebat yang sangat mendukung apapun pekerjaan Ayah."
"Arsha sangat bangga sekali ya terhadap kedua orangtuanya."
"Iya Bapak, saya sangat bangga," jawabku tegas. Setiap membicarakan kedua orangtua dan mengingat perjuangan mereka selalu berhasil membuatku menitikkan airmata.
"Anak hebat. Ingat selalu kata-katamu ya. Muliakan kedua orang tua, maka hidupmu juga akan mulia." Pak Marga tersenyum bijak.
"Apa kelebihan & kelemahan seorang Arsha?" Lagi-lagi pertanyaan yang sudah kutahu jawabnya. Aku tersenyum penuh percaya diri.
"Saya pekerja keras, rajin, bisa bekerja sendiri ataupun team work. Kelemahan, bila sedang fokus pada satu hal, terkadang saya melupakan hal lain. Semisal, ketika saya sedang fokus bekerja, saya bisa melupakan rasa lapar ...."
"Oh, itu tidak boleh. Mottoku, bekerjalah dengan bahagia. Jadi kalau lapar, tinggalkan pekerjaanmu dan makan makanan enak. Iya kan Ar?"
"Hem."
"I-iya Pak ...." Tanpa sadar Tuan Dingin dan aku menjawab secara bersamaan.
"Wah kalian kompak. Sudah pasti jodoh ini, hahahaha!"
"Ehem." Pria dingin memalingkan wajah sembari berdehem. Pak Marga terbatuk-batuk, seperti memaklumi.
"Armand, ada yang ingin kamu tanyakan pada Arsha?" tanyanya seperti mengalihkan pembicaraan. Tangannya terjulur, menyerahkan file pada Tuan Dingin. Pria itu membaca sekilas, kemudian tatapan mematikannya kembali menatapku.
"Di sini tertulis pada tahun 2019 sampai 2021, kamu mengikuti proyek dosen dan digaji enam sampai tujuh juta begitu proyek selesai. Bisa kamu jelaskan proyek yang dimaksud? Dan mengapa kamu memilih melamar bekerja di sini bila gaji dari proyek lebih besar dibanding di sini?"
Dan lagi-lagi pertanyaan yang bisa kujawab dengan mudah. Kepercayaan diriku mulai meningkat. Segala rasa khawatir dan cemas yang awalnya mendera, kini terhapus sudah. Dengan penuh rasa percaya diri, aku menjawab segala pertanyaan yang terlontar.
Tak terasa setengah jam aku berada di ruangan eksekusi itu. Wawancara kali ini lebih bisa kutangani dibandingkan wawancara-wawancara sebelumnya. Mungkin karena pembawaan end usernya / pemimpinnya yang ramah, membuat suasana tak lagi menegangkan.
"Oke, Arsha. Sepertinya cukup sampai di sini rasa ingin tahu kami. Ada yang mungkin ingin kamu tanyakan?" Pak Marga mulai menutup pembicaraan.
Aku *******-***** tangan. Rasa khawatir karena takut kembali gagal mulai datang.
"B-boleh saya tahu pengumuman karyawan yang diterima atau tidak itu kapan Pak?"
"Oh, kamu khawatir hal itu." Pak Marga tersenyum kecil. Dia menoleh pada Armand. "Kapan pengumumannya?" tanyanya, melempar pertanyaan yang harusnya ia jawab.
"Paling cepat nanti sore, paling lambat besok siang," ujar Armand singkat. "Terima kasih." Armand menjulurkan tangan, pertanda menyuruhku untuk cepat-cepat hengkang.
"Terima kasih Bapak, atas kesempatan yang telah diberikan. Ditunggu kabar baiknya," ucapku sembari menjabat tangan mereka satu per satu dan keluar dari ruangan.
***
Kabar itu datang tak berselang lama. Baru setengah jam berkendara, ponselku mulai berbunyi. Suaranya yang cukup nyaring sedikit mengganggu konsentrasi. Aku memutuskan untuk menepi dan menjawab panggilan itu.
0331-33627x
Itu nomor si penelepon. Jantungku kembali berdegub kencang karena aku tahu nomor itu biasa digunakan oleh perusahaan, bukan personal.
"Assalamu'alaikum ...."
"Wa'alaikumsalam. Benar dengan Ibu Arsha Nayyara Usman?"
"Iya, dengan saya sendiri? Ada yang bisa saya bantu?"
"Kami dari bank J. Bisakah besok Anda datang ke kantor kami dengan memakai baju office look? Kami akan membicarakan kontrak kerja dengan Anda ...."
Ah, kata-kata berikutnya tak lagi bisa kudengar. Rasanya tubuhku seperti melayang. Ingin rasanya berteriak-teriak dan menari-nari saat itu juga. Keinginan itu begitu tak tertahankan dan pada akhirnya kulakukan.
"Ayah!! Ibu!! Anakmu dapat kerja!! Yesss!! Yesss!!" Bagai orang gila aku menari-nari di pinggir jalan. Menghiraukan banyaknya mata yang memandang.
Setelah empat bulan menganggur, melamar berbagai posisi yang mungkin. Dari posisi sebagai admin, bahkan staff gudang pernah ia layangkan. Ditolak sana-sini, puluhan lamaran telah diterbangkan, banyak effort yang telah dilakukan, berdoa dan ikhtiar, pada akhirnya ada bank bonafid yang mau menerimaku bekerja. Mengapa dunia menjadi begitu sempurna?
Itulah pikiran bahagiaku. Aku tidak pernah tahu, dunia kerja akan seperti ini.
***
"Ketika dirimu tidak merasa melakukan apa-apa namun hidupmu selalu lancar saja dan berjalan dengan begitu mudahnya, maka terselip doa-doa orangtua di dalamnya."
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah : 216)
***
Happy Reading 🥰
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!